Kau terlalu suka bermain peranHari ini kau buat hatiku melambung tinggiMembuat aku kian berharap dalam anganAkan tetapi, aku sadar bahwa semua hanya ilusi***Keheningan tercipta sejak beberapa jenak yang lalu. Telah lebih dari sepuluh menit kami di mobil ini, tapi Bang Habib belum meninggalkan pelataran cafe. Entah apa yang dia inginkan, bertanya pun rasanya lidahku kelu.Aku hanya dapat menunggu sambil meliriknya lewat ekor mata. Napas laki-laki yang tengah mencengkram kemudi itu tidak lagi memburu seperti tadi, tapi belum bisa dikatakan stabil. Masih ada sedikit riak yang menandakan bahwa dia berusaha melerai emosi.Andai dia bersikap seperti ini karena cemburu, pasti aku akan senang hati untuk memancing kecemburuannya setiap hari. Sampai akhirnya dia mengakui perasaanya padaku."Ah, Rara. Kamu terlalu jauh berpikir." Aku merutuki diri di dalam hati. Dasar bodoh!Setelah sekian menit menunggu, akhirnya kuda besi yang ditunggangi Bang habib meninggalkan pelataran. Namun, kali in
Hatiku membuncah bahagia kala ituNamun, hanya sejenak sajaKerena kau balur dengan rasa kecewaAh, ternyata cinta begitu menyakitkan***Detak jarum jam mendominasi kamar ini, tatapan mata kami saling terkunci. Iris mata berwarna coklat madu itu, seolah-olah menyeretku hingga ke dasar jurang terdalam. Butuh beberapa jenak sampai akhrinya aku dapat menetralkan gemuruh di dalam dada. Meskipun tidak terlalu tegang, tapi cukup untuk menguasai diri."Tapi keluarga kita nggak ada yang menginap malam ini." Aku mencoba mencari alasan, meskipun tahu jawabannya apa.Bang Habib tertawa lepas. Dua kali sudah aku melihat dia seperti ini. Sangat tampan."Apa harus menunggu keluarga menginap, baru kamu mau tidur di sini?" Aneh sekali dia bertanya seperti itu. Bukankah dia yang membuat peraturan? Mengapa sekarang mendadak amnesia? Lagian, aku masih takut berada di kamar ini. Bayang-bayang 'pemerkosaan" itu masih terekam jelas diingatan. Apa bisa aku kategorikan seperti itu? Sementara dia adalah sua
Dia meluluhlantakkan perasaan tanpa sisaKemudian, menarik kembali agar mendekatBegitu seterusnya hingga aku tak berdayaIngin pergi pun kakku telah dia jerat***Kicauan burung di luar sana membuat aku tersentak panik. Aku kesiangan. Bahkan, matahari mengintip dari celah vitrase yang gordennya telah tersingkap. Terburu-buru aku turun dari ranjang untuk keluar dari kamar ini. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Akibat begadang, beginilah akhirnya aku. Namun, mengapa Bang Habib tidak membangunkanku? Padahal, dia tahu bahwa diri ini harus bekerja.Lantas, siapa yang mengurus kebutuhan anak-anak? Pakaiannya, sarapan, dan bekal untuk mereka bawa. Ah, Rara. Bisa-bisanya kamu begini. Batinku mendadak panik dan merasa bersalah. Biasanya, segala kebutuhan mereka, akulah yang menyediakan, tapi tidak untuk hari ini.Cinta memang membuat orang menjadi bodoh dan aku sudah membuktikan. Tidur setelah salat Subuh, lalu terjaga saat anak dan suami telah beraktivitas. Apalagi kalau bukan bo
Mari lupakan dan ikuti permainannya Ke mana takdir akan membawa cerita iniAku akan berpasrah dan berserahHanya menunggu sampai saat itu tiba***Aku duduk bersandar di sofa tunggal, sementara itu, Tommy meminta izin ke pantry untuk mengambil minuman dan camilan. Padahal, aku sudah melarang laki-laki keras kepala itu, tapi dia tidak enak memperlakukan istri bos tanpa suguhan apa pun. Aneh!Dua lemon tea hangat dengan irisan lemon di pinggir gelas berkaki tinggi dan aneka camilan gurih manis, telah tersaji di atas meja. Tommy datang setelah lima belas menit aku menunggu. Bersama seorang office girl berpakaian biru kotak-kotak. Aku mengulas senyum tipis seraya mengucapkan terima kasih pada mereka berdua.Tommy kembali berkutat dengan pekerjaannya di seberang tempat aku duduk. Aku hanya memperhatikan seraya mengirim pesan pada Bang Habib. Tetapi, pesanku hanya dibaca, tanpa dia balas sama sekali. Menyebalkan! Apa maksudnya memintaku ke sini, tetapi malah meminta laki-laki lain menemani
Sebisa mungkin, aku bersikap acuh tak acuhMembuang prasangka, lalu mengusir keraguanDia meminta, maka aku akan mengalahBukan untuk menyerah, tetapi berjuang sampai titik darah penghabisan***Tiga hari sejak kejadian di kantor Bang Habib, hubungan kami sekarang sedikit berjarak. Apalagi malam itu dia sempat komplain karena sikapku dianggap tidak sopan pada Cindy. Ingin rasanya aku berteriak, tetapi sebisa mungkin aku menahan agar tidak terjadi keributan. Jujur saja, diri ini merasa kecewa karena dia lebih memercayai perempuan ular itu dibanding istri sendiri.Dia juga memancing cerita tentang Tommy. Sepertinya, lelaki bergelar suami ini sangat ingin aku dekat dengan asistennya itu. Lihat saja nanti. Aku akan mengikuti permainannya, hingga dia mengakui bahwa aku berharga untuk dirinya. Semoga.Aku sengaja menerima usulan suamiku. Seperti siang ini, aku dan Tommy membuat janji untuk makan bersama di sebuah cafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor Bang Habib. Aku akan memanfa
Setiap insan yang terlahir adalah penulisAlam semesta adalah kertasnyaHari ini aku memilih menulis garis takdirku sendiriDan aku ingin kisah ini berakhir bahagiaSemoga .....***"Mas Tommy, apa Ra boleh coba punya Mas Tommy? Mas juga boleh cicip punya Ra." Aku sebenarnya jijik jika harus bermanja seperti ini. Bukan dengan orang bergelar suami pula. Justru pada laki-laki yang duduk di samping suamiku. Ah, sudahlah!Tommy tampak bingung sekaligus canggung karena Bang Habib tengah menyorotnya lekat. Namun, apa peduliku? Dia saja membiarkan Cindy memperlakukannya istimewa. Di depanku pula. Sekarang, rasakan saja pembalasan ini. Tanpa mempedulikan ekspresi kedua laki-laki di hadapanku ini, aku menggeser piring porselen yang berisi spaghetti milikku ke arah Tommy dan mengambil garpu dari atas piringnya. Satu potong udang saos mentega aku kunyah seraya memejamkan mata. Seakan menikmati olahan seafood di mulutku ini.Saat membuka mata, pandangan tertuju pada sang suami. Matanya memerah e
Aku mengatur napas dalam sebelum keluar dari toilet. Lima menit sejak Cindy keluar dari sini, aku hanya memikirkan bagaimana cara menghadapi Bang Habib sambil memperbaiki penampilan. Dia pasti tidak memercayaiku seperti waktu itu. Ah, aku jadi trauma menghadapi suami sendiri.Dengan derap langkah meragu, aku menuju meja kami. Aku menunduk saat tiba di sisi Bang Habib. Menghindari tatapan tajam lelaki bergelar suami itu. Namun, beberapa jenak kemudian, aku mendongak dengan dagu terangkat. "Apa yang kamu lakukan, Ra? Abang tidak menyangka kalau kamu lebih mengutamakan emosi." Kalimat penuh penekanan dia lontarkan tanpa bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Ah, mengapa sesakit ini rasanya? Padahal aku sudah memperkirakan bahwa dia tidak akan percaya sedikit pun padaku. Namun, tetap saja diri ini berharap lebih.Cindy memainkan drama penuh penghayatan. Lihatlah! Dia bahkan menangis tersedu-sedu dengan rambut yang sengaja dibuat masai. Dasar ratu drama!"Abang bisa tanyakan sama perempua
Aku tak ingin berandai-andai Atau sekedar menaruh harapan saja aku tak ingin Hatiku sakit, terlanjut terluka dan berdarahKenyataan ini membuat aku tersadar Bahwa dia bukan untukku """" Aku menatap lampu kristal di plafon di ruang keluarga. Sudah larut malam, tetapi lelaki bergelar suami itu belum pulang. Sementara aku sejak tadi sudah berada di rumah. Ke mana dia? Apa masih sibuk menenangkan perempuan ular itu? Atau mereka menghabiskan malam di suatu tempat?Aku mengeglengkan kepala, mengusir pikiran buruk yang berkelebat di kepala. Teringat pesan Tommy saat kami di taman tadi. Laki-laki itu terkesiap saat aku menceritakan prahara rumah tanggaku. Namun, dia tidak terlalu banyak berkomentar. Hanya memberi saran agar hati-hati menghadapi kelicikan Cindy."Aku bisa menilai dari awal kalau dia memiliki ketertarikan dengan Pak Habib. Maaf kalau aku menambah garam di atas luka Mbak Rara. Tapi aku yakin dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Bapak. Maka dari itu, Mbak Rara ha