Atmosfer terasa begitu panas. Aura permusuhan terpancar jelas dari laki-laki bergelar suami ini. Dia hanya berdiri tegak tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Memandang Tommy seperti ingin menerkam saja. Sementara itu, Mbak Viona dengan santainya tertawa sambil memainkan gawai. Entah apa yang dia lihat dari benda pipih itu. Sejak Bang Habib di sini, matanya tidak lepas dari gawai.Aku tidak berani menatap Bang Habib. Hanya melirik dari ekor mata saja seraya memilin jari di atas paha. Mendadak aku menjadi tidak enak hati karena melibatkan Tommy di dalam permasalahan kami. Tetapi, bukannya aku tidak sepenuhnya salah. Dia yang meminta agar aku lebih dekat dengan Tommy. Lantas, mengapa dia tidak terima.Tommy berdeham dan tegak berdiri. "Pak Habib, silakan duduk." Tommy bergeser dan meminta Bang Habib agar duduk di sampingku. Meja ini, hanya menyediakan empat kursi berbahan stainless steel saja. Aku dan Tommy duduk bersisian, tapi tetap berjarak. Sementara Mbak Viona duduk sendiri di seb
Mendekatlah! Setelah itu aku akan memasang jarakSeperti yang biasa kau lakukan padakuSeperti itu pula aku membalas meski hanya sejenak Aku hanya ingin menikmati permainan yang kau mulai dulu*** Benarkah yang sudah aku lakukan? Entah mengapa, aku merasa ragu mengikuti rencana Mbak Viona meski aku tahu dia tidak mungkin menjebakku. Hanya saja, aku takut permainan ini justru memperburuk keadaan yang sudah pelik.Kami telah tiba di Pakuwon Mall sejak setengah jam lalu. Mbak Viona terus meminta agar aku mengikuti langkahnya menuju salah satu butik yang menyediakan kebutuhan wanita dewasa. Kaki gemetar saat melewati pintu masuk berbahan kaca tebal ini. Sejak menikah, aku tidak pernah memakai pakaian haram itu. Lagian, pernikahan kami jauh berbeda dari pasangan lain. Jadi untuk apa aku memakai pakaian tipis dan menerawang itu?"Ini, ini dan ini." Dengan lincah Mbak Viona memiliki beberapa lingerie berbagai warna. Aku menelan saliva membayangkan saat memakai pakaian itu. Belum dicoba, a
Dia semakin maju dan membuat punggungku membentur daun pintu. Embusan napasnya menggelitik wajah, sehingga membuat bulu kudukku meremang. Apa mau dia? Mengapa dia jadi posesif? Seharusnya aku senang, tapi entah mengapa rasanya sudah hambar. Kata Mbak Viona, sudah saatnya aku yang memegang kendali."Biasanya kamu nggak pernah mengabaikan teelpon Abang, Ra. Tapi hari ini kamu berbeda." Suaranya terdengar berat dan serak. Aku coba menghela napas agar tidak terbuai dengan sikapnya. Perlahan aku mendongak dan menatap iris mata elang lelakiku ini. "Abang tahu kalau perempuan sudah di salon, maka dia bisa melupakan banyak hal. Bukannya Abang juga begitu kalau lagi menghabiskan waktu di luar?" Aku sengaja menyindir Bang Habib seperti saran Mbak Viona."Ra mau mandi dulu. Gerah," ujarku seraya mendorong dada Bang Habib. Dia masih bergeming tanpa menjawab sindiranku. Tersinggung atau sedang berpikir, mungkin. "Tapi kita belum bicara, Ra. Abang kan udah bilang kalau ada hal penting yang ingin
Bicaralah dengan rasa tanpa amarahGenapkan cinta tanpa prasangka Apalagi praduga yang membuat angkaraKemudian, genggam erat tanganku dengan simpul asmara -Rara Audy Sanjaya- "Ka-kamu tidur pakai baju laknat ini?" tanya Bang Habib terbata-bata. Aku mengulas senyum tipis, lalu menjawab acuh tak acuh sambil mengedikkan bahu. "Lagi pengin aja. Lagian, malam ini gerah." Aku sengaja menekan kata gerah agar dapat melihat reaksi Bang Habib yang ternganga. Mungkin dia heran karena malam ini cuaca cukup dingin, apalagi ditambah pendingin ruang.Bang Habib masih bergeming. Matanya masih memandang lekat tubuhku yang dibalut lingerie seksi ini. Aku tertawa puas di dalam hati. Benar kata Mbak Vioana, laki-laki itu seperti kucing yang tidak akan menolak ikan asin. Walaupun sedikit konyol, itulah kenyataanya. Bahkan, aku dapat melihat jelas dia menelan saliva dengan susah payah."Kamu tahu, Ra? Perempuan hamil itu jauh lebih seksi dibanding sebelum dia hamil. Apalagi kalau perut sudah mulai me
Bab 44:Aku menggeser kepala dan membenamkan wajah ke dalam bantal. Mengabaikan pertanyaan bang Habib. Hanya memikirkan bagaimana menjawab pertanyaan itu saja, sudah membuat rasa takut menggelayut di hati. Aku sama sekali tidak ingin menyembunyikan apalagi mengingkari kehamilanku di depan Bang Habib. Tetapi apa lagi yang bisa dilakukan saat ini?Jika aku memberitahu Bang Habib tentang kehamilanku, bagaimana reaksinya? Apakah dia akan menyangkal keberadaan anak ini? Membayangkannya saja sudah mampu membuat darahku mendingin karena terlalu takut. Bang Habib sangat mencintai Mbak Naya, jadi Bang Habib menyayangi anak-anak mereka. Lantas, bagaimana denganku hanya sebagai istri yang tak dianggap? Apakah anakku akan tidak dianggap juga?Hanya memikirkannya saja sudah membuat hatiku seperti diiris sembilu. Aku belum sanggup menghadapi reaksi penolakan Bang Habib sekarang. Pikiran kalut buyar tatkala mendengar dengusan keras Bang Habib. Mungkin dia kesal karena merasa diabaikan.“Ra," pangg
Aku bisa kuat saat cobaan menerpa kehidupan.Aku mampu berdiri tegak saat badai menghantam Namun, aku goyah saat dia ragu dan tidak lagi percaya padaku Mungkin, hatiku terlampau berharap, sehingga terasa sakit saat dia campakkan.***“Ra, ada klien aku suruh nunggu di ruanganmu ya. Aku masih punya klie lain yang harus ditangani," ucap Aldy saat aku baru saja melangkah masuk ke klinik.Untungnya rasa mual tidak berlangsung lama, sehingga aku tetap bisa datang ke klinik untuk bekerja. Aku sedang tidak ingin menganggur dan membuat pikiran dipenuhi hal-hal negatif karena Bang Habib yang mendiamkan aku.“Oke.” Aku mengangguk ringan pada Aldy. Melihat pria itu terburu-buru masuk ke ruangannya, aku tidak menghentikan, lalu masuk ke ruanganku sendiri.Saat aku masuk, seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan yang sedang duduk di sofa menoleh. Aku meraih file klien yang diletakkan di meja kerja. Membalikkan lembarannya sekilas sembari berjalan ke sofa. Aku tersenyum ramah, lalu mengulurka
Ketika Mbak Silvia pergi, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas. Sudah waktunya untuk makan siang. Aku berjalan ke ruangan Aldy. Namun, sebelum sempat aku mengetuk, terdengar suara perawat Yana dari belakang punggung.“Mbak Rara mau makan siang sama Mas Aldy ya?” tanya perawat Yana sambil tersenyum.Aku mengangguk dan balas tersenyum. “Iya. Aldy belum selesai?” Aku bertanya sambil melihat pintu ruangan Aldy yang masih tertutup rapat.Perawat Yana menggeleng. “Mas Aldy lagi ngelakuin hipnoterapi ke klien Mbak.” Suster Yana menjawab ramah. Aku mengangguk mengerti. Hipnoterapi akan memakan waktu cukup lama, jadi aku memutuskan untuk pergi makan sendiri.“Oke. Kalau gitu aku keluar dulu ya, cari makan.” Karena pergi sendiri, aku memutuskan pergi sedikit lebih jauh dari klinik untuk mencicipi rasa baru. “Iya Mbak. Hati-hati dijalan!" seru suster Yana. Aku hanya mengangguk, tersenyum dan melambaikan tangan pada perempuan itu sebelum pergi keluar. Sejak hamil, aku agak bingung dengan se
“Ra, beli makanan.” Aku menyahut, berusaha memberikan kesan tenang dan acuh tak acuh meski dalam hati gugup serta takut. Seperti yang Mbak Viona bilang, aku harus benar-benar mengendalikan situasi antara aku dan Bang Habib. Mendengar jawabanku, Bang Habib terdiam. Wajahnya terlihat kaku saat menatapku, lalu menatap Tommy bergantian. Perlahan aku melihat seringai tajam muncul dibibir tipis Bang Habib, mempertebal aura menakutkan yang menguar dari tubuhnya. Dia seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa kapan saja.“Beli makanan sampe sejauh ini? Yakin nggak ada alasan lain? Pasti ada, kan?” Bang Habib bertanya dengan nada rendah yang menggelitik telingaku.Aku merasa ada yang salah dengan ucapannya. Seolah-olah dia menuduhku telah melakukan sesuatu yang salah. Tetapi aku juga khawatir ini adalah kesalahpahaman saja terhadap kalimatnya yang tidak jelas.Di saat bersamaan, suara Mbak Viona juga terdengar dari seberang sana, “Apa maksudmu anakmu bakal dibenci Bang Habib waktu lahir n