Pagi ini, Shafa nampak begitu gugup dan tidak tenang. Pasalnya hari ini dia akan dipertemukan dengan calon suaminya yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dan mereka akan langsung menikah. Shafa bertanya-tanya, akankah calon suaminya adalah seorang pria tua. Memikirkan hal itu, Shafa rasanya ingin kabur. Namun, tentu saja dirinya tidak tega melakukan hal itu karena sudah bisa dipastikan ayahnya akan langsung segera dijebloskan ke penjara.
Shafa hanya bisa berdoa dalam hati, bahwa siapa pun calon suaminya nanti adalah pria yang baik. “Shafa, kita sudah sampai,” Malik menepuk lembut tangan Shafa, membuatnya tersadar dan segera ikut turun dari mobil jemputan yang diberikan oleh Nalani untuk keluarganya pagi tadi. Mata Shafa membulat tak percaya begitu melihat bangunan di depannya. Rumah yang tampak megah dan elegan, menunjukan status sosial calon suaminya yang begitu kaya dan berkuasa. Shafa menelan ludah dengan berat, namun berusaha untuk tampak tenang. Wajah Naura, kakak tirinya terlihat begitu bahagia sejak pagi, karena tahu bahwa Shafa lah yang diminta menggantikan dirinya. Meskipun pria yang akan dinikahi adalah pria kaya, namun status istri kedua dan cacat membuat Naura merasa enggan dan meminta Fariha untuk menumbalkan Shafa. Begitu masuk ke dalam ruang tengah, mereka semakin terkagum. Interior dan furniture mewah dapat dilihat di setiap sudut rumah. Para pelayan menyapa mereka dengan penuh keramahan. “Kalian sudah sampai? Selamat datang di kediaman Dewananda,” sambut Nalani. Suaranya terdengar begitu lembut dan ramah, namun juga terdengar berwibawa. Malik dan Fariha langsung begitu rendah diri dihadapannya dan membungkuk hormat. “Mari kita dukuk!” Mereka kemudian duduk di ruang makan yang sudah tersaji begitu banyak hidangan. “Jadi, kamu adalah Shafana?” tanya Nalani. Shafa mengangguk dan terlihat senyum lembut dari Nalani. Tak lama kemudian terdengar suara roda memasuki ruangan. Mata Shafa langsung terpaku pada sosok pria yang duduk di kursi roda itu. Seorang pria yang terlihat begitu tampan dan berwibawa. Rahangnya yang tegas dan sorot mata yang tajam menambah pesona pria itu. Shafa bahkan tak percaya jika pria itu buta, jika tidak diberitahu oleh keluarganya. Sayangnya meskipun pria itu nampak sempurna, Shafa merasa aura pria itu begitu mengintimidasi dirinya. Dibelakang pria itu, nampak seorang wanita cantik dan elegan yang mendorong kursi roda. Wajahnya menunjukan raut tidak suka begitu bertatapan dengan Shafa. “Ini adalah Dewa. Dewa ini adalah Shafa, calon istrimu.” Nalani mengenalkan. Dewa nampak diam tidak menunjukan ekspresi apa pun. “Tinggalkan kami. Aku ingin berbicara berdua saja dengannya.” Suara berat Dewa membuat semua orang di ruangan menahan nafas. Hanya Nalani yang akhirnya berani membuka suara, “Baik, kalau begitu mari kita keluar dulu. Mungkin Dewa ingin mengenal Shafa sebelum menikah sebentar lagi.” Satu per satu dari mereka meninggalkan ruangan. Membuat Shafa semakin merasa cemas karena kini hanya tinggal dirinya bersama dengan Dewa. “Dengar, saya tahu kamu dijual oleh keluargamu untuk mengganti rugi karena ayahmu telah menggelapkan uang perusahaan. Jadi jangan berharap banyak pada pernikahan ini!” Suara tegas Dewa awalnya membuat Shafa takut, namun mendengar tuduhan pria itu pada ayahnya, membuat Shafa merasa tidak senang. “Ayahku tidak menggelapkan uang perusahaan. Ia dijebak dan seharusnya kalian dapat mengeceknya dengan benar,” tegas Shafa. Dewa menarik sudut bibirnya. Baginya, Shafa cukup menarik, karena seumur hidup Dewa tidak ada yang berani membantah ucapannya. Melihat Dewa yang nampak diam, membuat Shafa merasa gugup. Hanya saja dirinya tidak bisa membiarkan orang berpikir bahwa ayahnya melakukan kejahatan itu, di saat sebenarnya tidak. "Saya tidak perduli. Dan mulai sekarang kamu harus patuh pada setiap perkataan saya.” Tanpa bisa dibantah, Dewa menekankan setiap perkataannya pada Shafa. Keduanya kemudian dipanggil untuk keluar karena penghulu yang sudah datang. Dalam sekejap acara pernikahan berlangsung. Hanya ijab kabul biasa tanpa pesta atau apa pun itu. Shafana menitkan air mata, dia tidak menyangka kalau hidupnya akan menjadi seperti ini, bersuamikan pria yang sudah memiliki istri, dengan pernikahan seperti dia sudah melakukan aib. Shafana tak ubahnya seperti seorang simpanan yang menikah karena hamil duluan, dia tidak menyukai hal itu tapi dia juga tidak berdaya. Matanya menatap nanar ke arah Fariha yang memeluk Naura, ibunya nampak begitu bahagia setelah menjadikannya korban. ** ** ** Di dalam kamar pengantin, Shafana terlihat begitu gugup dan takut, padahal, dia tahu suaminya tidak bisa berjalan dan tidak bisa melihat. Selain itu, Dewa juga nampak tidak tertarik padanya. Jadi, seharusnya selama dia diam, Dewa pasti tidak akan melakukan apa-apa. "Shafana!" "Iya, Ma-s," jawab perempuan itu gugup. Ekspresi dingin yang ditunjukkan Dewa padanya membuat bulu kuduk Shafana merinding. "Dalam situasi dan kondisi apapun, jangan pernah membuka cadarmu di depan saya, " kata Dewa dengan suara baritonnya. "Saya tahu saya buta, tidak usah bertanya, lakukan saja apa yang saya minta. Jangan menyentuh saya atau barang-barang saya!" "Satu lagi," kata Dewa. "Jangan mengadukan hal ini kepada siapapun.” "Baik, Mas." Shafana mengangguk setuju. Malam itu, Shafana benar-benar tidak disentuh oleh Dewa. Awalnya dia tidur di sofa, tapi karena Dewa harus tidur dalam ruangan gelap, Shafa yang takut menimbulkan perdebatan memilih untuk pergi ke kamar mandi dan tidur di dalam bathtub, dalam keadaan lampu menyala.Saat pagi menjelang, Shafa segera membantu pelayan untuk menyiapkan makanan. Sebelumnya ia berusaha membantu Dewa, namun suaminya justru malah mengusirnya dari kamar dan tidak mau menerima semua bantuan yang Shafa berikan. Tak lama Dewa sudah tiba di ruang makan. Shafa cukup kagum, karena merasa Dewa sangat mandiri meskipun dirinya buta. Dewa berdehem, membuat para pelayan merasa kebingungan. “Dimana Rania?” Shafa sendiri sejak pagi tidak melihat kehadiran istri pertama suaminya itu, sehingga dia hanya bisa diam dan tidak menjawab pertanyaan Dewa. “Maaf Tuan, Saya tidak tahu. Saya belum melihat Nyonya sejak pagi tadi." Terdengar nada gugup di suara pelayan yang menjawab Dewa. Raut wajah Dewa semakin berubah menjadi dingin setelah mendengar jawaban itu. Dewa mengambil ponselnya dari saku dan menekan sebuah tombol panggilan cepat. "Mas Dewa," sahut orang di sebrang telepon. Napas Rania terengah-engah, seperti baru menyelesaikan lari marathon 10 km. "Kamu dimana, R
Sepulang dari hotel bersama dengan Manendra, Rania melihat suaminya berada tak jauh dari tempatnya saat ini. "Mas Dewaaaa!" Rania memekik dan berlari, hendak memeluk Dewa yang sedang berada di halaman rumah. Namun kakinya malah tersandung dan membuatnya jatuh. "Awhhh!" Shafa melotot, dia buru-buru menghampiri Rania yang tersungkur di rerumputan. "Mbak, Mbak enggak papa 'kan?" tanya Shafa. Dia berniat membantu Rania untuk berdiri akan tetapi istri pertama Dewa itu malah mendorong kedua bahu Shafa sampai Shafa terduduk di atas rumput. "Dasar monyet. Enggak usah sentuh-sentuh, aku jijik sama kamu. Kamu itu cuma pelakor," bisik Rania di depan wajah Shafa, tangan kanannya mencubit dan memelintir lengan Shafa. Shafa merasa sedih diperlakukan seperti itu, namun tidak dapat berbuat apa pun. Matanya melirik ke arah Dewa yang menunjukan wajah datar. Shafa menghela nafas. Baru dua hari pernikahannya, namun dirinya sudah diperlakukan begitu buruk oleh suaminya dan istri pertama
Shafana sudah kembali ke rumah. Dia merasa hampa dan kosong karena kamar yang dia tempati nyatanya terasa begitu asing, tidak ada barang-barang miliknya. “Apa? Kenapa kamu jual laptop aku Kak Naura?” Shafa terisak mendengar penuturan Naura lewat telepon. Tadi Shafa berniat meminta tolong untuk mengirimkan barang-barang pribadinya ke rumah Dewa, karena pernikahannya yang mendadak, Shafa belum sempat membawa semuanya. Namun, baru berapa hari ia menikah, Naura sudah berani menjual barangnya tanpa ijin. Yang membuat Shafa menjadi kecewa adalah karena isi di laptop itu. Di dalamnya terdapat draft naskah cerita yang perlu ia lanjutkan. Memang dirinya tidak pernah memberitahukan pada siapa pun bahwa ia adalah penulis buku. “Bukan begitu Bu...tapi-“ Shafa menelan kata-katanya. Fariha kini membela Naura dan justru berbalik mengatai Shafa perhitungan. "Kakak kamu lagi butuh uang, situasinya mendesak, Shafa. Bukankah seharusnya kamu berterima kasih pada Naura. Kamu bisa masuk keluarga
Shafana berhenti di depan suaminya. Napas yang masih terengah tidak membuat dia mengambil jeda saat berbicara. "Mas jangan salah paham, aku enggak tahu kenapa Bang Nendra ada di sini. Aku hanya---." "Apa yang berusaha kamu jelaskan, Shafa!" sarkas Dewa. "Kamu ingin menghina saya!" "Apa?" kaget Shafana. Dia nampak sangat kebingungan saat ini. Namun, Dewa tidak memperdulikan hal itu, kursi rodanya sudah semakin menjauh. "Astaghfirullah, aku lupa kalau Mas Dewa buta," lirih Shafana. "Tapi kenapa aku merasa kalau dia melihat semuanya. Ya ampun, aku terlalu ceroboh, sekarang aku harus gimana." "Tuan Muda, Non Shafa sepertinya tidak sengaja, saya yakin Non Shafa tidak bermaksud menghina Tuan Muda, kata Roy. "Mungkin Non Shafa belum terbiasa." "Tidak perlu menjelaskan hal tidak penting!" Roy mengangguk, dia meminta maaf karena sudah membuat Dewa semakin tidak nyaman. "Batalkan apa yang saya minta sebelumnya." "Tapi, Tuan---." "Saya bilang batalkan, Roy. Tidak perlu men
"Saya mendapatkan e-mail untuk rapat hari ini," kata Dewa. Ia menggerakkan tangannya agar Roy menyingkir dulu. "Maaf Pak Dewa, kehadiran Anda di sini tidak akan bisa merubah apapun," kata salah satu petinggi. Nalani mencengkram kuat kepalan tangannya. Rapat ini pasti sudah diatur seseorang, tidak mungkin mereka berbondong-bondong menyerukan hal yang sama jika tidak membuat rencana sebelumnya. "Jika kalian berpikir kalau orang disabilitas tidak bisa memimpin perusahaan, saya rasa itu tidak adil." Dewa tersenyum. Mereka semua kembali terdiam. Tidak ada yang berani menyahut ucapan Dewananda. "Roy!" panggil Dewa. Pria itu mengangguk, dia mengambil remot kecil untuk menghidupkan proyektor di ruangan itu. "Ini adalah data kenaikan harga saham setelah Pak Dewa mengalami kecelakaan, sempat turun dua persen, tapi setelah dua bulan, harga saham kembali naik tiga setengah persen." Orang-orang yang memperhatikan layar monitor itu kembali saling berbisik. "Untuk penjualan,
"Fokus pada pekerjaanmu!" Mendengar kalimat itu, Shafana langsung diam. Masih menatap Dewa dengan tatapan bingung. "Pak tapi, ini masalah penting, saya—." "Diam atau keluar dari ruangan saya!" Seketika itu juga Shafana bungkam. Masalah saat itu saja, Dewa menghindarinya. Sekarang pun sama. Saat menemani Dewa, Shafana melihat Roy keluar masuk ke ruangan itu. Dia dibiarkan diam, tidak melakukan apapun. Melihat waktu luang, Shafana menggunakan laptopnya untuk mencari tahu tugas dan perkerjaan apa yang seharusnya dilakukan seorang sekretaris. Ketika berbincang, Roy memperhatikan Shafana sekilas. Dia tersenyum melihat kesungguhan perempuan itu. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian Dewa, dia sadar betul jika asisten pribadinya memiliki ketertarikan yang tidak bisa dia mengerti. "Sudahlah! Kamu bisa keluar," titah Dewa pada Roy. Tepat setelah pintu tertutup, dia melemparkan dokumen ke meja Shafana. "Bacakan!" "Apa?" tanya Shafana, dia sempat terbengong tapi kemud
Perempuan itu berlari ketakutan. Ia keluar dan bersembunyi di balik pintu ruang kerja suaminya. Berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau Dewa hanya sedang kesal saja. Belum dua menit dia menghirup udara yang terbebas dari Dewa, perempuan itu mendengar suara barang pecah dari dalam ruangan. "Pak Dewa," kaget Shafana. Dia langusng berlari, terkejut karena gelas yang sebelumnya dia berikan pecah, yang lebih parah, tangan Dewa berdarah. "Inalillahi, Pak Dewa." Karena terburu-buru, ia menarik dasi Dewa, melilitkannya ke tangan kanan sang suami. "Apa yang kau lakukan!" "Maaf, Pak. Bentar aja tahan marahnya, tangan Pak Dewa luka, kalau keluar darah terus bahaya. Tunggu sebentar, saya cari P3K dulu. "Panggil Roy." Tidak dihiraukan. Dewa menghela napasnya. Dia sendiri yang menekan panggilan, mata pria itu memicing melihat Shafana yang menurutnya sangat bodoh. Ruangan ini miliknya, Shafana mau mencari kotak P3K sampai lebaran monyet pun tidak akan ketemu karena memang
Selama perjalanan pulang, Shafana tidak berani lagi menatap Dewa atau berdekatan dengannya. Wanita itu tidak bisa mendekati suaminya karena jantungnya masih berdebar kencang. Dewa sendiri terlihat acuh tak acuh seolah ciuman itu tidak berarti sama sekali. Andai dia tahu bagaimana gelisahnya Shafana saat Ini, Dewa pasti akan menyesal karena sudah memarahi istrinya setelah mencuri ciuman pertama sang istri.Pikiran Shafana melayang ke mana-mana. Situasi ini, jika dia jatuh cinta kepada Dewananda, dia akan menjadi orang ketiga, dia mungkin tidak akan memafkan dirinya sendiri kalau sampai menjadi perusak hubungan Dewa dan istri pertamanya. "Tuan Muda, Non Shafa, kita sudah sampai," kata Roy. Shafana terperanjat, dia langsung turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah. Roy tersenyum, hal itu membuat Dewa menatap sinis dirinya. "Fokus pada tugasmu, Roy.""Baik Tuan Muda.""Dewa."Seorang wanita menyambut kepulangan anaknya. Lebih tepatnya anak sambung. Putri, wanita itu
Dewa tanpa sadar menarik ujung bibirnya ketika melihat Shafana yang tertidur bersandar di bahunya. Pria itu membetulkan duduknya agar Shafana lebih nyaman. Roy yang melihatnya dari depan tersenyum tipis. Plak! Hening, keromantisan yang sebelumnya terasa berubah menjadi kepanikan untuk Roy. Dia ingin sekali pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat. "Kenapa banyak nyamuk," gumam Shafana dalam tidurnya. Kelopak mata Dewa terpejam, pria itu menurunkan tangan Shafana dari wajahnya, tapi hal yang lebih gila terjadi, wanita itu merubah posisinya, dia meringkuk, menjadikan paha Dewa sebagai bantalan. Kedua tangan Dewa mengepal, dia berusaha untuk tetap baik-baik saja ketika wajah Shafana menyentuh area yang seharusnya tidak dia sentuh. Dewa memalingkan wajah, menggigit bibir dalamnya gelisah. Roy kembali tersenyum, wajah Shafana yang menghadap perut Dewa pasti membuat Dewa tidak nyaman. ** ** Di dalam kamar mandi, Dewa terdiam cukup lama di bawah guyuran air dingin. P
Dewa duduk di kursi kerjanya, matanya tak bisa lepas dari pintu yang masih tertutup. Apa yang dia harapkan sebetulnya, Shafana? Namun, harapan itu pupus seiring waktu berlalu dan kursi di sebelahnya masih kosong. Jari-jarinya drumming di atas meja, sebuah tanda kegelisahannya yang tak bisa dia sembunyikan. Meski berusaha keras untuk fokus pada dokumen di depannya, pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan aneh yang sedang dilakukan Bima dengan istrinya. "Aku pasti sudah gila," gumam Dewa lantas menggelengkan kepalanya. Ponsel di sakunya bergetar, isyarat panggilan masuk, tapi bukan dari Shafana. Dewa menghela napas, menahan diri untuk tidak meluapkan kegelisahannya. Baru saja dia hendak menghubungi Roy, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Shafana muncul, napasnya terengah-engah. "Maaf, Pak Dewa, aku terlambat," ucap Shafana cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Ada masalah mendadak di kantor Pak Bima yang harus aku selesaikan." Dewa hanya mengangguk pelan, berdehe
Jantung Shafana berdebar kencang, dipenuhi rasa lega dan kekosongan yang aneh. Kenangan malam sebelumnya, saat Dewa menciumnya dan meninggalkan bekas yang menyengat di bibirnya, terasa begitu nyata. Namun saat dia melihat pantulan dirinya di cermin, dia tidak melihat tanda-tanda pertemuan itu. Itu hanyalah mimpi. "Aku pasti sudah gila, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bibirnya, seperti bukan mimpi." Shafana menghela napas kasar. Dia mengabaikan perasaan yang masih tersisa dan menuruni tangga, wajahnya tertutup hijab yang mengalir, kecantikannya semakin terpancar dengan kesederhanaan dan keanggunan pakaian itu. Saat dia mencapai ruang makan, dia melihat Dewa dan Rania, istri pertama suaminya sudah duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Tatapan Shafana tertuju pada Dewa, dan dia terkejut melihat luka mengering di sudut bibirnya. "Mas Dewa, apa yang terjadi pada bibirmu?" tanyanya, suaranya hanya bisikan. Dewa meliriknya, ekspresinya tak terbaca. "Tidak apa-apa," katanya si
Sementara itu, di ruang baca, Dewananda merenung. Dia masih berusaha memikirkan kenapa Shafana tiba-tiba marah padanya. Roy, yang setia berdiri di sampingnya, mulai berbicara. “Pak, hari ini banyak hal terjadi. Saya mendengar percekcokan di rumah Non Shafana,” katanya hati-hati. Dewananda menatap Roy dengan alis terangkat. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga. Roy menghela napas. “Saya meletakkan penyadap di rumah Non Shafana, seperti yang Anda minta,” jawabnya pelan. Dewananda terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Perdengarkan,” perintahnya. Roy mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan memperdengarkan suara kekacauan yang terjadi di rumah Shafana. Suara tangisan, teriakan, dan percakapan yang penuh emosi terdengar jelas. Dewananda mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Shafana tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat selimut. Kesadaran atas kesalahannya menghantamnya sepert
Dengan tangan gemetar, dia menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang. "Ayah, ini untuk kebutuhan sehari-hari atau modal usaha," katanya dengan suara serak.Malik menatap amplop itu dengan ragu. "Dari mana kau mendapatkan uang ini, Shafa? Ayah tidak ingin menerima uang dari Dewa," katanya tegas, menyebut nama suami Shafana dengan nada penuh kebencian. Malik sudah berusaha untuk tidak menaruh dendam, tapi dia tetap kecewa pada keluarga Dewa setelah mereka merebut Shadana darinya. Shafana menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Ayah, ini bukan dari Mas Dewa. Ini hasil jerih payahku sendiri. Aku menulis cerita dan berhasil menjualnya," jawabnya dengan tegas, meski hatinya terasa berat.Malik terdiam, matanya menatap dalam ke mata Shafana yang bengkak. "Menulis? Sejak kapan kau menulis, Nduk?" tanyanya, setengah tidak percaya.Shafana tersenyum pahit. "Sejak aku merasa dunia ini terlalu sempit untuk menampung semua perasaanku, Ayah. Menulis adalah carak
"Kenapa masih di sini?" tanya Dewa. Shafana yang tengah duduk di tepian ranjang itu menoleh, menatap suaminya penuh curiga. "Pak- mmas tahu aku di sini?" Jari jemari Arthur mulai bergerak, salahkan dia yang terpancing karena keberadaan istri keduanya. Dia selalu lepas kendali dan tidak bisa bersikap sesuai keinginannya. "Mas Dewa!" Shafana mengibaskan tangannya di depan wajah Dewananda. "Mas udah sembuh?" "Baumu tercium," kata Dewa. Anggaplah ini sebuah alasan yang jelas, tapi pada kenyataannya pun, dia memang bisa membedakan bau Shafana dengan bau orang lain. "Maaf, Mas. Aku memang belum mandi." Dewa memilih untuk tidak perduli. "Mas!" Shafana menahan kursi roda suaminya. "Besok, aku mau ketemu ayah." Ia memperhatikan wajah suaminya. "Boleh?" "Ayahmu?" "Kenpa?" tanya Shafana bingung. "Apa kau masih menganggap mereka keluargamu?" Kelopak mata Shafana terpejam perlahan, lantas, jika bukan keluarganya, dia mau menanggap mereka apa. "Aku hanya meminta izin, Mas. Kalau b
"Bu, sebetulnya jika Bu Rania menyerah sekarang, tidak akan ada yang menyalahkan Bu Rania." "Apa?" kaget Rania. "Menyerah? Sekarang?" Wanita itu tertawa, membuat dokter yang ada di depannya kebingungan. "Bu, sudah 3 tahun kakak Anda koma, saya hanya takut kalau semuanya akan menjadi sia-sia." Rania mengepalkan kedua tangannya. Mata wanita itu memerah tajam. "Pantaskan seorang dokter mengatakan hal itu? Saya merawat kakak saya di sini bayar, Dok." Dokter pria itu memejamkan matanya untuk beberapa saat. "Saya mengerti maksud Bu Rania, tapi Bu. Andai semuanya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, saya hanya takut Bu Rania kehilangan segalanya tanpa hasil apa-apa." "Saya tidak perduli," marah Rania. "Kakak saya harus hidup, dia akan melihat apa yang akan saya lakukan, tugas dokter hanya merawatnya dengan baik, cukup lakukan itu." "Maafkan saya, Bu." "Pergilah!" titah Rania. "Tapi, Bu... Pasien sedang...." "Saya tahu kakak saya sedang makan, saya yang akan menunggun
"Tuan Nendra," sapa Suci. Pria itu menatap pelayan di depannya dari atas sampai ke bawah, melihat bagaimana perempuan itu cegukan seperti yang tadi dia dengar. Ima berjalan mendekati Mahendra. "Dia masih bagian dari kita, Tuan." Pria itu menghela napas, dia menyerahkan bukunya pada Ima kemudian pergi dari sana. Namun setelah itu dia melirik ke arah pintu kamar Shafana. "Seharusnya dia tidak menyia-nyiakanmu, Shafa." Mahendra menaikan kedua alisnya kemudian pergi dari sana. Shafana membuka pintu kamarnya, melihat kepergian Manendra. Helaan napas keluar dari mulutnya, rumah ini benar-benar sangat tidak aman. Seharusnya Manendra tidak bisa keluar masuk sembarangan. ** ** "Om Nendra!" pekik anak-anak panti sumringah. Mereka terlihat sangat bahagia saat Manendra menghampiri mereka semua. "Om kenapa baru dateng, Om sehat kan?" Manendra mengusap kepala mereka. Membungkuk untuk menyamakan tingginya. "Om sehat, kalian sehat kan? Om bawa makan malem buat kalian, tapi....." Ia
Shafana merendahkan dirinya serendah mungkin, wanita itu bersujud dan memohon ampun kepada penciptanya-Nya. Meminta agar semuanya dimudahkan untuk dia. Air mata tidak bisa berhenti mengalir. Sebetulnya, bukan tuduhan itu yang membuatnya sangat terluka, tapi sikap Dewananda. Suaminya itu, terkadang dia baik, terkadang juga sangat dingin, hari ini, satu bentakan darinya membuat Shafana seperti ini. Sejauh mana perasaan yang dia miliki sampai dia begitu terluka. "Ya Allah, andai aku bisa mengendalikan hatiku, aku akan memilih untuk tidak mencintanya. Aku tahu statusku hanya sebatas istri kedua, tolong permudah langkahku ya, Allah. Aku hanya ingin mendapatkan ridho dari-Mu." ** ** Shafana berjalan gontai ke arah lorong rumah sakit, perempuan itu bersembunyi dibalik tembok tepat saat Rania dan Putri keluar dari ruang rawat Sanjaya. Dia mengetuk pintu beberapa kali kemudian masuk, Shafana berdiri di samping ranjang Sanjaya. Menatap mertuanya yang masih terbaring lemah. "Ay