TERJEBAK DI KAMAR PENGANTIN
Mama Hani tersenyum penuh arti. Perempuan paruh baya yang biasa aku sapa bude itu menaruh minuman hangat di atas nakas. Aroma jahe menguar di penjuru kamar. Di ambang pintu, Mbak Viona dan suaminya tersenyum memperhatikan kami. Aku tersenyum kikuk saat menyadari arah tatapan mereka."Ra ...! Sini Mama bantu lepaskan kancing kebaya kamu. Ck! Habib itu memang nggak peka."Aku menganggukkan kepala, laku mengikuti Mama Hani menuju kamar mandi di sudut ruangan. Kamar mandi dengan lantai berbahan pualam berwarna gading bermotif abstrak Fasilitas kamar mandi ini pun seperti hotel berbintang. Ada bath up dan shower yang dilengkapi air hangat. Hampir sama dengan rumah Mama dan Papa.Aku memandang Mama Hani melalui cermin besar di atas wastafel. Beliau membantu melepas jilbab yang melilit leher. Aku merasa lega karena terbebas dari mahkota di atas kelapa telah terlepas.Rambutku yang digulung di balik siput pun dilepas sehingga rambut panjang bergelombang itu tergerai bebas. Mama Hani mengalihkan tangan pada kancing-kancing rumit kebaya modern ini. Membuka dengan hati-hati tanpa merusak apa pun yang melekat di atas kain mahal tersebut."Matur nuwun, Bude. Eh, Ma." Aku tergagap karena terlepas memanggil bude pada Mama. Padahal, setelah akad nikah tadi, Mama Hani meminta agar aku membiasakan diri dengan status baru kami.Mama Hani tergelak hingga matanya menyipit. Pengusaha kondang di bidang konveksi ini menepuk pelan pundakku, lalu berkata dengan nada lembut. "Yo wis. Kamu mandi dulu, sana. Pasti gerah, toh?"Mama Hani keluar kamar mandi. Aku sempat mengintip dari celah pintu saat Bang Habib berdebat dengan ketiga saudaranya. Entah apa yang mereka perdebatkan. Saat ini, aku lebih memilih membersihkan diri.Kebaya modern berwarna silver teronggok di atas lantai. Aku segera menuju bath up dan mengisi air dan menabur aroma terapi di dalamnya. Sementara menunggu bath up terisi penuh, aku menyalakan shower dan memberi sentuhan lembut di kepala. Mencuci rambut dan kulit kepala yang terasa lengket oleh keringat.Aku paling suka berendam seperti saat ini. Salah satu cara untuk menjernihkan pikiran setelah beraktivitas seharian. Namun, malam ini aku tidak mungkin dapat tenang karena berada di dalam kamar yang sama dengan Bang Habib."Bang Al. Andai Abang mau membuka sedikit saja hati Abang. Mungkin Ra akan merasa bahagia." Aku berguman pelan. Al. Nama yang aku sematkan untuk Bang Habib sejak kecil dulu.*Ra pengen berbeda dari yang lain, Bang. Jadi, cuma Ra yang boleh memanggil Abang seperti itu." Dia terkekeh saat mendengar alasanku memanggilnya dengan sebutan Bang Al.Aku menyudahi aktivitas berendam setelah merasa tubuh sedikit menggigil. Aku bangkit berdiri dan keluar dari bath up. Kali telanjang ini melangkah hati-hati menuju wastafel. Namun, mataku membola saat menyadari tidak membawa handuk dan baju ganti."Ya .., basah lagi." Aku menatap nanar kebaya yang sudah lembab. Tidak mungkin juga keluar dengan keadaan telanjang sepeti ini.Aku mendekati pintu, lalu berteriak memanggil Mama Hani. Aku sangat berharap Mama Hani atau Mbak Viona masih berada di kamar."Ma ...! Bisa minta tolong ambilkan Ra handuk?"Aku tidak mendengar sahutan dari balik pintu. Aku mencoba membuka pintu, dan mencondongkan kepala ke luar. Sepi. Tidak ada satu orang pun yang terlihat. Namun, sejurus kemudian, aku mendengar suara teriakan Bang Habib."Viona!"Aku kembali menutup pintu dan bersandar di tembok yang dingin. Tubuhku mulai menggigil, tapi tidak memiliki nyali untuk keluar. Apalagi, Bang Habib sepertinya marah entah karena apa.Jantungku hampir copot saat ketukan dari luar membuat aku terlonjak kaget. "Ra! Apa kamu masih lama?"Aku menghirup napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah lebih tenang, aku menyahut dengan suara tercekat di tenggorokan. "Bang, tolong ambilkan Ra handuk dan koper ...!"Seharusnya Bang Habib mendengar karena kami hanya dipisahkan oleh pintu saja. Namun, dia tidak menyahut, hanya langkah kaki yang menjauh saja terdengar samar.Beberapa jenak menunggu sampai akhirnya pintu kembali diketuk dari luar. Aku membuka daun pintu dan hanya menjulurkan tangan keluar. Benda lembut dan tebal berada di telapak tangan, ukurannya lebih berat dari handuk. Belum sempat aku menarik tangan kembali, benda asing lainnya menyusul di atas handuk jumbo ini."Pakai itu dulu." Suara Bang Habib terdengar lantang.Aku kembali mengunci pintu, tapi mataku membola karena ternyata Bang Habib memberikan selimut tebal dan piyama biru ukuran besar."Kopee Ra mana, Bang?""Pakai itu dulu, Ra. Abang nggak lihat ada koper kamu di kamar." Dia menyahut setengah berteriak.Perasaan, aku sudah membawa koper ke dalam kamar in sebelum akad nikah dilangsungkan. Tetapi, kenapa Bang Habib tidak menemukannya? Aneh.Aku memakai piyama kedodoran milik Bang Habib, lalu membungkus tubuh dengan selimut tebal yang sudah lembab. Di balik piyama, sudah jelas aku tidak memakai dalaman sama sekali.Bang Habib hampir saja menyemburkan tawa saat aku keluar dari kamar mandi. Dari ujung rambut hingga betis, aku bungkus menggunakan selimut tebal yang telah lembab. Biarh aku seperti kepompong, daripada berpakaian, tapi seperti telanjang.Aku menuju sudut kamar yang terbentang sajadah. Memakai mukenah dengan cepat dan mulai menjalankan salat Isya yang sudah terlewat sejak tadi. Pantang rasanya meninggalkan kewajiban hanya karena urusan dunia.Salam sujud panjang aku berharap agar Allah mau memberi kebahagiaan untuk pernikahan kami. Menjadikan pernikahan sebagai ladang pahala untukku dan Bang Habib selalu suami. Seperti pernikahan pada umumnya.Apakah aku terlalu serakah jika berharap mendapat cinta dari laki-laki bergelar suami itu?"Kanap jendelanya Abang buka?" tanyaku setelah membungkus tubuh dengan selimut lembab.Bang Habib menoleh sembari menarik sudut bibir. Dia tersenyum, meski terlihat samar. "Pintu kamar ini dikunci Vio dari luar. Bisa dikatakan kita dijebak anak nakal itu." Dia menjelaskan, lalu membuang pandangan ke arah jendela.Aku baru menyadari keanehan yang terjadi. Tentang raibnya koperku, lalu sofa kecil yang pun tidak luput dari kejahilan Mbak Viona. Ck! Mbak Viona memang luar biasa."Tidurlah di ranjang, Ra. Abang akan tidur di ambal aja. Rambut kamu lepaskan aja, nanti kamu bisa sakit." Hatiuu kembali menghangat saat Bang habib menyebut dirinya dengan abang, bukan kata aku seperti beberapa waktu yang lalu. Pun dengan perhatiannya.Sedikit ragu, aku melangkah menuju ranjang dan mendaratkan bokong segera. Bang Habib kembali fokus menatap gelapnya malam sembari menghisap rokok, lalu mengembuskannya perlahan."Lebih baik Abang tidur juga. Ini sudah larut, soalnya."Bang Habib menoleh dan menatapku dengan tajam. Hilang sudah raut ramah di wajah tampannya. Dia bangkit berdiri dari kursi tolet, lalu mendekatiku yang terpekur."Apa ini rencana kamu, Ra? Kamu sengaja meminta Vio untuk mengurung kita agar bisa mendapat hak sebagai istri. Jawab, Ra!" Dia berteriak tepat di depan wajahku."Demi Allah, Ra nggak paham maksud Abamg." Aku tidak serendah itu untuk melakukan hal hina seperti tuduhannya. Meskipun, aku berhak mendapat apa yang dia katakan.Dia membungkuk, tangannya menapak di sisi ranjang. Tubuhku dikurung dengan jarak dekat hingga sapuan napasnya terasa menggelitik permukaan wajahku."Jangan pernah bermimpi merasakan apa itu malam pertama!"Tuhan ... mengapa rasanya sakit seperti ini? Aku tahu dia tidak mencintaiku, tapj apa dia bisa berpura-pura barang sejenak?Aku terbuai dalam aksara mimpi nan indah. Berlari dan melompat tinggi tanpa batu kerikil yang menahan langkah. Andai tahu hidup seindah mimpi, mungkin lebih baik aku memilih tertidur tanpa terjaga lagi.***Aku menelan saliva dengan susah payah. Hampir saja kelopak mata ini terpejam saat Bang Habib mengikis jarak. Matanya fokus menatap bibirku saat ini. Apa dia ingin meminta haknya? Mengapa aku merasa was-was? Bukannya ini yang aku panjatkan dalam sujud tadi? Aku menggelengkan kepala, berusaha berpikir jernih dan tidak terpengaruh dengan sikapnya yang berubah-ubah. Bang Habib tersenyum remeh seraya menegakkan punggung. Namun, manik mata berwarna coklat madu itu masih mengunci bibirku yang terkunci rapat.Dia berdecak kesal, lalu berkata. "Tidurlah, Ra. Ini sudah larut."Ada apa dengan dia? Sejenak perhatian, tapi beberapa jenak kemudian, dia kembali arogan tanpa perasaan. Ranjang empuk dengan sejuta kenangan Bang Habib dan Mbak Naya menjadi saksi bisu malam pertamaku yang hampa. T
"Apa kamu siap mencintai bajingan seperti Abang?" Bang Habib bertanya dengan suara berat dan serak.Aku tidak sempat menghindar saat bibir penuh Bang Habib menempel di atas bibirku yang belum pernah terjamah. Awalnya hanya menempel, lalu dia mulai melumat kasar hingga aku sulit bernapas.Bukan. Bukan ini yang aku mau. Aku ingin kamu saling menerima tanpa ada paksaan. Namun, kenapa dia jadi seperti ini? Aku tidak mengenal sosok laki-laki yang tengah menggigit bibir ini dengan kasar tanpa perasaan.Aku memberontak saat Bang Habib menindih tubuhku. Ingin sekali mendorong tubuhnya agar menjauh, tapi sekali lagi tenagaku terkuras karena air mata yang merebak deras.Napasku terengah-engah saat bibirnya berpindah ke batang leherku dan menghisapnya dengan kuat. Aku merutuki diri karena mendesah di sela isak tangis. Pasti nanti leherku akan dipenuhi bercak merah yang memalukan."Kamu menikmati, Ra. Munafik!" Bang Habib kembali merendahkanku, tapi tangannya menyelinap masuk ke dalam baju kaos
Waktu berganti begitu cepat, seiring musim kemarau yang akhirnya menyelimuti Kota Surabaya. Sembilan bulan lamanya usia pernikahanku dan Bang Habib. Namun, hingga kini kami tidak seperti pasangan pada umumnya. Tidur di ranjang berbeda dan tentunya di kamar terpisah.Seperti perkataan Bang Habib di malam pertama pernikahan kami kala itu. Kami akhirnya pindah di bulan kelima. Itu pun setelah melewati perdebatan panjang dengan Mama Hani. "Rumah ini terlalu besar untuk Mama tempati sendiri, Le. Senadainya kalian ingin kembali, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian." Ucapan Mama Hani kembali terngiang saat kami mengemas barang.Rumah mewah dua lantai yang terletak di Jalan Citra Land menjadi pilihan Bang Habib. Sebagai seorang istri, aku hanya bisa mengikuti apa kata suami. Bukankah surga seorang istri ada pada suaminya? Walaupun sampai saat ini aku tidak tahu apa itu surga dalam pernikahan.Mungkin, aku satu-satunya istri yang masih perawan. Jangankan menjalankan ibadah suami istri
Kau menjeratku dengan cintaKau pun membasuh ragaku dengan lukaJika hadirku tiada nyataMengapa kau hujani aku dengan nestapa?***Aku melepaskan pelukan Bang Habib yang melingkar di atas perut, lalu keluar dari ruangan ini menuju kamarku tanpa menghiraukan panggilannya. Aku membanting pintu kamar yang terletak di hadapan kamar Bang Habib, persis di samping kamar anak-anak. Di dalam kamar ini, aku tidak menyimpan banyak barang. Berjaga-jaga jika keluarga datang dan menginap. Kesepakatan aneh antara aku dan Bang Habib. Lebih tepatnya, keputusan sepihak laki-laki bermata elang itu.Aku mengganti pakaian dengan cepat. Dress yang aku kenakan tadi, telah kusut karena ulah Bang Habib. Keheningan tercipta di ruang makan yang didominasi warna gading. Sejak sepuluh menit lalu, Bang Habib keluar dari kamarnya dalam kondisi jauh lebih segar. Rambut basah dan aroma maskulin menguar di penjuru ruang. Aku hanya dapat melirik lewat ekor mata. Tidak berani melihat langsung karena malu masih mende
Terpaut pada satu hatiTerbelenggu dalam dilema panjangMembeku langkahku tuk gapai hangat sebuah asa Hiduplah lilin putihku Kan kutampung lelehan panas cintamuAdakah untukku? ***"Sepanjang hari aku lewati dengan hati nan membuncah bahagia. Setelah sarapan pagi yang kesiangan tadi, Bang Habib menepati janji dengan mengantarku ke Rumah Sakit Jiwa Menur. Siang ini, aku dan Profesor Lauren memilliki janji temu dengan klien untuk melakukan hipnoterapi.Dalam perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar satu jam, kami hanya berbincang ringan sesekali. Lebih tepatnya aku mencoba mencairkan suasana. Sementara itu, Bang Habib akan menimpali dengan kata singkat, padat dan jelas. Namun, sudah cukup untuk langkah awal hubungan kami yang kaku."Jangan lupa nanti malam dan tolong jangan kecewakan Ra untuk kali ini." Aku kembali mengingatkan saat tiba di pelataran rumah sakit. Bang Habib mengiyakan sebelum akhirnya pergi.Aldy, rekan sesama psikolog memandangku dengan tatapan heran. Laki-laki j
Aku lupa ....Aku mulai terlena dalam cerita yang aku ukir menjadi asa.Aku luka ....Lukaku mulai menganga dan tercabik-cabik. Mengeluarkan nanah, menghunus kristal hatiku.***Sepanjang acara pikiranku terpecah. Tidak bisa aku nikmati makanan yang terasa tersangkut di tenggorokan atau saat Aldy mengajak bercanda seperti biasa. Semua terasa sangat hambar dan tidak bermakna.Ingar bingar acara hiburan yang diisi oleh performance artis ibu kota pun tidak memancing minatku. Meskipun saat ini mereka menyanyikan lagu kesukaanku. Tembang lawas dari Bryan Adams yang berjudul Everything I Do.Lagu itu tidak sama hasilnya dengan nasib percintaanku. Pengorbanan yang selama ini aku lakukan tiada bernilai di mata Bang Habib. Cinta dan ketulusanku dipermainkan sedemikan rupa hingga hati ini hancur lebur tak berbentuk.Perempuan yang mengaku kekasih Bang Habib mengirimkan video durasi singkat. Video yang memperlihatkan kemesraan mereka di ruang remang-remang klub malam. Aku menyesal melihat video
Aku ingin mengepakkan sayap.Terbang tinggi, lalu hinggap di atas ranting barang sejenak.Namun sayangnya, sayapku telah terpanah peristiwa dan tumpahkan lara.***Matahari yang terbit di ufuk timur, tapi aku masih enggan untuk bangkit dari ranjang ini. Tubuhku seakan remuk dan tidak memiliki tenaga. Setelah mandi dan salat subuh, aku hanya dapat meringkuk tanpa dapat memejamkan mata.Bayang-bayang kejadian semalam, menari indah di pelupuk mataku. Aku yang selama ini mencinta dan mendamba diperlakukan layaknya istri, tapi mendapat penghinaan layaknya jalang oleh suami sendiri.Andai tidak berdosa, ingin rasanya aku mengakhiri hidup. Daripada bernapas, namun tidak dipandang dan dianggap sebagai istri. Tetapi, jika aku mati, bagaimana nasib anak-anak? Meskipun mereka bukan darah dagingku, hati ini telah terjerat kasih yang tulus.Aku menghela napas saat gawai di atas nakas berdering entah untuk keberapa kalinya. Tanganku menjangkau benda pipih itu, lalu menjawab tanpa melihat siapa yang
_Jika cinta itu mampu membuat bahagiaMengapa dia juga mendatangkan lukaAlih-alih membuatku terbang ke nirwanaNyatanya cinta membuatku makin merana_***Aku melajukan kuda besi ke tempat janji bertemu dengan Aldy. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu hari ini merayakan ulang tahunnya di sebuah cafe yang terletak di Jalan Puncak Permai III. Sekitar dua puluh menit dari rumahku, tapi bisa lebih lama jika terjadi kemacetan di ruas jalan.Musik yang mengiringi perjalananku, seolah-seolah tengah menyindirku saat ini. Lagu yang dibawakan oleh Azmi, penyanyi asal Kota Jambi._Pernah sakit tapi tak pernah sesakit iniKarena pernah cinta tapi tak pernah sedalam iniAku ingin semua cintamu hanya untukkuMemang ku tak rela kau bagi untuk hati yang lain_Akan tetapi, dari penggalan lirik itu, hatiku hanya pernah mencintai satu pria, yaitu Bang Habib saja. Dulu, aku sempat membuka hati untuk laki-laki lain, tapi tetep saja tidak berhasil. Bukankah cinta tidak pernah tahu ke mana dia akan berlabuh
Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker
Aku menunggu dengan gelisah karena Bang Tengku belum juga kembali ke kamar inap. Setelah aku pikirkan baik-baik, akan lebih baik jika bertemu langsung dengan anak-anak. Aku tidak ingin mereka beranggapan bahwa aku tidak menyayangi mereka dan berpikir bahwa sengaja menjauh. Tidak. Jangan sampai mereka berpikir buruk tentangku! Cukup Bang Habib saja.Tiga puluh menit sebelum pukul sepuluh, Bang Tengku kembali ke ruang inap dengan membawa amplop dan obat di dalam kantong plastik di tangan. Dia tersenyum tipis, lalu memberi perintah pada anak buahnya agar membawa koperku keluar."Maaf membuat kamu menunggu lama. Antrian panjang di apotik dan bagian administrasi, makanya Abang baru selesai." Tanpa diminta, Bang Tengku memberi penjelasan. Sedikit ragu, aku mendongak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meminta lebih. Anggaplah aku tidak tahu diri karena sudah ditolong, tapi malah ngelunjak. Itu jauh lebih baik, daripada aku menyesal nantinya."Ada yang mau kamu sampaikan?" Seakan dapat memb
Perempuan itu ....Memiliki tangan yang luar biasa. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu dengan kedua tangannya. Padahal, komposisi tangan laki-laki dan perempuan itu sama saat Tuhan menciptakan kita.Kedua tangannya mampu memberi kehangatan untuk suami dan anak-anaknya. Sekaligus memberi rasa nyaman lewat pelukan.Perempuan itu ....Memiliki dagu yang terangkat angkuh. Dia membuktikan bahwa dia kuat saat suami dan anak-anaknya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sakit, misalnya. Atau di saat suaminya hancur dan butuh dukungan.Dengan dagu terangkat, dia mengatakan bahwa dia kuat dan tidak rapuh saat badai memporak porandakan hatinya. Dia pemain peran yang ulung.Dengan dagu terangkat, dia menahan air mata yang merebak hendak dikeluarkan. Agar suami dan anak-anaknya tetap merasa nyaman.Perempuan itu ....Memiliki otak yang cerdas. Dia pemikir sekaligus negosiator ulung dibanding laki-laki. Dia teman diskusi yang memiliki banyak taktik. Dengan otak kecilnya, dia bis
Jika hidup hanyalah soal warna, maka hitam adalah pilihanku. Jika hidup menjadi misteri, maka pekatnya malam adalah tempatku. Jika bahagia harus berupa pelangi, maka tersingkirlah aku.-Rara Audy Sanjaya-***Aku masih mendengar teriakan Mbak Viona dan beberapa orang tak dikenal sebelum semua menjadi gelap. Aku seperti terperangkap di dalam kegelapan yang tidak bertepi. Sunyi dan senyap. Namun, aku tetap dapat merasa sakit di bagian bawah perut.Bau karbol menyengat di indra penciuman, membuat aku mengernyit heran. Aku membuka mata perlahan dengan rasa pusing luar biasa. Cahaya lampu membuat aku kembali mengernyit karena silau menusuk netra. Di mana ini? Mengapa tempat ini terasa asing? "Kamu sudah sadar, Ra?" Aku makin linglung ketika mendengar suara Mbak Viona menyapa. Setelah mata menyesuaikan cahaya di ruangan ini, aku menoleh ke asal suara. Mbak Viona berdiri dengan tatapan cemas di samping Bang Tengku. Pikiranku mendadak berotasi mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Atmosfer di ruangan seluas tiga puluh lima meter persegi ini mendadak haru karena pertemuan sepasang suami istri yang saling melepas rindu. Aku turut terhanyut dalam kebahagian saat kedua sejoli itu melerai pelukan dan melempar senyuman pada kami. Setelah mampu menguasai diri, Mbak Viona meminta agar Bang Tengku untuk duduk di sofa bersama kami. Tentu saja hal ini dimanfaatkan Mbak Viona untuk bersandar manja di dada bidang laki-laki bermata hazel itu. Sementara itu, suaminya membelai lembut puncak kepala dia dengan penuh kelembutan."Jadi dia menuduh kamu berzinah dan menolak mengakui anak kalian?" Bang Tengku meyakinkan bahwa informasi yang dia dengar tidak salah.Aku mengangguk seraya tersenyum kecut, lalu berkata, "Ya. Bahkan Ra sudah menantang dia untuk melakukan tes DNA begitu kehamilan ini tidak rawan, tapi sayangnya dia menolak." Bang Tengku menggeram marah dengan rahang mengatup erat, jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Dasar bajingan! Semabuk-mabukny
Memilih pergi bukan untuk berhenti mencintai Tetapi memberi waktu untuk sejenak menepi Rasakan cinta kala dua jiwa terpisah tanpa saling menyakiti Kemudian, jika takdir menemukan kita lagiSudah tidak ada keraguan di hati***Bang Baim melonggarkan kancing kemeja bagian atas. Sepertinya dia butuh udara segar karena tiba-tiba napasnya tersengal. Mbak Viona memang sangat pintar membuat lawan atau kawan merasa terintimidasi lewat sorot mata saja. Padahal, dia belum mengatakan apa pun.Dengan anggun, jari-jari lentik itu mengangkat cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Cara dia seperti ini mengingatkanku pada Eyang. Seingtaku, gambaran Mbak Viona adalah sosok Eyang di saat muda dulu. Cantik, anggun, tegas, dan berkelas. Bedanya, Eyang kami tidak menikah lagi semenjak Eyang Kakung meninggal. Waktu itu, Mama Hani dan Mama masih kecil dan butuh kasih sayang dari sosok ayah.Akan tetapi, Eyang membuktikan pada siapa pun bahwa dia mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk kedua anaknya. M
Aku masih mematung, menunggu jawaban dari perempuan cantik yang masih tersenyum miring. Entah mengapa firasat mendadak tidak enak hanya dengan melihat tatapan mata Mbak Viona. Walaupun rencana dia selalu berhasil, tetapi tidak jarang mengundang resiko. Seperti tahun lalu, misalnya. Hampir saja si kembar menjadi korban keberingasan para penjabat, begitu juga Natha yang saat itu masih bayi. Karena kecerobohan dan menganggap sepele musuh, Mbak Viona serta anak-anak akhirnya disekap selama beberapa hari. Bahkan, Natha lebih dari satu bulan berada di tangan mafia yang sayangnya adalah mertua Mbak Viona. Jika mengingat hal itu, aku jadi bergidik ngeri. "Kamu pasti lagi mikir yang nggak-nggak. Ck! Dasar otak mesum," sengit Mbak Viona sambil berdecak kesal.Aku mengembuskan napas kasar, lalu duduk di samping dia dan memandangnya dengan lekat. "Jadi apa rencana, Mbak?" Aku menuntut lewat pertanyaan yang sama. "Bukan Mbak, tapi rencana kita berdua," sahut Mbak Viona sambil terkekeh. Dasar a
Aku memilih sarapan di kamar setelah mengambil semangkuk soto dan kopi di restoran hotel. Takut ada kenalan yang melihat dan melaporkan pada keluarga bahwa aku ada di sini. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Keluarga kami merupakan orang terpandang di kota ini, bukan hanya dari kalangan atas, tetapi hampir semua kalangan mengenal baik.Soto dengan toping ayan suwir dan banyak sambal, aku aduk perlahan setelah menambah perasaan jeruk nipis. Aroma kaldu ayam menguar memanjakan indra penciuman. Rasa lapar mendera seketika. Tanpa membuang waktu, aku segera menyantap panganan khas ini ke dalam mulut. Sensasi segar dan pedas berpadu memanjakan tenggorokan. Anehnya, aku tidak mual sejak berada di sini. Mungkin anakku butuh tempat tenang.Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Aku harus bergegas mencari toko pakaian murah agar dapat mengganti baju. Rasanya risih memakai pakaian yang sama sejak kemarin. Ini di luar rencana. Padahal aku telah menyiapkan kebutuhan minggat di dalam koper. Tetapi
Aku hanya ingin menepi barang sejenakMenjauh dari segala hiruk pikuk dan segala macam tuduhan Aku kecewa, hatiku terlanjur terluka Ternyata, kepercayaan itu memang mahal harganya ***Kakiku terus melangkah hingga tiba di gerbang pembatas. Beruntung kunci gembok sudah aku ambil dari tempat penyimpanan kunci di laci dapur, sehingga mempermudah proses pelarian. Posisi rumah ini berada paling pojok dan sengaja dibuat pagar tambahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Seperti saat ini contohnya. Tuhan seakan mendukung, lalu semesta membantu segala urusan agar lebih mudah.Tanganku bergetar saat membuka kunci gembok. Takut akan ketahuan oleh mereka yang aku sebut keluarga. Aku tidak ingin gagal meski berat meninggalkan Muthia dan Liyana, tapi aku tidak punya pilihan. Mental dan pikiran harus terjaga selama masa kehamilan dan rumah ini bukan tempat yang cocok untuk relaksasi pikiran.Aku bernapas lega karena gerbang berhasil aku buka tanpa mengeluarkan bunyi berisik. Rel gerbang ra