Sebisa mungkin, aku bersikap acuh tak acuhMembuang prasangka, lalu mengusir keraguanDia meminta, maka aku akan mengalahBukan untuk menyerah, tetapi berjuang sampai titik darah penghabisan***Tiga hari sejak kejadian di kantor Bang Habib, hubungan kami sekarang sedikit berjarak. Apalagi malam itu dia sempat komplain karena sikapku dianggap tidak sopan pada Cindy. Ingin rasanya aku berteriak, tetapi sebisa mungkin aku menahan agar tidak terjadi keributan. Jujur saja, diri ini merasa kecewa karena dia lebih memercayai perempuan ular itu dibanding istri sendiri.Dia juga memancing cerita tentang Tommy. Sepertinya, lelaki bergelar suami ini sangat ingin aku dekat dengan asistennya itu. Lihat saja nanti. Aku akan mengikuti permainannya, hingga dia mengakui bahwa aku berharga untuk dirinya. Semoga.Aku sengaja menerima usulan suamiku. Seperti siang ini, aku dan Tommy membuat janji untuk makan bersama di sebuah cafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor Bang Habib. Aku akan memanfa
Setiap insan yang terlahir adalah penulisAlam semesta adalah kertasnyaHari ini aku memilih menulis garis takdirku sendiriDan aku ingin kisah ini berakhir bahagiaSemoga .....***"Mas Tommy, apa Ra boleh coba punya Mas Tommy? Mas juga boleh cicip punya Ra." Aku sebenarnya jijik jika harus bermanja seperti ini. Bukan dengan orang bergelar suami pula. Justru pada laki-laki yang duduk di samping suamiku. Ah, sudahlah!Tommy tampak bingung sekaligus canggung karena Bang Habib tengah menyorotnya lekat. Namun, apa peduliku? Dia saja membiarkan Cindy memperlakukannya istimewa. Di depanku pula. Sekarang, rasakan saja pembalasan ini. Tanpa mempedulikan ekspresi kedua laki-laki di hadapanku ini, aku menggeser piring porselen yang berisi spaghetti milikku ke arah Tommy dan mengambil garpu dari atas piringnya. Satu potong udang saos mentega aku kunyah seraya memejamkan mata. Seakan menikmati olahan seafood di mulutku ini.Saat membuka mata, pandangan tertuju pada sang suami. Matanya memerah e
Aku mengatur napas dalam sebelum keluar dari toilet. Lima menit sejak Cindy keluar dari sini, aku hanya memikirkan bagaimana cara menghadapi Bang Habib sambil memperbaiki penampilan. Dia pasti tidak memercayaiku seperti waktu itu. Ah, aku jadi trauma menghadapi suami sendiri.Dengan derap langkah meragu, aku menuju meja kami. Aku menunduk saat tiba di sisi Bang Habib. Menghindari tatapan tajam lelaki bergelar suami itu. Namun, beberapa jenak kemudian, aku mendongak dengan dagu terangkat. "Apa yang kamu lakukan, Ra? Abang tidak menyangka kalau kamu lebih mengutamakan emosi." Kalimat penuh penekanan dia lontarkan tanpa bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Ah, mengapa sesakit ini rasanya? Padahal aku sudah memperkirakan bahwa dia tidak akan percaya sedikit pun padaku. Namun, tetap saja diri ini berharap lebih.Cindy memainkan drama penuh penghayatan. Lihatlah! Dia bahkan menangis tersedu-sedu dengan rambut yang sengaja dibuat masai. Dasar ratu drama!"Abang bisa tanyakan sama perempua
Aku tak ingin berandai-andai Atau sekedar menaruh harapan saja aku tak ingin Hatiku sakit, terlanjut terluka dan berdarahKenyataan ini membuat aku tersadar Bahwa dia bukan untukku """" Aku menatap lampu kristal di plafon di ruang keluarga. Sudah larut malam, tetapi lelaki bergelar suami itu belum pulang. Sementara aku sejak tadi sudah berada di rumah. Ke mana dia? Apa masih sibuk menenangkan perempuan ular itu? Atau mereka menghabiskan malam di suatu tempat?Aku mengeglengkan kepala, mengusir pikiran buruk yang berkelebat di kepala. Teringat pesan Tommy saat kami di taman tadi. Laki-laki itu terkesiap saat aku menceritakan prahara rumah tanggaku. Namun, dia tidak terlalu banyak berkomentar. Hanya memberi saran agar hati-hati menghadapi kelicikan Cindy."Aku bisa menilai dari awal kalau dia memiliki ketertarikan dengan Pak Habib. Maaf kalau aku menambah garam di atas luka Mbak Rara. Tapi aku yakin dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Bapak. Maka dari itu, Mbak Rara ha
Dia masih berada di atas tubuhku, tetapi tatapan tajamnya menghunus hingga ke jantung. lelakiku ini masih menuntut jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan beberapa saat lalu. Apa yang harus aku lakukan jika dia tidak memercayaiku?"Katakan Rara! Siapa laki-laki itu? Atau kamu memang sudah terbiasa melakukan dengan sembarang orang? Jawab!" Hatiku mencelos. Serendah itulah aku di mata suami sendiri? Aku mendorong dadanya dengan kekuatan penuh, sehingga dia menyingkir dari tubuhku. Aku tergugu menahan tangis sambil menceritakan kejadian di malam itu. Namun, tidak sedikit pun dia percaya."Demi Allah! Ra nggak bohong. Abang orang pertama yang merenggut semuanya. Abang laki-laki satu-satunya yang pernah menyentuh tubuh ini." Serak suaraku bersumpah, berharap dia memberi sedikit kepercayaan saja. Namun, anganku terlalu tinggi. Dia masih yakin dengan dugaannya.Berapa angkuhnya suamiku ini, untuk sekedar percaya pun dia tidak mau. Apa meski aku bersujud meminta agar dia mau percaya? Namu
Jika cinta adalah suatu anugerah Maka tidak untukku Nyatanya cinta itu justru membuat aku tersakiti Bahkan membuat hati ini hancur tak berbentukLantas, masih pantaskah aku berharap lebih?***Setiap detik yang berlalu terasa lama. Seolah-olah waktu berhenti berputar. Tidak tahukah sang pemilik waktu bahwa saat ini aku merasa gusar. Meskipun aku berusaha tenang saat tatapan matanya menghunjam, tetapi tetap saja keringat dingin membasahi tubuh kotor ini.Ya, kotor. Dia menganggapku pezina hingga melukai harga diriku sebagai istri. Semua perkataanya membekas dan sulit untuk aku lupakan. Seandainya pun dia meminta maaf, aku bisa saja memaafkan, tapi tidak untuk melupakan semua perbuatan dan perkataan laki-laki bergelar suami ini.Bang Habib bangkit berdiri sembari membawa cangkir kopi berbahan keramik itu. Rahangnya masih mengatup erat dan sorot matanya masih menghunjam laksana belati tajam. Serta, perkataan yang dia lontarkan sebelum meninggalkan ruangan ini kembali membuat aku terpo
Senin pagi merupakan hari tersibuk sepanjang pekan. Menyiapkan kebutuhan sekolah anak-anak, membuat sarapan dan membantu mereka berkemas adalah tugas harianku. Walaupun Muthia dan Liyana mandiri, tetap saja aku ingin membangun bonding dengan mereka agar lebih dekat."Nah, anak Mama makin cantik." Aku memberi pujian setelah merapikan jilbab yang Liyana kenakan. Wajah cantik turunan Mbak Naya ini tersipu malu seraya tersenyum lebar. Rona merah di kulit putihnya membuat aku gemas dan mencium pipinya berkali-kali."Terima kasih Mama," sahutnya riang. Kami masih di kamar anak-anak saat ini. Kemudian, aku membantu membawa tas anak-anak dan meminta mereka menuju ruang makan agar sarapan terlebih dahulu. Kedua kakak adik itu menurut, lalu keluar terlebih dahulu.Nasi goreng seafood telah tersaji di atas meja makan, serta susu untuk minum mereka. Tidak lupa, aku menyiapkan bekal untuk makan siang anak-anak. Sekolah hingga sore tentu saja membuat mereka lelah, tetapi demi masa depan, tidak ada
Cedera di hatiku kembali menganga Belum sempat mengering, lalu kembali basahIngin mengumpat marah, tapi pada siapa?Ingin lari, tapi harus ke mana?***Kedua aparat itu masih di sini. Wajah mereka tampak ramah, tidak menakutkan sama sekali. Aku memilih jari di atas paha, bukan karena takut, tetapi memikirkan cara agar bisa secepatnya menyelesaikan permasalahan ini. Itu saja.Aku mengehela napas kasar, sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Saya akan mengambil tas terlebih dahulu. Bapak bisa menunggu sejenak?"Kedua aparat itu mengangguk mengiyakan. Lantas, aku meninggalkan mereka menuju ruang kerjaku. Aldy menunggu dengan wajah gusar saat aku melewati meja kerjanya. Profesor Lauren yang baru saja keluar dari ruangannya mengernyit heran karena melihat wajah-wajah tegang kami."Ada apa? Kenapa muka kalian seperti itu?" Laki-laki bermata sipit itu bertanya seraya mendekati mejaku. "Saya harus memenuhi panggilan polisi, Prof," jawabku, lalu menceritakan permasalahan yang aku alami bersama
Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker
Aku menunggu dengan gelisah karena Bang Tengku belum juga kembali ke kamar inap. Setelah aku pikirkan baik-baik, akan lebih baik jika bertemu langsung dengan anak-anak. Aku tidak ingin mereka beranggapan bahwa aku tidak menyayangi mereka dan berpikir bahwa sengaja menjauh. Tidak. Jangan sampai mereka berpikir buruk tentangku! Cukup Bang Habib saja.Tiga puluh menit sebelum pukul sepuluh, Bang Tengku kembali ke ruang inap dengan membawa amplop dan obat di dalam kantong plastik di tangan. Dia tersenyum tipis, lalu memberi perintah pada anak buahnya agar membawa koperku keluar."Maaf membuat kamu menunggu lama. Antrian panjang di apotik dan bagian administrasi, makanya Abang baru selesai." Tanpa diminta, Bang Tengku memberi penjelasan. Sedikit ragu, aku mendongak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meminta lebih. Anggaplah aku tidak tahu diri karena sudah ditolong, tapi malah ngelunjak. Itu jauh lebih baik, daripada aku menyesal nantinya."Ada yang mau kamu sampaikan?" Seakan dapat memb
Perempuan itu ....Memiliki tangan yang luar biasa. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu dengan kedua tangannya. Padahal, komposisi tangan laki-laki dan perempuan itu sama saat Tuhan menciptakan kita.Kedua tangannya mampu memberi kehangatan untuk suami dan anak-anaknya. Sekaligus memberi rasa nyaman lewat pelukan.Perempuan itu ....Memiliki dagu yang terangkat angkuh. Dia membuktikan bahwa dia kuat saat suami dan anak-anaknya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sakit, misalnya. Atau di saat suaminya hancur dan butuh dukungan.Dengan dagu terangkat, dia mengatakan bahwa dia kuat dan tidak rapuh saat badai memporak porandakan hatinya. Dia pemain peran yang ulung.Dengan dagu terangkat, dia menahan air mata yang merebak hendak dikeluarkan. Agar suami dan anak-anaknya tetap merasa nyaman.Perempuan itu ....Memiliki otak yang cerdas. Dia pemikir sekaligus negosiator ulung dibanding laki-laki. Dia teman diskusi yang memiliki banyak taktik. Dengan otak kecilnya, dia bis
Jika hidup hanyalah soal warna, maka hitam adalah pilihanku. Jika hidup menjadi misteri, maka pekatnya malam adalah tempatku. Jika bahagia harus berupa pelangi, maka tersingkirlah aku.-Rara Audy Sanjaya-***Aku masih mendengar teriakan Mbak Viona dan beberapa orang tak dikenal sebelum semua menjadi gelap. Aku seperti terperangkap di dalam kegelapan yang tidak bertepi. Sunyi dan senyap. Namun, aku tetap dapat merasa sakit di bagian bawah perut.Bau karbol menyengat di indra penciuman, membuat aku mengernyit heran. Aku membuka mata perlahan dengan rasa pusing luar biasa. Cahaya lampu membuat aku kembali mengernyit karena silau menusuk netra. Di mana ini? Mengapa tempat ini terasa asing? "Kamu sudah sadar, Ra?" Aku makin linglung ketika mendengar suara Mbak Viona menyapa. Setelah mata menyesuaikan cahaya di ruangan ini, aku menoleh ke asal suara. Mbak Viona berdiri dengan tatapan cemas di samping Bang Tengku. Pikiranku mendadak berotasi mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Atmosfer di ruangan seluas tiga puluh lima meter persegi ini mendadak haru karena pertemuan sepasang suami istri yang saling melepas rindu. Aku turut terhanyut dalam kebahagian saat kedua sejoli itu melerai pelukan dan melempar senyuman pada kami. Setelah mampu menguasai diri, Mbak Viona meminta agar Bang Tengku untuk duduk di sofa bersama kami. Tentu saja hal ini dimanfaatkan Mbak Viona untuk bersandar manja di dada bidang laki-laki bermata hazel itu. Sementara itu, suaminya membelai lembut puncak kepala dia dengan penuh kelembutan."Jadi dia menuduh kamu berzinah dan menolak mengakui anak kalian?" Bang Tengku meyakinkan bahwa informasi yang dia dengar tidak salah.Aku mengangguk seraya tersenyum kecut, lalu berkata, "Ya. Bahkan Ra sudah menantang dia untuk melakukan tes DNA begitu kehamilan ini tidak rawan, tapi sayangnya dia menolak." Bang Tengku menggeram marah dengan rahang mengatup erat, jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Dasar bajingan! Semabuk-mabukny
Memilih pergi bukan untuk berhenti mencintai Tetapi memberi waktu untuk sejenak menepi Rasakan cinta kala dua jiwa terpisah tanpa saling menyakiti Kemudian, jika takdir menemukan kita lagiSudah tidak ada keraguan di hati***Bang Baim melonggarkan kancing kemeja bagian atas. Sepertinya dia butuh udara segar karena tiba-tiba napasnya tersengal. Mbak Viona memang sangat pintar membuat lawan atau kawan merasa terintimidasi lewat sorot mata saja. Padahal, dia belum mengatakan apa pun.Dengan anggun, jari-jari lentik itu mengangkat cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Cara dia seperti ini mengingatkanku pada Eyang. Seingtaku, gambaran Mbak Viona adalah sosok Eyang di saat muda dulu. Cantik, anggun, tegas, dan berkelas. Bedanya, Eyang kami tidak menikah lagi semenjak Eyang Kakung meninggal. Waktu itu, Mama Hani dan Mama masih kecil dan butuh kasih sayang dari sosok ayah.Akan tetapi, Eyang membuktikan pada siapa pun bahwa dia mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk kedua anaknya. M
Aku masih mematung, menunggu jawaban dari perempuan cantik yang masih tersenyum miring. Entah mengapa firasat mendadak tidak enak hanya dengan melihat tatapan mata Mbak Viona. Walaupun rencana dia selalu berhasil, tetapi tidak jarang mengundang resiko. Seperti tahun lalu, misalnya. Hampir saja si kembar menjadi korban keberingasan para penjabat, begitu juga Natha yang saat itu masih bayi. Karena kecerobohan dan menganggap sepele musuh, Mbak Viona serta anak-anak akhirnya disekap selama beberapa hari. Bahkan, Natha lebih dari satu bulan berada di tangan mafia yang sayangnya adalah mertua Mbak Viona. Jika mengingat hal itu, aku jadi bergidik ngeri. "Kamu pasti lagi mikir yang nggak-nggak. Ck! Dasar otak mesum," sengit Mbak Viona sambil berdecak kesal.Aku mengembuskan napas kasar, lalu duduk di samping dia dan memandangnya dengan lekat. "Jadi apa rencana, Mbak?" Aku menuntut lewat pertanyaan yang sama. "Bukan Mbak, tapi rencana kita berdua," sahut Mbak Viona sambil terkekeh. Dasar a
Aku memilih sarapan di kamar setelah mengambil semangkuk soto dan kopi di restoran hotel. Takut ada kenalan yang melihat dan melaporkan pada keluarga bahwa aku ada di sini. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Keluarga kami merupakan orang terpandang di kota ini, bukan hanya dari kalangan atas, tetapi hampir semua kalangan mengenal baik.Soto dengan toping ayan suwir dan banyak sambal, aku aduk perlahan setelah menambah perasaan jeruk nipis. Aroma kaldu ayam menguar memanjakan indra penciuman. Rasa lapar mendera seketika. Tanpa membuang waktu, aku segera menyantap panganan khas ini ke dalam mulut. Sensasi segar dan pedas berpadu memanjakan tenggorokan. Anehnya, aku tidak mual sejak berada di sini. Mungkin anakku butuh tempat tenang.Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Aku harus bergegas mencari toko pakaian murah agar dapat mengganti baju. Rasanya risih memakai pakaian yang sama sejak kemarin. Ini di luar rencana. Padahal aku telah menyiapkan kebutuhan minggat di dalam koper. Tetapi
Aku hanya ingin menepi barang sejenakMenjauh dari segala hiruk pikuk dan segala macam tuduhan Aku kecewa, hatiku terlanjur terluka Ternyata, kepercayaan itu memang mahal harganya ***Kakiku terus melangkah hingga tiba di gerbang pembatas. Beruntung kunci gembok sudah aku ambil dari tempat penyimpanan kunci di laci dapur, sehingga mempermudah proses pelarian. Posisi rumah ini berada paling pojok dan sengaja dibuat pagar tambahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Seperti saat ini contohnya. Tuhan seakan mendukung, lalu semesta membantu segala urusan agar lebih mudah.Tanganku bergetar saat membuka kunci gembok. Takut akan ketahuan oleh mereka yang aku sebut keluarga. Aku tidak ingin gagal meski berat meninggalkan Muthia dan Liyana, tapi aku tidak punya pilihan. Mental dan pikiran harus terjaga selama masa kehamilan dan rumah ini bukan tempat yang cocok untuk relaksasi pikiran.Aku bernapas lega karena gerbang berhasil aku buka tanpa mengeluarkan bunyi berisik. Rel gerbang ra