Jika hidup hanyalah soal warna, maka hitam adalah pilihanku. Jika hidup menjadi misteri, maka pekatnya malam adalah tempatku. Jika bahagia harus berupa pelangi, maka tersingkirlah aku.-Rara Audy Sanjaya-***Aku masih mendengar teriakan Mbak Viona dan beberapa orang tak dikenal sebelum semua menjadi gelap. Aku seperti terperangkap di dalam kegelapan yang tidak bertepi. Sunyi dan senyap. Namun, aku tetap dapat merasa sakit di bagian bawah perut.Bau karbol menyengat di indra penciuman, membuat aku mengernyit heran. Aku membuka mata perlahan dengan rasa pusing luar biasa. Cahaya lampu membuat aku kembali mengernyit karena silau menusuk netra. Di mana ini? Mengapa tempat ini terasa asing? "Kamu sudah sadar, Ra?" Aku makin linglung ketika mendengar suara Mbak Viona menyapa. Setelah mata menyesuaikan cahaya di ruangan ini, aku menoleh ke asal suara. Mbak Viona berdiri dengan tatapan cemas di samping Bang Tengku. Pikiranku mendadak berotasi mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Perempuan itu ....Memiliki tangan yang luar biasa. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu dengan kedua tangannya. Padahal, komposisi tangan laki-laki dan perempuan itu sama saat Tuhan menciptakan kita.Kedua tangannya mampu memberi kehangatan untuk suami dan anak-anaknya. Sekaligus memberi rasa nyaman lewat pelukan.Perempuan itu ....Memiliki dagu yang terangkat angkuh. Dia membuktikan bahwa dia kuat saat suami dan anak-anaknya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sakit, misalnya. Atau di saat suaminya hancur dan butuh dukungan.Dengan dagu terangkat, dia mengatakan bahwa dia kuat dan tidak rapuh saat badai memporak porandakan hatinya. Dia pemain peran yang ulung.Dengan dagu terangkat, dia menahan air mata yang merebak hendak dikeluarkan. Agar suami dan anak-anaknya tetap merasa nyaman.Perempuan itu ....Memiliki otak yang cerdas. Dia pemikir sekaligus negosiator ulung dibanding laki-laki. Dia teman diskusi yang memiliki banyak taktik. Dengan otak kecilnya, dia bis
Aku menunggu dengan gelisah karena Bang Tengku belum juga kembali ke kamar inap. Setelah aku pikirkan baik-baik, akan lebih baik jika bertemu langsung dengan anak-anak. Aku tidak ingin mereka beranggapan bahwa aku tidak menyayangi mereka dan berpikir bahwa sengaja menjauh. Tidak. Jangan sampai mereka berpikir buruk tentangku! Cukup Bang Habib saja.Tiga puluh menit sebelum pukul sepuluh, Bang Tengku kembali ke ruang inap dengan membawa amplop dan obat di dalam kantong plastik di tangan. Dia tersenyum tipis, lalu memberi perintah pada anak buahnya agar membawa koperku keluar."Maaf membuat kamu menunggu lama. Antrian panjang di apotik dan bagian administrasi, makanya Abang baru selesai." Tanpa diminta, Bang Tengku memberi penjelasan. Sedikit ragu, aku mendongak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meminta lebih. Anggaplah aku tidak tahu diri karena sudah ditolong, tapi malah ngelunjak. Itu jauh lebih baik, daripada aku menyesal nantinya."Ada yang mau kamu sampaikan?" Seakan dapat memb
Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker
Lantunan sholawat masih berkumandang di ruangan luas ini. Aku diapit oleh Mama dan Mbak Viona menuju sebuah meja di bawah pelaminan. Kursi futura dibalut kain berwarna gading dan dihias dengan aneka bunga. Kemudian, aku duduk di samping Bang Habib, calon mempelai laki-laki.Aku menatap Bang Habib lewat ekor mata. Masih merasa sungkan jika harus menatap langsung manik berwarna coklat madu itu. Sebentar lagi status kami akan berubah, dari saudara sepupu menjadi pasangan suami istri. Di hadapanku, Papa duduk dengan gagahnya. Tangan yang sudah mulai keriput itu terulur dan disambut oleh Bang Habib. Mereka mengikuti instruksi dari penghulu."Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Arfah dengan ...."Ucapan Bang Habib terhenti saat Bang Ridwan menepuk pundaknya cukup kencang. Sekali lagi dia salah menyebut nama mempelai wanita. "Rara, Bib. Bukan Naya," bisik Bang Ridwan, tapi dapat aku dengar dengan jelas.Bang Habib mengusap wajah kasar, setelah menyadari situasi yang terjadi saat ini. Naya
TERJEBAK DI KAMAR PENGANTIN Mama Hani tersenyum penuh arti. Perempuan paruh baya yang biasa aku sapa bude itu menaruh minuman hangat di atas nakas. Aroma jahe menguar di penjuru kamar. Di ambang pintu, Mbak Viona dan suaminya tersenyum memperhatikan kami. Aku tersenyum kikuk saat menyadari arah tatapan mereka."Ra ...! Sini Mama bantu lepaskan kancing kebaya kamu. Ck! Habib itu memang nggak peka." Aku menganggukkan kepala, laku mengikuti Mama Hani menuju kamar mandi di sudut ruangan. Kamar mandi dengan lantai berbahan pualam berwarna gading bermotif abstrak Fasilitas kamar mandi ini pun seperti hotel berbintang. Ada bath up dan shower yang dilengkapi air hangat. Hampir sama dengan rumah Mama dan Papa. Aku memandang Mama Hani melalui cermin besar di atas wastafel. Beliau membantu melepas jilbab yang melilit leher. Aku merasa lega karena terbebas dari mahkota di atas kelapa telah terlepas.Rambutku yang digulung di balik siput pun dilepas sehingga rambut panjang bergelombang itu terge
Aku terbuai dalam aksara mimpi nan indah. Berlari dan melompat tinggi tanpa batu kerikil yang menahan langkah. Andai tahu hidup seindah mimpi, mungkin lebih baik aku memilih tertidur tanpa terjaga lagi.***Aku menelan saliva dengan susah payah. Hampir saja kelopak mata ini terpejam saat Bang Habib mengikis jarak. Matanya fokus menatap bibirku saat ini. Apa dia ingin meminta haknya? Mengapa aku merasa was-was? Bukannya ini yang aku panjatkan dalam sujud tadi? Aku menggelengkan kepala, berusaha berpikir jernih dan tidak terpengaruh dengan sikapnya yang berubah-ubah. Bang Habib tersenyum remeh seraya menegakkan punggung. Namun, manik mata berwarna coklat madu itu masih mengunci bibirku yang terkunci rapat.Dia berdecak kesal, lalu berkata. "Tidurlah, Ra. Ini sudah larut."Ada apa dengan dia? Sejenak perhatian, tapi beberapa jenak kemudian, dia kembali arogan tanpa perasaan. Ranjang empuk dengan sejuta kenangan Bang Habib dan Mbak Naya menjadi saksi bisu malam pertamaku yang hampa. T
"Apa kamu siap mencintai bajingan seperti Abang?" Bang Habib bertanya dengan suara berat dan serak.Aku tidak sempat menghindar saat bibir penuh Bang Habib menempel di atas bibirku yang belum pernah terjamah. Awalnya hanya menempel, lalu dia mulai melumat kasar hingga aku sulit bernapas.Bukan. Bukan ini yang aku mau. Aku ingin kamu saling menerima tanpa ada paksaan. Namun, kenapa dia jadi seperti ini? Aku tidak mengenal sosok laki-laki yang tengah menggigit bibir ini dengan kasar tanpa perasaan.Aku memberontak saat Bang Habib menindih tubuhku. Ingin sekali mendorong tubuhnya agar menjauh, tapi sekali lagi tenagaku terkuras karena air mata yang merebak deras.Napasku terengah-engah saat bibirnya berpindah ke batang leherku dan menghisapnya dengan kuat. Aku merutuki diri karena mendesah di sela isak tangis. Pasti nanti leherku akan dipenuhi bercak merah yang memalukan."Kamu menikmati, Ra. Munafik!" Bang Habib kembali merendahkanku, tapi tangannya menyelinap masuk ke dalam baju kaos