"Saya mendapatkan e-mail untuk rapat hari ini," kata Dewa. Ia menggerakkan tangannya agar Roy menyingkir dulu.
"Maaf Pak Dewa, kehadiran Anda di sini tidak akan bisa merubah apapun," kata salah satu petinggi. Nalani mencengkram kuat kepalan tangannya. Rapat ini pasti sudah diatur seseorang, tidak mungkin mereka berbondong-bondong menyerukan hal yang sama jika tidak membuat rencana sebelumnya. "Jika kalian berpikir kalau orang disabilitas tidak bisa memimpin perusahaan, saya rasa itu tidak adil." Dewa tersenyum. Mereka semua kembali terdiam. Tidak ada yang berani menyahut ucapan Dewananda. "Roy!" panggil Dewa. Pria itu mengangguk, dia mengambil remot kecil untuk menghidupkan proyektor di ruangan itu. "Ini adalah data kenaikan harga saham setelah Pak Dewa mengalami kecelakaan, sempat turun dua persen, tapi setelah dua bulan, harga saham kembali naik tiga setengah persen." Orang-orang yang memperhatikan layar monitor itu kembali saling berbisik. "Untuk penjualan, sempat turun lima persen dan akhir bulan kemarin semuanya kembali stabil, bahkan, setelah produk baru diluncurkan, penjualan kita meroket setiap harinya." Dewa tersenyum sementara Manendra nampak tidak senang. Pria itu mengepalkan kedua tangan kesal. "Jadi bagimana, masih ingin melengserkan cucu saya?" tanya Nalani tegas. Mereka semua kembali berbisik. Apa yang sudah dilakukan Dewa cukup meyakinkan mereka. Jika perusahaan masih sangat stabil, mereka tidak harus menggantinya dengan yang baru. ** ** Manendra memutar bola mata, dia meninggalkan ruangan dan berhenti di sebuah lorong. "Gagal," katanya pada orang di sebrang telepon. "Aku sudah berusaha, orang-orang itu, mereka berubah pikiran." Terdengar suara wanita yang memekik kencang dari sebrang telepon. "Beib, aku janji, aku akan melakukan yang terbaik, aku akan mendapatkan posisi Dewananda, aku janji." Pria itu menoleh saat mendengar sesuatu, dia menatap ke salah satu sisi yang terdapat papan produk perusahaan di sana. Wanita yang berada di balik benda itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, Shafa bergerak mundur. Jantungnya semakin berdebar. "Pak Nendra," panggil seseorang. Padahal, dalam beberapa langkah dia sudah akan melihat orang yang menguping pembicaranya. Shafana berlari tergesa-gesa. Wanita itu mencari arah dengan susah payah. "Shafa!" panggil Nalani. Dia menghentikan langkahnya, Shafana berbalik, dia tersenyum, segera menghampiri mereka yang tak jauh darinya. "Assalamu'alaikum, Mas Dewa." Oma menjawab salam Shafana. "Dewa, mulai sekarang, Shafa yang akan menjadi asisten dan sekretaris kamu, Shafana yang akan menjadi mata dan kaki untukmu!" Mata Dewa yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya menatap tajam Shafana. "Kenapa Oma melakukan sesuatu tanpa membicarakannya dulu denganku?" "Sudahlah!" Oma menepuk pundak cucunya. "Roy, tolong antar mereka ke ruangan mereka." "Baik, Oma." Roy tersenyum. Oma sendiri pergi dari sana, sementara Shafa yang masih terengah mengikuti sang suami dan berjalan di samping suaminya. "Ruangannya di sini, Non. Meja Non Shafa ada di sana," tunjuk Roy pada sebuah area yang tak jauh dari meja Dewa. Bukan tak jauh lagi, meja mereka berdempetan. "Terima kasih, Pak." "Panggil Roy saja, Non." Shafa mengangguk dan tersenyum. Namun, saat Roy hendak keluar, Shafa mengikutinya sampai ke pintu. "Pak Roy," kata Shafa. Dia melirik ke arah suaminya. "Itu, apa yang harus saya lakukan, saya belum berpengalaman," katanya. Roy malah tersenyum. "Bukannya Oma Nalani sudah menjelaskan semuanya?" "Apa?" Shafana terbengong saat Roy pergi begitu saja. "Mata dan kaki Dewa, mata dan kaki Dewa." Shafana mengangguk. "Tutup pintunya!" Shafana terkesiap, namun melakukan hal itu, dia kembali ke mejanya. Duduk di sebelah Dewa dengan perasaan gugup luar biasa. "Kenapa?" tanya Dewa. "Hah, kenapa, aku?" Shafa malah balik bertanya. Pria itu menghela napas, dia kembali fokus pada buku braille di tangannya. Sementara itu, Shafana nampak masih gelisah, dia ingin sekali mengatakan kalau dia mendengar sesuatu. "M-Pak," panggil Shafana. Tangannya terus bergerak gelisah. "Eumm, ada yang mau saya katakan, mengenai adiknya Ma- Pak Dewa maksudnya." Tangan pria itu berhenti bergerak. "Maaf kalau saya lancang, saya mungkin akan membuat Pak Dewa kesal. Tapi, Pak. Pak Nendra itu....""Fokus pada pekerjaanmu!" Mendengar kalimat itu, Shafana langsung diam. Masih menatap Dewa dengan tatapan bingung. "Pak tapi, ini masalah penting, saya—." "Diam atau keluar dari ruangan saya!" Seketika itu juga Shafana bungkam. Masalah saat itu saja, Dewa menghindarinya. Sekarang pun sama. Saat menemani Dewa, Shafana melihat Roy keluar masuk ke ruangan itu. Dia dibiarkan diam, tidak melakukan apapun. Melihat waktu luang, Shafana menggunakan laptopnya untuk mencari tahu tugas dan perkerjaan apa yang seharusnya dilakukan seorang sekretaris. Ketika berbincang, Roy memperhatikan Shafana sekilas. Dia tersenyum melihat kesungguhan perempuan itu. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian Dewa, dia sadar betul jika asisten pribadinya memiliki ketertarikan yang tidak bisa dia mengerti. "Sudahlah! Kamu bisa keluar," titah Dewa pada Roy. Tepat setelah pintu tertutup, dia melemparkan dokumen ke meja Shafana. "Bacakan!" "Apa?" tanya Shafana, dia sempat terbengong tapi kemud
Perempuan itu berlari ketakutan. Ia keluar dan bersembunyi di balik pintu ruang kerja suaminya. Berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau Dewa hanya sedang kesal saja. Belum dua menit dia menghirup udara yang terbebas dari Dewa, perempuan itu mendengar suara barang pecah dari dalam ruangan. "Pak Dewa," kaget Shafana. Dia langusng berlari, terkejut karena gelas yang sebelumnya dia berikan pecah, yang lebih parah, tangan Dewa berdarah. "Inalillahi, Pak Dewa." Karena terburu-buru, ia menarik dasi Dewa, melilitkannya ke tangan kanan sang suami. "Apa yang kau lakukan!" "Maaf, Pak. Bentar aja tahan marahnya, tangan Pak Dewa luka, kalau keluar darah terus bahaya. Tunggu sebentar, saya cari P3K dulu. "Panggil Roy." Tidak dihiraukan. Dewa menghela napasnya. Dia sendiri yang menekan panggilan, mata pria itu memicing melihat Shafana yang menurutnya sangat bodoh. Ruangan ini miliknya, Shafana mau mencari kotak P3K sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena memang
Selama perjalanan pulang, Shafana tidak berani lagi menatap Dewa atau berdekatan dengannya. Wanita itu tidak bisa mendekati suaminya karena jantungnya masih berdebar kencang. Dewa sendiri terlihat acuh tak acuh seolah ciuman itu tidak berarti sama sekali. Andai dia tahu bagaimana gelisahnya Shafana saat Ini, Dewa pasti akan menyesal karena sudah memarahi istrinya setelah mencuri ciuman pertama sang istri.Pikiran Shafana melayang ke mana-mana. Situasi ini, jika dia jatuh cinta kepada Dewananda, dia akan menjadi orang ketiga, dia mungkin tidak akan memafkan dirinya sendiri kalau sampai menjadi perusak hubungan Dewa dan istri pertamanya. "Tuan Muda, Non Shafa, kita sudah sampai," kata Roy. Shafana terperanjat, dia langsung turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah. Roy tersenyum, hal itu membuat Dewa menatap sinis dirinya. "Fokus pada tugasmu, Roy.""Baik Tuan Muda.""Dewa."Seorang wanita menyambut kepulangan anaknya. Lebih tepatnya anak sambung. Putri, wanita itu
"Mas Dewa," gumam Shafana. "Saya tidak pernah menyukai orang lemah." Mencelos, mata Shafana berkaca-kaca. Mudah bagi Dewa untuk mengatakan itu, tapi tidak mungkin baginya untuk melawan Putri dan Rania. Di sini dilah yang salah. "Mas Dewa," panggil Shafana. Dia berdiri di depan suaminya. "Mas, mungkin besok aku harus pergi ke suatu tempat, aku akan terlambat ke perusahaan, aku---." "Tidak ada yang membutuhkanmu," katanya dingin. Kembali Shafana hanya bisa tersenyum. Setidaknya dia sudah meminta izin. "Aku anggap Mas Dewa sudah memberikan izin," kata Shafana dengan nada ceria. Roy yang mendorong kursi roda Dewa tersenyum, dia senang karena Shafana tidak menyerah pada Dewananda. ** ** Suara ketukan di pintu kamar Shafana terdengar, padahal saat itu dia sudah bersiap pergi ke kamar mandi untuk tidur. "Maaf, Non." Roy tersenyum setelah Shafana membuka pintu kamar. "Waktu itu, Tuan Muda meminta saya untuk mencarikan ini." Roy memberikan laptop lama Shafana. "Alhamdulillah, i
"Kenapa?" tanya Rania dengan wajah tidak berdosa. "Kamu marah gara-gara aku bilang seperti itu?" Shafana menghela napasnya. "Bukan begitu, Mbak. Tapi...." "Shafa. Jangan memperumit semuanya seperti kisah novel." Rania menatap tajam madunya. "Cepat atau lambat, akan ada orang yang tahu kalau kita sering bertemu, yang harus dirahsiakan itu pernikahan kamu sama Mas Dewa, bukan tentang hal lain." "Saya mengerti, Mbak. Saya paham." Shafana balas menatap Rania. "Saya hanya minta, tolong jangan sebut-ssbut nama ayah saya atau berita tidak benar itu. Ayah saya difitnah, ayah saya bukan orang jahat." Rania menarik ujung bibirnya. "Kalau memang itu benar, tidak perlu banyak bicara. Buktikan, jika tidak bisa, fokus saja pada hal lain, dalam waktu 3 bulan, kalau kamu tetap tidak bisa hamil, aku pastikan, ayahmu akan tetap masuk penjara." Shafana mengepalkan kedua tangannya, bagaimana mungkin dia bisa hamil kalau Dewa saja tidak pernah menyentuhnya. Pilihan terbaik untuk sekarang adalah me
Mobil Dewananda lebih dulu sampai di sebuah cafe yang letaknya agak jauh dari pusat kota. Tak berselang lama, taksi yang membawa Shafana juga sampai di sana. Kedua orang itu berada di luar cafe hampir bersamaan. Shafa yang menyadari itu menaruh jari telunjuknya di atas bibir, meminta Roy untuk tidak mengatakan apapun pada suaminya. Roy mengangguk, dia membiarkan Shafana melangkah lebih dulu, wanita muda itu terlihat masa bodoh dengan keberadaan Dewananda. "Tuan Muda, di sini ada Non Shafa." Pria itu mengangguk samar, tanpa diberitahu pun dia sudah tahu, bahkan hanya dengan mencium aromanya saja Dewa bisa mengenali istrinya. "Fokus pada tugasmu!" "Baik Tuan Muda." Di sebuah meja, Shafana duduk berhadapan, dengan suaminya. Meja mereka cukup jauh, tapi semuanya masih terlihat jelas. Baru satu menit, Shafana sudah menghabiskan satu gelas air, dia sangat gugup. Entah kenapa, dia merasa kalau Dewananda memperhatikannya dari balik kacamata yang pria itu pakai. "Fana B
Di sisi kamar, Shafana terdiam, menutup mulutnya dengan tangan. Sungguh, dia selalu berharap kalau perselingkuhan ini hanya pikiran buruknya saja. Dia tidak menyangka kalau Rania benar-benar melakukan itu dengan adik iparnya sendiri. Shafana berlari, wanita itu mencari keberadaan sang suami, mencari di mana suaminya saat ini. Paviliun, di belakang rumah, pria itu pasti di sana. Benar saja, Shafana melihat beberapa pelayann di luar paviliun. Bagaimana bisa, suaminya jarang ke sini, apa dia sengaja? Apa Dewa sudah tahu segalanya? "Non Shafa." Pelayan wanita itu mengangguk. Shafana menerobos masuk ke dalam, meskipun sudah dilarang, dia tetap melakukannya. Terdengar suara orang terjatuh, Shafana langsung mendorong orang-orang itu, melihat suaminya sudah tersungkur di lantai. "Mas Dewa," lirih Shafana. Ia buru-buru menarik suaminya, berusaha untuk membangunkan Dewananda. "Mas kenapa?" "Maaf, Non. Tuan Muda memang selalu latihan untuk berjalan di sini," kata seorang pelayan.
"Awh." Shafana tersungkur di lantai. Wanita itu menuduk sambil memegangi lututnya. Apa yang salah, kenapa Dewa harus mendorongnya seperti itu, dia juga tidak sengaja. "Jangan terlalu dekat dengan saya, Shafa!" kata Dewa. Suaranya terdengar sangat tegas namun sebetulnya dia berusaha keras melakukan itu. Gugup? Mungkin iya. Kepala wanita itu terangkat, menatap ke arah pintu, suaminya pergi begitu saja? Tidak bisakah dia pura-pura baik? Kakinya sakit, dia hanya ingin membantu Dewa membersihkan kekacauan yang dibuat istri pertamanya. Namun, malah dia yang dibuat seperti ini. "Astaghfirullah, sabar, Shafa." Ia beranjak, dengan kondisi terpincang-pincang, wanita itu menyelesaikan pekerjaannya. "Abis ngapain kamu!" ketus Rania pada Shafana. Wanita itu menghadang Shafana yang hendak membawa sprei kotor ke tempat cucian. "Budek?" "Maaf, Mbak." Shafana berlalu begitu saja. "Jangan berusaha menggoda Mas Dewa, Shafa! Sebaiknya kamu sadar posisi." Aneh, setelah mengetahui