Share

6. Kecurigaan Shafana

Shafana berhenti di depan suaminya. Napas yang masih terengah tidak membuat dia mengambil jeda saat berbicara.

"Mas jangan salah paham, aku enggak tahu kenapa Bang Nendra ada di sini. Aku hanya---."

"Apa yang berusaha kamu jelaskan, Shafa!" sarkas Dewa. "Kamu ingin menghina saya!"

"Apa?" kaget Shafana. Dia nampak sangat kebingungan saat ini. Namun, Dewa tidak memperdulikan hal itu, kursi rodanya sudah semakin menjauh.

"Astaghfirullah, aku lupa kalau Mas Dewa buta," lirih Shafana. "Tapi kenapa aku merasa kalau dia melihat semuanya. Ya ampun, aku terlalu ceroboh, sekarang aku harus gimana."

"Tuan Muda, Non Shafa sepertinya tidak sengaja, saya yakin Non Shafa tidak bermaksud menghina Tuan Muda, kata Roy. "Mungkin Non Shafa belum terbiasa."

"Tidak perlu menjelaskan hal tidak penting!"

Roy mengangguk, dia meminta maaf karena sudah membuat Dewa semakin tidak nyaman.

"Batalkan apa yang saya minta sebelumnya."

"Tapi, Tuan---."

"Saya bilang batalkan, Roy. Tidak perlu mencari barang rongsokan itu lagi."

Shafana menghela napasnya. Wanita itu bingung sekarang, dia tahu suaminya buta, tapi dia selalu merasa kalau mata tajam suaminya itu memperhatikan apapun yang terjadi di rumah itu.

Langkah gontai Shafana membawanya untuk kembali ke kamar. Namun, suara sesuatu yang aneh membuatnya melangkah ke arah lain.

"Apa mungkin ada orang lagi makan," batin Shafana. Namun, suara decapan dan obrolan itu seperti terus menariknya untuk mendekat.

"Ngapain kamu!" sarkas Rania tiba-tiba.

"Maaf, Mbak. Aku pikir--." Shafana menggantung kalimatnya ketika melihat perona bibir Rania sedikit belepotan. "Mbak itu--!"

"Pergi! Ini rumahku Shafa, jangan berkeliaran seenaknya, tempatmu hanya di kamar saja."

Shafana menghela napas, dia meninggalkan Rania. Meskipun agak heran karena di pantry masih ada Nendra. Namun, dia yakin kalau ini hanya pikiran buruknya saja, tidak mungkin mereka berani melakukan hal itu.

"Istighfar, Shafa!" Dia menenangkan dirinya sendiri.

Rania tersenyum penuh kelegaan, dia berbalik menghampiri Nendra dan memukul dadanya manja.

"Kamu itu makin nakal, Babe. Aku udah bilang jangan ke sini di jam-jam tertentu, kalau orang lain lihat bagaimana."

Wanita itu tersentak saat Nendra menarik pinggangnya dan menyesap bibirnya singkat.

"Aku sangat merindukanmu, Sayang."

"Ish, gombal. Jangan sibuk sama nafsu terus, kamu sudah janji akan membereskan ini semua secepatnya, Ndra. Aku enggak mau makin lama di sini, kamu juga tahu kan kalau kita tidak bisa meremehkan Dewa."

Pria itu membelai lembut wajah cantik Rania, dia tersenyum kemudian berbisik.

"Aku sudah mendesak para petinggi, besok, akan ada rapat darurat, mereka akan menunjuk CEO baru untuk sementara waktu."

Rania melebarkan senyum, hal yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tiba.

** ** **

Di dalam sebuah ruang rapat besar di perusahaan LULIOMS, semua petinggi di perusahaan tersebut duduk berjejer. Mereka menunggu kedatangan seseorang.

Tak berselang lama, Manendra masuk ke sana. Di susul oleh Nalani dan juga sekretaris Dewa sebelumnya.

Nendra menarik ujung bibirnya. Nalani nampak begitu percaya diri, dia sama sekali tidak tahu jika semua orang yang ada di ruangan itu sedang gelisah.

"Kenapa rapat darurat ini harus diadakan? Apa kalian tidak percaya pada kemampuan saya!"

Seseorang mengangkat tangannya. "Maaf, Bu. Saya tahu Bu Nalani sudah lebih dulu terjun ke dalam bisnis ini, tapi itu juga berkat suami Ibu, kami memerlukan pemimpin yang bisa diandalkan."

Semua orang di ruangan itu mulai berbisik-bisik.

"Saya juga sependapat, Bu. Pak Sanjaya sering sakit-sakitan, Pak Dewa juga..." Nampak orang itu agak ragu. "Maaf, Pak Dewa juga sekarang buta, sebagai pemilik saham di perusahaan ini, kami menginginkan sesuatu yang pasti. Menjadikan orang buta sebagai pemimpin perusahaan, hal itu membuat kami merasa direndahkan."

Manendra menarik ujung bibirnya. Namun, ekspresi itu tiba-tiba berubah kesal. "Maaf, Pak. Ucapan yang Anda katakan barusan sepertinya sangat tidak sopan, kakak saya memang buta, tapi kalian juga sudah sangat tahu kemampuannya."

Nalani memicing, dia menatap beberapa orang yang ada di sana. Tidak ada satupun dari mereka yang terlihat ada di pihaknya.

"Kenapa kita tidak menjadikan Pak Nendra sebagai CEO di perusahaan ini?"

Orang-orang itu mulai kembali berbisik.

"Saya setuju, lagipula adik Pak Dewa sudah lama menjabat sebagai direktur pemasaran."

"Iya betul, saya setuju dengan itu."

Lagi-lagi Manendra menarik ujung bibirnya, dia melirik orang pertama yang menyerukan untuk menunjuk dirinya. Kedua orang itu tersenyum aneh.

Tepat saat Nalani mengangkat tangan, ketika wanita itu ingin menggebrak meja, pintu ruang rapat dibuka dengan lebar. Sosok Dewananda, pria yang masuk dengan kursi rodanya itu membuat orang-orang diam menatap ke arahnya.

Nalani memejamkan kelopak matanya. Kedatangan Dewa hari ini membuatnya gelisah, dia begitu takut kalau orang-orang akan semakin memojokkan cucunya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
wahhh padahal si dewa udh mau nyari laptop nya Shafana kayanya itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status