Masih di tempat yang sama, keesokan harinya.
Kulihat langit tampak mendung dan mulai gelap. Ketika akhirnya hujan deras mengguyur, aku mengikuti orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Sebuah halte tak jauh dari sini, tampaknya menjadi satu-satunya tujuan kami.
Aku berdiri seolah terpaku menghadap jalan yang basah oleh rinai hujan. Punggung dan kakiku masih terasa sakit. Semalam, di antara nyeri yang belum mau pergi, aku kembali menulis CV dan surat lamaran pekerjaan. Namun, sepertinya hari ini pun aku tak bisa berbuat banyak. Fajrin memang membantuku mencarikan iklan lowongan kerja di koran-koran, tetapi lokasinya selalu tak terjangkau. Jika aku tetap nekat mencoba, rasanya itu hanya akan menambah kesusahanku.
“Bram!”
Seseorang menepuk bagian belakang bahuku. Aku menoleh cepat ke arahnya.
“Lho, Pak Tris?” seruku riang begitu mengetahui orang di belakangku. Kugenggam erat dan kucium tangannya dengan hormat. “Alhamdulillaah, saya ketemu Bapak lagi!”
Halte semakin penuh manusia karena hujan kian mengguyur. Aku makin merasa bahwa dunia memang selebar daun kelor! Aku benar-benar tidak menyangka bertemu lagi dengan guruku saat SMK. Kulihat, Pak Tris pun antusias memerhatikan map di tanganku.
“Kalau pulang kuliah, kamu ada aktivitas lain apa, Bram?” tanya Pak Tris.
“Nggak ada, Pak,”
“Begini, apa kamu tertarik kuliah sambil ngajar?” Pak Tris memegang bahuku, menawariku sesuatu yang membuatku terkejut seketika. “Kalau kamu mau, kebetulan, ada tawaran mengajar buat kamu. Jam mengajarnya siang hari, jadi kamu bisa langsung ngajar sepulang kuliah.”
“Ngajar? Materi apa, Pak? Bahasa?”
“Kesenian. Bapak lagi butuh guru kesenian. Kebetulan, guru yang sudah ada minta berhenti. Susah nyari guru kesenian sekarang,” Pak Tris menggeleng-geleng. “Nggak apa-apa jurusanmu bahasa Indonesia. Bapak lihat, kamu punya bakat besar di bidang seni selama SMK dulu. Bagaimana?"
Aku gugup.
Mengajar anak SMU? Ah, aku tak punya pengalaman mengajar di sekolah. Tidak mungkin aku langsung menyanggupinya. Sementara itu, tawaran ini adalah kesempatan emas untuk mewujudkan rencanaku bekerja sambil tetap kuliah. Bukankah aku memang sedang mencari kerja?
“Baiklah, Pak,” aku mengangguk, “saya mau!”
Aku sendiri tak percaya dengan apa yang kukatakan. Bagaimana bisa aku seyakin itu menyanggupi tawaran Pak Tris?
Pak Tris menepuk bahuku lagi. “Nah, kalau gitu, hari Senin nanti kamu datang langsung saja ke sekolah Bapak, ya. Siapkan CV dan surat lamarannya. Jangan lupa, surat keterangan bahwa kamu mahasiswa. Ini alamatnya.”
Selembar ID card diletakkan di telapak tanganku. SMU Insan Kamil.
SMU Insan Kamil? Bukankah itu sekolah yang beberapa siswanya pernah bersamaku pada suatu tawuran di Pasar Jumat Lebak Bulus?
Pak Tris mendongakkan kepala mengamati langit dan mengukur intensitas hujan yang mulai berkurang.
“Oke, Bram. Bapak duluan, ya. Ada yang menunggu di rumah. Bapak tunggu di sekolah.” Pamitnya.
“Baik. Terima kasih, Pak!”
Kuperhatikan laki-laki itu keluar dari halte yang teduh, berjalan menuju motornya yang diparkir tak jauh dari sini. Kupandangi Pak Tris sampai dia mengenakan helm dan melaju pergi.
***
Tak sabar menunggu sampai benar-benar reda, aku memilih menembus hujan agar segera tiba di kamar indekos yang sederhana tetapi selalu terasa nyaman. Setibanya di sana, kutemukan Fajrin asyik berbaring menekuni buku bacaannya ketika aku membuka pintu.
“Sob, aku dapat tawaran ngajar di SMU Insan Kamil. Menurutmu gimana?”
Kening Fajrin tampak berkernyit sejenak. Detik berikutnya, dia tertawa.
“Apa? Ngajar? Hahaha! Emang ente bisa? Tampang musisi rock n roll gini mau ngajar?"
“Nggak tahu nih, aku juga bingung. Ngajar kesenian lagi.”
“Eh, tunggu-tunggu!” Fajrin bangkit dari posisinya. Lalu, duduk dengan sikap serius. “SMU Insan Kamil? Astaghfirullaah, itu SMU yang sering tawuran, kan? Ente tau nggak, siswa-siswanya terkenal badung. Rata-rata mereka anak buangan karena dikeluarkan dari sekolah terdahulu. Bram, ente ngajar aja ane masih nggak yakin bisa atau nggaknya, apalagi kalo kalau ngadepin anak-anak badung! Ente yakin?”
Aku semakin resah mendengar informasi yang disampaikan Fajrin. Aku bukan mahasiswa fakultas Tarbiyah. Karenanya, aku tak punya bekal untuk mengajar. Sehari-hari aku disibukkan dengan buku-buku sastra. Kalau hanya mengajari Asep yang ‘Cuma’ siswa SD sih lain cerita. Mengajari Asep tidak harus jadi guru dulu. Namun, kalau mengajar anak-anak SMU yang badung?
Tunggu! Bukankah Pak Tris bilang, aku mengajar kesenian? Seharusnya aku mampu memberi siswa-siswaku kelak sedikit inspirasi, sebadung apapun mereka.
“Hey, Bram, kok melamun?”
“Ah, nggak tahu deh, Sob. Aku benar-benar lagi butuh kerjaan sekarang.” Gelengku, pasrah.
“Ya udah, ente terima aja. Ente lihat aja nanti. Kalau memang ente nggak sanggup, ya nggak usah dipaksain. Gampang, kan?"
Aku tidak menjawab.
Aku tahu, Fajrin hanya berusaha membuatku tenang.
Ini sudah hari Minggu. Masih satu hari sebelum memenuhi undangan Pak Tris, yakni mengantarkan berkas lamaran pekerjaan untuk menjadi guru kesenian di SMU Insan Kamil. Aku gelisah dan mondar-mandir di teras. Masih ragu, apakah aku yakin telah menerima tawaran Pak Tris? Apakah tidak lebih baik jika kuurungkan saja dan mencari pekerjaan lain?Menjadi guru di SMU Insan Kamil. Siswa-siswanya yang terkenal badung, suka tawuran serta berlabel anak buangan dari sekolah lain menjadi pertimbanganku. Mengenai penyampaian materi seni itu sendiri pun—walaupun aku menguasai musik berikut teorinya dan bisa melukis—tetap akan menjadi tantangan bagiku. Bisa jadi siswa-siswi SMU itu justru tidak menganggapku sama sekali, bahkan melawanku, setelah tahu bahwa guru kesenian mereka yang baru ‘hanyalah’ seorang anak muda sepertiku.Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Menolak tawaran itu?Gelisahku seorang diri di teras ternyata mengundang perhatian orang lain m
Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?””Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya.”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya.&
Tidak terlalu sulit menemukan ruang guru di seantero bangunan bertingkat ini. Aku sudah hampir sampai, ketika sosok Pak Tris tertangkap pandanganku tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Rupanya beliau sengaja menunggu kedatanganku.”Bram! Alhamdulillaah, Bapak kira kamu nggak jadi datang!”Aku mengangguk sopan dan mencium tangannya, persis seperti saat masih menjadi muridnya dulu. Ah, sampai kapan pun, Pak Tris memang akan selalu menjadi guruku. “Ayo masuk, Bram,” diajaknya aku ke ruangan guru. Setelah memperkenalkanku sebentar kepada beberapa guru di sana, Pak Tris mengajakku ke ruangannya sendiri. Dia langsung memeriksa map berisi CV dan surat permohonan mengajar yang kuajukan.”Berkas lamaranmu Bapak terima, ya, walaupun ini sebenarnya hanya formalitas saja.” Pak Tris tersenyum senang. “Oh ya, hari ini bapak kepala sekolah berhalangan da
Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya.”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa
Hiruk-pikuk kembali kudengar dari luar. Gerutuan keras huuuu, disusul teriakan lantang petugas piket yang seolah tak bosan-bosannya menegakkan aturan di sekolah ini, mengiringi satu per satu siswa-siswiku yang beberapa saat lalu meninggalkan kelas, kembali masuk ke ruangan. Kuhitung satu per satu kepala yang kembali ke bangku masing-masing. Tiga puluh empat orang. Kulirik list siswa di tanganku. Total siswaku seharusnya 35 orang. Dengan langkah pelan dan dagu yang sedikit terangkat, aku memastikan keberadaan mereka. Ternyata seluruh siswaku sudah di sini kecuali pemuda berkacamata bertubuh ceking yang mengawali ‘pemberontakan’ seisi kelas terhadapku tadi. Ya, aku pastikan, anak itu saja yang belum kembali ke kelas ini.Ah, aku tak akan peduli padanya. Tiga puluh empat orang siswa di depanku inilah yang terpenting saat ini, tak peduli sesinis apa pun tampang mereka. Ingatanku melayang pada materi yang kupelajari dari buku-buku pedagogis yang dipin
“Selamat siang, Pak Bram,” selarik senyum dan kalimat sapa yang menyejukkan menyambutku di ruang guru, setelah beberapa lama suasana kelas yang hampir mirip neraka tadi seolah memanggangku.“Selamat siang, Bu,” balasku tak kalah sopan.Dia guru piket yang tadi menggiring siswa-siswiku kembali ke kelas. Ah, akhirnya kami bertemu dalam suasana yang normal, setelah dua-tiga kali aku hanya melihatnya berteriak-teriak gusar.“Saya Bu Veni.” Katanya memperkenalkan diri. “Selamat datang di sekolah kita. Ini meja kerja Pak Bram. Silakan, selamat bertugas.”Dia menunjukkanku sebuah meja yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Meja yang besar dan rapi. Kursi yang disediakan pun tampak sangat nyaman. Sayang belum saatnya menikmati empuknya kursi itu, karena sorot mataku menangkap bahwa ruang guru mulai ramai. Hanya seorang guru berpakaian olahraga yang masih berdiri di pintu masuk, tengah menggoda beberapa sisw
Dalam perjalanan pulang, aku memilih diam. Bukan karena tak mau mengobrol lagi dengan Elis, justru bagiku bersamanya malam ini membuatku kembali mendapat semangat baru. Aku sedang teringat Edo dan teman-temannya. Tatap mata Edo yang penuh keraguan, air muka yang penuh ketidakpuasan, membayang jelas dalam ingatan. Ya, besok aku bertekad membungkam mulutnya dengan keberhasilanku menjawab tantangannya.Sanggupkah aku?Perutku kembali terasa lapar, setelah lepas Isya tadi bersama Fajrin melahap martabak pemberian Elis. Saat kutuang teh hangat ke dalam gelas untuk keduakalinya, di atas meja kutemukan beberapa potong martabak telur yang masih menunggu untuk disantap. Kuhabiskan potongan yang tersisa di piring karena kupikir Fajrin tak mungkin lagi memakannya. Dia masih sibuk mempersiapkan materi kuliah besok, bisa-bisa hingga larut malam.Malam ini konsentrasiku terbagi dua. Pertama, menyelesaikan tugas kuliah yaitu melahap novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Kupungut spidol hitam dan mulai menulis dua kata--seni dan rupa—pada white board. Ini langkah awalku untuk mencuri perhatian, cara yang kupelajari dari guru kesenian saat SMK. ”Saya ingin bertanya, adakah di antara kalian yang menyukai bidang seni yang saya tulis di sini?” ”Nggak adaaa!” seperti sebuah choir, jawaban atas pertanyaan yang kulontarkan. “Baik.” Aku mengangguk seraya mengacungkan ibu jari hingga setinggi wajah, berusaha tetap bersikap cool. Walau hati ini mulai bergolak memanas, kepalaku harus tetap dingin. “Sekarang saatnya saya membuat kalian menyukai seni, atau paling tidak menuntaskan kewajiban kalian hari ini dalam hal memahami ilmunya sebagai nilai tambahan rapor kalian
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu