Share

7. Dia Akan Menjadi Asistenmu

"Saya mendapatkan e-mail untuk rapat hari ini," kata Dewa. Ia menggerakkan tangannya agar Roy menyingkir dulu.

"Maaf Pak Dewa, kehadiran Anda di sini tidak akan bisa merubah apapun," kata salah satu petinggi.

Nalani mencengkram kuat kepalan tangannya. Rapat ini pasti sudah diatur seseorang, tidak mungkin mereka berbondong-bondong menyerukan hal yang sama jika tidak membuat rencana sebelumnya.

"Jika kalian berpikir kalau orang disabilitas tidak bisa memimpin perusahaan, saya rasa itu tidak adil." Dewa tersenyum.

Mereka semua kembali terdiam. Tidak ada yang berani menyahut ucapan Dewananda.

"Roy!" panggil Dewa.

Pria itu mengangguk, dia mengambil remot kecil untuk menghidupkan proyektor di ruangan itu.

"Ini adalah data kenaikan harga saham setelah Pak Dewa mengalami kecelakaan, sempat turun dua persen, tapi setelah dua bulan, harga saham kembali naik tiga setengah persen."

Orang-orang yang memperhatikan layar monitor itu kembali saling berbisik.

"Untuk penjualan, sempat turun lima persen dan akhir bulan kemarin semuanya kembali stabil, bahkan, setelah produk baru diluncurkan, penjualan kita meroket setiap harinya."

Dewa tersenyum sementara Manendra nampak tidak senang. Pria itu mengepalkan kedua tangan kesal.

"Jadi bagimana, masih ingin melengserkan cucu saya?" tanya Nalani tegas.

Mereka semua kembali berbisik. Apa yang sudah dilakukan Dewa cukup meyakinkan mereka. Jika perusahaan masih sangat stabil, mereka tidak harus menggantinya dengan yang baru.

** **

Manendra memutar bola mata, dia meninggalkan ruangan dan berhenti di sebuah lorong.

"Gagal," katanya pada orang di sebrang telepon. "Aku sudah berusaha, orang-orang itu, mereka berubah pikiran."

Terdengar suara wanita yang memekik kencang dari sebrang telepon.

"Beib, aku janji, aku akan melakukan yang terbaik, aku akan mendapatkan posisi Dewananda, aku janji."

Pria itu menoleh saat mendengar sesuatu, dia menatap ke salah satu sisi yang terdapat papan produk perusahaan di sana.

Wanita yang berada di balik benda itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, Shafa bergerak mundur. Jantungnya semakin berdebar.

"Pak Nendra," panggil seseorang. Padahal, dalam beberapa langkah dia sudah akan melihat orang yang menguping pembicaranya.

Shafana berlari tergesa-gesa. Wanita itu mencari arah dengan susah payah.

"Shafa!" panggil Nalani.

Dia menghentikan langkahnya, Shafana berbalik, dia tersenyum, segera menghampiri mereka yang tak jauh darinya.

"Assalamu'alaikum, Mas Dewa."

Oma menjawab salam Shafana.

"Dewa, mulai sekarang, Shafa yang akan menjadi asisten dan sekretaris kamu, Shafana yang akan menjadi mata dan kaki untukmu!"

Mata Dewa yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya menatap tajam Shafana.

"Kenapa Oma melakukan sesuatu tanpa membicarakannya dulu denganku?"

"Sudahlah!" Oma menepuk pundak cucunya. "Roy, tolong antar mereka ke ruangan mereka."

"Baik, Oma." Roy tersenyum. Oma sendiri pergi dari sana, sementara Shafa yang masih terengah mengikuti sang suami dan berjalan di samping suaminya.

"Ruangannya di sini, Non. Meja Non Shafa ada di sana," tunjuk Roy pada sebuah area yang tak jauh dari meja Dewa. Bukan tak jauh lagi, meja mereka berdempetan.

"Terima kasih, Pak."

"Panggil Roy saja, Non."

Shafa mengangguk dan tersenyum. Namun, saat Roy hendak keluar, Shafa mengikutinya sampai ke pintu.

"Pak Roy," kata Shafa. Dia melirik ke arah suaminya. "Itu, apa yang harus saya lakukan, saya belum berpengalaman," katanya.

Roy malah tersenyum. "Bukannya Oma Nalani sudah menjelaskan semuanya?"

"Apa?" Shafana terbengong saat Roy pergi begitu saja. "Mata dan kaki Dewa, mata dan kaki Dewa." Shafana mengangguk.

"Tutup pintunya!"

Shafana terkesiap, namun melakukan hal itu, dia kembali ke mejanya. Duduk di sebelah Dewa dengan perasaan gugup luar biasa.

"Kenapa?" tanya Dewa.

"Hah, kenapa, aku?" Shafa malah balik bertanya.

Pria itu menghela napas, dia kembali fokus pada buku braille di tangannya.

Sementara itu, Shafana nampak masih gelisah, dia ingin sekali mengatakan kalau dia mendengar sesuatu.

"M-Pak," panggil Shafana. Tangannya terus bergerak gelisah. "Eumm, ada yang mau saya katakan, mengenai adiknya Ma- Pak Dewa maksudnya."

Tangan pria itu berhenti bergerak.

"Maaf kalau saya lancang, saya mungkin akan membuat Pak Dewa kesal. Tapi, Pak. Pak Nendra itu...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status