Sepulang dari hotel bersama dengan Manendra, Rania melihat suaminya berada tak jauh dari tempatnya saat ini.
"Mas Dewaaaa!" Rania memekik dan berlari, hendak memeluk Dewa yang sedang berada di halaman rumah. Namun kakinya malah tersandung dan membuatnya jatuh. "Awhhh!" Shafa melotot, dia buru-buru menghampiri Rania yang tersungkur di rerumputan. "Mbak, Mbak enggak papa 'kan?" tanya Shafa. Dia berniat membantu Rania untuk berdiri akan tetapi istri pertama Dewa itu malah mendorong kedua bahu Shafa sampai Shafa terduduk di atas rumput. "Dasar monyet. Enggak usah sentuh-sentuh, aku jijik sama kamu. Kamu itu cuma pelakor," bisik Rania di depan wajah Shafa, tangan kanannya mencubit dan memelintir lengan Shafa. Shafa merasa sedih diperlakukan seperti itu, namun tidak dapat berbuat apa pun. Matanya melirik ke arah Dewa yang menunjukan wajah datar. Shafa menghela nafas. Baru dua hari pernikahannya, namun dirinya sudah diperlakukan begitu buruk oleh suaminya dan istri pertama suaminya. Tangan Rania bahkan kini sudah mengibas-ngibaskan dan mengusir Shafa dari sana. Shafa kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. "Mas Dewa, kamu lihat, istri baru kamu itu kayaknya kurang sopan santun, aku maklum karena dia orang kalangan menengah ke bawah." Rania mencoba untuk menyentuh wajah suaminya tapi Dewa berpaling. "Mas, aku tadi jatoh gara-gara Shafa, dia pake baju kepanjangan, keserimpet kakiku jadinya. Mas tahu kan kalau orang-orang kayak dia itu kebanyakan enggak bisa ditebak, kalau rumah ini tiba-tiba meledak gimana?" "Aku masih ada urusan, Rania." Dewa memberikan isyarat pada asistennya, Roy ada di sana pun mengambil alih kursi roda Dewananda dari Rania. "Mas tunggu!" Rania menahan kepergian sang suami. Menatap suaminya dengan wajah sedih. "Kamu tahu kan aku sayang banget sama kamu, tolong lebih waspada sama dia, Mas. Kamu juga belum kenal dia, aku takut dia manfaatin kondisi kamu." Pria itu sama sekali tidak menjawab, dia dan Roy pergi meninggalkan Rania yang sekarang sedang tersenyum penuh arti ke arah mereka. ** ** ** "Tuan Muda, sepertinya Nyonya Muda tidak menyukai Non Shafa, apa tidak berbahaya membiarkan mereka tinggal satu rumah?" Dewa menarik ujung bibirnya. "Biarkan mereka, Roy." Asisten Dewa itu mengerutkan kening. "Tuan, mau membiarkan Nyonya Muda sama Non Shafa bersaing?" Kedua bahu Dewa terangkat, baik Shafa ataupun Rania, mereka ada di posisi yang sama, tidak berarti untuknya. Perselingkuhan Rania telah membuat Dewa tidak percaya akan cinta lagi, dan baginya semua wanita sama saja. "Bagimana kondisi ayah, Roy?" "Alhamdulillah sudah membaik, Tuan Muda. Ayah Anda akan segera kembali ke perusahaan dalam beberapa minggu." "Obat ayah sudah kamu urus 'kan?" tanya Dewa lagi. "Sudah, Tuan Muda." "Tolong siapkan mobil, Roy!" ** ** "Dewa!" panggil Nalani dengan suara yang sumringahnya. Kening Dewa mengerut samar, dia mencoba untuk mencari jawaban dari keherananya "Oma ingin mengantar Anda dan Non Shafa ke rumah sakit, Tuan." Roy berbisik. "Siapa yang mengizinkan wanita itu ikut?" "Oma!" sahut Nalani ketus. "Oma yang ngajak Shafa. Lagian, dia juga butuh tahu siapa mertuanya." Nalani tersenyum ketika melihat Shafa keluar dari rumah, dia menarik tangan cucu menantunya dan menuntun Shafa untuk masuk ke mobil lebih dulu. Dewa hanya bisa mendesah pelan, dia tidak bisa melawan Nalani. "Saya tidak perlu dikasihani," kata Dewa seolah tahu isi kepala Shafa. Wanita itu pun menoleh, menatap suaminya sekilas kemudian berpaling ke arah lain. ** ** "Pergilah!" titah Oma pada Roy yang hendak mendorong kursi roda Dewa. "Biarkan istrinya yang mengurus dia." "Baik, Oma." "Ayok!" ajak Oma seraya mengusap lengan Shafa. Meskipun agak takut suaminya akan memarahi dia saat mereka kembali ke rumah, Shafa tetap menurut. Pintu geser terbuka, ruangan yang cukup dingin, dengan bau obat menyeruak. Seseorang yang terbaring di atas tempat tidur menoleh ke arah mereka. Perasaan aneh menyelimuti hati Shafana, kedua tangannya semakin mencengkram erat pegangan kursi roda sang suami. "Oma!" Rania yang ada di ruangan itu menyapa. "Mas Dewa enggak bilang mau jenguk ayah." Dia melirik tajam Shafana, membuat istri kedua Dewa menundukkan pandangan. "Keluarlah!" titah Nalani. "Ibu," gumam Putri pelan. "Kita bukan tamu, boleh kok menjenguk seperti ini." "Tolong keluar saja, Tante." Dewa bertitah. Sanjaya, ayah dari Dewa tersenyum. Dia melirik Putri, menggerakan dagunya sehingga Putri tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku akan menjaga ayah, Bu." Rania tersenyum. "Kamu juga keluar!" titah Nalani pada Rania. "Oma--." "Sudah!" Putri mengusap lengan Rania. "Kita keluar dulu, mungkin ada hal penting yang ingin mereka bicarakan." "Sanjaya, ini Shafa. Menantu kamu," kata Nalani memperkenalkan. Shafana mendekati pria itu, dia meraih tangan Sanjaya, hendak memberikan salam yang baik namun Sanjaya malah menarik tangannya dan mengusap kepalanya lembut. "Jadi ini istri baru Dewa. Sayang banget dia tidak bisa melihat wajahmu." Dewa masih tanpa ekspresi. "Shafa gadis baik, dia cantik dan semuanya eksklusif, yang ada di tubuhnya hanya untuk Dewa." Nalani sinis. "Ya meskipun begitu untuk apa, Dewa tetap tidak bisa menikmatinya." "Tu-tuan." Shafana gugup. "Panggil ayah saja," titah Sanjaya. Shafana mengangguk. Sekarang dia mulai menyadari kenapa suaminya memiliki sipat diktator. Aura ayah dan anak ini seperti pinang dibelah dua. "Ada apa, kamu mau bilang apa?" "Maaf Tu... Ayah. Mas Dewa memang tidak bisa melihat saya, tapi saya bisa melihatnya. Saya yakin, cepat atau lambat, Mas Dewa akan sembuh." Hening, semua orang di ruangan itu terdiam, tapi, beberapa saat kemudian, Sanjaya tertawa. Shafa terlihat bingung tapi Nalani ikut tersenyum. "Ini juga cukup bagus, Dewa! Ayah suka istri keduamu." Pria yang mengerti maksud ayahnya itu sama sekali tidak bereaksi. "Tolong tinggalkan kami," kata Dewa. Oma menatap Shafana dan mengangguk memberikan isyarat. "Apa yang mau kamu sampaikan, Dewa!" todong Sanjaya. "Ayah sudah pernah mengatakan kalau aku boleh melakukan apapun yang aku mau." Wajah Sanjaya berubah semakin serius. Melihat nada bicara Dewa, anaknya memang sedang dalam mode bossy yang tidak bisa dibantah siapapun. "Jangan ikut campur urusanku, apapun yang terjadi, Ayah tidak boleh membantu Manendra." Pria yang terbaring menarik ujung bibirnya. "Lakukan apapun yang kamu mau, Dewa!"Shafana sudah kembali ke rumah. Dia merasa hampa dan kosong karena kamar yang dia tempati nyatanya terasa begitu asing, tidak ada barang-barang miliknya. “Apa? Kenapa kamu jual laptop aku Kak Naura?” Shafa terisak mendengar penuturan Naura lewat telepon. Tadi Shafa berniat meminta tolong untuk mengirimkan barang-barang pribadinya ke rumah Dewa, karena pernikahannya yang mendadak, Shafa belum sempat membawa semuanya. Namun, baru berapa hari ia menikah, Naura sudah berani menjual barangnya tanpa ijin. Yang membuat Shafa menjadi kecewa adalah karena isi di laptop itu. Di dalamnya terdapat draft naskah cerita yang perlu ia lanjutkan. Memang dirinya tidak pernah memberitahukan pada siapa pun bahwa ia adalah penulis buku. “Bukan begitu Bu...tapi-“ Shafa menelan kata-katanya. Fariha kini membela Naura dan justru berbalik mengatai Shafa perhitungan. "Kakak kamu lagi butuh uang, situasinya mendesak, Shafa. Bukankah seharusnya kamu berterima kasih pada Naura. Kamu bisa masuk keluarga
Shafana berhenti di depan suaminya. Napas yang masih terengah tidak membuat dia mengambil jeda saat berbicara. "Mas jangan salah paham, aku enggak tahu kenapa Bang Nendra ada di sini. Aku hanya---." "Apa yang berusaha kamu jelaskan, Shafa!" sarkas Dewa. "Kamu ingin menghina saya!" "Apa?" kaget Shafana. Dia nampak sangat kebingungan saat ini. Namun, Dewa tidak memperdulikan hal itu, kursi rodanya sudah semakin menjauh. "Astaghfirullah, aku lupa kalau Mas Dewa buta," lirih Shafana. "Tapi kenapa aku merasa kalau dia melihat semuanya. Ya ampun, aku terlalu ceroboh, sekarang aku harus gimana." "Tuan Muda, Non Shafa sepertinya tidak sengaja, saya yakin Non Shafa tidak bermaksud menghina Tuan Muda, kata Roy. "Mungkin Non Shafa belum terbiasa." "Tidak perlu menjelaskan hal tidak penting!" Roy mengangguk, dia meminta maaf karena sudah membuat Dewa semakin tidak nyaman. "Batalkan apa yang saya minta sebelumnya." "Tapi, Tuan---." "Saya bilang batalkan, Roy. Tidak perlu men
"Saya mendapatkan e-mail untuk rapat hari ini," kata Dewa. Ia menggerakkan tangannya agar Roy menyingkir dulu. "Maaf Pak Dewa, kehadiran Anda di sini tidak akan bisa merubah apapun," kata salah satu petinggi. Nalani mencengkram kuat kepalan tangannya. Rapat ini pasti sudah diatur seseorang, tidak mungkin mereka berbondong-bondong menyerukan hal yang sama jika tidak membuat rencana sebelumnya. "Jika kalian berpikir kalau orang disabilitas tidak bisa memimpin perusahaan, saya rasa itu tidak adil." Dewa tersenyum. Mereka semua kembali terdiam. Tidak ada yang berani menyahut ucapan Dewananda. "Roy!" panggil Dewa. Pria itu mengangguk, dia mengambil remot kecil untuk menghidupkan proyektor di ruangan itu. "Ini adalah data kenaikan harga saham setelah Pak Dewa mengalami kecelakaan, sempat turun dua persen, tapi setelah dua bulan, harga saham kembali naik tiga setengah persen." Orang-orang yang memperhatikan layar monitor itu kembali saling berbisik. "Untuk penjualan,
"Fokus pada pekerjaanmu!" Mendengar kalimat itu, Shafana langsung diam. Masih menatap Dewa dengan tatapan bingung. "Pak tapi, ini masalah penting, saya—." "Diam atau keluar dari ruangan saya!" Seketika itu juga Shafana bungkam. Masalah saat itu saja, Dewa menghindarinya. Sekarang pun sama. Saat menemani Dewa, Shafana melihat Roy keluar masuk ke ruangan itu. Dia dibiarkan diam, tidak melakukan apapun. Melihat waktu luang, Shafana menggunakan laptopnya untuk mencari tahu tugas dan perkerjaan apa yang seharusnya dilakukan seorang sekretaris. Ketika berbincang, Roy memperhatikan Shafana sekilas. Dia tersenyum melihat kesungguhan perempuan itu. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian Dewa, dia sadar betul jika asisten pribadinya memiliki ketertarikan yang tidak bisa dia mengerti. "Sudahlah! Kamu bisa keluar," titah Dewa pada Roy. Tepat setelah pintu tertutup, dia melemparkan dokumen ke meja Shafana. "Bacakan!" "Apa?" tanya Shafana, dia sempat terbengong tapi kemud
Perempuan itu berlari ketakutan. Ia keluar dan bersembunyi di balik pintu ruang kerja suaminya. Berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau Dewa hanya sedang kesal saja. Belum dua menit dia menghirup udara yang terbebas dari Dewa, perempuan itu mendengar suara barang pecah dari dalam ruangan. "Pak Dewa," kaget Shafana. Dia langusng berlari, terkejut karena gelas yang sebelumnya dia berikan pecah, yang lebih parah, tangan Dewa berdarah. "Inalillahi, Pak Dewa." Karena terburu-buru, ia menarik dasi Dewa, melilitkannya ke tangan kanan sang suami. "Apa yang kau lakukan!" "Maaf, Pak. Bentar aja tahan marahnya, tangan Pak Dewa luka, kalau keluar darah terus bahaya. Tunggu sebentar, saya cari P3K dulu. "Panggil Roy." Tidak dihiraukan. Dewa menghela napasnya. Dia sendiri yang menekan panggilan, mata pria itu memicing melihat Shafana yang menurutnya sangat bodoh. Ruangan ini miliknya, Shafana mau mencari kotak P3K sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena memang
Selama perjalanan pulang, Shafana tidak berani lagi menatap Dewa atau berdekatan dengannya. Wanita itu tidak bisa mendekati suaminya karena jantungnya masih berdebar kencang. Dewa sendiri terlihat acuh tak acuh seolah ciuman itu tidak berarti sama sekali. Andai dia tahu bagaimana gelisahnya Shafana saat Ini, Dewa pasti akan menyesal karena sudah memarahi istrinya setelah mencuri ciuman pertama sang istri.Pikiran Shafana melayang ke mana-mana. Situasi ini, jika dia jatuh cinta kepada Dewananda, dia akan menjadi orang ketiga, dia mungkin tidak akan memafkan dirinya sendiri kalau sampai menjadi perusak hubungan Dewa dan istri pertamanya. "Tuan Muda, Non Shafa, kita sudah sampai," kata Roy. Shafana terperanjat, dia langsung turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah. Roy tersenyum, hal itu membuat Dewa menatap sinis dirinya. "Fokus pada tugasmu, Roy.""Baik Tuan Muda.""Dewa."Seorang wanita menyambut kepulangan anaknya. Lebih tepatnya anak sambung. Putri, wanita itu
"Mas Dewa," gumam Shafana. "Saya tidak pernah menyukai orang lemah." Mencelos, mata Shafana berkaca-kaca. Mudah bagi Dewa untuk mengatakan itu, tapi tidak mungkin baginya untuk melawan Putri dan Rania. Di sini dilah yang salah. "Mas Dewa," panggil Shafana. Dia berdiri di depan suaminya. "Mas, mungkin besok aku harus pergi ke suatu tempat, aku akan terlambat ke perusahaan, aku---." "Tidak ada yang membutuhkanmu," katanya dingin. Kembali Shafana hanya bisa tersenyum. Setidaknya dia sudah meminta izin. "Aku anggap Mas Dewa sudah memberikan izin," kata Shafana dengan nada ceria. Roy yang mendorong kursi roda Dewa tersenyum, dia senang karena Shafana tidak menyerah pada Dewananda. ** ** Suara ketukan di pintu kamar Shafana terdengar, padahal saat itu dia sudah bersiap pergi ke kamar mandi untuk tidur. "Maaf, Non." Roy tersenyum setelah Shafana membuka pintu kamar. "Waktu itu, Tuan Muda meminta saya untuk mencarikan ini." Roy memberikan laptop lama Shafana. "Alhamdulillah, i
"Kenapa?" tanya Rania dengan wajah tidak berdosa. "Kamu marah gara-gara aku bilang seperti itu?" Shafana menghela napasnya. "Bukan begitu, Mbak. Tapi...." "Shafa. Jangan memperumit semuanya seperti kisah novel." Rania menatap tajam madunya. "Cepat atau lambat, akan ada orang yang tahu kalau kita sering bertemu, yang harus dirahsiakan itu pernikahan kamu sama Mas Dewa, bukan tentang hal lain." "Saya mengerti, Mbak. Saya paham." Shafana balas menatap Rania. "Saya hanya minta, tolong jangan sebut-ssbut nama ayah saya atau berita tidak benar itu. Ayah saya difitnah, ayah saya bukan orang jahat." Rania menarik ujung bibirnya. "Kalau memang itu benar, tidak perlu banyak bicara. Buktikan, jika tidak bisa, fokus saja pada hal lain, dalam waktu 3 bulan, kalau kamu tetap tidak bisa hamil, aku pastikan, ayahmu akan tetap masuk penjara." Shafana mengepalkan kedua tangannya, bagaimana mungkin dia bisa hamil kalau Dewa saja tidak pernah menyentuhnya. Pilihan terbaik untuk sekarang adalah me