Insya Allah Ada Jalan, Nak!

Insya Allah Ada Jalan, Nak!

last updateLast Updated : 2021-10-06
By:  Hakayi  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
14 ratings. 14 reviews
76Chapters
8.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Bram nyaris drop out dari kuliah karena orang tuanya tak sanggup lagi untuk membiayainya. Satu-satunya jalan agar kuliahnya bisa terus berlanjut adalah dia harus menerima tawaran untuk mengajar di SMA yang muridnya terkenal badung dan suka tawaruran. Akhirnya Bram terpaksa menerima tawaran itu. Dia menjadi guru yang paling muda di sana. Sekarang Bram punya tugas untuk menaklukkan murid-muridnya yang nakal itu agar dia tetap bisa mendapat honor untuk membiayai kulihahnya. Sanggupkah dia menaklukkan murid-muridnya?

View More

Latest chapter

Free Preview

1. Surat dari Kampung Halaman

Sepulang dari kuliah, kubaringkan tubuhku di atas lantai keramik putih. Pandangan mataku menerawang ke langit-langit kamar. Hampa rasanya. Kepalaku semakin pusing saat mengingat tunggakan bayaran kuliah yang belum bisa aku bayarkan. Orang tuaku di kampung sudah lama tak mengirim uang. Pihak kampus sudah memanggilku berkali-kali. Bahkan mereka mengancam untuk mengeluarkanku dari kampus jika bulan depan aku masih belum juga melunasi tunggakan. Aku bingung untuk mencari solusinya.Ketukan di pintu kamar terdengar agak mengejutkanku. Bergegas aku membukanya. Tergugup aku mendapati Elis yang tersenyum dan berdiri di depanku. Ujung jilbab lebarnya bergerak-gerak tertiup angin siang yang berembus. Hari ini, wajahnya yang bersih cerah terlihat begitu indah dipandang.“Aa, ada titipan dari Umi, nih,” ucapnya, lalu menunduk. Di tangannya kulihat sepiring makanan yang ditutup sehelai daun pisang.Aku tersenyum sambil meraih piring yang ternyata berisi nasi leng

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Rosenorchid
kaga ada extra part nih?
2021-12-26 00:35:57
0
user avatar
cut ika
Keren banget ceritanya, Kak.
2021-12-16 16:42:45
1
user avatar
cut ika
Ceritanya keren banget, Kak.
2021-12-16 16:41:38
1
user avatar
Tommy Andrianto
Rekomemdasi.
2021-12-04 23:48:00
1
user avatar
Wiselovehope
Kisah yang menarik (✪ω✪)(::^ω^::) luvya
2021-12-03 14:45:15
1
user avatar
Ana Erliy
yg sabar ya pak guru, terus semangat aja ...... usia remaja seperti itu emang bikin puyeng, tp kudu dimaklumi dan sabar, sesabar ngeladeni akun² modus ...
2021-12-02 08:57:17
3
user avatar
Ee_Maa
Kisah nyatakah ini, Kak?
2021-11-27 22:48:24
2
user avatar
Li Na
save dulu sebelum lanjut baca. ceritanya bagus ...
2021-11-25 11:25:48
2
user avatar
Ar_key
Awal yang bagus, nyesek bacanya thor
2021-11-05 10:24:37
2
user avatar
Rian Anggara
Wow! Amazing banget ceritanya. Ini novel male lead yang paling bagus menurut gue.
2021-10-20 12:00:48
2
user avatar
Mei
Yang berprofesi sebagai guru wajib banget baca ini. Keren banget novelnya.
2021-10-19 12:16:22
2
user avatar
Shariza Shah
the best novel ever!
2021-10-13 13:20:22
2
user avatar
Jimus Air
murid nakal bikin pusing.....
2021-10-10 16:35:56
2
user avatar
Syafridawati
Cerita yang bagus sekalI
2021-10-06 12:51:40
3
76 Chapters

1. Surat dari Kampung Halaman

Sepulang dari kuliah, kubaringkan tubuhku di atas lantai keramik putih. Pandangan mataku menerawang ke langit-langit kamar. Hampa rasanya. Kepalaku semakin pusing saat mengingat tunggakan bayaran kuliah yang belum bisa aku bayarkan. Orang tuaku di kampung sudah lama tak mengirim uang. Pihak kampus sudah memanggilku berkali-kali. Bahkan mereka mengancam untuk mengeluarkanku dari kampus jika bulan depan aku masih belum juga melunasi tunggakan. Aku bingung untuk mencari solusinya.Ketukan di pintu kamar terdengar agak mengejutkanku. Bergegas aku membukanya. Tergugup aku mendapati Elis yang tersenyum dan berdiri di depanku. Ujung jilbab lebarnya bergerak-gerak tertiup angin siang yang berembus. Hari ini, wajahnya yang bersih cerah terlihat begitu indah dipandang.“Aa, ada titipan dari Umi, nih,” ucapnya, lalu menunduk. Di tangannya kulihat sepiring makanan yang ditutup sehelai daun pisang.Aku tersenyum sambil meraih piring yang ternyata berisi nasi leng
Read more

2. Elis

Kami pun menikmatinya bersama. Saat tengah lahap menyantap hidangan, tiba-tiba pikiranku kembali teringat kondisi keuanganku yang kosong. Aku benar-benar tak punya uang saat ini. Sepeser pun tak ada. Mau pinjam pada Fajrin, malu rasanya. Ya Allah, berilah aku jalan, doaku dalam hati.“Assalaamualaikum!"Lagi, aku mendengar suara Elis di luar rumah. Hampir bersamaan, aku dan Fajrin bangkit dan menunda makan untuk membukakan pintu depan. Benar saja, gadis Cianjur itu berdiri di depan pintu.“Waalaikum salam, Elis,” jawab kami, nyaris berbarengan pula.“Makan, Lis,” Fajrin menawari sambil menunjuk piring yang setengah kosong di tangannya.“Makasih, Mas Fajrin. Alhamdulillah, Elis sudah makan.” Sahut gadis manis itu. Lalu, katanya sambil tersenyum, “Maaf, A Bram. Elis mau nyampein pesen Umi. Kata Umi, malam ini kalau bisa Aa ajarin Asep matematika. Besok Asep ulangan.”Entah kenapa aku sepert
Read more

3. Terima Kasih, Sahabat

Seperti yang sudah-sudah, malam itu aku menemani Asep mempersiapkan diri untuk ulangan matematika besok. Walaupun bukan guru matematika, kalau hanya mengajar materi matematika untuk anak SD saja tentu aku bisa.Satu jam lebih Asep belajar bersamaku. Kulihat dia sudah mulai mengantuk. Aku pun menutup materi matematika malam itu. Lalu, berpamitan pada Asep dan tak lupa mengingatkan anak itu agar tidak tidur terlalu malam.“Bram, tunggu sebentar!”Abi memanggilku—ah, kukira beliau sudah tidur—persis sebelum Asep menutup pintu depan.“Ini, simpanlah.” Laki-laki itu mengulurkan selembar amplop putih padaku. “Jangan dilihat jumlahnya yang nggak seberapa. Semoga bisa sedikit menambah ongkos kuliahmu. Kebetulan Abi ada sedikit rezeki. Lagipula, selama ini kamu selalu mengajari Asep sehingga nilainya bagus-bagus. Coba kalau memanggil guru privat dari sekolah, pasti mahal bayarannya.”“Ah, nggak usah, Abi
Read more

4. Hitam Putih

Putih-hitam adalah warna yang melekat di tubuhku saat ini. Baju putih, celana panjang hitam, disempurnakan oleh sepatu pantovel hitam yang disemir hingga berkilau. Aku mengikuti saran Fajrin pagi tadi. Katanya, ‘seragam’ model begini umum dikenakan sebagai identitas pemburu pekerjaan.Hari ini aku bertekad harus ada pekerjaan sampingan yang kudapat. Dari informasi yang kuperoleh di kampus, jika sulit menemukan pekerjaan dengan jam kerja malam hari dan terpaksa harus bekerja dari pagi hingga sore, aku tetap bisa kuliah pada hari Sabtu-Minggu. Konsekuensinya, aku harus pindah kelas. Bukan masalah besar bagiku, yang terpenting aku tetap terus kuliah.Seperti biasa, cuaca terik menjadi sahabat setia sejak menjalani awal hari di kampus. Aku tak peduli, terus berjalan membawa map berisi dokumen di tangan, mengitari Pamulang dan mengarah ke Ciputat. Lelah mulai menghinggapiku. Kini aku terdampar di Pasar Jumat, Lebak Bulus. Sejauh ini, aku tak menemukan lowongan p
Read more

5. Tawaran Mengajar

Masih di tempat yang sama, keesokan harinya.Kulihat langit tampak mendung dan mulai gelap. Ketika akhirnya hujan deras mengguyur, aku mengikuti orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Sebuah halte tak jauh dari sini, tampaknya menjadi satu-satunya tujuan kami.Aku berdiri seolah terpaku menghadap jalan yang basah oleh rinai hujan. Punggung dan kakiku masih terasa sakit. Semalam, di antara nyeri yang belum mau pergi, aku kembali menulis CV dan surat lamaran pekerjaan. Namun, sepertinya hari ini pun aku tak bisa berbuat banyak. Fajrin memang membantuku mencarikan iklan lowongan kerja di koran-koran, tetapi lokasinya selalu tak terjangkau. Jika aku tetap nekat mencoba, rasanya itu hanya akan menambah kesusahanku.“Bram!”Seseorang menepuk bagian belakang bahuku. Aku menoleh cepat ke arahnya.“Lho, Pak Tris?” seruku riang begitu mengetahui orang di belakangku. Kugenggam erat dan kucium tangannya dengan hormat. &ldqu
Read more

6. Aku Pasti Bisa

Ini sudah hari Minggu. Masih satu hari sebelum memenuhi undangan Pak Tris, yakni mengantarkan berkas lamaran pekerjaan untuk menjadi guru kesenian di SMU Insan Kamil. Aku gelisah dan mondar-mandir di teras. Masih ragu, apakah aku yakin telah menerima tawaran Pak Tris? Apakah tidak lebih baik jika kuurungkan saja dan mencari pekerjaan lain?Menjadi guru di SMU Insan Kamil. Siswa-siswanya yang terkenal badung, suka tawuran serta berlabel anak buangan dari sekolah lain menjadi pertimbanganku. Mengenai penyampaian materi seni itu sendiri pun—walaupun aku menguasai musik berikut teorinya dan bisa melukis—tetap akan menjadi tantangan bagiku. Bisa jadi siswa-siswi SMU itu justru tidak menganggapku sama sekali, bahkan melawanku, setelah tahu bahwa guru kesenian mereka yang baru ‘hanyalah’ seorang anak muda sepertiku.Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Menolak tawaran itu?Gelisahku seorang diri di teras ternyata mengundang perhatian orang lain m
Read more

7. Mengajar di Hari Pertama

Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?””Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya. ”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya. &
Read more

8. Saya Guru Baru Kalian

Tidak terlalu sulit menemukan ruang guru di seantero bangunan bertingkat ini. Aku sudah hampir sampai, ketika sosok Pak Tris tertangkap pandanganku tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Rupanya beliau sengaja menunggu kedatanganku.”Bram! Alhamdulillaah, Bapak kira kamu nggak jadi datang!”Aku mengangguk sopan dan mencium tangannya, persis seperti saat masih menjadi muridnya dulu. Ah, sampai kapan pun, Pak Tris memang akan selalu menjadi guruku.            “Ayo masuk, Bram,” diajaknya aku ke ruangan guru. Setelah memperkenalkanku sebentar kepada beberapa guru di sana, Pak Tris mengajakku ke ruangannya sendiri. Dia langsung memeriksa map berisi CV dan surat permohonan mengajar yang kuajukan. ”Berkas lamaranmu Bapak terima, ya, walaupun ini sebenarnya hanya formalitas saja.” Pak Tris tersenyum senang. “Oh ya, hari ini bapak kepala sekolah berhalangan da
Read more

9. Aku Harus Bisa

Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya. ”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa
Read more

10. Sampai Jumpa Besok Siang

Hiruk-pikuk kembali kudengar dari luar. Gerutuan keras huuuu, disusul teriakan lantang petugas piket yang seolah tak bosan-bosannya menegakkan aturan di sekolah ini, mengiringi satu per satu siswa-siswiku yang beberapa saat lalu meninggalkan kelas, kembali masuk ke ruangan. Kuhitung satu per satu kepala yang kembali ke bangku masing-masing. Tiga puluh empat orang. Kulirik list siswa di tanganku. Total siswaku seharusnya 35 orang. Dengan langkah pelan dan dagu yang sedikit terangkat, aku memastikan keberadaan mereka. Ternyata seluruh siswaku sudah di sini kecuali pemuda berkacamata bertubuh ceking yang mengawali ‘pemberontakan’ seisi kelas terhadapku tadi. Ya, aku pastikan, anak itu saja yang belum kembali ke kelas ini.Ah, aku tak akan peduli padanya. Tiga puluh empat orang siswa di depanku inilah yang terpenting saat ini, tak peduli sesinis apa pun tampang mereka. Ingatanku melayang pada materi yang kupelajari dari buku-buku pedagogis yang dipin
Read more
DMCA.com Protection Status