Bab 44:Aku menggeser kepala dan membenamkan wajah ke dalam bantal. Mengabaikan pertanyaan bang Habib. Hanya memikirkan bagaimana menjawab pertanyaan itu saja, sudah membuat rasa takut menggelayut di hati. Aku sama sekali tidak ingin menyembunyikan apalagi mengingkari kehamilanku di depan Bang Habib. Tetapi apa lagi yang bisa dilakukan saat ini?Jika aku memberitahu Bang Habib tentang kehamilanku, bagaimana reaksinya? Apakah dia akan menyangkal keberadaan anak ini? Membayangkannya saja sudah mampu membuat darahku mendingin karena terlalu takut. Bang Habib sangat mencintai Mbak Naya, jadi Bang Habib menyayangi anak-anak mereka. Lantas, bagaimana denganku hanya sebagai istri yang tak dianggap? Apakah anakku akan tidak dianggap juga?Hanya memikirkannya saja sudah membuat hatiku seperti diiris sembilu. Aku belum sanggup menghadapi reaksi penolakan Bang Habib sekarang. Pikiran kalut buyar tatkala mendengar dengusan keras Bang Habib. Mungkin dia kesal karena merasa diabaikan.“Ra," pangg
Aku bisa kuat saat cobaan menerpa kehidupan.Aku mampu berdiri tegak saat badai menghantam Namun, aku goyah saat dia ragu dan tidak lagi percaya padaku Mungkin, hatiku terlampau berharap, sehingga terasa sakit saat dia campakkan.***“Ra, ada klien aku suruh nunggu di ruanganmu ya. Aku masih punya klie lain yang harus ditangani," ucap Aldy saat aku baru saja melangkah masuk ke klinik.Untungnya rasa mual tidak berlangsung lama, sehingga aku tetap bisa datang ke klinik untuk bekerja. Aku sedang tidak ingin menganggur dan membuat pikiran dipenuhi hal-hal negatif karena Bang Habib yang mendiamkan aku.“Oke.” Aku mengangguk ringan pada Aldy. Melihat pria itu terburu-buru masuk ke ruangannya, aku tidak menghentikan, lalu masuk ke ruanganku sendiri.Saat aku masuk, seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan yang sedang duduk di sofa menoleh. Aku meraih file klien yang diletakkan di meja kerja. Membalikkan lembarannya sekilas sembari berjalan ke sofa. Aku tersenyum ramah, lalu mengulurka
Ketika Mbak Silvia pergi, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas. Sudah waktunya untuk makan siang. Aku berjalan ke ruangan Aldy. Namun, sebelum sempat aku mengetuk, terdengar suara perawat Yana dari belakang punggung.“Mbak Rara mau makan siang sama Mas Aldy ya?” tanya perawat Yana sambil tersenyum.Aku mengangguk dan balas tersenyum. “Iya. Aldy belum selesai?” Aku bertanya sambil melihat pintu ruangan Aldy yang masih tertutup rapat.Perawat Yana menggeleng. “Mas Aldy lagi ngelakuin hipnoterapi ke klien Mbak.” Suster Yana menjawab ramah. Aku mengangguk mengerti. Hipnoterapi akan memakan waktu cukup lama, jadi aku memutuskan untuk pergi makan sendiri.“Oke. Kalau gitu aku keluar dulu ya, cari makan.” Karena pergi sendiri, aku memutuskan pergi sedikit lebih jauh dari klinik untuk mencicipi rasa baru. “Iya Mbak. Hati-hati dijalan!" seru suster Yana. Aku hanya mengangguk, tersenyum dan melambaikan tangan pada perempuan itu sebelum pergi keluar. Sejak hamil, aku agak bingung dengan se
“Ra, beli makanan.” Aku menyahut, berusaha memberikan kesan tenang dan acuh tak acuh meski dalam hati gugup serta takut. Seperti yang Mbak Viona bilang, aku harus benar-benar mengendalikan situasi antara aku dan Bang Habib. Mendengar jawabanku, Bang Habib terdiam. Wajahnya terlihat kaku saat menatapku, lalu menatap Tommy bergantian. Perlahan aku melihat seringai tajam muncul dibibir tipis Bang Habib, mempertebal aura menakutkan yang menguar dari tubuhnya. Dia seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa kapan saja.“Beli makanan sampe sejauh ini? Yakin nggak ada alasan lain? Pasti ada, kan?” Bang Habib bertanya dengan nada rendah yang menggelitik telingaku.Aku merasa ada yang salah dengan ucapannya. Seolah-olah dia menuduhku telah melakukan sesuatu yang salah. Tetapi aku juga khawatir ini adalah kesalahpahaman saja terhadap kalimatnya yang tidak jelas.Di saat bersamaan, suara Mbak Viona juga terdengar dari seberang sana, “Apa maksudmu anakmu bakal dibenci Bang Habib waktu lahir n
Kuda besi aku kemudikan dengan kecepatan standar menuju klinik. Rasa lapar mendadak hilang setelah bertemu dengan Bang habib. Walaupun harus berdebat dan terjadi kesalahpahaman, tetap saja janin yang aku kandung merasa senang setelah bertemu ayahnya itu. Terbukti karena dia tidak lagi minta sesuatu yang aneh lagi.Tiga puluh menit sebelum pukul dua, aku tiba di klinik dengan membawa makanan dari restoran tadi. Aldy mengernyit heran saat kami bertemu di pantry. Sahabat baikku itu baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama perawat Yana dan bagian admin."Kamu bukannya pergi makan? Kenapa malah bawa bungkusan segala?" tanya Aldy setelah meletakkan piring kotor di wastafel. Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh, lalu mengambil sendok dan garpu.Aldy menarik ujung tunik yang aku kenakan, sehingga aku membalikkan badan. "Kamu habis menangis, Ra? Kamu sakit atau butuh sesuatu?" Dia memberondongku dengan pertanyaan. "Emang kenapa kalau aku pengin sesuatu? Kamu mau belikan?" Aku berkata semb
Kita tidak pernah tahu kapan batas akhir waktu. Sebisa mungkin, ukir cerita indah tanpa ada keluhan. Nikmati saja setiap proses tanpa harus protes. Toh, bahagia kita yang tentukan. Bukan dia, apalagi mereka yang tidak pernah menyukaimu.Simpel, kan?-Rara Audy Sanjaya-Embusan napas panjang terdengar dari sisi kiri. Profesor Lauren mengusap sudut mata yang tergenang air. Dia menangis mendengar sekelumit kisah rumah tanggaku. Apa aku begitu menyedihkan, sehingga laki-laki tegar seperti beliau menjatuhkan air mata? Atau merasa ngilu di saat aku harus menahan sensasi ngidam seorang diri. Entahlah.Aldy yang duduk di kursi kerja, terdiam sembari menunduk menatap meja beralas kaca tebal. Namun, rahangnya mengatup keras menahan emosi. Beberapa waktu lalu, aku hanya menceritakan sebagian kecil saja. Mungkin dia terkejut mendengar kejujuranku saat ini. Atau ..., bisa saja dia sama merasa kasihan padaku. Seperti nan dirasakan Profesor Lauren."Jadi apa yang ingin kamu lakukan? Apa saya boleh t
"Tolong sampaikan bahwa saya akan keluar sebentar lagi, Mbak," ujarku setelah diam beberapa jenak. Yana menawarkan untuk menemui Bang Habib sementara aku bersiap-siap. Dia bilang Aku harus lebih segar kalau menyambut suami. Aku membenarkan ucapan Yana karena tidak ingin Bang Habib curiga.Sling bag yang diletakkan entah oleh siapa di atas meja kerja Aldy aku ambil dengan tergesa, lalu mengeluarkan bedak serta lipstik. Wajah pucat sudah mulai berkurang, begitu pula dengan keringan dingin. Setelah mematut diri di cermin kecil dalam genggaman, aku kembali memasukkan kedua benda tersebut ke tempat semula, dan berdiri tegak dari sofa yang aku duduki.Akan tetapi, aku mendadak gelisah. Entah mengapa aku merasa kedatangan Bang Habib hanya akan menambah masalah. Belum tuntas kesalahpahaman yang terjadi belakangan ini, tetapi mengapa Tuhan masih bercanda dengan kehidupanku? Office girl pemberi kabar telah keluar bersama Yana sejak beberapa jenak lalu, sehingga menyisakan aku dan Aldy di ruang
Tidak ada yang perlu disesaliSemua telah diatur oleh sang Pencipta Tugas kita hanya menjalani Tanpa mengeluh dan putus asa ***Kuda besi melaju kencang membelah ruas jalan tanpa tahu arah. Untung saja belum jam pulang kantor, sehingga ruas jalan tidak terlalu macet dan aku bisa mengemudi tanpa hambatan. Pada perempatan jalan aku berhenti, lalu memperhatikan lalu lalang pedagang kaki lima menjajakan barang dagangan. Tidak juah dari Taman Kota Sungai Surabaya. Mereka tampak tertawa lepas tanpa beban. Aku jadi iri karena tidak bisa seperti mereka meski hidup dalam keterbatasan.Aku menarik napas sejenak di depan gerbang taman. Aku tidak berminat untuk turun, hanya ingin mencari udara segar melalui kaca jendela yang sengaja uku turunkan hingga kandas. Otak terus berpikir, ke mana aku setelah ini? Tidak mungkin pulang ke rumah Bang Habib. Hati terlalu sakit jika memandang wajahnya saja.Gawai yang aku letakkan di bangku penumpang bagian depan berbunyi. Aku masih enggan menerima telepo