Putih-hitam adalah warna yang melekat di tubuhku saat ini. Baju putih, celana panjang hitam, disempurnakan oleh sepatu pantovel hitam yang disemir hingga berkilau. Aku mengikuti saran Fajrin pagi tadi. Katanya, ‘seragam’ model begini umum dikenakan sebagai identitas pemburu pekerjaan.
Hari ini aku bertekad harus ada pekerjaan sampingan yang kudapat. Dari informasi yang kuperoleh di kampus, jika sulit menemukan pekerjaan dengan jam kerja malam hari dan terpaksa harus bekerja dari pagi hingga sore, aku tetap bisa kuliah pada hari Sabtu-Minggu. Konsekuensinya, aku harus pindah kelas. Bukan masalah besar bagiku, yang terpenting aku tetap terus kuliah.
Seperti biasa, cuaca terik menjadi sahabat setia sejak menjalani awal hari di kampus. Aku tak peduli, terus berjalan membawa map berisi dokumen di tangan, mengitari Pamulang dan mengarah ke Ciputat. Lelah mulai menghinggapiku. Kini aku terdampar di Pasar Jumat, Lebak Bulus. Sejauh ini, aku tak menemukan lowongan pekerjaan, baik itu di minimarket maupun restoran cepat saji yang menjamur di sepanjang jalan raya Pamulang, Ciputat, dan Lebak Bulus. Aku juga sudah menyusuri jalan Bukit Cireundeu yang mengarah ke perempatan Gaplek menuju Parung. Hasilnya nihil.
Di dekat kios kecil yang menghadap jalanan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan, aku memilih berhenti karena merasa kehausan. Kuhirup minuman dingin dalam botol. Otakku berputar memikirkan ke mana lagi harus melangkah.
Ketika menengadah, langit tampak mendung. Tiba-tiba, kudengar riuh membahana suara klakson mobil yang tak henti dibunyikan. Seperti baru saja terjadi sesuatu, orang-orang berlarian berlawanan arah. Kulihat penjual minuman ringan di dekatku ikut-ikutan sibuk membereskan barang-barang dagangan dan bergegas menutup kiosnya.
Aku mulai panik. Ada apa ini?
“Lari, Dek! Lari!" serunya padaku.
“Ada apa, Pak?!”
Laki-laki itu tak menjawab. Dengan tergesa-gesa dia meninggalkanku begitu saja sambil menenteng beberapa jenis barang dagangan yang dianggap lebih berharga. Aku bertambah panik.
Seketika, segerombolan pelajar berseragam SMA berlarian dari arah barat menuju ke arahku. Mataku mengembang. Sepertinya, tempat ini akan dijadikan ajang tawuran! Jalanan kini sepi dari kendaraan bermotor maupun pejalan kaki, tergantikan oleh dua gerombolan asing yang berlarian menuju ke arahku. Aku beranjak dari tempat semula, bergegas mencari tempat untuk menyelamatkan diri. Arah timur yang kutuju, ternyata sudah dikuasai sejumlah pelajar berseragam putih-hitam yang berlarian ke arahku. Gawat! Segera kusadari ‘seragam’ putih-hitam yang juga kukenakan. Bukan mustahil aku disangka musuh oleh gerombolan pelajar dari arah barat yang juga kian mendekat. Parang, rantai motor, kayu, dan alat-alat berbahaya lainnya telah siap di tangan mereka.
“Seraaang!" teriak pelajar berseragam di sisi kananku.
Jantungku bak tercelus dari tempatnya kala melihat kengerian sekitarku yang makin menjadi-jadi. Jalan raya yang semula ramai oleh kendaraan, kini berubah menjadi suasana perang antarpelajar. Secepat aku mampu, aku menyelinap ke jalan setapak yang membelah dua bangunan ruko berlantai dua, yang baru tertangkap penglihatanku. Aku harus menyelamatkan diri ke sana!
Belum sempat kakiku melompat, sebatang kayu dipukulkan seseorang ke punggungku. Aku terjerembab ke trotoar. Map di tanganku terempas. Isinya berhamburan seketika. Berkas surat lamaranku buyar, berserakan di atas aspal.
Emosiku naik.
“Hey, kalian! Aku bukan anak sekolah! Aku mahasiswa yang sedang mencari kerja!” teriakku pada siswa berseragam SMU yang melotot penuh emosi padaku.
Seolah tak peduli dengan teriakanku, salah seorang dari mereka melempar sebilah parang ke arahku.
“Ini! Ambil!” teriaknya.
Sungguh bodoh anak ini! Dia bukan saja tidak menggubris teriakanku, dia malah menganggapku bagian dari gengnya!
“Tidak!” Aku berkeras, kubiarkan parang itu jatuh di bawah kakiku.
Anak muda itu menggeram. Dengan beringas, tangannya kembali terayun dan mengarahkan kayu pemukulnya terarah ke kakiku. Gerakannya yang dibalut emosi tak sanggup kuhindari. Aku mengaduh, kembali jatuh berlutut.
Pertolongan datang tak kusangka-sangka. Dua orang anak muda berdasi hitam datang dari arah lain, membelaku sembari mengayun-ayunkan rantai ke arah pelajar yang tadi memukulku. Lima orang remaja lain pun menyusul membantunya.
“Astaghfirullaah! Ya Allah, ampuni mereka!” Aku berseru di tengah keriuhan massa, tak sanggup menjadi saksi atas apa yang terjadi di depan mata saat seseorang dari mereka menjadi korban penusukan ‘lawannya’. Seolah bangga telah menemukan mangsa, sebilah pisau tampak teracung tinggi-tinggi, berlumur darah segar yang tampak menetes-netes ke aspal. Sekilas, terbaca olehku sebuah identitas pada seragam yang mulai ternoda darah itu. SMU Insan Kamil.
Riuh-rendah kembali terdengar. Suara sirene dari mobil patroli polisi meraung-raung. Terdengar sayup-sayup, tetapi makin jelas ketika terus mendekat ke tempat kejadian perkara. Pelajar-pelajar itu berlarian menyelamatkan diri. Aku sadar bahwa aku pun harus bergerak cepat. Aku tak mungkin terus di sini dan menjadi yang tertuduh dalam tawuran ini. Aku harus segera pergi!
Dengan kaki dan punggung yang terasa nyeri, aku berlutut. Hendak kupunguti kertas-kertas lamaran pekerjaanku yang terserak, ketika tiba-tiba saja hujan mengguyur.
Deras. Makin deras.
Kubiarkan lembar-lembar berkas lamaranku dikoyak oleh hujan. Derasnya mengaburkan tinta pada kertas-kertas itu yang akhirnya tak mungkin bisa kuselamatkan lagi.
Masih di tempat yang sama, keesokan harinya.Kulihat langit tampak mendung dan mulai gelap. Ketika akhirnya hujan deras mengguyur, aku mengikuti orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Sebuah halte tak jauh dari sini, tampaknya menjadi satu-satunya tujuan kami.Aku berdiri seolah terpaku menghadap jalan yang basah oleh rinai hujan. Punggung dan kakiku masih terasa sakit. Semalam, di antara nyeri yang belum mau pergi, aku kembali menulis CV dan surat lamaran pekerjaan. Namun, sepertinya hari ini pun aku tak bisa berbuat banyak. Fajrin memang membantuku mencarikan iklan lowongan kerja di koran-koran, tetapi lokasinya selalu tak terjangkau. Jika aku tetap nekat mencoba, rasanya itu hanya akan menambah kesusahanku.“Bram!”Seseorang menepuk bagian belakang bahuku. Aku menoleh cepat ke arahnya.“Lho, Pak Tris?” seruku riang begitu mengetahui orang di belakangku. Kugenggam erat dan kucium tangannya dengan hormat. &ldqu
Ini sudah hari Minggu. Masih satu hari sebelum memenuhi undangan Pak Tris, yakni mengantarkan berkas lamaran pekerjaan untuk menjadi guru kesenian di SMU Insan Kamil. Aku gelisah dan mondar-mandir di teras. Masih ragu, apakah aku yakin telah menerima tawaran Pak Tris? Apakah tidak lebih baik jika kuurungkan saja dan mencari pekerjaan lain?Menjadi guru di SMU Insan Kamil. Siswa-siswanya yang terkenal badung, suka tawuran serta berlabel anak buangan dari sekolah lain menjadi pertimbanganku. Mengenai penyampaian materi seni itu sendiri pun—walaupun aku menguasai musik berikut teorinya dan bisa melukis—tetap akan menjadi tantangan bagiku. Bisa jadi siswa-siswi SMU itu justru tidak menganggapku sama sekali, bahkan melawanku, setelah tahu bahwa guru kesenian mereka yang baru ‘hanyalah’ seorang anak muda sepertiku.Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Menolak tawaran itu?Gelisahku seorang diri di teras ternyata mengundang perhatian orang lain m
Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?””Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya.”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya.&
Tidak terlalu sulit menemukan ruang guru di seantero bangunan bertingkat ini. Aku sudah hampir sampai, ketika sosok Pak Tris tertangkap pandanganku tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Rupanya beliau sengaja menunggu kedatanganku.”Bram! Alhamdulillaah, Bapak kira kamu nggak jadi datang!”Aku mengangguk sopan dan mencium tangannya, persis seperti saat masih menjadi muridnya dulu. Ah, sampai kapan pun, Pak Tris memang akan selalu menjadi guruku. “Ayo masuk, Bram,” diajaknya aku ke ruangan guru. Setelah memperkenalkanku sebentar kepada beberapa guru di sana, Pak Tris mengajakku ke ruangannya sendiri. Dia langsung memeriksa map berisi CV dan surat permohonan mengajar yang kuajukan.”Berkas lamaranmu Bapak terima, ya, walaupun ini sebenarnya hanya formalitas saja.” Pak Tris tersenyum senang. “Oh ya, hari ini bapak kepala sekolah berhalangan da
Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya.”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa
Hiruk-pikuk kembali kudengar dari luar. Gerutuan keras huuuu, disusul teriakan lantang petugas piket yang seolah tak bosan-bosannya menegakkan aturan di sekolah ini, mengiringi satu per satu siswa-siswiku yang beberapa saat lalu meninggalkan kelas, kembali masuk ke ruangan. Kuhitung satu per satu kepala yang kembali ke bangku masing-masing. Tiga puluh empat orang. Kulirik list siswa di tanganku. Total siswaku seharusnya 35 orang. Dengan langkah pelan dan dagu yang sedikit terangkat, aku memastikan keberadaan mereka. Ternyata seluruh siswaku sudah di sini kecuali pemuda berkacamata bertubuh ceking yang mengawali ‘pemberontakan’ seisi kelas terhadapku tadi. Ya, aku pastikan, anak itu saja yang belum kembali ke kelas ini.Ah, aku tak akan peduli padanya. Tiga puluh empat orang siswa di depanku inilah yang terpenting saat ini, tak peduli sesinis apa pun tampang mereka. Ingatanku melayang pada materi yang kupelajari dari buku-buku pedagogis yang dipin
“Selamat siang, Pak Bram,” selarik senyum dan kalimat sapa yang menyejukkan menyambutku di ruang guru, setelah beberapa lama suasana kelas yang hampir mirip neraka tadi seolah memanggangku.“Selamat siang, Bu,” balasku tak kalah sopan.Dia guru piket yang tadi menggiring siswa-siswiku kembali ke kelas. Ah, akhirnya kami bertemu dalam suasana yang normal, setelah dua-tiga kali aku hanya melihatnya berteriak-teriak gusar.“Saya Bu Veni.” Katanya memperkenalkan diri. “Selamat datang di sekolah kita. Ini meja kerja Pak Bram. Silakan, selamat bertugas.”Dia menunjukkanku sebuah meja yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Meja yang besar dan rapi. Kursi yang disediakan pun tampak sangat nyaman. Sayang belum saatnya menikmati empuknya kursi itu, karena sorot mataku menangkap bahwa ruang guru mulai ramai. Hanya seorang guru berpakaian olahraga yang masih berdiri di pintu masuk, tengah menggoda beberapa sisw
Dalam perjalanan pulang, aku memilih diam. Bukan karena tak mau mengobrol lagi dengan Elis, justru bagiku bersamanya malam ini membuatku kembali mendapat semangat baru. Aku sedang teringat Edo dan teman-temannya. Tatap mata Edo yang penuh keraguan, air muka yang penuh ketidakpuasan, membayang jelas dalam ingatan. Ya, besok aku bertekad membungkam mulutnya dengan keberhasilanku menjawab tantangannya.Sanggupkah aku?Perutku kembali terasa lapar, setelah lepas Isya tadi bersama Fajrin melahap martabak pemberian Elis. Saat kutuang teh hangat ke dalam gelas untuk keduakalinya, di atas meja kutemukan beberapa potong martabak telur yang masih menunggu untuk disantap. Kuhabiskan potongan yang tersisa di piring karena kupikir Fajrin tak mungkin lagi memakannya. Dia masih sibuk mempersiapkan materi kuliah besok, bisa-bisa hingga larut malam.Malam ini konsentrasiku terbagi dua. Pertama, menyelesaikan tugas kuliah yaitu melahap novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu