"Katakanlah!" titah Dewa. "Seharusnya mereka tahu apa yang akan saya lakukan jika berani menyentuh milik saya." Shafana menitikan air mata, wanita itu memeluk suaminya. Dia berusaha untuk tidak terisak. "Tenanglah, Mas." Ia memenangkan suaminya. Padahal, Roy saja tidak berani melakukan apa-apa. Jika sudah terpancing, Dewa seperti kehilangan dirinya. "Aku janji, mereka akan mendapatkan hukuman yang layak. Mas Dewa tidak harus mengotori tangan Mas Dewa untuk orang-orang seperti ini, Mas Dewa terlalu berharga. Tolong ampuni mereka." Terdiam, urat-urat di tangan dan lehernya mengendur perlahan. Ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Jika orang lain akan menjauh, Shafana malah mendekat seolah dia sangat mempercayai dirinya dan tidak takut terluka karenanya. "Tenang, Mas. Semuanya akan baik-baik saja." Naura mengepalkan tangannya. Bukan senang karena sudah ditolong Shafana, Naura malah semakin membenci adiknya. ** ** Di dekat toilet, Shafana berhadapan dengan Naura. Dia m
Malam menyelimuti ruangan baca Dewa. Cahaya lampu meja yang remang-remang menerangi tumpukan berkas dan foto-foto yang tersebar di atas meja. Dewa mengerutkan kening, matanya menyipit tajam saat mengamati setiap detail yang ada di depannya. Dia berusaha keras untuk menemukan benang merah dari kecelakaan yang menimpanya beberapa bulan yang lalu, namun semuanya terasa terlalu bersih dan rapih. "Shit!" kesal Dewa, membanting sebuah berkas ke lantai. "Kenapa semuanya begitu mudah? Seolah-olah kecelakaan itu direncanakan dengan sempurna." Rania, istri pertamanya, mendengar suara keras itu dari luar. Dia melangkah masuk dengan hati-hati, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Mas Dewa, apa yang terjadi?" "Keluar!" bentak Dewa, suaranya bergetar karena amarah. "Aku tidak ingin diganggu!" Rania terdiam sejenak, lalu berbalik dan keluar dari ruangan dengan wajah masam. Dia menggerutu pelan, "Dasar pria keras kepala! Kenapa sekarang dia selalu bersikap kasar padaku?" Shafana, juga mendengar
Di tengah hiruk pikuk kafe yang ramai, Shafana tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. Dia sedang berbincang dengan Bima. Bima menawarkan peluang emas bagi Shafana. "Saya sudah bilang, novel-novelmu akan sukses diadaptasi menjadi film," ujar Bima, suaranya lembut dan menenangkan. "Dan series yang kita rencanakan, akan menjadi proyek yang luar biasa." Shafana mengangguk, hatinya berbunga-bunga. Dia tidak pernah menyangka mimpi-mimpinya akan terwujud secepat ini. "Terima kasih, Pak Bima," ucapnya, suaranya bergetar karena rasa syukur. "Saya sangat berterima kasih atas kesempatan ini." "Hei, tidak perlu seperti itu, ini memang sudah rejekimu, lagipula, kau memang sangat berbakat," puji Bima. Dia tersenyum dan menatap Shafana lekat, tatapan yang begitu dalam dan mengandung banyak makna. Di sudut kafe, Dewa mengamati mereka dari balik kacamata hitamnya. Wajahnya datar, namun matanya tajam, mengamati setiap gerakan Shafana. "Dia Bima 'kan?" tanya Dewa, suaranya dingin dan menu
"Aku membantumu bukan hanya karena suka permainanmu, Nendra." Rania tersenyum miring. "Kau tidak perlu tahu alasanku, cukup rebut posisi Dewananda dan kita akan menikmati semuanya." Manendra tersenyum lebar, ia mulai bergerak menyentuh paha terdalam Rania. "Oke, aku hanya membutuhkan kerja samamu, Sayang." Kepala Rania mendongak, wanita itu nampak begitu menikmati permainan liar Manendra. Hasratnya sudah diubun-ubun, Dewa? Selain sibuk, akir-akhiir ini dia menjadi sangat menyebalkan. Rania juga enggan jika harus menatap wajahnya setiap saat. ** ** Pria yang selalu dingin dan tak terusik oleh emosi tidak penting duduk di kursi kerjanya. Dia menatap Shafana dengan tatapan datar, seolah tidak peduli dengan mata sembab istri keduanya. "Ada apa?" tanya Dewa, suaranya dingin, seperti angin musim kencang yang menusuk tulang. Shafana mengusap air matanya, berusaha untuk tegar. "Tidak apa-apa," jawabnya, suaranya serak. "Hanya sedikit lelah." Dewa mengerutkan kening, matanya m
Shafana meminta izin kepada ayah mertuanya agar dia bisa menyajikan sup ayam ke mangkuk. Sanjaya tersenyum, memberikan termos sup pada istri kedua anaknya. Namun, saat di dapur, Putri, ibu mertuanya, nampak sangat tidak menyukai Shafana. Di depan Sanjaya, dia bersikap baik, tetapi di belakang, dia sangat ketus. Putri sangat sibuk memperlakukan Rania, istri pertama Dewa, dengan sangat baik dan memanjakannya.Di dapur, Putri mendekati Shafana dengan langkah anggun. "Shafana, sayang," katanya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya, "kau tahu, di rumah ini, kami punya standar tertentu. Saya harap kau bisa menyesuaikan diri."Shafana mengerutkan kening. Namun, saat melihat tatapan Putri ke pakaian yang dia kenakan, Shafana mengerti. "Saya hanya ingin membantu, Bu," jawabnya pelan. Putri mengangkat alisnya dengan elegan. "Membantu? Oh, tentu saja. Tapi, kau harus ingat, tidak semua orang bisa melakukan segalanya dengan sempurna seperti Rania." Dia melirik Rania yang sedang duduk
Putri menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Sanjaya, suaminya, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi. Putri menatap tajam ke arah Shafana yang berdiri di dekat pintu, tangannya mengepal erat. "Kenapa kau tidak keracunan?" bisik Putri, suaranya bergetar. " Mas Sanjaya sudah sangat kesakitan, kenapa kau baik-baik saja?" Shafana terdiam, matanya sembab kembali berkaca-kaca. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri merasa heran kenapa dia tidak keracunan, padahal dia makan makanan yang sama dengan Sanjaya. Itu artinya, Sanjaya tidak keracunan karena sup ayamnya bukan. "Pasti setelah ini dia akan merasakannya juga, Bu," bisik Rania, sambil melirik Shafana dengan tatapan sinis. "Atau jangan-jangan, dia memang sudah memiliki penawar?" Keningnya mengerut, matanya masih menatap Shafana dengan penuh kecurigaan. "Aku tidak percaya dia bisa selamat," gumam Putri. "Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan." Shafana merasa tertekan, dia merasa se
“ Harusnya Shafa yang menikah dengan pria lumpuh dan buta itu!” Shafa tersentak kaget mendengar teriakan Fariha, ibunya dari dalam rumah. Shafa terpaku di luar rumah masih memegang kopernya. Niatnya adalah untuk memberikan kejutan pada orangtuanya karena dia telah kembali dari Mesir dan telah menyelesaikan masa kuliahnya di sana. Namun, kini justru dirinya yang terkejut dengan ucapan ibunya sendiri. “Naura tidak boleh menjadi istri kedua dari pria itu! Kalau perlu minta Shafa pulang sekarang juga untuk menggantikan Naura.” Shafa lagi-lagi merasakan kebingungan serta rasa kecewa. Sejak dulu, ibunya memang selalu membela kakaknya, Naura dan sebaliknya tidak pernah memperdulikannya. Shafa sempat bertanya-tanya apa sebabnya, namun hingga kini ia tidak menemukan jawaban itu. Padahal Shafa selalu berusaha untuk menjadi anak berbakti dan melakukan yang terbaik. Tapi, hal itu tidak cukup juga untuk membuat ibunya menyayanginya. “Shafa masih kuliah, Bu. Kita mungkin bisa coba ca
Pagi ini, Shafa nampak begitu gugup dan tidak tenang. Pasalnya hari ini dia akan dipertemukan dengan calon suaminya yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dan mereka akan langsung menikah. Shafa bertanya-tanya, akankah calon suaminya adalah seorang pria tua. Memikirkan hal itu, Shafa rasanya ingin kabur. Namun, tentu saja dirinya tidak tega melakukan hal itu karena sudah bisa dipastikan ayahnya akan langsung segera dijebloskan ke penjara. Shafa hanya bisa berdoa dalam hati, bahwa siapa pun calon suaminya nanti adalah pria yang baik. “Shafa, kita sudah sampai,” Malik menepuk lembut tangan Shafa, membuatnya tersadar dan segera ikut turun dari mobil jemputan yang diberikan oleh Nalani untuk keluarganya pagi tadi. Mata Shafa membulat tak percaya begitu melihat bangunan di depannya. Rumah yang tampak megah dan elegan, menunjukan status sosial calon suaminya yang begitu kaya dan berkuasa. Shafa menelan ludah dengan berat, namun berusaha untuk tampak tenang. Wajah Naura, kakak tiri