Tidak dianggap oleh keluarga sendiri, Shafana tidak menyangka bahwa dirinya juga akan dijadikan istri penebus hutang untuk Dewa - CEO tempat ayahnya bekerja yang buta akibat kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Memiliki status sebagai istri kedua, Shafana diminta untuk melahirkan seorang pewaris oleh Nenek Dewa. Namun, Dewa bahkan menganggap kehadiran Shafana tidak berarti. Selain itu, Dewa seakan menyembunyikan sesuatu rahasia. Lantas, akankah Shafana mampu bertahan dalam pernikahan ini dan membuat Dewa luluh? Dan apa alasan dibalik keluarga Shafana yang selalu menindasnya?
View MoreDewa tanpa sadar menarik ujung bibirnya ketika melihat Shafana yang tertidur bersandar di bahunya. Pria itu membetulkan duduknya agar Shafana lebih nyaman. Roy yang melihatnya dari depan tersenyum tipis. Plak! Hening, keromantisan yang sebelumnya terasa berubah menjadi kepanikan untuk Roy. Dia ingin sekali pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat. "Kenapa banyak nyamuk," gumam Shafana dalam tidurnya. Kelopak mata Dewa terpejam, pria itu menurunkan tangan Shafana dari wajahnya, tapi hal yang lebih gila terjadi, wanita itu merubah posisinya, dia meringkuk, menjadikan paha Dewa sebagai bantalan. Kedua tangan Dewa mengepal, dia berusaha untuk tetap baik-baik saja ketika wajah Shafana menyentuh area yang seharusnya tidak dia sentuh. Dewa memalingkan wajah, menggigit bibir dalamnya gelisah. Roy kembali tersenyum, wajah Shafana yang menghadap perut Dewa pasti membuat Dewa tidak nyaman. ** ** Di dalam kamar mandi, Dewa terdiam cukup lama di bawah guyuran air dingin. P
Dewa duduk di kursi kerjanya, matanya tak bisa lepas dari pintu yang masih tertutup. Apa yang dia harapkan sebetulnya, Shafana? Namun, harapan itu pupus seiring waktu berlalu dan kursi di sebelahnya masih kosong. Jari-jarinya drumming di atas meja, sebuah tanda kegelisahannya yang tak bisa dia sembunyikan. Meski berusaha keras untuk fokus pada dokumen di depannya, pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan aneh yang sedang dilakukan Bima dengan istrinya. "Aku pasti sudah gila," gumam Dewa lantas menggelengkan kepalanya. Ponsel di sakunya bergetar, isyarat panggilan masuk, tapi bukan dari Shafana. Dewa menghela napas, menahan diri untuk tidak meluapkan kegelisahannya. Baru saja dia hendak menghubungi Roy, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Shafana muncul, napasnya terengah-engah. "Maaf, Pak Dewa, aku terlambat," ucap Shafana cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Ada masalah mendadak di kantor Pak Bima yang harus aku selesaikan." Dewa hanya mengangguk pelan, berdehe
Jantung Shafana berdebar kencang, dipenuhi rasa lega dan kekosongan yang aneh. Kenangan malam sebelumnya, saat Dewa menciumnya dan meninggalkan bekas yang menyengat di bibirnya, terasa begitu nyata. Namun saat dia melihat pantulan dirinya di cermin, dia tidak melihat tanda-tanda pertemuan itu. Itu hanyalah mimpi. "Aku pasti sudah gila, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bibirnya, seperti bukan mimpi." Shafana menghela napas kasar. Dia mengabaikan perasaan yang masih tersisa dan menuruni tangga, wajahnya tertutup hijab yang mengalir, kecantikannya semakin terpancar dengan kesederhanaan dan keanggunan pakaian itu. Saat dia mencapai ruang makan, dia melihat Dewa dan Rania, istri pertama suaminya sudah duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Tatapan Shafana tertuju pada Dewa, dan dia terkejut melihat luka mengering di sudut bibirnya. "Mas Dewa, apa yang terjadi pada bibirmu?" tanyanya, suaranya hanya bisikan. Dewa meliriknya, ekspresinya tak terbaca. "Tidak apa-apa," katanya si
Sementara itu, di ruang baca, Dewananda merenung. Dia masih berusaha memikirkan kenapa Shafana tiba-tiba marah padanya. Roy, yang setia berdiri di sampingnya, mulai berbicara. “Pak, hari ini banyak hal terjadi. Saya mendengar percekcokan di rumah Non Shafana,” katanya hati-hati. Dewananda menatap Roy dengan alis terangkat. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga. Roy menghela napas. “Saya meletakkan penyadap di rumah Non Shafana, seperti yang Anda minta,” jawabnya pelan. Dewananda terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Perdengarkan,” perintahnya. Roy mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan memperdengarkan suara kekacauan yang terjadi di rumah Shafana. Suara tangisan, teriakan, dan percakapan yang penuh emosi terdengar jelas. Dewananda mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Shafana tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat selimut. Kesadaran atas kesalahannya menghantamnya sepert
Dengan tangan gemetar, dia menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang. "Ayah, ini untuk kebutuhan sehari-hari atau modal usaha," katanya dengan suara serak.Malik menatap amplop itu dengan ragu. "Dari mana kau mendapatkan uang ini, Shafa? Ayah tidak ingin menerima uang dari Dewa," katanya tegas, menyebut nama suami Shafana dengan nada penuh kebencian. Malik sudah berusaha untuk tidak menaruh dendam, tapi dia tetap kecewa pada keluarga Dewa setelah mereka merebut Shadana darinya. Shafana menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Ayah, ini bukan dari Mas Dewa. Ini hasil jerih payahku sendiri. Aku menulis cerita dan berhasil menjualnya," jawabnya dengan tegas, meski hatinya terasa berat.Malik terdiam, matanya menatap dalam ke mata Shafana yang bengkak. "Menulis? Sejak kapan kau menulis, Nduk?" tanyanya, setengah tidak percaya.Shafana tersenyum pahit. "Sejak aku merasa dunia ini terlalu sempit untuk menampung semua perasaanku, Ayah. Menulis adalah carak
"Kenapa masih di sini?" tanya Dewa. Shafana yang tengah duduk di tepian ranjang itu menoleh, menatap suaminya penuh curiga. "Pak- mmas tahu aku di sini?" Jari jemari Arthur mulai bergerak, salahkan dia yang terpancing karena keberadaan istri keduanya. Dia selalu lepas kendali dan tidak bisa bersikap sesuai keinginannya. "Mas Dewa!" Shafana mengibaskan tangannya di depan wajah Dewananda. "Mas udah sembuh?" "Baumu tercium," kata Dewa. Anggaplah ini sebuah alasan yang jelas, tapi pada kenyataannya pun, dia memang bisa membedakan bau Shafana dengan bau orang lain. "Maaf, Mas. Aku memang belum mandi." Dewa memilih untuk tidak perduli. "Mas!" Shafana menahan kursi roda suaminya. "Besok, aku mau ketemu ayah." Ia memperhatikan wajah suaminya. "Boleh?" "Ayahmu?" "Kenpa?" tanya Shafana bingung. "Apa kau masih menganggap mereka keluargamu?" Kelopak mata Shafana terpejam perlahan, lantas, jika bukan keluarganya, dia mau menanggap mereka apa. "Aku hanya meminta izin, Mas. Kalau b
"Bu, sebetulnya jika Bu Rania menyerah sekarang, tidak akan ada yang menyalahkan Bu Rania." "Apa?" kaget Rania. "Menyerah? Sekarang?" Wanita itu tertawa, membuat dokter yang ada di depannya kebingungan. "Bu, sudah 3 tahun kakak Anda koma, saya hanya takut kalau semuanya akan menjadi sia-sia." Rania mengepalkan kedua tangannya. Mata wanita itu memerah tajam. "Pantaskan seorang dokter mengatakan hal itu? Saya merawat kakak saya di sini bayar, Dok." Dokter pria itu memejamkan matanya untuk beberapa saat. "Saya mengerti maksud Bu Rania, tapi Bu. Andai semuanya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, saya hanya takut Bu Rania kehilangan segalanya tanpa hasil apa-apa." "Saya tidak perduli," marah Rania. "Kakak saya harus hidup, dia akan melihat apa yang akan saya lakukan, tugas dokter hanya merawatnya dengan baik, cukup lakukan itu." "Maafkan saya, Bu." "Pergilah!" titah Rania. "Tapi, Bu... Pasien sedang...." "Saya tahu kakak saya sedang makan, saya yang akan menunggun
"Tuan Nendra," sapa Suci. Pria itu menatap pelayan di depannya dari atas sampai ke bawah, melihat bagaimana perempuan itu cegukan seperti yang tadi dia dengar. Ima berjalan mendekati Mahendra. "Dia masih bagian dari kita, Tuan." Pria itu menghela napas, dia menyerahkan bukunya pada Ima kemudian pergi dari sana. Namun setelah itu dia melirik ke arah pintu kamar Shafana. "Seharusnya dia tidak menyia-nyiakanmu, Shafa." Mahendra menaikan kedua alisnya kemudian pergi dari sana. Shafana membuka pintu kamarnya, melihat kepergian Manendra. Helaan napas keluar dari mulutnya, rumah ini benar-benar sangat tidak aman. Seharusnya Manendra tidak bisa keluar masuk sembarangan. ** ** "Om Nendra!" pekik anak-anak panti sumringah. Mereka terlihat sangat bahagia saat Manendra menghampiri mereka semua. "Om kenapa baru dateng, Om sehat kan?" Manendra mengusap kepala mereka. Membungkuk untuk menyamakan tingginya. "Om sehat, kalian sehat kan? Om bawa makan malem buat kalian, tapi....." Ia
Shafana merendahkan dirinya serendah mungkin, wanita itu bersujud dan memohon ampun kepada penciptanya-Nya. Meminta agar semuanya dimudahkan untuk dia. Air mata tidak bisa berhenti mengalir. Sebetulnya, bukan tuduhan itu yang membuatnya sangat terluka, tapi sikap Dewananda. Suaminya itu, terkadang dia baik, terkadang juga sangat dingin, hari ini, satu bentakan darinya membuat Shafana seperti ini. Sejauh mana perasaan yang dia miliki sampai dia begitu terluka. "Ya Allah, andai aku bisa mengendalikan hatiku, aku akan memilih untuk tidak mencintanya. Aku tahu statusku hanya sebatas istri kedua, tolong permudah langkahku ya, Allah. Aku hanya ingin mendapatkan ridho dari-Mu." ** ** Shafana berjalan gontai ke arah lorong rumah sakit, perempuan itu bersembunyi dibalik tembok tepat saat Rania dan Putri keluar dari ruang rawat Sanjaya. Dia mengetuk pintu beberapa kali kemudian masuk, Shafana berdiri di samping ranjang Sanjaya. Menatap mertuanya yang masih terbaring lemah. "Ay
“ Harusnya Shafa yang menikah dengan pria lumpuh dan buta itu!” Shafa tersentak kaget mendengar teriakan Fariha, ibunya dari dalam rumah. Shafa terpaku di luar rumah masih memegang kopernya. Niatnya adalah untuk memberikan kejutan pada orangtuanya karena dia telah kembali dari Mesir dan telah menyelesaikan masa kuliahnya di sana. Namun, kini justru dirinya yang terkejut dengan ucapan ibunya sendiri. “Naura tidak boleh menjadi istri kedua dari pria itu! Kalau perlu minta Shafa pulang sekarang juga untuk menggantikan Naura.” Shafa lagi-lagi merasakan kebingungan serta rasa kecewa. Sejak dulu, ibunya memang selalu membela kakaknya, Naura dan sebaliknya tidak pernah memperdulikannya. Shafa sempat bertanya-tanya apa sebabnya, namun hingga kini ia tidak menemukan jawaban itu. Padahal Shafa selalu berusaha untuk menjadi anak berbakti dan melakukan yang terbaik. Tapi, hal itu tidak cukup juga untuk membuat ibunya menyayanginya. “Shafa masih kuliah, Bu. Kita mungkin bisa coba ca
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments