Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker
Lantunan sholawat masih berkumandang di ruangan luas ini. Aku diapit oleh Mama dan Mbak Viona menuju sebuah meja di bawah pelaminan. Kursi futura dibalut kain berwarna gading dan dihias dengan aneka bunga. Kemudian, aku duduk di samping Bang Habib, calon mempelai laki-laki.Aku menatap Bang Habib lewat ekor mata. Masih merasa sungkan jika harus menatap langsung manik berwarna coklat madu itu. Sebentar lagi status kami akan berubah, dari saudara sepupu menjadi pasangan suami istri. Di hadapanku, Papa duduk dengan gagahnya. Tangan yang sudah mulai keriput itu terulur dan disambut oleh Bang Habib. Mereka mengikuti instruksi dari penghulu."Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Arfah dengan ...."Ucapan Bang Habib terhenti saat Bang Ridwan menepuk pundaknya cukup kencang. Sekali lagi dia salah menyebut nama mempelai wanita. "Rara, Bib. Bukan Naya," bisik Bang Ridwan, tapi dapat aku dengar dengan jelas.Bang Habib mengusap wajah kasar, setelah menyadari situasi yang terjadi saat ini. Naya
TERJEBAK DI KAMAR PENGANTIN Mama Hani tersenyum penuh arti. Perempuan paruh baya yang biasa aku sapa bude itu menaruh minuman hangat di atas nakas. Aroma jahe menguar di penjuru kamar. Di ambang pintu, Mbak Viona dan suaminya tersenyum memperhatikan kami. Aku tersenyum kikuk saat menyadari arah tatapan mereka."Ra ...! Sini Mama bantu lepaskan kancing kebaya kamu. Ck! Habib itu memang nggak peka." Aku menganggukkan kepala, laku mengikuti Mama Hani menuju kamar mandi di sudut ruangan. Kamar mandi dengan lantai berbahan pualam berwarna gading bermotif abstrak Fasilitas kamar mandi ini pun seperti hotel berbintang. Ada bath up dan shower yang dilengkapi air hangat. Hampir sama dengan rumah Mama dan Papa. Aku memandang Mama Hani melalui cermin besar di atas wastafel. Beliau membantu melepas jilbab yang melilit leher. Aku merasa lega karena terbebas dari mahkota di atas kelapa telah terlepas.Rambutku yang digulung di balik siput pun dilepas sehingga rambut panjang bergelombang itu terge
Aku terbuai dalam aksara mimpi nan indah. Berlari dan melompat tinggi tanpa batu kerikil yang menahan langkah. Andai tahu hidup seindah mimpi, mungkin lebih baik aku memilih tertidur tanpa terjaga lagi.***Aku menelan saliva dengan susah payah. Hampir saja kelopak mata ini terpejam saat Bang Habib mengikis jarak. Matanya fokus menatap bibirku saat ini. Apa dia ingin meminta haknya? Mengapa aku merasa was-was? Bukannya ini yang aku panjatkan dalam sujud tadi? Aku menggelengkan kepala, berusaha berpikir jernih dan tidak terpengaruh dengan sikapnya yang berubah-ubah. Bang Habib tersenyum remeh seraya menegakkan punggung. Namun, manik mata berwarna coklat madu itu masih mengunci bibirku yang terkunci rapat.Dia berdecak kesal, lalu berkata. "Tidurlah, Ra. Ini sudah larut."Ada apa dengan dia? Sejenak perhatian, tapi beberapa jenak kemudian, dia kembali arogan tanpa perasaan. Ranjang empuk dengan sejuta kenangan Bang Habib dan Mbak Naya menjadi saksi bisu malam pertamaku yang hampa. T
"Apa kamu siap mencintai bajingan seperti Abang?" Bang Habib bertanya dengan suara berat dan serak.Aku tidak sempat menghindar saat bibir penuh Bang Habib menempel di atas bibirku yang belum pernah terjamah. Awalnya hanya menempel, lalu dia mulai melumat kasar hingga aku sulit bernapas.Bukan. Bukan ini yang aku mau. Aku ingin kamu saling menerima tanpa ada paksaan. Namun, kenapa dia jadi seperti ini? Aku tidak mengenal sosok laki-laki yang tengah menggigit bibir ini dengan kasar tanpa perasaan.Aku memberontak saat Bang Habib menindih tubuhku. Ingin sekali mendorong tubuhnya agar menjauh, tapi sekali lagi tenagaku terkuras karena air mata yang merebak deras.Napasku terengah-engah saat bibirnya berpindah ke batang leherku dan menghisapnya dengan kuat. Aku merutuki diri karena mendesah di sela isak tangis. Pasti nanti leherku akan dipenuhi bercak merah yang memalukan."Kamu menikmati, Ra. Munafik!" Bang Habib kembali merendahkanku, tapi tangannya menyelinap masuk ke dalam baju kaos
Waktu berganti begitu cepat, seiring musim kemarau yang akhirnya menyelimuti Kota Surabaya. Sembilan bulan lamanya usia pernikahanku dan Bang Habib. Namun, hingga kini kami tidak seperti pasangan pada umumnya. Tidur di ranjang berbeda dan tentunya di kamar terpisah.Seperti perkataan Bang Habib di malam pertama pernikahan kami kala itu. Kami akhirnya pindah di bulan kelima. Itu pun setelah melewati perdebatan panjang dengan Mama Hani. "Rumah ini terlalu besar untuk Mama tempati sendiri, Le. Senadainya kalian ingin kembali, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian." Ucapan Mama Hani kembali terngiang saat kami mengemas barang.Rumah mewah dua lantai yang terletak di Jalan Citra Land menjadi pilihan Bang Habib. Sebagai seorang istri, aku hanya bisa mengikuti apa kata suami. Bukankah surga seorang istri ada pada suaminya? Walaupun sampai saat ini aku tidak tahu apa itu surga dalam pernikahan.Mungkin, aku satu-satunya istri yang masih perawan. Jangankan menjalankan ibadah suami istri
Kau menjeratku dengan cintaKau pun membasuh ragaku dengan lukaJika hadirku tiada nyataMengapa kau hujani aku dengan nestapa?***Aku melepaskan pelukan Bang Habib yang melingkar di atas perut, lalu keluar dari ruangan ini menuju kamarku tanpa menghiraukan panggilannya. Aku membanting pintu kamar yang terletak di hadapan kamar Bang Habib, persis di samping kamar anak-anak. Di dalam kamar ini, aku tidak menyimpan banyak barang. Berjaga-jaga jika keluarga datang dan menginap. Kesepakatan aneh antara aku dan Bang Habib. Lebih tepatnya, keputusan sepihak laki-laki bermata elang itu.Aku mengganti pakaian dengan cepat. Dress yang aku kenakan tadi, telah kusut karena ulah Bang Habib. Keheningan tercipta di ruang makan yang didominasi warna gading. Sejak sepuluh menit lalu, Bang Habib keluar dari kamarnya dalam kondisi jauh lebih segar. Rambut basah dan aroma maskulin menguar di penjuru ruang. Aku hanya dapat melirik lewat ekor mata. Tidak berani melihat langsung karena malu masih mende
Terpaut pada satu hatiTerbelenggu dalam dilema panjangMembeku langkahku tuk gapai hangat sebuah asa Hiduplah lilin putihku Kan kutampung lelehan panas cintamuAdakah untukku? ***"Sepanjang hari aku lewati dengan hati nan membuncah bahagia. Setelah sarapan pagi yang kesiangan tadi, Bang Habib menepati janji dengan mengantarku ke Rumah Sakit Jiwa Menur. Siang ini, aku dan Profesor Lauren memilliki janji temu dengan klien untuk melakukan hipnoterapi.Dalam perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar satu jam, kami hanya berbincang ringan sesekali. Lebih tepatnya aku mencoba mencairkan suasana. Sementara itu, Bang Habib akan menimpali dengan kata singkat, padat dan jelas. Namun, sudah cukup untuk langkah awal hubungan kami yang kaku."Jangan lupa nanti malam dan tolong jangan kecewakan Ra untuk kali ini." Aku kembali mengingatkan saat tiba di pelataran rumah sakit. Bang Habib mengiyakan sebelum akhirnya pergi.Aldy, rekan sesama psikolog memandangku dengan tatapan heran. Laki-laki j