Kuda besi aku kemudikan dengan kecepatan standar menuju klinik. Rasa lapar mendadak hilang setelah bertemu dengan Bang habib. Walaupun harus berdebat dan terjadi kesalahpahaman, tetap saja janin yang aku kandung merasa senang setelah bertemu ayahnya itu. Terbukti karena dia tidak lagi minta sesuatu yang aneh lagi.Tiga puluh menit sebelum pukul dua, aku tiba di klinik dengan membawa makanan dari restoran tadi. Aldy mengernyit heran saat kami bertemu di pantry. Sahabat baikku itu baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama perawat Yana dan bagian admin."Kamu bukannya pergi makan? Kenapa malah bawa bungkusan segala?" tanya Aldy setelah meletakkan piring kotor di wastafel. Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh, lalu mengambil sendok dan garpu.Aldy menarik ujung tunik yang aku kenakan, sehingga aku membalikkan badan. "Kamu habis menangis, Ra? Kamu sakit atau butuh sesuatu?" Dia memberondongku dengan pertanyaan. "Emang kenapa kalau aku pengin sesuatu? Kamu mau belikan?" Aku berkata semb
Kita tidak pernah tahu kapan batas akhir waktu. Sebisa mungkin, ukir cerita indah tanpa ada keluhan. Nikmati saja setiap proses tanpa harus protes. Toh, bahagia kita yang tentukan. Bukan dia, apalagi mereka yang tidak pernah menyukaimu.Simpel, kan?-Rara Audy Sanjaya-Embusan napas panjang terdengar dari sisi kiri. Profesor Lauren mengusap sudut mata yang tergenang air. Dia menangis mendengar sekelumit kisah rumah tanggaku. Apa aku begitu menyedihkan, sehingga laki-laki tegar seperti beliau menjatuhkan air mata? Atau merasa ngilu di saat aku harus menahan sensasi ngidam seorang diri. Entahlah.Aldy yang duduk di kursi kerja, terdiam sembari menunduk menatap meja beralas kaca tebal. Namun, rahangnya mengatup keras menahan emosi. Beberapa waktu lalu, aku hanya menceritakan sebagian kecil saja. Mungkin dia terkejut mendengar kejujuranku saat ini. Atau ..., bisa saja dia sama merasa kasihan padaku. Seperti nan dirasakan Profesor Lauren."Jadi apa yang ingin kamu lakukan? Apa saya boleh t
"Tolong sampaikan bahwa saya akan keluar sebentar lagi, Mbak," ujarku setelah diam beberapa jenak. Yana menawarkan untuk menemui Bang Habib sementara aku bersiap-siap. Dia bilang Aku harus lebih segar kalau menyambut suami. Aku membenarkan ucapan Yana karena tidak ingin Bang Habib curiga.Sling bag yang diletakkan entah oleh siapa di atas meja kerja Aldy aku ambil dengan tergesa, lalu mengeluarkan bedak serta lipstik. Wajah pucat sudah mulai berkurang, begitu pula dengan keringan dingin. Setelah mematut diri di cermin kecil dalam genggaman, aku kembali memasukkan kedua benda tersebut ke tempat semula, dan berdiri tegak dari sofa yang aku duduki.Akan tetapi, aku mendadak gelisah. Entah mengapa aku merasa kedatangan Bang Habib hanya akan menambah masalah. Belum tuntas kesalahpahaman yang terjadi belakangan ini, tetapi mengapa Tuhan masih bercanda dengan kehidupanku? Office girl pemberi kabar telah keluar bersama Yana sejak beberapa jenak lalu, sehingga menyisakan aku dan Aldy di ruang
Tidak ada yang perlu disesaliSemua telah diatur oleh sang Pencipta Tugas kita hanya menjalani Tanpa mengeluh dan putus asa ***Kuda besi melaju kencang membelah ruas jalan tanpa tahu arah. Untung saja belum jam pulang kantor, sehingga ruas jalan tidak terlalu macet dan aku bisa mengemudi tanpa hambatan. Pada perempatan jalan aku berhenti, lalu memperhatikan lalu lalang pedagang kaki lima menjajakan barang dagangan. Tidak juah dari Taman Kota Sungai Surabaya. Mereka tampak tertawa lepas tanpa beban. Aku jadi iri karena tidak bisa seperti mereka meski hidup dalam keterbatasan.Aku menarik napas sejenak di depan gerbang taman. Aku tidak berminat untuk turun, hanya ingin mencari udara segar melalui kaca jendela yang sengaja uku turunkan hingga kandas. Otak terus berpikir, ke mana aku setelah ini? Tidak mungkin pulang ke rumah Bang Habib. Hati terlalu sakit jika memandang wajahnya saja.Gawai yang aku letakkan di bangku penumpang bagian depan berbunyi. Aku masih enggan menerima telepo
Bagaikan dihantam godam besar, dadaku terasa sesak mendengar tuduhannya itu. Sungguh di luar logika saat dia mengatakan betapa murahan diriku ini. Ingin tertawa, tapi semua bukan lelucon. Hanya saja, Tuhan sedang bercanda dengan nasibku. Miris.Mata kami saling bersirobok. Aku tidak lagi menghindar dari kejaran mata yang menghunjam itu. Tetapi, aku balik menantang. Siap menabuh genderang perang. Tidak masalah jika akhirnya kami harus berpisah, asal aku keluar dengan gadu terangkat dan tidak kalah sebagai pecundang."Terserah Anda mau mengatakan apa tentang saya. Yang jelas, anak ini adalah darah daging Anda. Saya tidak peduli meski Anda menolak mengakui karena mulai saat ini, saya menyerah mempertahankan rumah tangga yang sudah lama karam." Kalimat sarkas terpanjang yang aku lontarkan pada Bang Habib. Biarlah dia tersinggung. Aku tidak peduli sama sekali, sudah saatnya memikirkan kebahagiaan dan kewarasan. Jika bertahan, maka lama-lama aku bisa gila. "Kamu tidak akan ke mana-mana sam
Aku pikir semua akan berakhir seperti mauku. Dia menerima tantangan untuk melakukan tes DNA atau meminta waktu untuk merenung sejenak. Ternyata aku kembali keliru dan terlalu berharap. Bang Habib justru semakin murka, tanpa memedulikan kehadiran ketiga orang tua kami."Jangan pernah kamu libatkan orang lain dalam permasalahan ini, Ra. Apalagi Vio dan Tengku tidak ada kaitan dengan dosa yang kamu perbuat. Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah mengakui anak itu!" Dia berteriak sembari menunjuk wajahku. Sementara itu, Mama menggeleng agar aku tidak lagi melawan ucapan Bang Habib. Haruskah aku patuh saat harga diri diinjak-injak sedemikian rupa?"Lagian, kita menikah karena permintaan terakhir Naya dan paksaan keluarga. Sampai kapan pun, kita tidak pernah saling mencintai, Ra. Mungkin, ayah dari anak kamu adalah pilihan terbaik untuk kamu. Begitu juga Abang yang memilih mencintai Naya sepanjang sisa usia." Dia berkata tanpa peduli perasaanku. Tidak cinta dia bilang? Lantas, apa arti sik
Aku hanya ingin menepi barang sejenakMenjauh dari segala hiruk pikuk dan segala macam tuduhan Aku kecewa, hatiku terlanjur terluka Ternyata, kepercayaan itu memang mahal harganya ***Kakiku terus melangkah hingga tiba di gerbang pembatas. Beruntung kunci gembok sudah aku ambil dari tempat penyimpanan kunci di laci dapur, sehingga mempermudah proses pelarian. Posisi rumah ini berada paling pojok dan sengaja dibuat pagar tambahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Seperti saat ini contohnya. Tuhan seakan mendukung, lalu semesta membantu segala urusan agar lebih mudah.Tanganku bergetar saat membuka kunci gembok. Takut akan ketahuan oleh mereka yang aku sebut keluarga. Aku tidak ingin gagal meski berat meninggalkan Muthia dan Liyana, tapi aku tidak punya pilihan. Mental dan pikiran harus terjaga selama masa kehamilan dan rumah ini bukan tempat yang cocok untuk relaksasi pikiran.Aku bernapas lega karena gerbang berhasil aku buka tanpa mengeluarkan bunyi berisik. Rel gerbang ra
Aku memilih sarapan di kamar setelah mengambil semangkuk soto dan kopi di restoran hotel. Takut ada kenalan yang melihat dan melaporkan pada keluarga bahwa aku ada di sini. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Keluarga kami merupakan orang terpandang di kota ini, bukan hanya dari kalangan atas, tetapi hampir semua kalangan mengenal baik.Soto dengan toping ayan suwir dan banyak sambal, aku aduk perlahan setelah menambah perasaan jeruk nipis. Aroma kaldu ayam menguar memanjakan indra penciuman. Rasa lapar mendera seketika. Tanpa membuang waktu, aku segera menyantap panganan khas ini ke dalam mulut. Sensasi segar dan pedas berpadu memanjakan tenggorokan. Anehnya, aku tidak mual sejak berada di sini. Mungkin anakku butuh tempat tenang.Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Aku harus bergegas mencari toko pakaian murah agar dapat mengganti baju. Rasanya risih memakai pakaian yang sama sejak kemarin. Ini di luar rencana. Padahal aku telah menyiapkan kebutuhan minggat di dalam koper. Tetapi
Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker
Aku menunggu dengan gelisah karena Bang Tengku belum juga kembali ke kamar inap. Setelah aku pikirkan baik-baik, akan lebih baik jika bertemu langsung dengan anak-anak. Aku tidak ingin mereka beranggapan bahwa aku tidak menyayangi mereka dan berpikir bahwa sengaja menjauh. Tidak. Jangan sampai mereka berpikir buruk tentangku! Cukup Bang Habib saja.Tiga puluh menit sebelum pukul sepuluh, Bang Tengku kembali ke ruang inap dengan membawa amplop dan obat di dalam kantong plastik di tangan. Dia tersenyum tipis, lalu memberi perintah pada anak buahnya agar membawa koperku keluar."Maaf membuat kamu menunggu lama. Antrian panjang di apotik dan bagian administrasi, makanya Abang baru selesai." Tanpa diminta, Bang Tengku memberi penjelasan. Sedikit ragu, aku mendongak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meminta lebih. Anggaplah aku tidak tahu diri karena sudah ditolong, tapi malah ngelunjak. Itu jauh lebih baik, daripada aku menyesal nantinya."Ada yang mau kamu sampaikan?" Seakan dapat memb
Perempuan itu ....Memiliki tangan yang luar biasa. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu dengan kedua tangannya. Padahal, komposisi tangan laki-laki dan perempuan itu sama saat Tuhan menciptakan kita.Kedua tangannya mampu memberi kehangatan untuk suami dan anak-anaknya. Sekaligus memberi rasa nyaman lewat pelukan.Perempuan itu ....Memiliki dagu yang terangkat angkuh. Dia membuktikan bahwa dia kuat saat suami dan anak-anaknya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sakit, misalnya. Atau di saat suaminya hancur dan butuh dukungan.Dengan dagu terangkat, dia mengatakan bahwa dia kuat dan tidak rapuh saat badai memporak porandakan hatinya. Dia pemain peran yang ulung.Dengan dagu terangkat, dia menahan air mata yang merebak hendak dikeluarkan. Agar suami dan anak-anaknya tetap merasa nyaman.Perempuan itu ....Memiliki otak yang cerdas. Dia pemikir sekaligus negosiator ulung dibanding laki-laki. Dia teman diskusi yang memiliki banyak taktik. Dengan otak kecilnya, dia bis
Jika hidup hanyalah soal warna, maka hitam adalah pilihanku. Jika hidup menjadi misteri, maka pekatnya malam adalah tempatku. Jika bahagia harus berupa pelangi, maka tersingkirlah aku.-Rara Audy Sanjaya-***Aku masih mendengar teriakan Mbak Viona dan beberapa orang tak dikenal sebelum semua menjadi gelap. Aku seperti terperangkap di dalam kegelapan yang tidak bertepi. Sunyi dan senyap. Namun, aku tetap dapat merasa sakit di bagian bawah perut.Bau karbol menyengat di indra penciuman, membuat aku mengernyit heran. Aku membuka mata perlahan dengan rasa pusing luar biasa. Cahaya lampu membuat aku kembali mengernyit karena silau menusuk netra. Di mana ini? Mengapa tempat ini terasa asing? "Kamu sudah sadar, Ra?" Aku makin linglung ketika mendengar suara Mbak Viona menyapa. Setelah mata menyesuaikan cahaya di ruangan ini, aku menoleh ke asal suara. Mbak Viona berdiri dengan tatapan cemas di samping Bang Tengku. Pikiranku mendadak berotasi mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Atmosfer di ruangan seluas tiga puluh lima meter persegi ini mendadak haru karena pertemuan sepasang suami istri yang saling melepas rindu. Aku turut terhanyut dalam kebahagian saat kedua sejoli itu melerai pelukan dan melempar senyuman pada kami. Setelah mampu menguasai diri, Mbak Viona meminta agar Bang Tengku untuk duduk di sofa bersama kami. Tentu saja hal ini dimanfaatkan Mbak Viona untuk bersandar manja di dada bidang laki-laki bermata hazel itu. Sementara itu, suaminya membelai lembut puncak kepala dia dengan penuh kelembutan."Jadi dia menuduh kamu berzinah dan menolak mengakui anak kalian?" Bang Tengku meyakinkan bahwa informasi yang dia dengar tidak salah.Aku mengangguk seraya tersenyum kecut, lalu berkata, "Ya. Bahkan Ra sudah menantang dia untuk melakukan tes DNA begitu kehamilan ini tidak rawan, tapi sayangnya dia menolak." Bang Tengku menggeram marah dengan rahang mengatup erat, jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Dasar bajingan! Semabuk-mabukny
Memilih pergi bukan untuk berhenti mencintai Tetapi memberi waktu untuk sejenak menepi Rasakan cinta kala dua jiwa terpisah tanpa saling menyakiti Kemudian, jika takdir menemukan kita lagiSudah tidak ada keraguan di hati***Bang Baim melonggarkan kancing kemeja bagian atas. Sepertinya dia butuh udara segar karena tiba-tiba napasnya tersengal. Mbak Viona memang sangat pintar membuat lawan atau kawan merasa terintimidasi lewat sorot mata saja. Padahal, dia belum mengatakan apa pun.Dengan anggun, jari-jari lentik itu mengangkat cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Cara dia seperti ini mengingatkanku pada Eyang. Seingtaku, gambaran Mbak Viona adalah sosok Eyang di saat muda dulu. Cantik, anggun, tegas, dan berkelas. Bedanya, Eyang kami tidak menikah lagi semenjak Eyang Kakung meninggal. Waktu itu, Mama Hani dan Mama masih kecil dan butuh kasih sayang dari sosok ayah.Akan tetapi, Eyang membuktikan pada siapa pun bahwa dia mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk kedua anaknya. M
Aku masih mematung, menunggu jawaban dari perempuan cantik yang masih tersenyum miring. Entah mengapa firasat mendadak tidak enak hanya dengan melihat tatapan mata Mbak Viona. Walaupun rencana dia selalu berhasil, tetapi tidak jarang mengundang resiko. Seperti tahun lalu, misalnya. Hampir saja si kembar menjadi korban keberingasan para penjabat, begitu juga Natha yang saat itu masih bayi. Karena kecerobohan dan menganggap sepele musuh, Mbak Viona serta anak-anak akhirnya disekap selama beberapa hari. Bahkan, Natha lebih dari satu bulan berada di tangan mafia yang sayangnya adalah mertua Mbak Viona. Jika mengingat hal itu, aku jadi bergidik ngeri. "Kamu pasti lagi mikir yang nggak-nggak. Ck! Dasar otak mesum," sengit Mbak Viona sambil berdecak kesal.Aku mengembuskan napas kasar, lalu duduk di samping dia dan memandangnya dengan lekat. "Jadi apa rencana, Mbak?" Aku menuntut lewat pertanyaan yang sama. "Bukan Mbak, tapi rencana kita berdua," sahut Mbak Viona sambil terkekeh. Dasar a
Aku memilih sarapan di kamar setelah mengambil semangkuk soto dan kopi di restoran hotel. Takut ada kenalan yang melihat dan melaporkan pada keluarga bahwa aku ada di sini. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Keluarga kami merupakan orang terpandang di kota ini, bukan hanya dari kalangan atas, tetapi hampir semua kalangan mengenal baik.Soto dengan toping ayan suwir dan banyak sambal, aku aduk perlahan setelah menambah perasaan jeruk nipis. Aroma kaldu ayam menguar memanjakan indra penciuman. Rasa lapar mendera seketika. Tanpa membuang waktu, aku segera menyantap panganan khas ini ke dalam mulut. Sensasi segar dan pedas berpadu memanjakan tenggorokan. Anehnya, aku tidak mual sejak berada di sini. Mungkin anakku butuh tempat tenang.Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Aku harus bergegas mencari toko pakaian murah agar dapat mengganti baju. Rasanya risih memakai pakaian yang sama sejak kemarin. Ini di luar rencana. Padahal aku telah menyiapkan kebutuhan minggat di dalam koper. Tetapi
Aku hanya ingin menepi barang sejenakMenjauh dari segala hiruk pikuk dan segala macam tuduhan Aku kecewa, hatiku terlanjur terluka Ternyata, kepercayaan itu memang mahal harganya ***Kakiku terus melangkah hingga tiba di gerbang pembatas. Beruntung kunci gembok sudah aku ambil dari tempat penyimpanan kunci di laci dapur, sehingga mempermudah proses pelarian. Posisi rumah ini berada paling pojok dan sengaja dibuat pagar tambahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Seperti saat ini contohnya. Tuhan seakan mendukung, lalu semesta membantu segala urusan agar lebih mudah.Tanganku bergetar saat membuka kunci gembok. Takut akan ketahuan oleh mereka yang aku sebut keluarga. Aku tidak ingin gagal meski berat meninggalkan Muthia dan Liyana, tapi aku tidak punya pilihan. Mental dan pikiran harus terjaga selama masa kehamilan dan rumah ini bukan tempat yang cocok untuk relaksasi pikiran.Aku bernapas lega karena gerbang berhasil aku buka tanpa mengeluarkan bunyi berisik. Rel gerbang ra