“Ra, beli makanan.” Aku menyahut, berusaha memberikan kesan tenang dan acuh tak acuh meski dalam hati gugup serta takut. Seperti yang Mbak Viona bilang, aku harus benar-benar mengendalikan situasi antara aku dan Bang Habib. Mendengar jawabanku, Bang Habib terdiam. Wajahnya terlihat kaku saat menatapku, lalu menatap Tommy bergantian. Perlahan aku melihat seringai tajam muncul dibibir tipis Bang Habib, mempertebal aura menakutkan yang menguar dari tubuhnya. Dia seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa kapan saja.“Beli makanan sampe sejauh ini? Yakin nggak ada alasan lain? Pasti ada, kan?” Bang Habib bertanya dengan nada rendah yang menggelitik telingaku.Aku merasa ada yang salah dengan ucapannya. Seolah-olah dia menuduhku telah melakukan sesuatu yang salah. Tetapi aku juga khawatir ini adalah kesalahpahaman saja terhadap kalimatnya yang tidak jelas.Di saat bersamaan, suara Mbak Viona juga terdengar dari seberang sana, “Apa maksudmu anakmu bakal dibenci Bang Habib waktu lahir n
Kuda besi aku kemudikan dengan kecepatan standar menuju klinik. Rasa lapar mendadak hilang setelah bertemu dengan Bang habib. Walaupun harus berdebat dan terjadi kesalahpahaman, tetap saja janin yang aku kandung merasa senang setelah bertemu ayahnya itu. Terbukti karena dia tidak lagi minta sesuatu yang aneh lagi.Tiga puluh menit sebelum pukul dua, aku tiba di klinik dengan membawa makanan dari restoran tadi. Aldy mengernyit heran saat kami bertemu di pantry. Sahabat baikku itu baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama perawat Yana dan bagian admin."Kamu bukannya pergi makan? Kenapa malah bawa bungkusan segala?" tanya Aldy setelah meletakkan piring kotor di wastafel. Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh, lalu mengambil sendok dan garpu.Aldy menarik ujung tunik yang aku kenakan, sehingga aku membalikkan badan. "Kamu habis menangis, Ra? Kamu sakit atau butuh sesuatu?" Dia memberondongku dengan pertanyaan. "Emang kenapa kalau aku pengin sesuatu? Kamu mau belikan?" Aku berkata semb
Kita tidak pernah tahu kapan batas akhir waktu. Sebisa mungkin, ukir cerita indah tanpa ada keluhan. Nikmati saja setiap proses tanpa harus protes. Toh, bahagia kita yang tentukan. Bukan dia, apalagi mereka yang tidak pernah menyukaimu.Simpel, kan?-Rara Audy Sanjaya-Embusan napas panjang terdengar dari sisi kiri. Profesor Lauren mengusap sudut mata yang tergenang air. Dia menangis mendengar sekelumit kisah rumah tanggaku. Apa aku begitu menyedihkan, sehingga laki-laki tegar seperti beliau menjatuhkan air mata? Atau merasa ngilu di saat aku harus menahan sensasi ngidam seorang diri. Entahlah.Aldy yang duduk di kursi kerja, terdiam sembari menunduk menatap meja beralas kaca tebal. Namun, rahangnya mengatup keras menahan emosi. Beberapa waktu lalu, aku hanya menceritakan sebagian kecil saja. Mungkin dia terkejut mendengar kejujuranku saat ini. Atau ..., bisa saja dia sama merasa kasihan padaku. Seperti nan dirasakan Profesor Lauren."Jadi apa yang ingin kamu lakukan? Apa saya boleh t
"Tolong sampaikan bahwa saya akan keluar sebentar lagi, Mbak," ujarku setelah diam beberapa jenak. Yana menawarkan untuk menemui Bang Habib sementara aku bersiap-siap. Dia bilang Aku harus lebih segar kalau menyambut suami. Aku membenarkan ucapan Yana karena tidak ingin Bang Habib curiga.Sling bag yang diletakkan entah oleh siapa di atas meja kerja Aldy aku ambil dengan tergesa, lalu mengeluarkan bedak serta lipstik. Wajah pucat sudah mulai berkurang, begitu pula dengan keringan dingin. Setelah mematut diri di cermin kecil dalam genggaman, aku kembali memasukkan kedua benda tersebut ke tempat semula, dan berdiri tegak dari sofa yang aku duduki.Akan tetapi, aku mendadak gelisah. Entah mengapa aku merasa kedatangan Bang Habib hanya akan menambah masalah. Belum tuntas kesalahpahaman yang terjadi belakangan ini, tetapi mengapa Tuhan masih bercanda dengan kehidupanku? Office girl pemberi kabar telah keluar bersama Yana sejak beberapa jenak lalu, sehingga menyisakan aku dan Aldy di ruang
Tidak ada yang perlu disesaliSemua telah diatur oleh sang Pencipta Tugas kita hanya menjalani Tanpa mengeluh dan putus asa ***Kuda besi melaju kencang membelah ruas jalan tanpa tahu arah. Untung saja belum jam pulang kantor, sehingga ruas jalan tidak terlalu macet dan aku bisa mengemudi tanpa hambatan. Pada perempatan jalan aku berhenti, lalu memperhatikan lalu lalang pedagang kaki lima menjajakan barang dagangan. Tidak juah dari Taman Kota Sungai Surabaya. Mereka tampak tertawa lepas tanpa beban. Aku jadi iri karena tidak bisa seperti mereka meski hidup dalam keterbatasan.Aku menarik napas sejenak di depan gerbang taman. Aku tidak berminat untuk turun, hanya ingin mencari udara segar melalui kaca jendela yang sengaja uku turunkan hingga kandas. Otak terus berpikir, ke mana aku setelah ini? Tidak mungkin pulang ke rumah Bang Habib. Hati terlalu sakit jika memandang wajahnya saja.Gawai yang aku letakkan di bangku penumpang bagian depan berbunyi. Aku masih enggan menerima telepo
Bagaikan dihantam godam besar, dadaku terasa sesak mendengar tuduhannya itu. Sungguh di luar logika saat dia mengatakan betapa murahan diriku ini. Ingin tertawa, tapi semua bukan lelucon. Hanya saja, Tuhan sedang bercanda dengan nasibku. Miris.Mata kami saling bersirobok. Aku tidak lagi menghindar dari kejaran mata yang menghunjam itu. Tetapi, aku balik menantang. Siap menabuh genderang perang. Tidak masalah jika akhirnya kami harus berpisah, asal aku keluar dengan gadu terangkat dan tidak kalah sebagai pecundang."Terserah Anda mau mengatakan apa tentang saya. Yang jelas, anak ini adalah darah daging Anda. Saya tidak peduli meski Anda menolak mengakui karena mulai saat ini, saya menyerah mempertahankan rumah tangga yang sudah lama karam." Kalimat sarkas terpanjang yang aku lontarkan pada Bang Habib. Biarlah dia tersinggung. Aku tidak peduli sama sekali, sudah saatnya memikirkan kebahagiaan dan kewarasan. Jika bertahan, maka lama-lama aku bisa gila. "Kamu tidak akan ke mana-mana sam
Aku pikir semua akan berakhir seperti mauku. Dia menerima tantangan untuk melakukan tes DNA atau meminta waktu untuk merenung sejenak. Ternyata aku kembali keliru dan terlalu berharap. Bang Habib justru semakin murka, tanpa memedulikan kehadiran ketiga orang tua kami."Jangan pernah kamu libatkan orang lain dalam permasalahan ini, Ra. Apalagi Vio dan Tengku tidak ada kaitan dengan dosa yang kamu perbuat. Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah mengakui anak itu!" Dia berteriak sembari menunjuk wajahku. Sementara itu, Mama menggeleng agar aku tidak lagi melawan ucapan Bang Habib. Haruskah aku patuh saat harga diri diinjak-injak sedemikian rupa?"Lagian, kita menikah karena permintaan terakhir Naya dan paksaan keluarga. Sampai kapan pun, kita tidak pernah saling mencintai, Ra. Mungkin, ayah dari anak kamu adalah pilihan terbaik untuk kamu. Begitu juga Abang yang memilih mencintai Naya sepanjang sisa usia." Dia berkata tanpa peduli perasaanku. Tidak cinta dia bilang? Lantas, apa arti sik
Aku hanya ingin menepi barang sejenakMenjauh dari segala hiruk pikuk dan segala macam tuduhan Aku kecewa, hatiku terlanjur terluka Ternyata, kepercayaan itu memang mahal harganya ***Kakiku terus melangkah hingga tiba di gerbang pembatas. Beruntung kunci gembok sudah aku ambil dari tempat penyimpanan kunci di laci dapur, sehingga mempermudah proses pelarian. Posisi rumah ini berada paling pojok dan sengaja dibuat pagar tambahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Seperti saat ini contohnya. Tuhan seakan mendukung, lalu semesta membantu segala urusan agar lebih mudah.Tanganku bergetar saat membuka kunci gembok. Takut akan ketahuan oleh mereka yang aku sebut keluarga. Aku tidak ingin gagal meski berat meninggalkan Muthia dan Liyana, tapi aku tidak punya pilihan. Mental dan pikiran harus terjaga selama masa kehamilan dan rumah ini bukan tempat yang cocok untuk relaksasi pikiran.Aku bernapas lega karena gerbang berhasil aku buka tanpa mengeluarkan bunyi berisik. Rel gerbang ra