Aku mengatur napas dalam sebelum keluar dari toilet. Lima menit sejak Cindy keluar dari sini, aku hanya memikirkan bagaimana cara menghadapi Bang Habib sambil memperbaiki penampilan. Dia pasti tidak memercayaiku seperti waktu itu. Ah, aku jadi trauma menghadapi suami sendiri.Dengan derap langkah meragu, aku menuju meja kami. Aku menunduk saat tiba di sisi Bang Habib. Menghindari tatapan tajam lelaki bergelar suami itu. Namun, beberapa jenak kemudian, aku mendongak dengan dagu terangkat. "Apa yang kamu lakukan, Ra? Abang tidak menyangka kalau kamu lebih mengutamakan emosi." Kalimat penuh penekanan dia lontarkan tanpa bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Ah, mengapa sesakit ini rasanya? Padahal aku sudah memperkirakan bahwa dia tidak akan percaya sedikit pun padaku. Namun, tetap saja diri ini berharap lebih.Cindy memainkan drama penuh penghayatan. Lihatlah! Dia bahkan menangis tersedu-sedu dengan rambut yang sengaja dibuat masai. Dasar ratu drama!"Abang bisa tanyakan sama perempua
Aku tak ingin berandai-andai Atau sekedar menaruh harapan saja aku tak ingin Hatiku sakit, terlanjut terluka dan berdarahKenyataan ini membuat aku tersadar Bahwa dia bukan untukku """" Aku menatap lampu kristal di plafon di ruang keluarga. Sudah larut malam, tetapi lelaki bergelar suami itu belum pulang. Sementara aku sejak tadi sudah berada di rumah. Ke mana dia? Apa masih sibuk menenangkan perempuan ular itu? Atau mereka menghabiskan malam di suatu tempat?Aku mengeglengkan kepala, mengusir pikiran buruk yang berkelebat di kepala. Teringat pesan Tommy saat kami di taman tadi. Laki-laki itu terkesiap saat aku menceritakan prahara rumah tanggaku. Namun, dia tidak terlalu banyak berkomentar. Hanya memberi saran agar hati-hati menghadapi kelicikan Cindy."Aku bisa menilai dari awal kalau dia memiliki ketertarikan dengan Pak Habib. Maaf kalau aku menambah garam di atas luka Mbak Rara. Tapi aku yakin dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Bapak. Maka dari itu, Mbak Rara ha
Dia masih berada di atas tubuhku, tetapi tatapan tajamnya menghunus hingga ke jantung. lelakiku ini masih menuntut jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan beberapa saat lalu. Apa yang harus aku lakukan jika dia tidak memercayaiku?"Katakan Rara! Siapa laki-laki itu? Atau kamu memang sudah terbiasa melakukan dengan sembarang orang? Jawab!" Hatiku mencelos. Serendah itulah aku di mata suami sendiri? Aku mendorong dadanya dengan kekuatan penuh, sehingga dia menyingkir dari tubuhku. Aku tergugu menahan tangis sambil menceritakan kejadian di malam itu. Namun, tidak sedikit pun dia percaya."Demi Allah! Ra nggak bohong. Abang orang pertama yang merenggut semuanya. Abang laki-laki satu-satunya yang pernah menyentuh tubuh ini." Serak suaraku bersumpah, berharap dia memberi sedikit kepercayaan saja. Namun, anganku terlalu tinggi. Dia masih yakin dengan dugaannya.Berapa angkuhnya suamiku ini, untuk sekedar percaya pun dia tidak mau. Apa meski aku bersujud meminta agar dia mau percaya? Namu
Jika cinta adalah suatu anugerah Maka tidak untukku Nyatanya cinta itu justru membuat aku tersakiti Bahkan membuat hati ini hancur tak berbentukLantas, masih pantaskah aku berharap lebih?***Setiap detik yang berlalu terasa lama. Seolah-olah waktu berhenti berputar. Tidak tahukah sang pemilik waktu bahwa saat ini aku merasa gusar. Meskipun aku berusaha tenang saat tatapan matanya menghunjam, tetapi tetap saja keringat dingin membasahi tubuh kotor ini.Ya, kotor. Dia menganggapku pezina hingga melukai harga diriku sebagai istri. Semua perkataanya membekas dan sulit untuk aku lupakan. Seandainya pun dia meminta maaf, aku bisa saja memaafkan, tapi tidak untuk melupakan semua perbuatan dan perkataan laki-laki bergelar suami ini.Bang Habib bangkit berdiri sembari membawa cangkir kopi berbahan keramik itu. Rahangnya masih mengatup erat dan sorot matanya masih menghunjam laksana belati tajam. Serta, perkataan yang dia lontarkan sebelum meninggalkan ruangan ini kembali membuat aku terpo
Senin pagi merupakan hari tersibuk sepanjang pekan. Menyiapkan kebutuhan sekolah anak-anak, membuat sarapan dan membantu mereka berkemas adalah tugas harianku. Walaupun Muthia dan Liyana mandiri, tetap saja aku ingin membangun bonding dengan mereka agar lebih dekat."Nah, anak Mama makin cantik." Aku memberi pujian setelah merapikan jilbab yang Liyana kenakan. Wajah cantik turunan Mbak Naya ini tersipu malu seraya tersenyum lebar. Rona merah di kulit putihnya membuat aku gemas dan mencium pipinya berkali-kali."Terima kasih Mama," sahutnya riang. Kami masih di kamar anak-anak saat ini. Kemudian, aku membantu membawa tas anak-anak dan meminta mereka menuju ruang makan agar sarapan terlebih dahulu. Kedua kakak adik itu menurut, lalu keluar terlebih dahulu.Nasi goreng seafood telah tersaji di atas meja makan, serta susu untuk minum mereka. Tidak lupa, aku menyiapkan bekal untuk makan siang anak-anak. Sekolah hingga sore tentu saja membuat mereka lelah, tetapi demi masa depan, tidak ada
Cedera di hatiku kembali menganga Belum sempat mengering, lalu kembali basahIngin mengumpat marah, tapi pada siapa?Ingin lari, tapi harus ke mana?***Kedua aparat itu masih di sini. Wajah mereka tampak ramah, tidak menakutkan sama sekali. Aku memilih jari di atas paha, bukan karena takut, tetapi memikirkan cara agar bisa secepatnya menyelesaikan permasalahan ini. Itu saja.Aku mengehela napas kasar, sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Saya akan mengambil tas terlebih dahulu. Bapak bisa menunggu sejenak?"Kedua aparat itu mengangguk mengiyakan. Lantas, aku meninggalkan mereka menuju ruang kerjaku. Aldy menunggu dengan wajah gusar saat aku melewati meja kerjanya. Profesor Lauren yang baru saja keluar dari ruangannya mengernyit heran karena melihat wajah-wajah tegang kami."Ada apa? Kenapa muka kalian seperti itu?" Laki-laki bermata sipit itu bertanya seraya mendekati mejaku. "Saya harus memenuhi panggilan polisi, Prof," jawabku, lalu menceritakan permasalahan yang aku alami bersama
Dada berdetak kencang saat mata kami saling bersirobok. Aku tidak dapat memalingkan pandangan karena Bang Habib menatapku lamat-lamat. Ada yang berbeda dari tatapan itu, tetapi aku tidak tahu apa itu? Ah, sudahlah. Lebih baik aku menunggu Tommy menyampaikan kabar baik.Aku mengalihkan pandangan dengan tidak rela. Dari ekor mata, aku sempat melihat Cindy tersenyum miring seolah mengejek. Berpuas hatilah, Cin. Saat kebenaran itu terkuak, aku tidak akan memberi maaf untukmu."Apa nggak sebaiknya Profesor pulang? Ini sudah sore, Prof. Saya takut merepotkan," ujarku pada pembimbing sekaligus atasanku ini.Profesor Lauren terkekeh, lalu berkata, "Bagaimana mungkin saya meninggalkan anak saya sendiri? Kamu lagi dalam masalah besar, Nduk. Nggak mungkin saya pergi begitu saja."Aku terenyuh mendengar penuturan laki-laki berkacamata tebal ini. Matanya semakin sipit saat dia tertawa. Bagai mendapat oase di tengah gurun pasir, dukungan Profesor Lauren sangat berarti bagiku.Kami larut dalam henin
Suasana menjadi tegang saat Cindy menatap Papa dengan senyum mengembang sempurna. Otak masih terus berpikir, apa dia mengenal laki-laki bergelar ayahku ini? Sepertinya begitu."Pak Johan. Untung Anda datang tepat waktu. Apa asisten Bapak sudah mengatakan bahwa saya butuh bantuan Bapak?" Pertanyaan Cindy membuat aku tergelitik. Ingin tertawa, tetapi sebisa mungkin aku tahan. Aku mau melihat sampai sejauh mana drama yang dia mainkan.Papa berdeham beberapa jenak. Terlihat sekali bahwa dia tengah memikirkan cara agar perempuan sombong yang tengah tersenyum miring itu kapok menjebak orang. Papa melirikku lewat ekor mata, lalu mengangguk samar. Sepertinya akan ada permainan menarik.Benar saja. Papa menyambut antusias ajakan Cindy untuk memberi pelajaran padaku. Pasti pemainan ini semakin menarik, pikirku. "Asisten saya baru menyampaikan siang tadi dan kebetulan kami ada urusan di sini. Saya lihat Ibu, makanya saya samperin. Jadi apa yang bisa saya bantu?" tanya Papa dengan senyum mengemb