Aku masih menanti dengan perasaan gelisah, tetapi perempuan cantik yang duduk di hadapanku ini justru tersenyum penuh teka-teki. Apa yang dia rencanakan? Mengapa dia menanyakan tentang Tommy? Berbagai tanya berkelebat dalam pikiran, namun aku tidak menemukan jawaban apa pun.Mbak Viona tertawa kecil, lalu berkata, "Telepon Tommy sekarang! Suruh dia menyusul kita ke sini. Bukannya dia sekarang bersama laki-laki bodoh itu? "Untuk apa, Mbak?" tanyaku bingung.Mbak Vioana menjentikkan jari, lalu menjawab, "Lakukan saja. Kamu akan tahu nanti."Aku semakin mengernyitkan dahi, tetapi tetap mengikuti perintah Mbak Viona. Gawai aku ambil dari sling bag yang aku letakkan di atas kursi kosong. Nama Tommy aku cari dalam daftar kontak benda pipih berwarna hitam ini dan mulai melakukan panggilan telepon. Pada panggilan ketiga, laki-laki yang gemar becanda itu menjawab panggilan. Mungkin dia sibuk dengan pekerjaannya."Mas Tonny di mana?" Pertanyaan pertama setelah aku mengucap salam."Aku baru
Atmosfer terasa begitu panas. Aura permusuhan terpancar jelas dari laki-laki bergelar suami ini. Dia hanya berdiri tegak tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Memandang Tommy seperti ingin menerkam saja. Sementara itu, Mbak Viona dengan santainya tertawa sambil memainkan gawai. Entah apa yang dia lihat dari benda pipih itu. Sejak Bang Habib di sini, matanya tidak lepas dari gawai.Aku tidak berani menatap Bang Habib. Hanya melirik dari ekor mata saja seraya memilin jari di atas paha. Mendadak aku menjadi tidak enak hati karena melibatkan Tommy di dalam permasalahan kami. Tetapi, bukannya aku tidak sepenuhnya salah. Dia yang meminta agar aku lebih dekat dengan Tommy. Lantas, mengapa dia tidak terima.Tommy berdeham dan tegak berdiri. "Pak Habib, silakan duduk." Tommy bergeser dan meminta Bang Habib agar duduk di sampingku. Meja ini, hanya menyediakan empat kursi berbahan stainless steel saja. Aku dan Tommy duduk bersisian, tapi tetap berjarak. Sementara Mbak Viona duduk sendiri di seb
Mendekatlah! Setelah itu aku akan memasang jarakSeperti yang biasa kau lakukan padakuSeperti itu pula aku membalas meski hanya sejenak Aku hanya ingin menikmati permainan yang kau mulai dulu*** Benarkah yang sudah aku lakukan? Entah mengapa, aku merasa ragu mengikuti rencana Mbak Viona meski aku tahu dia tidak mungkin menjebakku. Hanya saja, aku takut permainan ini justru memperburuk keadaan yang sudah pelik.Kami telah tiba di Pakuwon Mall sejak setengah jam lalu. Mbak Viona terus meminta agar aku mengikuti langkahnya menuju salah satu butik yang menyediakan kebutuhan wanita dewasa. Kaki gemetar saat melewati pintu masuk berbahan kaca tebal ini. Sejak menikah, aku tidak pernah memakai pakaian haram itu. Lagian, pernikahan kami jauh berbeda dari pasangan lain. Jadi untuk apa aku memakai pakaian tipis dan menerawang itu?"Ini, ini dan ini." Dengan lincah Mbak Viona memiliki beberapa lingerie berbagai warna. Aku menelan saliva membayangkan saat memakai pakaian itu. Belum dicoba, a
Dia semakin maju dan membuat punggungku membentur daun pintu. Embusan napasnya menggelitik wajah, sehingga membuat bulu kudukku meremang. Apa mau dia? Mengapa dia jadi posesif? Seharusnya aku senang, tapi entah mengapa rasanya sudah hambar. Kata Mbak Viona, sudah saatnya aku yang memegang kendali."Biasanya kamu nggak pernah mengabaikan teelpon Abang, Ra. Tapi hari ini kamu berbeda." Suaranya terdengar berat dan serak. Aku coba menghela napas agar tidak terbuai dengan sikapnya. Perlahan aku mendongak dan menatap iris mata elang lelakiku ini. "Abang tahu kalau perempuan sudah di salon, maka dia bisa melupakan banyak hal. Bukannya Abang juga begitu kalau lagi menghabiskan waktu di luar?" Aku sengaja menyindir Bang Habib seperti saran Mbak Viona."Ra mau mandi dulu. Gerah," ujarku seraya mendorong dada Bang Habib. Dia masih bergeming tanpa menjawab sindiranku. Tersinggung atau sedang berpikir, mungkin. "Tapi kita belum bicara, Ra. Abang kan udah bilang kalau ada hal penting yang ingin
Bicaralah dengan rasa tanpa amarahGenapkan cinta tanpa prasangka Apalagi praduga yang membuat angkaraKemudian, genggam erat tanganku dengan simpul asmara -Rara Audy Sanjaya- "Ka-kamu tidur pakai baju laknat ini?" tanya Bang Habib terbata-bata. Aku mengulas senyum tipis, lalu menjawab acuh tak acuh sambil mengedikkan bahu. "Lagi pengin aja. Lagian, malam ini gerah." Aku sengaja menekan kata gerah agar dapat melihat reaksi Bang Habib yang ternganga. Mungkin dia heran karena malam ini cuaca cukup dingin, apalagi ditambah pendingin ruang.Bang Habib masih bergeming. Matanya masih memandang lekat tubuhku yang dibalut lingerie seksi ini. Aku tertawa puas di dalam hati. Benar kata Mbak Vioana, laki-laki itu seperti kucing yang tidak akan menolak ikan asin. Walaupun sedikit konyol, itulah kenyataanya. Bahkan, aku dapat melihat jelas dia menelan saliva dengan susah payah."Kamu tahu, Ra? Perempuan hamil itu jauh lebih seksi dibanding sebelum dia hamil. Apalagi kalau perut sudah mulai me
Bab 44:Aku menggeser kepala dan membenamkan wajah ke dalam bantal. Mengabaikan pertanyaan bang Habib. Hanya memikirkan bagaimana menjawab pertanyaan itu saja, sudah membuat rasa takut menggelayut di hati. Aku sama sekali tidak ingin menyembunyikan apalagi mengingkari kehamilanku di depan Bang Habib. Tetapi apa lagi yang bisa dilakukan saat ini?Jika aku memberitahu Bang Habib tentang kehamilanku, bagaimana reaksinya? Apakah dia akan menyangkal keberadaan anak ini? Membayangkannya saja sudah mampu membuat darahku mendingin karena terlalu takut. Bang Habib sangat mencintai Mbak Naya, jadi Bang Habib menyayangi anak-anak mereka. Lantas, bagaimana denganku hanya sebagai istri yang tak dianggap? Apakah anakku akan tidak dianggap juga?Hanya memikirkannya saja sudah membuat hatiku seperti diiris sembilu. Aku belum sanggup menghadapi reaksi penolakan Bang Habib sekarang. Pikiran kalut buyar tatkala mendengar dengusan keras Bang Habib. Mungkin dia kesal karena merasa diabaikan.“Ra," pangg
Aku bisa kuat saat cobaan menerpa kehidupan.Aku mampu berdiri tegak saat badai menghantam Namun, aku goyah saat dia ragu dan tidak lagi percaya padaku Mungkin, hatiku terlampau berharap, sehingga terasa sakit saat dia campakkan.***“Ra, ada klien aku suruh nunggu di ruanganmu ya. Aku masih punya klie lain yang harus ditangani," ucap Aldy saat aku baru saja melangkah masuk ke klinik.Untungnya rasa mual tidak berlangsung lama, sehingga aku tetap bisa datang ke klinik untuk bekerja. Aku sedang tidak ingin menganggur dan membuat pikiran dipenuhi hal-hal negatif karena Bang Habib yang mendiamkan aku.“Oke.” Aku mengangguk ringan pada Aldy. Melihat pria itu terburu-buru masuk ke ruangannya, aku tidak menghentikan, lalu masuk ke ruanganku sendiri.Saat aku masuk, seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan yang sedang duduk di sofa menoleh. Aku meraih file klien yang diletakkan di meja kerja. Membalikkan lembarannya sekilas sembari berjalan ke sofa. Aku tersenyum ramah, lalu mengulurka
Ketika Mbak Silvia pergi, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas. Sudah waktunya untuk makan siang. Aku berjalan ke ruangan Aldy. Namun, sebelum sempat aku mengetuk, terdengar suara perawat Yana dari belakang punggung.“Mbak Rara mau makan siang sama Mas Aldy ya?” tanya perawat Yana sambil tersenyum.Aku mengangguk dan balas tersenyum. “Iya. Aldy belum selesai?” Aku bertanya sambil melihat pintu ruangan Aldy yang masih tertutup rapat.Perawat Yana menggeleng. “Mas Aldy lagi ngelakuin hipnoterapi ke klien Mbak.” Suster Yana menjawab ramah. Aku mengangguk mengerti. Hipnoterapi akan memakan waktu cukup lama, jadi aku memutuskan untuk pergi makan sendiri.“Oke. Kalau gitu aku keluar dulu ya, cari makan.” Karena pergi sendiri, aku memutuskan pergi sedikit lebih jauh dari klinik untuk mencicipi rasa baru. “Iya Mbak. Hati-hati dijalan!" seru suster Yana. Aku hanya mengangguk, tersenyum dan melambaikan tangan pada perempuan itu sebelum pergi keluar. Sejak hamil, aku agak bingung dengan se
Perpisahan memang tidak pernah diharapkan, tetapi langkah itu dapat menjadi salah satu solusi agar batin lebih tenang. Aku pun tidak tahu batas akhir perpisahan kami. Semoga, akan ada pelangi setelah badai yang menerpa kehidupan rumah tanggaku dan berharap Bang Habib menyadari kekeliruan dia selama ini.Penebangan dari Surabaya ke Kota Pekanbaru memakan waktu sekitar lima jam. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Artinya, sebentar lagi, aku akan memulai hidup baru di Kota Madani itu. Seorang diri, tanpa keluarga yang mendampingi. Tetapi, aku yakin bahwa Allah akan selalu melindungi setiap langkahku. Semoga.Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah lebih pukul delapan malam. Rasanya, tubuhku terasa lelah. Mungkin karena terlalu banyak menangis usai menemui Muthia dan Liyana siang tadi. Sekuat apa pun menahan sedih, tapi ternyata aku tidak sekuat itu. Apalagi, anak-anak tidak mau melepas pelukan terakhir kami."Mama janji kalau semua urusan peker
Aku menunggu dengan gelisah karena Bang Tengku belum juga kembali ke kamar inap. Setelah aku pikirkan baik-baik, akan lebih baik jika bertemu langsung dengan anak-anak. Aku tidak ingin mereka beranggapan bahwa aku tidak menyayangi mereka dan berpikir bahwa sengaja menjauh. Tidak. Jangan sampai mereka berpikir buruk tentangku! Cukup Bang Habib saja.Tiga puluh menit sebelum pukul sepuluh, Bang Tengku kembali ke ruang inap dengan membawa amplop dan obat di dalam kantong plastik di tangan. Dia tersenyum tipis, lalu memberi perintah pada anak buahnya agar membawa koperku keluar."Maaf membuat kamu menunggu lama. Antrian panjang di apotik dan bagian administrasi, makanya Abang baru selesai." Tanpa diminta, Bang Tengku memberi penjelasan. Sedikit ragu, aku mendongak, lalu mengumpulkan keberanian untuk meminta lebih. Anggaplah aku tidak tahu diri karena sudah ditolong, tapi malah ngelunjak. Itu jauh lebih baik, daripada aku menyesal nantinya."Ada yang mau kamu sampaikan?" Seakan dapat memb
Perempuan itu ....Memiliki tangan yang luar biasa. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu dengan kedua tangannya. Padahal, komposisi tangan laki-laki dan perempuan itu sama saat Tuhan menciptakan kita.Kedua tangannya mampu memberi kehangatan untuk suami dan anak-anaknya. Sekaligus memberi rasa nyaman lewat pelukan.Perempuan itu ....Memiliki dagu yang terangkat angkuh. Dia membuktikan bahwa dia kuat saat suami dan anak-anaknya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sakit, misalnya. Atau di saat suaminya hancur dan butuh dukungan.Dengan dagu terangkat, dia mengatakan bahwa dia kuat dan tidak rapuh saat badai memporak porandakan hatinya. Dia pemain peran yang ulung.Dengan dagu terangkat, dia menahan air mata yang merebak hendak dikeluarkan. Agar suami dan anak-anaknya tetap merasa nyaman.Perempuan itu ....Memiliki otak yang cerdas. Dia pemikir sekaligus negosiator ulung dibanding laki-laki. Dia teman diskusi yang memiliki banyak taktik. Dengan otak kecilnya, dia bis
Jika hidup hanyalah soal warna, maka hitam adalah pilihanku. Jika hidup menjadi misteri, maka pekatnya malam adalah tempatku. Jika bahagia harus berupa pelangi, maka tersingkirlah aku.-Rara Audy Sanjaya-***Aku masih mendengar teriakan Mbak Viona dan beberapa orang tak dikenal sebelum semua menjadi gelap. Aku seperti terperangkap di dalam kegelapan yang tidak bertepi. Sunyi dan senyap. Namun, aku tetap dapat merasa sakit di bagian bawah perut.Bau karbol menyengat di indra penciuman, membuat aku mengernyit heran. Aku membuka mata perlahan dengan rasa pusing luar biasa. Cahaya lampu membuat aku kembali mengernyit karena silau menusuk netra. Di mana ini? Mengapa tempat ini terasa asing? "Kamu sudah sadar, Ra?" Aku makin linglung ketika mendengar suara Mbak Viona menyapa. Setelah mata menyesuaikan cahaya di ruangan ini, aku menoleh ke asal suara. Mbak Viona berdiri dengan tatapan cemas di samping Bang Tengku. Pikiranku mendadak berotasi mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu.
Atmosfer di ruangan seluas tiga puluh lima meter persegi ini mendadak haru karena pertemuan sepasang suami istri yang saling melepas rindu. Aku turut terhanyut dalam kebahagian saat kedua sejoli itu melerai pelukan dan melempar senyuman pada kami. Setelah mampu menguasai diri, Mbak Viona meminta agar Bang Tengku untuk duduk di sofa bersama kami. Tentu saja hal ini dimanfaatkan Mbak Viona untuk bersandar manja di dada bidang laki-laki bermata hazel itu. Sementara itu, suaminya membelai lembut puncak kepala dia dengan penuh kelembutan."Jadi dia menuduh kamu berzinah dan menolak mengakui anak kalian?" Bang Tengku meyakinkan bahwa informasi yang dia dengar tidak salah.Aku mengangguk seraya tersenyum kecut, lalu berkata, "Ya. Bahkan Ra sudah menantang dia untuk melakukan tes DNA begitu kehamilan ini tidak rawan, tapi sayangnya dia menolak." Bang Tengku menggeram marah dengan rahang mengatup erat, jari-jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Dasar bajingan! Semabuk-mabukny
Memilih pergi bukan untuk berhenti mencintai Tetapi memberi waktu untuk sejenak menepi Rasakan cinta kala dua jiwa terpisah tanpa saling menyakiti Kemudian, jika takdir menemukan kita lagiSudah tidak ada keraguan di hati***Bang Baim melonggarkan kancing kemeja bagian atas. Sepertinya dia butuh udara segar karena tiba-tiba napasnya tersengal. Mbak Viona memang sangat pintar membuat lawan atau kawan merasa terintimidasi lewat sorot mata saja. Padahal, dia belum mengatakan apa pun.Dengan anggun, jari-jari lentik itu mengangkat cangkir kopi dan menyesap isinya perlahan. Cara dia seperti ini mengingatkanku pada Eyang. Seingtaku, gambaran Mbak Viona adalah sosok Eyang di saat muda dulu. Cantik, anggun, tegas, dan berkelas. Bedanya, Eyang kami tidak menikah lagi semenjak Eyang Kakung meninggal. Waktu itu, Mama Hani dan Mama masih kecil dan butuh kasih sayang dari sosok ayah.Akan tetapi, Eyang membuktikan pada siapa pun bahwa dia mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk kedua anaknya. M
Aku masih mematung, menunggu jawaban dari perempuan cantik yang masih tersenyum miring. Entah mengapa firasat mendadak tidak enak hanya dengan melihat tatapan mata Mbak Viona. Walaupun rencana dia selalu berhasil, tetapi tidak jarang mengundang resiko. Seperti tahun lalu, misalnya. Hampir saja si kembar menjadi korban keberingasan para penjabat, begitu juga Natha yang saat itu masih bayi. Karena kecerobohan dan menganggap sepele musuh, Mbak Viona serta anak-anak akhirnya disekap selama beberapa hari. Bahkan, Natha lebih dari satu bulan berada di tangan mafia yang sayangnya adalah mertua Mbak Viona. Jika mengingat hal itu, aku jadi bergidik ngeri. "Kamu pasti lagi mikir yang nggak-nggak. Ck! Dasar otak mesum," sengit Mbak Viona sambil berdecak kesal.Aku mengembuskan napas kasar, lalu duduk di samping dia dan memandangnya dengan lekat. "Jadi apa rencana, Mbak?" Aku menuntut lewat pertanyaan yang sama. "Bukan Mbak, tapi rencana kita berdua," sahut Mbak Viona sambil terkekeh. Dasar a
Aku memilih sarapan di kamar setelah mengambil semangkuk soto dan kopi di restoran hotel. Takut ada kenalan yang melihat dan melaporkan pada keluarga bahwa aku ada di sini. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Keluarga kami merupakan orang terpandang di kota ini, bukan hanya dari kalangan atas, tetapi hampir semua kalangan mengenal baik.Soto dengan toping ayan suwir dan banyak sambal, aku aduk perlahan setelah menambah perasaan jeruk nipis. Aroma kaldu ayam menguar memanjakan indra penciuman. Rasa lapar mendera seketika. Tanpa membuang waktu, aku segera menyantap panganan khas ini ke dalam mulut. Sensasi segar dan pedas berpadu memanjakan tenggorokan. Anehnya, aku tidak mual sejak berada di sini. Mungkin anakku butuh tempat tenang.Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Aku harus bergegas mencari toko pakaian murah agar dapat mengganti baju. Rasanya risih memakai pakaian yang sama sejak kemarin. Ini di luar rencana. Padahal aku telah menyiapkan kebutuhan minggat di dalam koper. Tetapi
Aku hanya ingin menepi barang sejenakMenjauh dari segala hiruk pikuk dan segala macam tuduhan Aku kecewa, hatiku terlanjur terluka Ternyata, kepercayaan itu memang mahal harganya ***Kakiku terus melangkah hingga tiba di gerbang pembatas. Beruntung kunci gembok sudah aku ambil dari tempat penyimpanan kunci di laci dapur, sehingga mempermudah proses pelarian. Posisi rumah ini berada paling pojok dan sengaja dibuat pagar tambahan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Seperti saat ini contohnya. Tuhan seakan mendukung, lalu semesta membantu segala urusan agar lebih mudah.Tanganku bergetar saat membuka kunci gembok. Takut akan ketahuan oleh mereka yang aku sebut keluarga. Aku tidak ingin gagal meski berat meninggalkan Muthia dan Liyana, tapi aku tidak punya pilihan. Mental dan pikiran harus terjaga selama masa kehamilan dan rumah ini bukan tempat yang cocok untuk relaksasi pikiran.Aku bernapas lega karena gerbang berhasil aku buka tanpa mengeluarkan bunyi berisik. Rel gerbang ra