Di sisi kamar, Shafana terdiam, menutup mulutnya dengan tangan. Sungguh, dia selalu berharap kalau perselingkuhan ini hanya pikiran buruknya saja. Dia tidak menyangka kalau Rania benar-benar melakukan itu dengan adik iparnya sendiri. Shafana berlari, wanita itu mencari keberadaan sang suami, mencari di mana suaminya saat ini. Paviliun, di belakang rumah, pria itu pasti di sana. Benar saja, Shafana melihat beberapa pelayann di luar paviliun. Bagaimana bisa, suaminya jarang ke sini, apa dia sengaja? Apa Dewa sudah tahu segalanya? "Non Shafa." Pelayan wanita itu mengangguk. Shafana menerobos masuk ke dalam, meskipun sudah dilarang, dia tetap melakukannya. Terdengar suara orang terjatuh, Shafana langsung mendorong orang-orang itu, melihat suaminya sudah tersungkur di lantai. "Mas Dewa," lirih Shafana. Ia buru-buru menarik suaminya, berusaha untuk membangunkan Dewananda. "Mas kenapa?" "Maaf, Non. Tuan Muda memang selalu latihan untuk berjalan di sini," kata seorang pelayan.
"Awh." Shafana tersungkur di lantai. Wanita itu menuduk sambil memegangi lututnya. Apa yang salah, kenapa Dewa harus mendorongnya seperti itu, dia juga tidak sengaja. "Jangan terlalu dekat dengan saya, Shafa!" kata Dewa. Suaranya terdengar sangat tegas namun sebetulnya dia berusaha keras melakukan itu. Gugup? Mungkin iya. Kepala wanita itu terangkat, menatap ke arah pintu, suaminya pergi begitu saja? Tidak bisakah dia pura-pura baik? Kakinya sakit, dia hanya ingin membantu Dewa membersihkan kekacauan yang dibuat istri pertamanya. Namun, malah dia yang dibuat seperti ini. "Astaghfirullah, sabar, Shafa." Ia beranjak, dengan kondisi terpincang-pincang, wanita itu menyelesaikan pekerjaannya. "Abis ngapain kamu!" ketus Rania pada Shafana. Wanita itu menghadang Shafana yang hendak membawa sprei kotor ke tempat cucian. "Budek?" "Maaf, Mbak." Shafana berlalu begitu saja. "Jangan berusaha menggoda Mas Dewa, Shafa! Sebaiknya kamu sadar posisi." Aneh, setelah mengetahui
"Kamu itu gimana, hari ini Pak Dewa datang ke toko, seharusnya kamu beritahu saya," kesal Romi. Manager toko di tempat itu. "Maafkan saya, Pak." Naura menunduk. "Saya tidak mendapatkan info apa-apa." Nampak pria di depan Naura menghela napas, dia berjalan semakin mendekati Naura. Tangan kanannya bergerak ke depan, mengelus bokong sintalsintal wanita di dekatnya. Wajah Naura berubah kemerahan. Matanya bergerak gelisah, diperlakukan seperti ini, dia juga merasa sangat tidak nyaman. "Dengarkan saya Naura, tolong ingat ini baik-baik." Romi berbisik. "Menjadi leader di sini bukan hal yang mudah, kalau kamu melakukan kesalahan seperti ini lagi, saya bisa pastikan kamu akan mendapatkan hal yang tidak kamu inginkan. " ** ** Sepasang mata Shafana menatap kakaknya berkaca-kaca. Yang dia lihat tidak salah, Naura memang dilecehkan. Namun kenapa malah dia yang ditampar? Apa salahnya? "Mbak, aku bisa jadi saksi kamu." "Saksi apa?" bentak Naura. Ia berusaha agar tidak berteriak.
"Katakanlah!" titah Dewa. "Seharusnya mereka tahu apa yang akan saya lakukan jika berani menyentuh milik saya." Shafana menitikan air mata, wanita itu memeluk suaminya. Dia berusaha untuk tidak terisak. "Tenanglah, Mas." Ia memenangkan suaminya. Padahal, Roy saja tidak berani melakukan apa-apa. Jika sudah terpancing, Dewa seperti kehilangan dirinya. "Aku janji, mereka akan mendapatkan hukuman yang layak. Mas Dewa tidak harus mengotori tangan Mas Dewa untuk orang-orang seperti ini, Mas Dewa terlalu berharga. Tolong ampuni mereka." Terdiam, urat-urat di tangan dan lehernya mengendur perlahan. Ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Jika orang lain akan menjauh, Shafana malah mendekat seolah dia sangat mempercayai dirinya dan tidak takut terluka karenanya. "Tenang, Mas. Semuanya akan baik-baik saja." Naura mengepalkan tangannya. Bukan senang karena sudah ditolong Shafana, Naura malah semakin membenci adiknya. ** ** Di dekat toilet, Shafana berhadapan dengan Naura. Dia m
Malam menyelimuti ruangan baca Dewa. Cahaya lampu meja yang remang-remang menerangi tumpukan berkas dan foto-foto yang tersebar di atas meja. Dewa mengerutkan kening, matanya menyipit tajam saat mengamati setiap detail yang ada di depannya. Dia berusaha keras untuk menemukan benang merah dari kecelakaan yang menimpanya beberapa bulan yang lalu, namun semuanya terasa terlalu bersih dan rapih. "Shit!" kesal Dewa, membanting sebuah berkas ke lantai. "Kenapa semuanya begitu mudah? Seolah-olah kecelakaan itu direncanakan dengan sempurna." Rania, istri pertamanya, mendengar suara keras itu dari luar. Dia melangkah masuk dengan hati-hati, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Mas Dewa, apa yang terjadi?" "Keluar!" bentak Dewa, suaranya bergetar karena amarah. "Aku tidak ingin diganggu!" Rania terdiam sejenak, lalu berbalik dan keluar dari ruangan dengan wajah masam. Dia menggerutu pelan, "Dasar pria keras kepala! Kenapa sekarang dia selalu bersikap kasar padaku?" Shafana, juga mendengar
Di tengah hiruk pikuk kafe yang ramai, Shafana tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. Dia sedang berbincang dengan Bima. Bima menawarkan peluang emas bagi Shafana. "Saya sudah bilang, novel-novelmu akan sukses diadaptasi menjadi film," ujar Bima, suaranya lembut dan menenangkan. "Dan series yang kita rencanakan, akan menjadi proyek yang luar biasa." Shafana mengangguk, hatinya berbunga-bunga. Dia tidak pernah menyangka mimpi-mimpinya akan terwujud secepat ini. "Terima kasih, Pak Bima," ucapnya, suaranya bergetar karena rasa syukur. "Saya sangat berterima kasih atas kesempatan ini." "Hei, tidak perlu seperti itu, ini memang sudah rejekimu, lagipula, kau memang sangat berbakat," puji Bima. Dia tersenyum dan menatap Shafana lekat, tatapan yang begitu dalam dan mengandung banyak makna. Di sudut kafe, Dewa mengamati mereka dari balik kacamata hitamnya. Wajahnya datar, namun matanya tajam, mengamati setiap gerakan Shafana. "Dia Bima 'kan?" tanya Dewa, suaranya dingin dan menu
"Aku membantumu bukan hanya karena suka permainanmu, Nendra." Rania tersenyum miring. "Kau tidak perlu tahu alasanku, cukup rebut posisi Dewananda dan kita akan menikmati semuanya." Manendra tersenyum lebar, ia mulai bergerak menyentuh paha terdalam Rania. "Oke, aku hanya membutuhkan kerja samamu, Sayang." Kepala Rania mendongak, wanita itu nampak begitu menikmati permainan liar Manendra. Hasratnya sudah diubun-ubun, Dewa? Selain sibuk, akir-akhiir ini dia menjadi sangat menyebalkan. Rania juga enggan jika harus menatap wajahnya setiap saat. ** ** Pria yang selalu dingin dan tak terusik oleh emosi tidak penting duduk di kursi kerjanya. Dia menatap Shafana dengan tatapan datar, seolah tidak peduli dengan mata sembab istri keduanya. "Ada apa?" tanya Dewa, suaranya dingin, seperti angin musim kencang yang menusuk tulang. Shafana mengusap air matanya, berusaha untuk tegar. "Tidak apa-apa," jawabnya, suaranya serak. "Hanya sedikit lelah." Dewa mengerutkan kening, matanya m
Shafana meminta izin kepada ayah mertuanya agar dia bisa menyajikan sup ayam ke mangkuk. Sanjaya tersenyum, memberikan termos sup pada istri kedua anaknya. Namun, saat di dapur, Putri, ibu mertuanya, nampak sangat tidak menyukai Shafana. Di depan Sanjaya, dia bersikap baik, tetapi di belakang, dia sangat ketus. Putri sangat sibuk memperlakukan Rania, istri pertama Dewa, dengan sangat baik dan memanjakannya.Di dapur, Putri mendekati Shafana dengan langkah anggun. "Shafana, sayang," katanya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya, "kau tahu, di rumah ini, kami punya standar tertentu. Saya harap kau bisa menyesuaikan diri."Shafana mengerutkan kening. Namun, saat melihat tatapan Putri ke pakaian yang dia kenakan, Shafana mengerti. "Saya hanya ingin membantu, Bu," jawabnya pelan. Putri mengangkat alisnya dengan elegan. "Membantu? Oh, tentu saja. Tapi, kau harus ingat, tidak semua orang bisa melakukan segalanya dengan sempurna seperti Rania." Dia melirik Rania yang sedang duduk
Dewa tanpa sadar menarik ujung bibirnya ketika melihat Shafana yang tertidur bersandar di bahunya. Pria itu membetulkan duduknya agar Shafana lebih nyaman. Roy yang melihatnya dari depan tersenyum tipis. Plak! Hening, keromantisan yang sebelumnya terasa berubah menjadi kepanikan untuk Roy. Dia ingin sekali pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat. "Kenapa banyak nyamuk," gumam Shafana dalam tidurnya. Kelopak mata Dewa terpejam, pria itu menurunkan tangan Shafana dari wajahnya, tapi hal yang lebih gila terjadi, wanita itu merubah posisinya, dia meringkuk, menjadikan paha Dewa sebagai bantalan. Kedua tangan Dewa mengepal, dia berusaha untuk tetap baik-baik saja ketika wajah Shafana menyentuh area yang seharusnya tidak dia sentuh. Dewa memalingkan wajah, menggigit bibir dalamnya gelisah. Roy kembali tersenyum, wajah Shafana yang menghadap perut Dewa pasti membuat Dewa tidak nyaman. ** ** Di dalam kamar mandi, Dewa terdiam cukup lama di bawah guyuran air dingin. P
Dewa duduk di kursi kerjanya, matanya tak bisa lepas dari pintu yang masih tertutup. Apa yang dia harapkan sebetulnya, Shafana? Namun, harapan itu pupus seiring waktu berlalu dan kursi di sebelahnya masih kosong. Jari-jarinya drumming di atas meja, sebuah tanda kegelisahannya yang tak bisa dia sembunyikan. Meski berusaha keras untuk fokus pada dokumen di depannya, pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan aneh yang sedang dilakukan Bima dengan istrinya. "Aku pasti sudah gila," gumam Dewa lantas menggelengkan kepalanya. Ponsel di sakunya bergetar, isyarat panggilan masuk, tapi bukan dari Shafana. Dewa menghela napas, menahan diri untuk tidak meluapkan kegelisahannya. Baru saja dia hendak menghubungi Roy, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Shafana muncul, napasnya terengah-engah. "Maaf, Pak Dewa, aku terlambat," ucap Shafana cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Ada masalah mendadak di kantor Pak Bima yang harus aku selesaikan." Dewa hanya mengangguk pelan, berdehe
Jantung Shafana berdebar kencang, dipenuhi rasa lega dan kekosongan yang aneh. Kenangan malam sebelumnya, saat Dewa menciumnya dan meninggalkan bekas yang menyengat di bibirnya, terasa begitu nyata. Namun saat dia melihat pantulan dirinya di cermin, dia tidak melihat tanda-tanda pertemuan itu. Itu hanyalah mimpi. "Aku pasti sudah gila, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bibirnya, seperti bukan mimpi." Shafana menghela napas kasar. Dia mengabaikan perasaan yang masih tersisa dan menuruni tangga, wajahnya tertutup hijab yang mengalir, kecantikannya semakin terpancar dengan kesederhanaan dan keanggunan pakaian itu. Saat dia mencapai ruang makan, dia melihat Dewa dan Rania, istri pertama suaminya sudah duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Tatapan Shafana tertuju pada Dewa, dan dia terkejut melihat luka mengering di sudut bibirnya. "Mas Dewa, apa yang terjadi pada bibirmu?" tanyanya, suaranya hanya bisikan. Dewa meliriknya, ekspresinya tak terbaca. "Tidak apa-apa," katanya si
Sementara itu, di ruang baca, Dewananda merenung. Dia masih berusaha memikirkan kenapa Shafana tiba-tiba marah padanya. Roy, yang setia berdiri di sampingnya, mulai berbicara. “Pak, hari ini banyak hal terjadi. Saya mendengar percekcokan di rumah Non Shafana,” katanya hati-hati. Dewananda menatap Roy dengan alis terangkat. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga. Roy menghela napas. “Saya meletakkan penyadap di rumah Non Shafana, seperti yang Anda minta,” jawabnya pelan. Dewananda terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Perdengarkan,” perintahnya. Roy mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan memperdengarkan suara kekacauan yang terjadi di rumah Shafana. Suara tangisan, teriakan, dan percakapan yang penuh emosi terdengar jelas. Dewananda mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Shafana tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat selimut. Kesadaran atas kesalahannya menghantamnya sepert
Dengan tangan gemetar, dia menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang. "Ayah, ini untuk kebutuhan sehari-hari atau modal usaha," katanya dengan suara serak.Malik menatap amplop itu dengan ragu. "Dari mana kau mendapatkan uang ini, Shafa? Ayah tidak ingin menerima uang dari Dewa," katanya tegas, menyebut nama suami Shafana dengan nada penuh kebencian. Malik sudah berusaha untuk tidak menaruh dendam, tapi dia tetap kecewa pada keluarga Dewa setelah mereka merebut Shadana darinya. Shafana menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Ayah, ini bukan dari Mas Dewa. Ini hasil jerih payahku sendiri. Aku menulis cerita dan berhasil menjualnya," jawabnya dengan tegas, meski hatinya terasa berat.Malik terdiam, matanya menatap dalam ke mata Shafana yang bengkak. "Menulis? Sejak kapan kau menulis, Nduk?" tanyanya, setengah tidak percaya.Shafana tersenyum pahit. "Sejak aku merasa dunia ini terlalu sempit untuk menampung semua perasaanku, Ayah. Menulis adalah carak
"Kenapa masih di sini?" tanya Dewa. Shafana yang tengah duduk di tepian ranjang itu menoleh, menatap suaminya penuh curiga. "Pak- mmas tahu aku di sini?" Jari jemari Arthur mulai bergerak, salahkan dia yang terpancing karena keberadaan istri keduanya. Dia selalu lepas kendali dan tidak bisa bersikap sesuai keinginannya. "Mas Dewa!" Shafana mengibaskan tangannya di depan wajah Dewananda. "Mas udah sembuh?" "Baumu tercium," kata Dewa. Anggaplah ini sebuah alasan yang jelas, tapi pada kenyataannya pun, dia memang bisa membedakan bau Shafana dengan bau orang lain. "Maaf, Mas. Aku memang belum mandi." Dewa memilih untuk tidak perduli. "Mas!" Shafana menahan kursi roda suaminya. "Besok, aku mau ketemu ayah." Ia memperhatikan wajah suaminya. "Boleh?" "Ayahmu?" "Kenpa?" tanya Shafana bingung. "Apa kau masih menganggap mereka keluargamu?" Kelopak mata Shafana terpejam perlahan, lantas, jika bukan keluarganya, dia mau menanggap mereka apa. "Aku hanya meminta izin, Mas. Kalau b
"Bu, sebetulnya jika Bu Rania menyerah sekarang, tidak akan ada yang menyalahkan Bu Rania." "Apa?" kaget Rania. "Menyerah? Sekarang?" Wanita itu tertawa, membuat dokter yang ada di depannya kebingungan. "Bu, sudah 3 tahun kakak Anda koma, saya hanya takut kalau semuanya akan menjadi sia-sia." Rania mengepalkan kedua tangannya. Mata wanita itu memerah tajam. "Pantaskan seorang dokter mengatakan hal itu? Saya merawat kakak saya di sini bayar, Dok." Dokter pria itu memejamkan matanya untuk beberapa saat. "Saya mengerti maksud Bu Rania, tapi Bu. Andai semuanya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, saya hanya takut Bu Rania kehilangan segalanya tanpa hasil apa-apa." "Saya tidak perduli," marah Rania. "Kakak saya harus hidup, dia akan melihat apa yang akan saya lakukan, tugas dokter hanya merawatnya dengan baik, cukup lakukan itu." "Maafkan saya, Bu." "Pergilah!" titah Rania. "Tapi, Bu... Pasien sedang...." "Saya tahu kakak saya sedang makan, saya yang akan menunggun
"Tuan Nendra," sapa Suci. Pria itu menatap pelayan di depannya dari atas sampai ke bawah, melihat bagaimana perempuan itu cegukan seperti yang tadi dia dengar. Ima berjalan mendekati Mahendra. "Dia masih bagian dari kita, Tuan." Pria itu menghela napas, dia menyerahkan bukunya pada Ima kemudian pergi dari sana. Namun setelah itu dia melirik ke arah pintu kamar Shafana. "Seharusnya dia tidak menyia-nyiakanmu, Shafa." Mahendra menaikan kedua alisnya kemudian pergi dari sana. Shafana membuka pintu kamarnya, melihat kepergian Manendra. Helaan napas keluar dari mulutnya, rumah ini benar-benar sangat tidak aman. Seharusnya Manendra tidak bisa keluar masuk sembarangan. ** ** "Om Nendra!" pekik anak-anak panti sumringah. Mereka terlihat sangat bahagia saat Manendra menghampiri mereka semua. "Om kenapa baru dateng, Om sehat kan?" Manendra mengusap kepala mereka. Membungkuk untuk menyamakan tingginya. "Om sehat, kalian sehat kan? Om bawa makan malem buat kalian, tapi....." Ia
Shafana merendahkan dirinya serendah mungkin, wanita itu bersujud dan memohon ampun kepada penciptanya-Nya. Meminta agar semuanya dimudahkan untuk dia. Air mata tidak bisa berhenti mengalir. Sebetulnya, bukan tuduhan itu yang membuatnya sangat terluka, tapi sikap Dewananda. Suaminya itu, terkadang dia baik, terkadang juga sangat dingin, hari ini, satu bentakan darinya membuat Shafana seperti ini. Sejauh mana perasaan yang dia miliki sampai dia begitu terluka. "Ya Allah, andai aku bisa mengendalikan hatiku, aku akan memilih untuk tidak mencintanya. Aku tahu statusku hanya sebatas istri kedua, tolong permudah langkahku ya, Allah. Aku hanya ingin mendapatkan ridho dari-Mu." ** ** Shafana berjalan gontai ke arah lorong rumah sakit, perempuan itu bersembunyi dibalik tembok tepat saat Rania dan Putri keluar dari ruang rawat Sanjaya. Dia mengetuk pintu beberapa kali kemudian masuk, Shafana berdiri di samping ranjang Sanjaya. Menatap mertuanya yang masih terbaring lemah. "Ay