Tidak ada yang perlu disesaliSemua telah diatur oleh sang Pencipta Tugas kita hanya menjalani Tanpa mengeluh dan putus asa ***Kuda besi melaju kencang membelah ruas jalan tanpa tahu arah. Untung saja belum jam pulang kantor, sehingga ruas jalan tidak terlalu macet dan aku bisa mengemudi tanpa hambatan. Pada perempatan jalan aku berhenti, lalu memperhatikan lalu lalang pedagang kaki lima menjajakan barang dagangan. Tidak juah dari Taman Kota Sungai Surabaya. Mereka tampak tertawa lepas tanpa beban. Aku jadi iri karena tidak bisa seperti mereka meski hidup dalam keterbatasan.Aku menarik napas sejenak di depan gerbang taman. Aku tidak berminat untuk turun, hanya ingin mencari udara segar melalui kaca jendela yang sengaja uku turunkan hingga kandas. Otak terus berpikir, ke mana aku setelah ini? Tidak mungkin pulang ke rumah Bang Habib. Hati terlalu sakit jika memandang wajahnya saja.Gawai yang aku letakkan di bangku penumpang bagian depan berbunyi. Aku masih enggan menerima telepo
Bagaikan dihantam godam besar, dadaku terasa sesak mendengar tuduhannya itu. Sungguh di luar logika saat dia mengatakan betapa murahan diriku ini. Ingin tertawa, tapi semua bukan lelucon. Hanya saja, Tuhan sedang bercanda dengan nasibku. Miris.Mata kami saling bersirobok. Aku tidak lagi menghindar dari kejaran mata yang menghunjam itu. Tetapi, aku balik menantang. Siap menabuh genderang perang. Tidak masalah jika akhirnya kami harus berpisah, asal aku keluar dengan gadu terangkat dan tidak kalah sebagai pecundang."Terserah Anda mau mengatakan apa tentang saya. Yang jelas, anak ini adalah darah daging Anda. Saya tidak peduli meski Anda menolak mengakui karena mulai saat ini, saya menyerah mempertahankan rumah tangga yang sudah lama karam." Kalimat sarkas terpanjang yang aku lontarkan pada Bang Habib. Biarlah dia tersinggung. Aku tidak peduli sama sekali, sudah saatnya memikirkan kebahagiaan dan kewarasan. Jika bertahan, maka lama-lama aku bisa gila. "Kamu tidak akan ke mana-mana sam
Aku pikir semua akan berakhir seperti mauku. Dia menerima tantangan untuk melakukan tes DNA atau meminta waktu untuk merenung sejenak. Ternyata aku kembali keliru dan terlalu berharap. Bang Habib justru semakin murka, tanpa memedulikan kehadiran ketiga orang tua kami."Jangan pernah kamu libatkan orang lain dalam permasalahan ini, Ra. Apalagi Vio dan Tengku tidak ada kaitan dengan dosa yang kamu perbuat. Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah mengakui anak itu!" Dia berteriak sembari menunjuk wajahku. Sementara itu, Mama menggeleng agar aku tidak lagi melawan ucapan Bang Habib. Haruskah aku patuh saat harga diri diinjak-injak sedemikian rupa?"Lagian, kita menikah karena permintaan terakhir Naya dan paksaan keluarga. Sampai kapan pun, kita tidak pernah saling mencintai, Ra. Mungkin, ayah dari anak kamu adalah pilihan terbaik untuk kamu. Begitu juga Abang yang memilih mencintai Naya sepanjang sisa usia." Dia berkata tanpa peduli perasaanku. Tidak cinta dia bilang? Lantas, apa arti sik
Aku hanya ingin menepi barang sejenakMenjauh dari segala hiruk pikuk dan segala macam tuduhan Aku kecewa, hatiku terlanjur terluka Ternyata, kepercayaan itu memang mahal harganya ***Kakiku terus melangkah hingga tiba di gerbang pembatas. Beruntung kunci gembok sudah aku ambil dari tempat penyimpanan kunci di laci dapur, sehingga mempermudah proses pelarian. Posisi rumah ini berada paling pojok dan sengaja dibuat pagar tambahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Seperti saat ini contohnya. Tuhan seakan mendukung, lalu semesta membantu segala urusan agar lebih mudah.Tanganku bergetar saat membuka kunci gembok. Takut akan ketahuan oleh mereka yang aku sebut keluarga. Aku tidak ingin gagal meski berat meninggalkan Muthia dan Liyana, tapi aku tidak punya pilihan. Mental dan pikiran harus terjaga selama masa kehamilan dan rumah ini bukan tempat yang cocok untuk relaksasi pikiran.Aku bernapas lega karena gerbang berhasil aku buka tanpa mengeluarkan bunyi berisik. Rel gerbang ra
Aku memilih sarapan di kamar setelah mengambil semangkuk soto dan kopi di restoran hotel. Takut ada kenalan yang melihat dan melaporkan pada keluarga bahwa aku ada di sini. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Keluarga kami merupakan orang terpandang di kota ini, bukan hanya dari kalangan atas, tetapi hampir semua kalangan mengenal baik.Soto dengan toping ayan suwir dan banyak sambal, aku aduk perlahan setelah menambah perasaan jeruk nipis. Aroma kaldu ayam menguar memanjakan indra penciuman. Rasa lapar mendera seketika. Tanpa membuang waktu, aku segera menyantap panganan khas ini ke dalam mulut. Sensasi segar dan pedas berpadu memanjakan tenggorokan. Anehnya, aku tidak mual sejak berada di sini. Mungkin anakku butuh tempat tenang.Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Aku harus bergegas mencari toko pakaian murah agar dapat mengganti baju. Rasanya risih memakai pakaian yang sama sejak kemarin. Ini di luar rencana. Padahal aku telah menyiapkan kebutuhan minggat di dalam koper. Tetapi
Aku masih mematung, menunggu jawaban dari perempuan cantik yang masih tersenyum miring. Entah mengapa firasat mendadak tidak enak hanya dengan melihat tatapan mata Mbak Viona. Walaupun rencana dia selalu berhasil, tetapi tidak jarang mengundang resiko. Seperti tahun lalu, misalnya. Hampir saja si kembar menjadi korban keberingasan para penjabat, begitu juga Natha yang saat itu masih bayi. Karena kecerobohan dan menganggap sepele musuh, Mbak Viona serta anak-anak akhirnya disekap selama beberapa hari. Bahkan, Natha lebih dari satu bulan berada di tangan mafia yang sayangnya adalah mertua Mbak Viona. Jika mengingat hal itu, aku jadi bergidik ngeri. "Kamu pasti lagi mikir yang nggak-nggak. Ck! Dasar otak mesum," sengit Mbak Viona sambil berdecak kesal.Aku mengembuskan napas kasar, lalu duduk di samping dia dan memandangnya dengan lekat. "Jadi apa rencana, Mbak?" Aku menuntut lewat pertanyaan yang sama. "Bukan Mbak, tapi rencana kita berdua," sahut Mbak Viona sambil terkekeh. Dasar a
Memilih pergi bukan untuk berhenti mencintai Tetapi memberi waktu untuk sejenak menepi Rasakan cinta kala dua jiwa terpisah tanpa saling menyakiti Kemudian, jika takdir menemukan kita lagiSudah tidak ada keraguan di hati***Bang Baim melonggarkan kancing kemeja bagian atas. Sepertinya dia butuh udara segar karena tiba-tiba napasnya tersengal. Mbak Viona memang sangat pintar membuat lawan atau kawan merasa terintimidasi lewat sorot mata saja. Padahal, dia belum mengatakan apa pun.Dengan anggun, jari-jari lentik itu mengangkat cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Cara dia seperti ini mengingatkanku pada Eyang. Seingtaku, gambaran Mbak Viona adalah sosok Eyang di saat muda dulu. Cantik, anggun, tegas, dan berkelas. Bedanya, Eyang kami tidak menikah lagi semenjak Eyang Kakung meninggal. Waktu itu, Mama Hani dan Mama masih kecil dan butuh kasih sayang dari sosok ayah.Akan tetapi, Eyang membuktikan pada siapa pun bahwa dia mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk kedua anaknya. M
Atmosfer di ruangan seluas tiga puluh lima meter persegi ini mendadak haru karena pertemuan sepasang suami istri yang saling melepas rindu. Aku turut terhanyut dalam kebahagian saat kedua sejoli itu melerai pelukan dan melempar senyuman pada kami. Setelah mampu menguasai diri, Mbak Viona meminta agar Bang Tengku untuk duduk di sofa bersama kami. Tentu saja hal ini dimanfaatkan Mbak Viona untuk bersandar manja di dada bidang laki-laki bermata hazel itu. Sementara itu, suaminya membelai lembut puncak kepala dia dengan penuh kelembutan."Jadi dia menuduh kamu berzinah dan menolak mengakui anak kalian?" Bang Tengku meyakinkan bahwa informasi yang dia dengar tidak salah.Aku mengangguk seraya tersenyum kecut, lalu berkata, "Ya. Bahkan Ra sudah menantang dia untuk melakukan tes DNA begitu kehamilan ini tidak rawan, tapi sayangnya dia menolak." Bang Tengku menggeram marah dengan rahang mengatup erat, jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Dasar bajingan! Semabuk-mabukny