Share

5. Salah Paham

Shafana sudah kembali ke rumah. Dia merasa hampa dan kosong karena kamar yang dia tempati nyatanya terasa begitu asing, tidak ada barang-barang miliknya.

“Apa? Kenapa kamu jual laptop aku Kak Naura?” Shafa terisak mendengar penuturan Naura lewat telepon. Tadi Shafa berniat meminta tolong untuk mengirimkan barang-barang pribadinya ke rumah Dewa, karena pernikahannya yang mendadak, Shafa belum sempat membawa semuanya.

Namun, baru berapa hari ia menikah, Naura sudah berani menjual barangnya tanpa ijin. Yang membuat Shafa menjadi kecewa adalah karena isi di laptop itu. Di dalamnya terdapat draft naskah cerita yang perlu ia lanjutkan. Memang dirinya tidak pernah memberitahukan pada siapa pun bahwa ia adalah penulis buku.

“Bukan begitu Bu...tapi-“ Shafa menelan kata-katanya. Fariha kini membela Naura dan justru berbalik mengatai Shafa perhitungan.

"Kakak kamu lagi butuh uang, situasinya mendesak, Shafa. Bukankah seharusnya kamu berterima kasih pada Naura. Kamu bisa masuk keluarga Wasupati juga karena kakak kamu. Jangan pelit, kami membesarkan kamu pakai biaya, bukan pakai omongan aja." Fariha terus memojokkan Shafana.

Dewa yang sempat mendengar seruan Shafa, meminta Roy untuk mendorong kursi rodanya ke luar. Matanya memicing melihat Shafa yang sedang terisak.

“Ada apa?” suara tajam Dewa, membuat Shafa mematikan telepon dan menggeleng pelan.

“Apa kamu bisu? Saya tanya ada apa?” teriakan Dewa membuat Rania yang tadi berada di ruang tengah ikut menghampiri mereka.

“Bukan Mas. Hanya saja, laptopku di jual Mbak Naura.”

Terdengar suara Rania tertawa mengejek setelah mendengar jawaban Shafa.

“Yang benar saja, kamu menangis cuma karena hal itu? Atau kamu memang sengaja mau mencari perhatian?” Rania menatap remeh madunya.

“Tidak Mbak, bukan seperti itu. Tapi, di dalam laptop saya ada file yang sangat penting. ” Shafa membantah ucapan Rania. Sudah cukup dirinya dituduh oleh keluarganya, ia tidak ingin Rania dan Dewa juga salah paham padanya.

“Roy segera belikan laptop baru untuknya." Roy mengangguk begitu mendengar perintah Dewa. Sedangkan Rania tampak tidak senang.

“Baru juga pindah ke sini beberapa hari. Sudah mulai mau morotin uang Mas Dewa, ” suara Rania terdengar begitu sinis.

"Tidak perlu Mas, aku bisa-“

“Lain kali tidak perlu membesarkan hal kecil seperti ini.” Tanpa menunggu ucapan Shafa selesai, Dewa meninggalkan Shafa dan kembali ke ruang kerjanya.

Setelah beberapa jam, pintu kamar Shafa diketuk dari luar.

"Maaf, Non." Roy tersenyum sambil membawa sebuah tas yang di dalamnya berisi kotak berukuran cukup besar. "Laptopnya sudah datang, Tuan Muda meminta saya untuk---."

Shafana merebut apa yang ada di tangan asisten suaminya. Meskipun dia masih sedih, Shafana tetap berterima kasih pada Roy.

Tanpa menunggu lama, Shafa langsung berjalan ke ruangan yang paling disukai Dewananda. Dia mengetuk pintu lantas masuk ke sana.

"Terima kasih untuk laptopnya, Mas." Shafa menaruh kotak itu di atas meja di samping suaminya. "Aku rasa apa yang aku katakan sudah cukup jelas. Aku bisa membeli laptop dengan uangku sendiri, aku hanya butuh file dalam laptop lama. Kalau masalahnya bisa diselesaikan dengan membeli laptop baru, aku juga tidak akan membiarkan Mas Dewa atau Mbak Rani berpikir kalau aku membesarkan masalah kecil."

Shafa berbalik, dia keluar dari ruang baca dengan langkah kaki yang dihentakkan cukup keras.

Dewa menarik ujung bibirnya, dia melirik kotak laptop di atas meja seraya membayangkan wajah kesal istri keduanya.

"Harga dirinya sangat penting," gumam Dewa. Dia rasa Shafana tidak seburuk yang dia pikirkan. Wanita itu tahu bagaimana cara untuk menghargai dirinya sendiri.

** **

Di dekat pantry, Shafana melihat semua barang yang ada di sana. Dia juga membuka kulkas, seketika ia tersenyum melihat banyak buah-buahan di dalam kulkas tersebut.

"Ini semua yang dikirim Oma, kan?" gumamnya pelan.

Dia mengambil apel dan wortel, pun mengambil jahe dan mempersiapkan semuanya.

Namun, ketika hendak mengambil gelas, Shafana kesusahan, dia sudah berjinjit tapi tidak sampai juga.

Seseorang dari belakang Shafana menghampirinya. Tanpa mengatakan apa-apa, dia berdiri di belakang Shafana dan mengambil gelas yang hendak diambil perempuan itu sampai tangannya menyentuh punggung tangan Shafana.

"Astaghfirullah!"

Shafana langsung berbalik, dia mundur menjauh tapi malah menyenggol sebuah piring hingga jatuh dan pecah.

"Si-siapa kamu," todong Shafana. "Kenapa kamu di sini?"

"Shuttt!" pria itu menaruh jari telunjuknya di atas bibir. "Sorry, aku enggak sengaja. Kamu pasti enggak nyaman kan? Aku cuma mau bantu kamu."

"Aku tanya kamu siapa," kesal Shafa. Dia terus saja menggosok punggung tangannya, mata Shafa mulai berkaca-kaca, entah itu disengaja atau tidak, dia tidak suka disentuh siapapun yang bukan mahramnya.

"Aku Nendra, Shafa. Adeknya Mas Dewa." Pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya.

"Tuan Muda," panggil Roy. "Sebaiknya kita pergi ke lantai atas saja."

Dewa menarik ujung bibirnya. Pria itu ternyata salah karena sempat berpikir kalau Shafana berbeda dari istri pertamanya. Ternyata, semua wanita sama saja.

"Mas Dewa," gumam Shafana. Dia nampak terkejut melihat suaminya berada tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Manendra hanya tersenyum, meski tangannya tidak dijabat Shafana, dia cukup puas karena kemungkinan besar, Roy akan menjelaskan situasi yang terjadi saat itu.

"Mas Dewa!" panggil Shafana. Dia berusaha mengejar, tapi lift di rumah itu sudah bergerak ke atas. Dia segara berlari menaiki anak tangga. "Mas Dewa!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
hemmmm adik nya si dewa bener2 badjingan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status