Ini sudah hari Minggu. Masih satu hari sebelum memenuhi undangan Pak Tris, yakni mengantarkan berkas lamaran pekerjaan untuk menjadi guru kesenian di SMU Insan Kamil. Aku gelisah dan mondar-mandir di teras. Masih ragu, apakah aku yakin telah menerima tawaran Pak Tris? Apakah tidak lebih baik jika kuurungkan saja dan mencari pekerjaan lain?
Menjadi guru di SMU Insan Kamil. Siswa-siswanya yang terkenal badung, suka tawuran serta berlabel anak buangan dari sekolah lain menjadi pertimbanganku. Mengenai penyampaian materi seni itu sendiri pun—walaupun aku menguasai musik berikut teorinya dan bisa melukis—tetap akan menjadi tantangan bagiku. Bisa jadi siswa-siswi SMU itu justru tidak menganggapku sama sekali, bahkan melawanku, setelah tahu bahwa guru kesenian mereka yang baru ‘hanyalah’ seorang anak muda sepertiku.
Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Menolak tawaran itu?
Gelisahku seorang diri di teras ternyata mengundang perhatian orang lain mendekatiku. Aku melihat kedatangan umi Elis yang tampak rapi dan aku pun berdiri menyambutnya.
“Bram, hari ini kamu nggak ke mana-mana? Bisa tolong temani Elis ke pasar? Persediaan di warung sudah banyak yang habis,” tegurnya. “Umi sibuk, Abi juga pergi dari pagi belum pulang. Kasihan kalau Elis ke pasar sendirian.”
“Oh, boleh, Bu. Nanti Bram yang antar Elis.”
Umi tersenyum lega. Dia menungguku mengunci pintu rumah indekos dan meletakkan anak kuncinya di atas pintu agar Fajrin tetap bisa masuk sekembalinya dia nanti, entah dari mana. Kulihat Elis sudah menunggu di dekat motor matic-nya. Dia tersenyum melihat kedatanganku bersama uminya.
“Berangkat sekarang?" tanyaku sambil menerima helm yang diberikan Elis.
Elis mengangguk. Dia duduk manis mengurai kakinya di boncengan belakang. Aku merasa sedikit gugup harus berboncengan motor dengan Elis.
Gadis di belakangku menyebut rute ke pasar Ciputat. Kulajukan motor dengan kecepatan sedang menuju jalan besar. Saat mengamati arah belakang melalui kaca spion, aku melihat jilbab lebar Elis berkibar diterpa angin.
“Elis dengar, Aa mau ngajar, ya?" Elis bertanya dengan suara agak keras, mengimbangi suara angin di sekitar kami.
Dari mana dia tahu?
Fajrin. Tidak salah lagi. Sahabatku itu adalah yang pertama tahu rencanaku.
“Iya, Lis. Tapi yah, gitu, kata Fajrin siswa-siswa di sana nakal-nakal.”
“Nggak masalah kan, A? Elis kira, tantangan menjadi guru itu bukan pada kehebatan dia menguasai teori yang akan diajarkan, melainkan bagaimana memahami sikap siswa dan cara menghadapinya.”
“Ya. Kamu bener, Lis.” Aku sepakat mendengar pendapatnya. “Tadinya Aa mau menolak tawaran itu.”
“Elis punya banyak buku seputar profesi guru, loh, Aa. Siapa tau Aa butuh? Dulu kan, Elis juga pengen jadi guru? Eeh, malah masuk jurusan lain,"
Kudengar Elis tertawa. Aku sendiri tersenyum.
Sekilas obrolan yang agak fokus dengannya membuat perjalanan kami tak terasa. Pasar Ciputat sudah di depan mata. Setelah memarkir motor, kutemani Elis menuju grosir langganan orang tuanya. Dengan sabar, aku menunggu hingga pegawai grosir itu selesai melayani pesanan barang pada daftar belanjaan Elis.
“Sudah semua?”
“Sudah, Aa. Eh, kita makan bakso dulu, yuk?”
Sungguh, aku tak terbiasa seperti ini. Naik motor berdua dengan seorang gadis, dilanjutkan dengan berjalan berduaan. Apalagi, setelah itu makan bareng. Bukan sok suci, tetapi karena selama ini aku tak pernah terpikirkan yang semacam ini. Fokusku hanya pada satu hal—kuliahku—sehingga aku tak pernah membayangkan hal-hal semacam ini. Namun, aku pun bukan seperti Fajrin, yang menjauhkan diri dari perempuan karena benar-benar menjaga hatinya dengan segenap keimanan sampai kelak dia benar-benar siap berumah tangga.
Aku tak bisa menolak tawaran Elis.
Walaupun agak canggung, aku harus bersikap biasa. Menikmati seporsi bakso raksasa, duduk berhadapan dengannya di gerai yang tidak terlalu besar. Cuaca yang cukup terik membuat Elis berkali-kali menyeka peluh di wajahnya dengan tisu.
“Pakai tisu, Aa,” katanya, tersenyum geli melihatku hampir selalu mengipas-ngipaskan tangan karena kegerahan. Diulurkannya beberapa lembar tisu untukku. Aku menerimanya dengan canggung, tidak menyangka bahwa Elis memerhatikanku sejak tadi.
“Elis senang Aa mau mengajar. Buktikan pada Elis, bahwa Aa bisa menaklukkan siswa-siswa bandel itu. Dan membagi ilmu yang Aa punya pada mereka.” Elis menyemangatiku.
Dukungan Elis membuatku mantap menerima tawaran Pak Tris. Sekilas, aku mencuri pandang padanya. Dalam jarak yang lumayan dekat seperti ini, terlihat jelas bahwa Elis memang sangat cantik. Rona kemerahan begitu nyata pada pipinya yang putih bersih.
Masya Allah! Ternyata rona kemerahan di wajahnya itu karena Elis tersipu mendapatiku tengah memandanginya. Sekarang, dia menunduk.
Aku sendiri tidak bisa membayangkan seperti apa warna wajahku sekarang.
“Ya udah, A, kita pulang sekarang, yuk? Takut nanti hujan gede,” ajak Elis, mengakhiri kegilaanku.
“Ini, Lis, bayar baksonya pake uang Aa.”
“Jangan, Aa. Kan Aa udah bantuin Elis belanja? Elis aja yang bayar, ya,” tolaknya halus. Lalu, mendahuluiku menuju kasir.
Aku pun mempersilakannya berjalan duluan keluar dari gerai bakso, kembali ke toko grosir tempat kami menitipkan belanjaan. Kubawakan barang-barang dagangan yang dibeli Elis tadi. Dia membantuku, sekadar membawakan barang-barang yang ringan, dan berjalan pelan di sisiku. Beberapa pasang mata melirik kami sambil senyum-senyum. Sesekali Elis mengangguk ramah pada beberapa orang yang kami lewati. Mungkin orang-orang itu juga kenalan orang tuanya.
Elis membantuku menata barang belanjaan di motor. Aku tersenyum-senyum sendiri, membayangkan betapa susahnya Elis duduk di jok belakang nanti karena motornya kini penuh barang.
“Ampuuun, kita udah kayak suami-istri abis belanja, ya, Lis,” cetusku spontan. “Eh, ehm, maksud Aa ... maksud Aa, nggak sampe kayak gitu juga kali, ya,”
Elis tidak tertawa mendengar kegugupanku. Kalaupun tertawa geli, pasti karena kebodohanku tadi. Ya, aku baru saja mengatakan hal yang paling bodoh. Aneh. Memalukan rasanya. Sungguh. Namun, kulihat wajah Elis memerah. Terlihat jelas dia tersenyum menyembunyikan ketersipuannya.
Ya, entah kenapa aku mendapatkan ketenangan yang berbeda di dekat Elis. Perasaan apa ini? Oh, tidak! Sekali lagi tidak karena yang harus kupikirkan sekarang adalah besok siang sepulang kuliah aku harus menemui Pak Tris.
Aku yakin, aku pasti bisa!
Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?””Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya.”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya.&
Tidak terlalu sulit menemukan ruang guru di seantero bangunan bertingkat ini. Aku sudah hampir sampai, ketika sosok Pak Tris tertangkap pandanganku tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Rupanya beliau sengaja menunggu kedatanganku.”Bram! Alhamdulillaah, Bapak kira kamu nggak jadi datang!”Aku mengangguk sopan dan mencium tangannya, persis seperti saat masih menjadi muridnya dulu. Ah, sampai kapan pun, Pak Tris memang akan selalu menjadi guruku. “Ayo masuk, Bram,” diajaknya aku ke ruangan guru. Setelah memperkenalkanku sebentar kepada beberapa guru di sana, Pak Tris mengajakku ke ruangannya sendiri. Dia langsung memeriksa map berisi CV dan surat permohonan mengajar yang kuajukan.”Berkas lamaranmu Bapak terima, ya, walaupun ini sebenarnya hanya formalitas saja.” Pak Tris tersenyum senang. “Oh ya, hari ini bapak kepala sekolah berhalangan da
Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya.”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa
Hiruk-pikuk kembali kudengar dari luar. Gerutuan keras huuuu, disusul teriakan lantang petugas piket yang seolah tak bosan-bosannya menegakkan aturan di sekolah ini, mengiringi satu per satu siswa-siswiku yang beberapa saat lalu meninggalkan kelas, kembali masuk ke ruangan. Kuhitung satu per satu kepala yang kembali ke bangku masing-masing. Tiga puluh empat orang. Kulirik list siswa di tanganku. Total siswaku seharusnya 35 orang. Dengan langkah pelan dan dagu yang sedikit terangkat, aku memastikan keberadaan mereka. Ternyata seluruh siswaku sudah di sini kecuali pemuda berkacamata bertubuh ceking yang mengawali ‘pemberontakan’ seisi kelas terhadapku tadi. Ya, aku pastikan, anak itu saja yang belum kembali ke kelas ini.Ah, aku tak akan peduli padanya. Tiga puluh empat orang siswa di depanku inilah yang terpenting saat ini, tak peduli sesinis apa pun tampang mereka. Ingatanku melayang pada materi yang kupelajari dari buku-buku pedagogis yang dipin
“Selamat siang, Pak Bram,” selarik senyum dan kalimat sapa yang menyejukkan menyambutku di ruang guru, setelah beberapa lama suasana kelas yang hampir mirip neraka tadi seolah memanggangku.“Selamat siang, Bu,” balasku tak kalah sopan.Dia guru piket yang tadi menggiring siswa-siswiku kembali ke kelas. Ah, akhirnya kami bertemu dalam suasana yang normal, setelah dua-tiga kali aku hanya melihatnya berteriak-teriak gusar.“Saya Bu Veni.” Katanya memperkenalkan diri. “Selamat datang di sekolah kita. Ini meja kerja Pak Bram. Silakan, selamat bertugas.”Dia menunjukkanku sebuah meja yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Meja yang besar dan rapi. Kursi yang disediakan pun tampak sangat nyaman. Sayang belum saatnya menikmati empuknya kursi itu, karena sorot mataku menangkap bahwa ruang guru mulai ramai. Hanya seorang guru berpakaian olahraga yang masih berdiri di pintu masuk, tengah menggoda beberapa sisw
Dalam perjalanan pulang, aku memilih diam. Bukan karena tak mau mengobrol lagi dengan Elis, justru bagiku bersamanya malam ini membuatku kembali mendapat semangat baru. Aku sedang teringat Edo dan teman-temannya. Tatap mata Edo yang penuh keraguan, air muka yang penuh ketidakpuasan, membayang jelas dalam ingatan. Ya, besok aku bertekad membungkam mulutnya dengan keberhasilanku menjawab tantangannya.Sanggupkah aku?Perutku kembali terasa lapar, setelah lepas Isya tadi bersama Fajrin melahap martabak pemberian Elis. Saat kutuang teh hangat ke dalam gelas untuk keduakalinya, di atas meja kutemukan beberapa potong martabak telur yang masih menunggu untuk disantap. Kuhabiskan potongan yang tersisa di piring karena kupikir Fajrin tak mungkin lagi memakannya. Dia masih sibuk mempersiapkan materi kuliah besok, bisa-bisa hingga larut malam.Malam ini konsentrasiku terbagi dua. Pertama, menyelesaikan tugas kuliah yaitu melahap novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Kupungut spidol hitam dan mulai menulis dua kata--seni dan rupa—pada white board. Ini langkah awalku untuk mencuri perhatian, cara yang kupelajari dari guru kesenian saat SMK. ”Saya ingin bertanya, adakah di antara kalian yang menyukai bidang seni yang saya tulis di sini?” ”Nggak adaaa!” seperti sebuah choir, jawaban atas pertanyaan yang kulontarkan. “Baik.” Aku mengangguk seraya mengacungkan ibu jari hingga setinggi wajah, berusaha tetap bersikap cool. Walau hati ini mulai bergolak memanas, kepalaku harus tetap dingin. “Sekarang saatnya saya membuat kalian menyukai seni, atau paling tidak menuntaskan kewajiban kalian hari ini dalam hal memahami ilmunya sebagai nilai tambahan rapor kalian
Tiba-tiba, pintu kelas berderak keras dan membuka. Derryl berdiri di depan pintu. Di luar dugaan, anak muda itu melangkah ke depan kelas, meraih eraser di meja guru dan langsung menghapus lukisan di white board. ”Jangan bikin gue marah!” serunya pada Nayyara yang seolah tak memercayai apa yang dilihatnya barusan.Sepertinya, drama percintaan akan kusaksikan lagi hari ini. “Dan Pak Bram,” Derryl menuding ke arahku. “Dengar, ya, Pak. Saya nggak suka sama guru yang kegenitan macam Bapak. Saya nggak suka lihat Bapak kecentilan sama Nayya. Apa Bapak tau siapa papa saya? Papa saya seorang perwira tinggi yang kapan saja bisa mengirim pasukannya untuk menghabisi Bapak kalau saya mau!”Setelah menebar ancaman, Derryl pun menuju bangkunya. Dia hanya mengambil tas sekolah lalu menar
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu