Perempuan itu berlari ketakutan. Ia keluar dan bersembunyi di balik pintu ruang kerja suaminya.
Berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau Dewa hanya sedang kesal saja. Belum dua menit dia menghirup udara yang terbebas dari Dewa, perempuan itu mendengar suara barang pecah dari dalam ruangan. "Pak Dewa," kaget Shafana. Dia langusng berlari, terkejut karena gelas yang sebelumnya dia berikan pecah, yang lebih parah, tangan Dewa berdarah. "Inalillahi, Pak Dewa." Karena terburu-buru, ia menarik dasi Dewa, melilitkannya ke tangan kanan sang suami. "Apa yang kau lakukan!" "Maaf, Pak. Bentar aja tahan marahnya, tangan Pak Dewa luka, kalau keluar darah terus bahaya. Tunggu sebentar, saya cari P3K dulu. "Panggil Roy." Tidak dihiraukan. Dewa menghela napasnya. Dia sendiri yang menekan panggilan, mata pria itu memicing melihat Shafana yang menurutnya sangat bodoh. Ruangan ini miliknya, Shafana mau mencari kotak P3K sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena memang tidak ada di sana. "Bodoh!" Pintu ruangan itu terbuka, menampakan Roy yang datang dengan benda diperlukan. "Saya saja, saya yang ambil," kata Shafana. Dia merebut kotak P3K dan kembali kepada Dewananda. "Ulurkan tangannya, Pak." Tidak diindahkan. Kepala Shafana menggeleng, dia yakin, Dewa tidak akan mau melakukan itu. Akhirnya, dia sendiri menarik kursi roda Dewananda sampai pria itu menoleh ka arahnya. Dengan sangat cekatan, ia membuka kotak P3K. Namun, yang dilakukannya malah membuat Dewananda semakin kesal. Dewa menarik tangannya dari Shafana, sayang sekali karena wanita itu terdorong, Shafana mencari perlindungan, maksudnya ingin berpegangan pada lengan Dewa tapi malah pria itu ikut tertarik dan jatuh di atas tubuhnya. Bibir mereka bertemu, keduanya terdiam, meskipun terhalang selembar kain tipis, tapi kelembutan dan hangat dari bibir masing-masing terasa begitu nyata. Kacamata Dewa terlepas, membuat tatapan mereka bertemu. Sayangnya, Dewa begitu lihai, membuat Shafana yang gugup tidak sadar kalau suaminya sedang menatapnya. Dunia seperti berputar di atas kepala, Dewa yang sadar lebih dulu menggeser tubuhnya, sayangnya, hal itu membuat Dewa tidak sengaja menggesekkan benda keramatnya ke tubuh sang istri. Rasanya, seperti ada gelenyar aneh, darah berdesir begitu hebat. "Sh*t!" Pria itu mengumpat dalam hati. "Maaf, Pak. Maafkan saya." Shafana buru-buru bediri, sebetulnya dia juga sangat gugup. Jantungnya berdebar sangat kencang. Namun, dia harus membantu suaminya. "Pergi!" kesal Dewa. Dia menepis tangan istrinya lagi. Tidak ingin Shafana mengobati tangannya. Dia meraba dan mengambil ponselnya. Tak lama setelah itu, Roy masuk ke ruangan. Perempuan itu mengembuskan napas, dia hanya berdiri di pojokan, memperhatikan suaminya kemudian keluar. Bersembunyi di kamar mandi. Sakit, sesak, rasanya benar-benar menyiksa. Dia harus bagaimana? Dia juga tidak ingin menerima pernikahan ini. Namun, kenapa malah dia yang diperlakukan tidak baik. "Apa salahku, Mas. Kenapa kamu ngelakuin ini." Shafana menumpahkan air matanya di sana, menenangkan diri, berharap kalau dia akan kembali membaik. ** ** "Jangan keluar dulu, Babe. Ah, bentar lagi." "Aku udah enggak tahan, aku keluar, aku...." Sepasang kekasih haram itu mendongak bersamaan, keduanya masih merasakan sisa-sisa pelepasan yang terjadi di atas kloset. Wajah yang cantik dan selalu menjadi pujian semua orang bak racun mematikan. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya seperti perangkap, siap untuk menjerat siapapun yang melihatnya. Jangankan memiliki stastus sebagai seorang istri, andai Rania adalah siluman pun, tidak akan ada pria yang menolak rayuannya, Mungkin. "Kenapa harus di sini?" bisik Rania. Bisa-bisanya Manendra menarik dia ke toilet pria. "Mereka tidak akan marah, lagipula, semua orang sudah pulang, kecuali suamimu." Manendra kembali mengecup bibir Rania. "Babe, aku juga harus pulang sekarang." "Aku masih merindukanmu." Kepala Rania menggeleng. "Selesaikan urusanmu, rebut aku dari kakakmu, aku janji, bermain seharian pun, aku sanggup." Rania melemparkan saputangan Manendra kepada pemiliknya. Bukan dibuang, pria itu malah melipat dan menghirupnya. Aroma cinta yang mengguar selalu membuatnya merasa lebih tenang. "Jangan main ke rumah, aku tidak ingin Mas Dewa tahu kalau kita ada main." Manendra hanya tersenyum. Melihat punggung Rania yang berjalan keluar. "Mbak." Mata Shafana menatap lekat Rania, memperhatikan penampilannya. Mereka yang secara kebetulan keluar dari pintu yang berbeda dipertemukan. "Mbak kenapa keluar dari toilet pria?" Menelan ludah sangat sulit, Rania merutuki kebodohan Manendra yang mengajaknya bercinta di toilet kantor, dia akui itu memberikan kenikmatan yang berbeda, tapi lihat sekarang. "Saya mungkin salah baca," ucapnya dan berlalu begitu saja. Shafana semakin bingung, dia saja yang baru di sana bisa membedakan mana toilet pria mana toilet wanita. Belum habis rasa terkejutnya, Shafana melihat orang lain keluar dari sana. Manendra, pria itu nampak terkejut tapi kemudian memberikan senyum aneh pada Shafana. "Kenapa pake toilet umum, kamu istri presdir di perusahaan ini, dia punya toilet sendiri 'kan?" Shafana mundur satu langkah. "Maaf, Bang. Sebaiknya kita tidak perlu bertegur sapa lagi." Ia mengangguk kemudian berjalan tergesa-gesa meninggalkan Manendra. Shafana yang ketakutan sesekali menoleh ke belakang. Sementara itu, tatapan Manendra semakin intens, bibirnya menyunggingkan senyum tidak biasa. "Menarik," gumamnya menyeringai.Selama perjalanan pulang, Shafana tidak berani lagi menatap Dewa atau berdekatan dengannya. Wanita itu tidak bisa mendekati suaminya karena jantungnya masih berdebar kencang. Dewa sendiri terlihat acuh tak acuh seolah ciuman itu tidak berarti sama sekali. Andai dia tahu bagaimana gelisahnya Shafana saat Ini, Dewa pasti akan menyesal karena sudah memarahi istrinya setelah mencuri ciuman pertama sang istri.Pikiran Shafana melayang ke mana-mana. Situasi ini, jika dia jatuh cinta kepada Dewananda, dia akan menjadi orang ketiga, dia mungkin tidak akan memafkan dirinya sendiri kalau sampai menjadi perusak hubungan Dewa dan istri pertamanya. "Tuan Muda, Non Shafa, kita sudah sampai," kata Roy. Shafana terperanjat, dia langsung turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah. Roy tersenyum, hal itu membuat Dewa menatap sinis dirinya. "Fokus pada tugasmu, Roy.""Baik Tuan Muda.""Dewa."Seorang wanita menyambut kepulangan anaknya. Lebih tepatnya anak sambung. Putri, wanita itu
"Mas Dewa," gumam Shafana. "Saya tidak pernah menyukai orang lemah." Mencelos, mata Shafana berkaca-kaca. Mudah bagi Dewa untuk mengatakan itu, tapi tidak mungkin baginya untuk melawan Putri dan Rania. Di sini dilah yang salah. "Mas Dewa," panggil Shafana. Dia berdiri di depan suaminya. "Mas, mungkin besok aku harus pergi ke suatu tempat, aku akan terlambat ke perusahaan, aku---." "Tidak ada yang membutuhkanmu," katanya dingin. Kembali Shafana hanya bisa tersenyum. Setidaknya dia sudah meminta izin. "Aku anggap Mas Dewa sudah memberikan izin," kata Shafana dengan nada ceria. Roy yang mendorong kursi roda Dewa tersenyum, dia senang karena Shafana tidak menyerah pada Dewananda. ** ** Suara ketukan di pintu kamar Shafana terdengar, padahal saat itu dia sudah bersiap pergi ke kamar mandi untuk tidur. "Maaf, Non." Roy tersenyum setelah Shafana membuka pintu kamar. "Waktu itu, Tuan Muda meminta saya untuk mencarikan ini." Roy memberikan laptop lama Shafana. "Alhamdulillah, i
"Kenapa?" tanya Rania dengan wajah tidak berdosa. "Kamu marah gara-gara aku bilang seperti itu?" Shafana menghela napasnya. "Bukan begitu, Mbak. Tapi...." "Shafa. Jangan memperumit semuanya seperti kisah novel." Rania menatap tajam madunya. "Cepat atau lambat, akan ada orang yang tahu kalau kita sering bertemu, yang harus dirahsiakan itu pernikahan kamu sama Mas Dewa, bukan tentang hal lain." "Saya mengerti, Mbak. Saya paham." Shafana balas menatap Rania. "Saya hanya minta, tolong jangan sebut-ssbut nama ayah saya atau berita tidak benar itu. Ayah saya difitnah, ayah saya bukan orang jahat." Rania menarik ujung bibirnya. "Kalau memang itu benar, tidak perlu banyak bicara. Buktikan, jika tidak bisa, fokus saja pada hal lain, dalam waktu 3 bulan, kalau kamu tetap tidak bisa hamil, aku pastikan, ayahmu akan tetap masuk penjara." Shafana mengepalkan kedua tangannya, bagaimana mungkin dia bisa hamil kalau Dewa saja tidak pernah menyentuhnya. Pilihan terbaik untuk sekarang adalah me
Mobil Dewananda lebih dulu sampai di sebuah cafe yang letaknya agak jauh dari pusat kota. Tak berselang lama, taksi yang membawa Shafana juga sampai di sana. Kedua orang itu berada di luar cafe hampir bersamaan. Shafa yang menyadari itu menaruh jari telunjuknya di atas bibir, meminta Roy untuk tidak mengatakan apapun pada suaminya. Roy mengangguk, dia membiarkan Shafana melangkah lebih dulu, wanita muda itu terlihat masa bodoh dengan keberadaan Dewananda. "Tuan Muda, di sini ada Non Shafa." Pria itu mengangguk samar, tanpa diberitahu pun dia sudah tahu, bahkan hanya dengan mencium aromanya saja Dewa bisa mengenali istrinya. "Fokus pada tugasmu!" "Baik Tuan Muda." Di sebuah meja, Shafana duduk berhadapan, dengan suaminya. Meja mereka cukup jauh, tapi semuanya masih terlihat jelas. Baru satu menit, Shafana sudah menghabiskan satu gelas air, dia sangat gugup. Entah kenapa, dia merasa kalau Dewananda memperhatikannya dari balik kacamata yang pria itu pakai. "Fana B
Di sisi kamar, Shafana terdiam, menutup mulutnya dengan tangan. Sungguh, dia selalu berharap kalau perselingkuhan ini hanya pikiran buruknya saja. Dia tidak menyangka kalau Rania benar-benar melakukan itu dengan adik iparnya sendiri. Shafana berlari, wanita itu mencari keberadaan sang suami, mencari di mana suaminya saat ini. Paviliun, di belakang rumah, pria itu pasti di sana. Benar saja, Shafana melihat beberapa pelayann di luar paviliun. Bagaimana bisa, suaminya jarang ke sini, apa dia sengaja? Apa Dewa sudah tahu segalanya? "Non Shafa." Pelayan wanita itu mengangguk. Shafana menerobos masuk ke dalam, meskipun sudah dilarang, dia tetap melakukannya. Terdengar suara orang terjatuh, Shafana langsung mendorong orang-orang itu, melihat suaminya sudah tersungkur di lantai. "Mas Dewa," lirih Shafana. Ia buru-buru menarik suaminya, berusaha untuk membangunkan Dewananda. "Mas kenapa?" "Maaf, Non. Tuan Muda memang selalu latihan untuk berjalan di sini," kata seorang pelayan.
"Awh." Shafana tersungkur di lantai. Wanita itu menuduk sambil memegangi lututnya. Apa yang salah, kenapa Dewa harus mendorongnya seperti itu, dia juga tidak sengaja. "Jangan terlalu dekat dengan saya, Shafa!" kata Dewa. Suaranya terdengar sangat tegas namun sebetulnya dia berusaha keras melakukan itu. Gugup? Mungkin iya. Kepala wanita itu terangkat, menatap ke arah pintu, suaminya pergi begitu saja? Tidak bisakah dia pura-pura baik? Kakinya sakit, dia hanya ingin membantu Dewa membersihkan kekacauan yang dibuat istri pertamanya. Namun, malah dia yang dibuat seperti ini. "Astaghfirullah, sabar, Shafa." Ia beranjak, dengan kondisi terpincang-pincang, wanita itu menyelesaikan pekerjaannya. "Abis ngapain kamu!" ketus Rania pada Shafana. Wanita itu menghadang Shafana yang hendak membawa sprei kotor ke tempat cucian. "Budek?" "Maaf, Mbak." Shafana berlalu begitu saja. "Jangan berusaha menggoda Mas Dewa, Shafa! Sebaiknya kamu sadar posisi." Aneh, setelah mengetahui
"Kamu itu gimana, hari ini Pak Dewa datang ke toko, seharusnya kamu beritahu saya," kesal Romi. Manager toko di tempat itu. "Maafkan saya, Pak." Naura menunduk. "Saya tidak mendapatkan info apa-apa." Nampak pria di depan Naura menghela napas, dia berjalan semakin mendekati Naura. Tangan kanannya bergerak ke depan, mengelus bokong sintalsintal wanita di dekatnya. Wajah Naura berubah kemerahan. Matanya bergerak gelisah, diperlakukan seperti ini, dia juga merasa sangat tidak nyaman. "Dengarkan saya Naura, tolong ingat ini baik-baik." Romi berbisik. "Menjadi leader di sini bukan hal yang mudah, kalau kamu melakukan kesalahan seperti ini lagi, saya bisa pastikan kamu akan mendapatkan hal yang tidak kamu inginkan. " ** ** Sepasang mata Shafana menatap kakaknya berkaca-kaca. Yang dia lihat tidak salah, Naura memang dilecehkan. Namun kenapa malah dia yang ditampar? Apa salahnya? "Mbak, aku bisa jadi saksi kamu." "Saksi apa?" bentak Naura. Ia berusaha agar tidak berteriak.
"Katakanlah!" titah Dewa. "Seharusnya mereka tahu apa yang akan saya lakukan jika berani menyentuh milik saya." Shafana menitikan air mata, wanita itu memeluk suaminya. Dia berusaha untuk tidak terisak. "Tenanglah, Mas." Ia memenangkan suaminya. Padahal, Roy saja tidak berani melakukan apa-apa. Jika sudah terpancing, Dewa seperti kehilangan dirinya. "Aku janji, mereka akan mendapatkan hukuman yang layak. Mas Dewa tidak harus mengotori tangan Mas Dewa untuk orang-orang seperti ini, Mas Dewa terlalu berharga. Tolong ampuni mereka." Terdiam, urat-urat di tangan dan lehernya mengendur perlahan. Ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Jika orang lain akan menjauh, Shafana malah mendekat seolah dia sangat mempercayai dirinya dan tidak takut terluka karenanya. "Tenang, Mas. Semuanya akan baik-baik saja." Naura mengepalkan tangannya. Bukan senang karena sudah ditolong Shafana, Naura malah semakin membenci adiknya. ** ** Di dekat toilet, Shafana berhadapan dengan Naura. Dia m