Malam menyelimuti ruangan baca Dewa. Cahaya lampu meja yang remang-remang menerangi tumpukan berkas dan foto-foto yang tersebar di atas meja. Dewa mengerutkan kening, matanya menyipit tajam saat mengamati setiap detail yang ada di depannya. Dia berusaha keras untuk menemukan benang merah dari kecelakaan yang menimpanya beberapa bulan yang lalu, namun semuanya terasa terlalu bersih dan rapih. "Shit!" kesal Dewa, membanting sebuah berkas ke lantai. "Kenapa semuanya begitu mudah? Seolah-olah kecelakaan itu direncanakan dengan sempurna." Rania, istri pertamanya, mendengar suara keras itu dari luar. Dia melangkah masuk dengan hati-hati, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Mas Dewa, apa yang terjadi?" "Keluar!" bentak Dewa, suaranya bergetar karena amarah. "Aku tidak ingin diganggu!" Rania terdiam sejenak, lalu berbalik dan keluar dari ruangan dengan wajah masam. Dia menggerutu pelan, "Dasar pria keras kepala! Kenapa sekarang dia selalu bersikap kasar padaku?" Shafana, juga mendengar
Di tengah hiruk pikuk kafe yang ramai, Shafana tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. Dia sedang berbincang dengan Bima. Bima menawarkan peluang emas bagi Shafana. "Saya sudah bilang, novel-novelmu akan sukses diadaptasi menjadi film," ujar Bima, suaranya lembut dan menenangkan. "Dan series yang kita rencanakan, akan menjadi proyek yang luar biasa." Shafana mengangguk, hatinya berbunga-bunga. Dia tidak pernah menyangka mimpi-mimpinya akan terwujud secepat ini. "Terima kasih, Pak Bima," ucapnya, suaranya bergetar karena rasa syukur. "Saya sangat berterima kasih atas kesempatan ini." "Hei, tidak perlu seperti itu, ini memang sudah rejekimu, lagipula, kau memang sangat berbakat," puji Bima. Dia tersenyum dan menatap Shafana lekat, tatapan yang begitu dalam dan mengandung banyak makna. Di sudut kafe, Dewa mengamati mereka dari balik kacamata hitamnya. Wajahnya datar, namun matanya tajam, mengamati setiap gerakan Shafana. "Dia Bima 'kan?" tanya Dewa, suaranya dingin dan menu
"Aku membantumu bukan hanya karena suka permainanmu, Nendra." Rania tersenyum miring. "Kau tidak perlu tahu alasanku, cukup rebut posisi Dewananda dan kita akan menikmati semuanya." Manendra tersenyum lebar, ia mulai bergerak menyentuh paha terdalam Rania. "Oke, aku hanya membutuhkan kerja samamu, Sayang." Kepala Rania mendongak, wanita itu nampak begitu menikmati permainan liar Manendra. Hasratnya sudah diubun-ubun, Dewa? Selain sibuk, akir-akhiir ini dia menjadi sangat menyebalkan. Rania juga enggan jika harus menatap wajahnya setiap saat. ** ** Pria yang selalu dingin dan tak terusik oleh emosi tidak penting duduk di kursi kerjanya. Dia menatap Shafana dengan tatapan datar, seolah tidak peduli dengan mata sembab istri keduanya. "Ada apa?" tanya Dewa, suaranya dingin, seperti angin musim kencang yang menusuk tulang. Shafana mengusap air matanya, berusaha untuk tegar. "Tidak apa-apa," jawabnya, suaranya serak. "Hanya sedikit lelah." Dewa mengerutkan kening, matanya m
Shafana meminta izin kepada ayah mertuanya agar dia bisa menyajikan sup ayam ke mangkuk. Sanjaya tersenyum, memberikan termos sup pada istri kedua anaknya. Namun, saat di dapur, Putri, ibu mertuanya, nampak sangat tidak menyukai Shafana. Di depan Sanjaya, dia bersikap baik, tetapi di belakang, dia sangat ketus. Putri sangat sibuk memperlakukan Rania, istri pertama Dewa, dengan sangat baik dan memanjakannya.Di dapur, Putri mendekati Shafana dengan langkah anggun. "Shafana, sayang," katanya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya, "kau tahu, di rumah ini, kami punya standar tertentu. Saya harap kau bisa menyesuaikan diri."Shafana mengerutkan kening. Namun, saat melihat tatapan Putri ke pakaian yang dia kenakan, Shafana mengerti. "Saya hanya ingin membantu, Bu," jawabnya pelan. Putri mengangkat alisnya dengan elegan. "Membantu? Oh, tentu saja. Tapi, kau harus ingat, tidak semua orang bisa melakukan segalanya dengan sempurna seperti Rania." Dia melirik Rania yang sedang duduk
Putri menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Sanjaya, suaminya, terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi. Putri menatap tajam ke arah Shafana yang berdiri di dekat pintu, tangannya mengepal erat. "Kenapa kau tidak keracunan?" bisik Putri, suaranya bergetar. " Mas Sanjaya sudah sangat kesakitan, kenapa kau baik-baik saja?" Shafana terdiam, matanya sembab kembali berkaca-kaca. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri merasa heran kenapa dia tidak keracunan, padahal dia makan makanan yang sama dengan Sanjaya. Itu artinya, Sanjaya tidak keracunan karena sup ayamnya bukan. "Pasti setelah ini dia akan merasakannya juga, Bu," bisik Rania, sambil melirik Shafana dengan tatapan sinis. "Atau jangan-jangan, dia memang sudah memiliki penawar?" Keningnya mengerut, matanya masih menatap Shafana dengan penuh kecurigaan. "Aku tidak percaya dia bisa selamat," gumam Putri. "Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan." Shafana merasa tertekan, dia merasa se
“ Harusnya Shafa yang menikah dengan pria lumpuh dan buta itu!” Shafa tersentak kaget mendengar teriakan Fariha, ibunya dari dalam rumah. Shafa terpaku di luar rumah masih memegang kopernya. Niatnya adalah untuk memberikan kejutan pada orangtuanya karena dia telah kembali dari Mesir dan telah menyelesaikan masa kuliahnya di sana. Namun, kini justru dirinya yang terkejut dengan ucapan ibunya sendiri. “Naura tidak boleh menjadi istri kedua dari pria itu! Kalau perlu minta Shafa pulang sekarang juga untuk menggantikan Naura.” Shafa lagi-lagi merasakan kebingungan serta rasa kecewa. Sejak dulu, ibunya memang selalu membela kakaknya, Naura dan sebaliknya tidak pernah memperdulikannya. Shafa sempat bertanya-tanya apa sebabnya, namun hingga kini ia tidak menemukan jawaban itu. Padahal Shafa selalu berusaha untuk menjadi anak berbakti dan melakukan yang terbaik. Tapi, hal itu tidak cukup juga untuk membuat ibunya menyayanginya. “Shafa masih kuliah, Bu. Kita mungkin bisa coba ca
Pagi ini, Shafa nampak begitu gugup dan tidak tenang. Pasalnya hari ini dia akan dipertemukan dengan calon suaminya yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dan mereka akan langsung menikah. Shafa bertanya-tanya, akankah calon suaminya adalah seorang pria tua. Memikirkan hal itu, Shafa rasanya ingin kabur. Namun, tentu saja dirinya tidak tega melakukan hal itu karena sudah bisa dipastikan ayahnya akan langsung segera dijebloskan ke penjara. Shafa hanya bisa berdoa dalam hati, bahwa siapa pun calon suaminya nanti adalah pria yang baik. “Shafa, kita sudah sampai,” Malik menepuk lembut tangan Shafa, membuatnya tersadar dan segera ikut turun dari mobil jemputan yang diberikan oleh Nalani untuk keluarganya pagi tadi. Mata Shafa membulat tak percaya begitu melihat bangunan di depannya. Rumah yang tampak megah dan elegan, menunjukan status sosial calon suaminya yang begitu kaya dan berkuasa. Shafa menelan ludah dengan berat, namun berusaha untuk tampak tenang. Wajah Naura, kakak tiri
Saat pagi menjelang, Shafa segera membantu pelayan untuk menyiapkan makanan. Sebelumnya ia berusaha membantu Dewa, namun suaminya justru malah mengusirnya dari kamar dan tidak mau menerima semua bantuan yang Shafa berikan. Tak lama Dewa sudah tiba di ruang makan. Shafa cukup kagum, karena merasa Dewa sangat mandiri meskipun dirinya buta. Dewa berdehem, membuat para pelayan merasa kebingungan. “Dimana Rania?” Shafa sendiri sejak pagi tidak melihat kehadiran istri pertama suaminya itu, sehingga dia hanya bisa diam dan tidak menjawab pertanyaan Dewa. “Maaf Tuan, Saya tidak tahu. Saya belum melihat Nyonya sejak pagi tadi." Terdengar nada gugup di suara pelayan yang menjawab Dewa. Raut wajah Dewa semakin berubah menjadi dingin setelah mendengar jawaban itu. Dewa mengambil ponselnya dari saku dan menekan sebuah tombol panggilan cepat. "Mas Dewa," sahut orang di sebrang telepon. Napas Rania terengah-engah, seperti baru menyelesaikan lari marathon 10 km. "Kamu dimana, R