"Apa kamu siap mencintai bajingan seperti Abang?" Bang Habib bertanya dengan suara berat dan serak.Aku tidak sempat menghindar saat bibir penuh Bang Habib menempel di atas bibirku yang belum pernah terjamah. Awalnya hanya menempel, lalu dia mulai melumat kasar hingga aku sulit bernapas.Bukan. Bukan ini yang aku mau. Aku ingin kamu saling menerima tanpa ada paksaan. Namun, kenapa dia jadi seperti ini? Aku tidak mengenal sosok laki-laki yang tengah menggigit bibir ini dengan kasar tanpa perasaan.Aku memberontak saat Bang Habib menindih tubuhku. Ingin sekali mendorong tubuhnya agar menjauh, tapi sekali lagi tenagaku terkuras karena air mata yang merebak deras.Napasku terengah-engah saat bibirnya berpindah ke batang leherku dan menghisapnya dengan kuat. Aku merutuki diri karena mendesah di sela isak tangis. Pasti nanti leherku akan dipenuhi bercak merah yang memalukan."Kamu menikmati, Ra. Munafik!" Bang Habib kembali merendahkanku, tapi tangannya menyelinap masuk ke dalam baju kaos
Waktu berganti begitu cepat, seiring musim kemarau yang akhirnya menyelimuti Kota Surabaya. Sembilan bulan lamanya usia pernikahanku dan Bang Habib. Namun, hingga kini kami tidak seperti pasangan pada umumnya. Tidur di ranjang berbeda dan tentunya di kamar terpisah.Seperti perkataan Bang Habib di malam pertama pernikahan kami kala itu. Kami akhirnya pindah di bulan kelima. Itu pun setelah melewati perdebatan panjang dengan Mama Hani. "Rumah ini terlalu besar untuk Mama tempati sendiri, Le. Senadainya kalian ingin kembali, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian." Ucapan Mama Hani kembali terngiang saat kami mengemas barang.Rumah mewah dua lantai yang terletak di Jalan Citra Land menjadi pilihan Bang Habib. Sebagai seorang istri, aku hanya bisa mengikuti apa kata suami. Bukankah surga seorang istri ada pada suaminya? Walaupun sampai saat ini aku tidak tahu apa itu surga dalam pernikahan.Mungkin, aku satu-satunya istri yang masih perawan. Jangankan menjalankan ibadah suami istri
Kau menjeratku dengan cintaKau pun membasuh ragaku dengan lukaJika hadirku tiada nyataMengapa kau hujani aku dengan nestapa?***Aku melepaskan pelukan Bang Habib yang melingkar di atas perut, lalu keluar dari ruangan ini menuju kamarku tanpa menghiraukan panggilannya. Aku membanting pintu kamar yang terletak di hadapan kamar Bang Habib, persis di samping kamar anak-anak. Di dalam kamar ini, aku tidak menyimpan banyak barang. Berjaga-jaga jika keluarga datang dan menginap. Kesepakatan aneh antara aku dan Bang Habib. Lebih tepatnya, keputusan sepihak laki-laki bermata elang itu.Aku mengganti pakaian dengan cepat. Dress yang aku kenakan tadi, telah kusut karena ulah Bang Habib. Keheningan tercipta di ruang makan yang didominasi warna gading. Sejak sepuluh menit lalu, Bang Habib keluar dari kamarnya dalam kondisi jauh lebih segar. Rambut basah dan aroma maskulin menguar di penjuru ruang. Aku hanya dapat melirik lewat ekor mata. Tidak berani melihat langsung karena malu masih mende
Terpaut pada satu hatiTerbelenggu dalam dilema panjangMembeku langkahku tuk gapai hangat sebuah asa Hiduplah lilin putihku Kan kutampung lelehan panas cintamuAdakah untukku? ***"Sepanjang hari aku lewati dengan hati nan membuncah bahagia. Setelah sarapan pagi yang kesiangan tadi, Bang Habib menepati janji dengan mengantarku ke Rumah Sakit Jiwa Menur. Siang ini, aku dan Profesor Lauren memilliki janji temu dengan klien untuk melakukan hipnoterapi.Dalam perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar satu jam, kami hanya berbincang ringan sesekali. Lebih tepatnya aku mencoba mencairkan suasana. Sementara itu, Bang Habib akan menimpali dengan kata singkat, padat dan jelas. Namun, sudah cukup untuk langkah awal hubungan kami yang kaku."Jangan lupa nanti malam dan tolong jangan kecewakan Ra untuk kali ini." Aku kembali mengingatkan saat tiba di pelataran rumah sakit. Bang Habib mengiyakan sebelum akhirnya pergi.Aldy, rekan sesama psikolog memandangku dengan tatapan heran. Laki-laki j
Aku lupa ....Aku mulai terlena dalam cerita yang aku ukir menjadi asa.Aku luka ....Lukaku mulai menganga dan tercabik-cabik. Mengeluarkan nanah, menghunus kristal hatiku.***Sepanjang acara pikiranku terpecah. Tidak bisa aku nikmati makanan yang terasa tersangkut di tenggorokan atau saat Aldy mengajak bercanda seperti biasa. Semua terasa sangat hambar dan tidak bermakna.Ingar bingar acara hiburan yang diisi oleh performance artis ibu kota pun tidak memancing minatku. Meskipun saat ini mereka menyanyikan lagu kesukaanku. Tembang lawas dari Bryan Adams yang berjudul Everything I Do.Lagu itu tidak sama hasilnya dengan nasib percintaanku. Pengorbanan yang selama ini aku lakukan tiada bernilai di mata Bang Habib. Cinta dan ketulusanku dipermainkan sedemikan rupa hingga hati ini hancur lebur tak berbentuk.Perempuan yang mengaku kekasih Bang Habib mengirimkan video durasi singkat. Video yang memperlihatkan kemesraan mereka di ruang remang-remang klub malam. Aku menyesal melihat video
Aku ingin mengepakkan sayap.Terbang tinggi, lalu hinggap di atas ranting barang sejenak.Namun sayangnya, sayapku telah terpanah peristiwa dan tumpahkan lara.***Matahari yang terbit di ufuk timur, tapi aku masih enggan untuk bangkit dari ranjang ini. Tubuhku seakan remuk dan tidak memiliki tenaga. Setelah mandi dan salat subuh, aku hanya dapat meringkuk tanpa dapat memejamkan mata.Bayang-bayang kejadian semalam, menari indah di pelupuk mataku. Aku yang selama ini mencinta dan mendamba diperlakukan layaknya istri, tapi mendapat penghinaan layaknya jalang oleh suami sendiri.Andai tidak berdosa, ingin rasanya aku mengakhiri hidup. Daripada bernapas, namun tidak dipandang dan dianggap sebagai istri. Tetapi, jika aku mati, bagaimana nasib anak-anak? Meskipun mereka bukan darah dagingku, hati ini telah terjerat kasih yang tulus.Aku menghela napas saat gawai di atas nakas berdering entah untuk keberapa kalinya. Tanganku menjangkau benda pipih itu, lalu menjawab tanpa melihat siapa yang
_Jika cinta itu mampu membuat bahagiaMengapa dia juga mendatangkan lukaAlih-alih membuatku terbang ke nirwanaNyatanya cinta membuatku makin merana_***Aku melajukan kuda besi ke tempat janji bertemu dengan Aldy. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu hari ini merayakan ulang tahunnya di sebuah cafe yang terletak di Jalan Puncak Permai III. Sekitar dua puluh menit dari rumahku, tapi bisa lebih lama jika terjadi kemacetan di ruas jalan.Musik yang mengiringi perjalananku, seolah-seolah tengah menyindirku saat ini. Lagu yang dibawakan oleh Azmi, penyanyi asal Kota Jambi._Pernah sakit tapi tak pernah sesakit iniKarena pernah cinta tapi tak pernah sedalam iniAku ingin semua cintamu hanya untukkuMemang ku tak rela kau bagi untuk hati yang lain_Akan tetapi, dari penggalan lirik itu, hatiku hanya pernah mencintai satu pria, yaitu Bang Habib saja. Dulu, aku sempat membuka hati untuk laki-laki lain, tapi tetep saja tidak berhasil. Bukankah cinta tidak pernah tahu ke mana dia akan berlabuh
Kau terlalu suka bermain peranHari ini kau buat hatiku melambung tinggiMembuat aku kian berharap dalam anganAkan tetapi, aku sadar bahwa semua hanya ilusi***Keheningan tercipta sejak beberapa jenak yang lalu. Telah lebih dari sepuluh menit kami di mobil ini, tapi Bang Habib belum meninggalkan pelataran cafe. Entah apa yang dia inginkan, bertanya pun rasanya lidahku kelu.Aku hanya dapat menunggu sambil meliriknya lewat ekor mata. Napas laki-laki yang tengah mencengkram kemudi itu tidak lagi memburu seperti tadi, tapi belum bisa dikatakan stabil. Masih ada sedikit riak yang menandakan bahwa dia berusaha melerai emosi.Andai dia bersikap seperti ini karena cemburu, pasti aku akan senang hati untuk memancing kecemburuannya setiap hari. Sampai akhirnya dia mengakui perasaanya padaku."Ah, Rara. Kamu terlalu jauh berpikir." Aku merutuki diri di dalam hati. Dasar bodoh!Setelah sekian menit menunggu, akhirnya kuda besi yang ditunggangi Bang habib meninggalkan pelataran. Namun, kali in