Share

9. Ciuman Tidak Disengaja

Perempuan itu berlari ketakutan. Ia keluar dan bersembunyi di balik pintu ruang kerja suaminya.

Berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau Dewa hanya sedang kesal saja.

Belum dua menit dia menghirup udara yang terbebas dari Dewa, perempuan itu mendengar suara barang pecah dari dalam ruangan.

"Pak Dewa," kaget Shafana. Dia langusng berlari, terkejut karena gelas yang sebelumnya dia berikan pecah, yang lebih parah, tangan Dewa berdarah. "Inalillahi, Pak Dewa."

Karena terburu-buru, ia menarik dasi Dewa, melilitkannya ke tangan kanan sang suami.

"Apa yang kau lakukan!"

"Maaf, Pak. Bentar aja tahan marahnya, tangan Pak Dewa luka, kalau keluar darah terus bahaya. Tunggu sebentar, saya cari P3K dulu.

"Panggil Roy."

Tidak dihiraukan. Dewa menghela napasnya. Dia sendiri yang menekan panggilan, mata pria itu memicing melihat Shafana yang menurutnya sangat bodoh. Ruangan ini miliknya, Shafana mau mencari kotak P3K sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena memang tidak ada di sana.

"Bodoh!"

Pintu ruangan itu terbuka, menampakan Roy yang datang dengan benda diperlukan.

"Saya saja, saya yang ambil," kata Shafana. Dia merebut kotak P3K dan kembali kepada Dewananda.

"Ulurkan tangannya, Pak."

Tidak diindahkan.

Kepala Shafana menggeleng, dia yakin, Dewa tidak akan mau melakukan itu. Akhirnya, dia sendiri menarik kursi roda Dewananda sampai pria itu menoleh ka arahnya.

Dengan sangat cekatan, ia membuka kotak P3K. Namun, yang dilakukannya malah membuat Dewananda semakin kesal. Dewa menarik tangannya dari Shafana, sayang sekali karena wanita itu terdorong, Shafana mencari perlindungan, maksudnya ingin berpegangan pada lengan Dewa tapi malah pria itu ikut tertarik dan jatuh di atas tubuhnya.

Bibir mereka bertemu, keduanya terdiam, meskipun terhalang selembar kain tipis, tapi kelembutan dan hangat dari bibir masing-masing terasa begitu nyata. Kacamata Dewa terlepas, membuat tatapan mereka bertemu. Sayangnya, Dewa begitu lihai, membuat Shafana yang gugup tidak sadar kalau suaminya sedang menatapnya.

Dunia seperti berputar di atas kepala, Dewa yang sadar lebih dulu menggeser tubuhnya, sayangnya, hal itu membuat Dewa tidak sengaja menggesekkan benda keramatnya ke tubuh sang istri. Rasanya, seperti ada gelenyar aneh, darah berdesir begitu hebat.

"Sh*t!" Pria itu mengumpat dalam hati.

"Maaf, Pak. Maafkan saya."

Shafana buru-buru bediri, sebetulnya dia juga sangat gugup. Jantungnya berdebar sangat kencang. Namun, dia harus membantu suaminya.

"Pergi!" kesal Dewa. Dia menepis tangan istrinya lagi. Tidak ingin Shafana mengobati tangannya. Dia meraba dan mengambil ponselnya. Tak lama setelah itu, Roy masuk ke ruangan.

Perempuan itu mengembuskan napas, dia hanya berdiri di pojokan, memperhatikan suaminya kemudian keluar. Bersembunyi di kamar mandi. Sakit, sesak, rasanya benar-benar menyiksa. Dia harus bagaimana? Dia juga tidak ingin menerima pernikahan ini. Namun, kenapa malah dia yang diperlakukan tidak baik.

"Apa salahku, Mas. Kenapa kamu ngelakuin ini." Shafana menumpahkan air matanya di sana, menenangkan diri, berharap kalau dia akan kembali membaik.

** **

"Jangan keluar dulu, Babe. Ah, bentar lagi."

"Aku udah enggak tahan, aku keluar, aku...."

Sepasang kekasih haram itu mendongak bersamaan, keduanya masih merasakan sisa-sisa pelepasan yang terjadi di atas kloset. Wajah yang cantik dan selalu menjadi pujian semua orang bak racun mematikan.

Kecantikan dan kemolekan tubuhnya seperti perangkap, siap untuk menjerat siapapun yang melihatnya.

Jangankan memiliki stastus sebagai seorang istri, andai Rania adalah siluman pun, tidak akan ada pria yang menolak rayuannya, Mungkin.

"Kenapa harus di sini?" bisik Rania. Bisa-bisanya Manendra menarik dia ke toilet pria.

"Mereka tidak akan marah, lagipula, semua orang sudah pulang, kecuali suamimu." Manendra kembali mengecup bibir Rania.

"Babe, aku juga harus pulang sekarang."

"Aku masih merindukanmu."

Kepala Rania menggeleng.

"Selesaikan urusanmu, rebut aku dari kakakmu, aku janji, bermain seharian pun, aku sanggup."

Rania melemparkan saputangan Manendra kepada pemiliknya. Bukan dibuang, pria itu malah melipat dan menghirupnya. Aroma cinta yang mengguar selalu membuatnya merasa lebih tenang.

"Jangan main ke rumah, aku tidak ingin Mas Dewa tahu kalau kita ada main."

Manendra hanya tersenyum. Melihat punggung Rania yang berjalan keluar.

"Mbak."

Mata Shafana menatap lekat Rania, memperhatikan penampilannya. Mereka yang secara kebetulan keluar dari pintu yang berbeda dipertemukan.

"Mbak kenapa keluar dari toilet pria?"

Menelan ludah sangat sulit, Rania merutuki kebodohan Manendra yang mengajaknya bercinta di toilet kantor, dia akui itu memberikan kenikmatan yang berbeda, tapi lihat sekarang.

"Saya mungkin salah baca," ucapnya dan berlalu begitu saja.

Shafana semakin bingung, dia saja yang baru di sana bisa membedakan mana toilet pria mana toilet wanita.

Belum habis rasa terkejutnya, Shafana melihat orang lain keluar dari sana. Manendra, pria itu nampak terkejut tapi kemudian memberikan senyum aneh pada Shafana.

"Kenapa pake toilet umum, kamu istri presdir di perusahaan ini, dia punya toilet sendiri 'kan?"

Shafana mundur satu langkah. "Maaf, Bang. Sebaiknya kita tidak perlu bertegur sapa lagi." Ia mengangguk kemudian berjalan tergesa-gesa meninggalkan Manendra. Shafana yang ketakutan sesekali menoleh ke belakang.

Sementara itu, tatapan Manendra semakin intens, bibirnya menyunggingkan senyum tidak biasa.

"Menarik," gumamnya menyeringai.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
gag mau nantinya shafana di jebak sama si badjingan itu
goodnovel comment avatar
Aresha K
semangat thor, lanjut terus...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status