Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.
“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?”
”Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya.
”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya.
”Macam-macam. Ada tentang tips mengajar, psikologi pendidikan, problem solving,” jawabku. “Pokoknya pedagogislah. Dipinjemin sama Elis.”
”Jadi, udah mantep nih nerima tawaran ngajar?”
”Aku mau coba dulu, Sob,”
Kuambil pula salah satu buku dan kubuka lembar-lembar pertamanya. Saat melirik Fajrin, kulihat dia pun asyik menyimak bacaan barunya. Sahabatku ini memang tertarik pada berbagai jenis bacaan, tak terkecuali buku dengan tema seperti ini. Tak heran di sela-sela keseriusan kami melahap buku masing-masing, kadang-kadang terlontar diskusi kecil yang tanpa kusadari memberi masukan berupa ‘makanan sehat’ ke otakku, berkaitan dengan persiapan mengajar besok.
Alhamdulillaah, that’s the friends are for! Aku, Fajrin, dan Elis tentunya.
***
Malam ini aku benar-benar tak dapat memejamkan mata.
Seperti apa rasanya berdiri di hadapan puluhan murid? Bagaimana caranya nanti memperkenalkan diri dan menjelaskan materi? Ah, belum-belum aku sudah deg-degan begini. Ketakutan dan kecemasanku ini luar biasa rasanya. Apalagi, jika mengingat reputasi para siswa di tempatku mengajar nanti.
Ah, tunggu! Apakah memang sudah separah itu akhlak siswa-siswi SMU sekarang? Lalu, apakah mereka harus selalu jadi ‘anak manis’, sementara aku sendiri sempat menjalani masa remaja dengan sepenggal catatan buruk? Dulu, tidak sekali-dua kali aku membuat guru-guruku geram. Ya, sifatku keras kepala. Sikap ini semata-mata adalah perwujudan kecewa dan marahku pada Ayah yang telah memasukkanku ke sekolah berasrama yang penuh aturan ketat dengan banyak kegiatan yang menjenuhkan.
Pulang sekolah, kami hanya bisa istirahat sebentar. Selepas ashar kami harus mengikuti pelajaran tambahan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Usai sholat maghrib, kami wajib mengikuti pengajian, sedangkan setelah isya harus menyetor hafalan vocabulary bahasa Inggris dan bahasa Arab kepada pengurus asrama sebanyak 10 kata. Karena merasa isi kepalaku nyaris meledak gara-gara tuntutan rutinitas yang menurutku seakan tidak mengenal jeda, aku sering melawan kakak pembina dan guru-guru yang dikenal sangat disegani.
Beberapa tahun kemudian, kini, tiba-tiba saja aku harus berhadapan dengan hal-hal buruk yang kulakukan di masa lalu. Apa ini yang segelintir orang bilang ‘hukum karma’—maksudku, semacam hukum sebab-akibat—untukku?
Jangan-jangan, malah lebih buruk dari itu?
***
Waktu seakan tidak mau berkompromi. Tiba-tiba saja, pagi sudah menjelang.
Melihat kekurangsiapanku sejak kemarin, pagi itu juga Fajrin menawarkan celana panjang, kemeja kotak-kotak, dan ikat pinggang miliknya untuk kukenakan. Selain itu, Fajrin pun menyodorkan sepatu kulitnya. Suka atau tidak suka, aku merasa harus menerima tawaran baiknya. Lagipula, memang tidak ada pakaian yang lebih baik selain yang sudah sering kukenakan untuk pergi kuliah. Lucu rasanya setelah semua yang dipinjamkan Fajrin melekat di tubuhku. Saat aku berkaca sekali lagi, Fajrin tertawa terbahak-bahak.
”Sukses, yaaa, Pak Guru!” ledeknya.
Huh! Aku memprotes dalam hati. Tentu saja aku tidak langsung mengajar pagi-pagi begini. Aku akan kuliah dulu seperti biasa, barulah sehabis zuhur nanti bersiap ke tempat Pak Tris: SMU Insan Kamil.
Diam-diam, aku meniti jalan di depan rumah Elis. Aku tak mau Elis melihatku dengan gaya berpakaian seperti ini, takut tiba-tiba dia menertawakanku. Ketika kulihat motor yang biasa Elis kendarai masih terparkir di teras rumahnya, aku mempercepat langkah.
”Hey! A Bram!”
Terlambat. Itu suara Elis! Sepertinya mata Elis menangkap bayanganku. Aku berhenti dan menahan napas. Pasrah dan bersiap-siap menerima apa pun ekspresi keterkejutan Elis saat mengomentari penampilanku saat ini.
”Si Aa, meuni ganteng pisan euy! Kalau pakai pakaian seperti ini, A Bram nggak kayak anak band lagi, deh. Keren! Udah kayak pak dosen aja!” ucap Elis, tak kuduga sama sekali.
”Ah, Elis bisa aja,” di antara irama degup jantungku, aku tersenyum mendengar pujiannya yang terdengar spontan dan tulus. “Kamu yakin, Lis?”
”Elis serius kok, A. Ya sudah, mendingan sekarang Aa berangkat, nanti kesiangan lagi. Jangan lupa baca bismillah, A. Ingat, ini hari pertama mengajar. Jadi, harus memberi kesan istimewa di depan murid-murid nanti.”
Aku mengangguk. Kubalas senyum Elis. Lalu, bergegas melanjutkan perjalanan.
****
Lepas zuhur, begitu tunai empat rokaat sholat di masjid kampus, tujuanku satu: ke halte bus yang akan membawaku bertemu Pak Tris dan para calon anak didikku nanti.
Deg!
Hatiku terus memanjat doa. Tiba-tiba gugupku makin menjadi saat kendaraan umum yang kutumpangi berhenti tepat di depan sebuah bangunan bertingkat nan mentereng. SMU Insan Kamil. Sepasang kakiku sedikit gemetar melihat dua orang petugas keamanan berjaga-jaga dengan sikap siaga di sudut gerbang. Menyadari bahwa langkah ini tak mungkin surut lagi, aku menerobos maju. Nyaris bersisian dengan sepasang siswa yang meniti jalan ke arah pintu masuk.
Sesaat, kaki ini berhenti bergerak. Beberapa raut wajah belia melirikku dengan mimik bertanya-tanya. Dengan kepala sedikit tertunduk, langkahku kembali menerobos kerumunan kecil siswa-siswi yang berhamburan di halaman sekolah. Sekilas, dapat kusimpulkan bahwa mereka cantik-cantik dan tampan-tampan. Sepertinya benar ..., ini bukan sekadar sekolah dengan reputasi siswa yang kurang baik, tetapi sekaligus kumpulan anak-anak orang berada.
Tidak terlalu sulit menemukan ruang guru di seantero bangunan bertingkat ini. Aku sudah hampir sampai, ketika sosok Pak Tris tertangkap pandanganku tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Rupanya beliau sengaja menunggu kedatanganku.”Bram! Alhamdulillaah, Bapak kira kamu nggak jadi datang!”Aku mengangguk sopan dan mencium tangannya, persis seperti saat masih menjadi muridnya dulu. Ah, sampai kapan pun, Pak Tris memang akan selalu menjadi guruku. “Ayo masuk, Bram,” diajaknya aku ke ruangan guru. Setelah memperkenalkanku sebentar kepada beberapa guru di sana, Pak Tris mengajakku ke ruangannya sendiri. Dia langsung memeriksa map berisi CV dan surat permohonan mengajar yang kuajukan.”Berkas lamaranmu Bapak terima, ya, walaupun ini sebenarnya hanya formalitas saja.” Pak Tris tersenyum senang. “Oh ya, hari ini bapak kepala sekolah berhalangan da
Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya.”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa
Hiruk-pikuk kembali kudengar dari luar. Gerutuan keras huuuu, disusul teriakan lantang petugas piket yang seolah tak bosan-bosannya menegakkan aturan di sekolah ini, mengiringi satu per satu siswa-siswiku yang beberapa saat lalu meninggalkan kelas, kembali masuk ke ruangan. Kuhitung satu per satu kepala yang kembali ke bangku masing-masing. Tiga puluh empat orang. Kulirik list siswa di tanganku. Total siswaku seharusnya 35 orang. Dengan langkah pelan dan dagu yang sedikit terangkat, aku memastikan keberadaan mereka. Ternyata seluruh siswaku sudah di sini kecuali pemuda berkacamata bertubuh ceking yang mengawali ‘pemberontakan’ seisi kelas terhadapku tadi. Ya, aku pastikan, anak itu saja yang belum kembali ke kelas ini.Ah, aku tak akan peduli padanya. Tiga puluh empat orang siswa di depanku inilah yang terpenting saat ini, tak peduli sesinis apa pun tampang mereka. Ingatanku melayang pada materi yang kupelajari dari buku-buku pedagogis yang dipin
“Selamat siang, Pak Bram,” selarik senyum dan kalimat sapa yang menyejukkan menyambutku di ruang guru, setelah beberapa lama suasana kelas yang hampir mirip neraka tadi seolah memanggangku.“Selamat siang, Bu,” balasku tak kalah sopan.Dia guru piket yang tadi menggiring siswa-siswiku kembali ke kelas. Ah, akhirnya kami bertemu dalam suasana yang normal, setelah dua-tiga kali aku hanya melihatnya berteriak-teriak gusar.“Saya Bu Veni.” Katanya memperkenalkan diri. “Selamat datang di sekolah kita. Ini meja kerja Pak Bram. Silakan, selamat bertugas.”Dia menunjukkanku sebuah meja yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Meja yang besar dan rapi. Kursi yang disediakan pun tampak sangat nyaman. Sayang belum saatnya menikmati empuknya kursi itu, karena sorot mataku menangkap bahwa ruang guru mulai ramai. Hanya seorang guru berpakaian olahraga yang masih berdiri di pintu masuk, tengah menggoda beberapa sisw
Dalam perjalanan pulang, aku memilih diam. Bukan karena tak mau mengobrol lagi dengan Elis, justru bagiku bersamanya malam ini membuatku kembali mendapat semangat baru. Aku sedang teringat Edo dan teman-temannya. Tatap mata Edo yang penuh keraguan, air muka yang penuh ketidakpuasan, membayang jelas dalam ingatan. Ya, besok aku bertekad membungkam mulutnya dengan keberhasilanku menjawab tantangannya.Sanggupkah aku?Perutku kembali terasa lapar, setelah lepas Isya tadi bersama Fajrin melahap martabak pemberian Elis. Saat kutuang teh hangat ke dalam gelas untuk keduakalinya, di atas meja kutemukan beberapa potong martabak telur yang masih menunggu untuk disantap. Kuhabiskan potongan yang tersisa di piring karena kupikir Fajrin tak mungkin lagi memakannya. Dia masih sibuk mempersiapkan materi kuliah besok, bisa-bisa hingga larut malam.Malam ini konsentrasiku terbagi dua. Pertama, menyelesaikan tugas kuliah yaitu melahap novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Kupungut spidol hitam dan mulai menulis dua kata--seni dan rupa—pada white board. Ini langkah awalku untuk mencuri perhatian, cara yang kupelajari dari guru kesenian saat SMK. ”Saya ingin bertanya, adakah di antara kalian yang menyukai bidang seni yang saya tulis di sini?” ”Nggak adaaa!” seperti sebuah choir, jawaban atas pertanyaan yang kulontarkan. “Baik.” Aku mengangguk seraya mengacungkan ibu jari hingga setinggi wajah, berusaha tetap bersikap cool. Walau hati ini mulai bergolak memanas, kepalaku harus tetap dingin. “Sekarang saatnya saya membuat kalian menyukai seni, atau paling tidak menuntaskan kewajiban kalian hari ini dalam hal memahami ilmunya sebagai nilai tambahan rapor kalian
Tiba-tiba, pintu kelas berderak keras dan membuka. Derryl berdiri di depan pintu. Di luar dugaan, anak muda itu melangkah ke depan kelas, meraih eraser di meja guru dan langsung menghapus lukisan di white board. ”Jangan bikin gue marah!” serunya pada Nayyara yang seolah tak memercayai apa yang dilihatnya barusan.Sepertinya, drama percintaan akan kusaksikan lagi hari ini. “Dan Pak Bram,” Derryl menuding ke arahku. “Dengar, ya, Pak. Saya nggak suka sama guru yang kegenitan macam Bapak. Saya nggak suka lihat Bapak kecentilan sama Nayya. Apa Bapak tau siapa papa saya? Papa saya seorang perwira tinggi yang kapan saja bisa mengirim pasukannya untuk menghabisi Bapak kalau saya mau!”Setelah menebar ancaman, Derryl pun menuju bangkunya. Dia hanya mengambil tas sekolah lalu menar
Tiba di rumah sakit, kami bergegas menuju salah satu kamar VIP dimana Marsel terbaring lemah. Setelah sedikit berbincang dengan kemenakannya, tante Marsel mempersilakanku mendekat ke tempat tidur. Anak itu duduk berselonjor memangku laptop di atas ranjang. Tubuhnya terlihat semakin kurus dengan kelopak mata yang begitu cekung. Sorot matanya terasa dingin menusuk saat melihat kehadiranku.“Bagaimana keadaanmu?” sapaku hati-hati.Marsel diam. Dia malah membuang tatapannya ke luar jendela.“Sebenarnya saya sedikit lega, absenmu di sekolah hari ini bukan karena hal lain. Semoga kondisimu cepat pulih lagi, Marsel, dan bisa kembali ke sekolah.”“Nggak usah sok jadi pahlawan hanya karena nengok aku ke sini.” Potong Marsel. Kulihat dia menutup laptop dan menyingkirkannya. “Aku nggak akan ke sekolah lagi. Aku nggak senang melihat Bapak mengajar di kelas.”“Kamu, nggak kangen sama teman-teman? Jangan pern
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu