Share

I'm Sorry Laras
I'm Sorry Laras
Author: mangpurna

Terjebak

Author: mangpurna
last update Last Updated: 2024-10-28 21:56:57

Cahaya lampu tua di ruang tamu berkedip pelan, memantulkan bayangan samar di dinding kayu yang sudah mulai mengelupas. Bau kopi dingin dari cangkir yang ditinggalkan di meja kecil masih tercium samar, bercampur dengan aroma tanah basah yang menyelinap dari jendela terbuka. Di sudut ruangan, Ratna Kartika berdiri dengan tangan gemetar, jari-jarinya mencengkeram lengan Damar erat-erat seolah takut kehilangan pegangan.

 

“Damar, syukurlah kamu sudah datang,” suaranya mendesak, penuh getaran yang sulit disembunyikan, matanya berkilat tajam di bawah alis yang mengerut. “Kamu harus lihat bagaimana kelakuan istrimu saat kamu tidak ada di rumah.”

 

Damar mengerutkan kening, napasnya masih tersengal setelah perjalanan panjang dari luar kota. Ia menarik lengannya perlahan dari genggaman ibunya, gerakannya kaku namun tegas. Jaket lusuhnya masih menempel di pundak, membawa aroma debu jalanan yang melekat. “Ada apa sih, Bu? Aku ini baru saja pulang, dan masih capek…” Ia menghela napas panjang, suaranya lelah namun ada nada keras yang tak bisa disembunyikan. “Tolong, jangan mulai drama yang nggak penting seperti ini. Aku tahu Ibu belum sepenuhnya menerima Laras sebagai menantu di rumah ini, tapi bukan berarti Ibu harus terus menyudutkannya.”

 

Ratna terdiam sejenak, langkahnya terhenti. Ia menatap wajah putranya, mata cokelatnya yang dulu penuh kehangatan kini dipenuhi garis-garis kekesalan. “Kenapa kamu ngomong seperti itu, Damar?” ucapnya, nada kecewa merayap di setiap kata. Ia menegakkan pundak, meski tangannya masih bergetar halus. “Memang, Ibu tidak pernah merestui Laras sebagai istrimu. Tapi itu bukan alasan Ibu untuk berbuat jahat kepadanya. Justru, Ibu narik kamu masuk ke sini agar kamu sendiri bisa melihat kebenaran yang selama ini ditutup-tutupi oleh istrimu.”

 

“Kebenaran apa lagi sih, Bu?” Damar menggumam, setengah tak percaya. Ia menggosok pelipisnya dengan jari, mencoba menahan rasa pening yang mulai menjalar. Sepatu botnya masih meninggalkan jejak tanah kering di lantai, dan ia melirik pintu kamar di ujung lorong, tempat Laras biasanya menunggunya dengan senyum kecil.

 

Ratna menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat. Matanya menatap dalam ke mata Damar, penuh intensitas yang membuat udara terasa berat. “Istrimu… dia sedang tidur dengan pria lain di kamar kalian.”

 

Damar tersentak, seperti ada palu yang menghantam dadanya. Tubuhnya membeku, dan matanya membelalak menatap ibunya. “Itu nggak mungkin, Bu,” balasnya, suaranya bergetar, mencoba menahan gelombang emosi yang mulai naik. “Laras nggak akan pernah melakukan hal sehina itu.” Ia menggeleng, tangannya mengepal, mencoba meyakinkan diri sendiri lebih dari ibunya.

 

Ratna mendesah, lalu melangkah menuju lorong sempit yang mengarah ke kamar Damar. “Kalau kamu nggak percaya, lihat saja dengan mata kepala kamu sendiri,” katanya, suaranya dingin namun ada kepuasan terselip di dalamnya. Langkahnya pelan tapi pasti, seperti membimbing putranya menuju sesuatu yang sudah ia rencanakan.

 

Damar mengikuti dengan langkah berat, napasnya memburu. Setiap derit lantai kayu di bawah kakinya terasa seperti dentuman di telinga. Jantungnya berdetak kencang, bercampur antara keraguan dan ketakutan yang perlahan mencuat. Ia berhenti di depan pintu kamar, tangannya ragu menyentuh gagang pintu yang dingin. Dengan satu tarikan napas dalam, ia mendorong pintu itu terbuka.

 

Pandangannya langsung jatuh ke ranjang. Di sana, Laras terbaring, rambutnya terurai di bantal dengan helai-helai yang menempel di pipi pucatnya. Dan di sampingnya, Faris—sahabatnya sejak kecil, orang yang pernah berbagi cerita di bawah pohon mangga tua—berbaring dengan lengan terentang, memeluk tubuh Laras dalam tidur pulas. Cahaya lampu kecil di meja samping ranjang menyelinap ke wajah mereka, memperlihatkan kedamaian yang bertolak belakang dengan badai di dada Damar.

 

Saat itu juga, darah Damar terasa mendidih, mengalir deras ke kepalanya hingga pandangannya sedikit buram. Jantungnya serasa berhenti, lalu berdetak kembali dengan keras, menyakitkan. “Laras, apa yang sudah kamu lakukan?!” teriaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu, memecah keheningan seperti kaca yang pecah berkeping-keping.

 

Laras tersentak bangun, matanya membelalak penuh kebingungan. Ia menarik selimut ke dada, napasnya tersengal. “M-Mas Damar… apa yang terjadi?” Suaranya panik, matanya bergerak cepat dari Damar ke Faris, yang juga terbangun dengan ekspresi terkejut. “Kenapa Mas Faris bisa ada di kamar kita?” Ia menoleh ke Faris, wajahnya pucat seperti kertas kosong, mencari jawaban yang tak kunjung datang.

 

Damar melangkah maju, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aku yang seharusnya nanya sama kamu, Laras!” bentaknya, suaranya rendah namun penuh amarah yang membakar. “Kenapa kalian bisa tidur seranjang di sini? Apa yang udah kalian lakukan?!” Matanya beralih ke Faris, tajam dan penuh kebencian. “Dan kamu… apa maksudnya ini semua?”

 

Laras menggeleng cepat, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… aku nggak tahu, Mas,” katanya, suaranya lemah, gemetar seperti daun yang diterpa angin. “Sungguh, aku nggak inget apa-apa tentang kejadian ini…” Ia menarik napas, mencoba menahan tangis yang sudah di ujung mata.

 

Ratna, yang berdiri di ambang pintu, menyeringai kecil. Langkahnya pelan mendekati ranjang, tatapannya tajam menusuk Laras. “Jangan pura-pura nggak tahu, Laras,” ucapnya, nada suaranya meremehkan, memotong udara seperti pisau. “Bukannya kamu yang manfaatin kesempatan ini? Kamu sengaja, kan, bawa pria lain ke sini saat Damar nggak ada dan rumah sepi?” Ia melipat tangan di dada, kepalanya miring dengan senyum yang penuh kemenangan.

 

Laras tersentak, menoleh ke Ratna dengan mata penuh ketakutan. “Mas… demi Tuhan, aku nggak melakukan itu,” balasnya, suaranya bergetar hebat. “Aku berani sumpah…” Ia menatap Damar, memohon dengan seluruh raut wajahnya yang hancur.

 

“Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam urusan ini, Laras,” potong Ratna tajam, suaranya meninggi. “Buktinya udah jelas. Kamu tertangkap basah berselingkuh sama Faris.” Ia melirik Damar, menunggu reaksi putranya dengan tatapan penuh harap.

 

Laras menoleh ke Damar, air matanya kini mulai menetes ke pipi. “Mas Damar, aku mohon… percaya sama aku,” katanya, suaranya pecah di antara isakan kecil. “Aku nggak akan pernah menghianati kamu, apalagi sama sahabatmu sendiri.” Tangannya terulur, mencoba meraih tangan Damar, tapi hanya menyentuh udara kosong.

 

Damar terdiam, matanya bergantian menatap Laras dan Faris. Di satu sisi, ia mengenal Laras—istrinya yang lembut, yang selalu menyambutnya dengan secangkir teh hangat dan cerita kecil tentang hari mereka. Tapi di sisi lain, bukti di depan matanya tak bisa ia abaikan—Faris, sahabat yang ia percaya, berbaring di ranjang yang sama dengan istrinya. “Entahlah, Laras,” desahnya akhirnya, suaranya pelan namun penuh beban. “Aku bingung… tapi semua bukti memberatkanmu. Sulit buat aku percaya sama kamu.”

 

Laras menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis yang kini mengalir deras. Ia tahu ini bukan waktunya diam. Dengan napas tersengal, ia berbalik ke Faris, mencengkeram kerah bajunya dengan kedua tangan. “Mas Faris… kenapa kamu diam aja?!” bentaknya, matanya penuh harap dan keputusasaan. “Katakan sesuatu! Bilang ke Mas Damar kalau ini semua salah paham, kalau kita nggak ada hubungan apa-apa!”

 

Faris menunduk sejenak, napasnya panjang dan berat. Lalu, ia mengangkat wajahnya, menatap Damar dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara penyesalan dan ketenangan yang aneh. “Maaf, Laras,” katanya pelan, suaranya tegas meski ada getar halus. “Sebaiknya kita jujur aja sama Damar… bahwa memang ada sesuatu di antara kita.”

 

Damar tersentak, seperti ada petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. Laras ternganga, matanya membelalak tak percaya. “Mas… apa maksudmu bicara begitu?!” suaranya meninggi, penuh kebingungan dan amarah. “Kenapa kamu bohong?!” Ia menatap Faris, wajahnya penuh air mata, seperti melihat orang asing yang tak pernah ia kenal.

 

Faris mengalihkan pandangan, rahangnya mengeras. “Laras, udah cukup,” ucapnya, suaranya datar. “Kita nggak perlu bersandiwara lagi. Damar udah nangkap basah kita. Mungkin ini saatnya kita jujur padanya.”

Laras menggeleng keras, tubuhnya mundur hingga punggungnya membentur dinding. “Tidak… ini semua bohong!” jeritnya, suaranya memenuhi ruangan. Ia berlari ke Damar, menggenggam tangannya erat-erat, jari-jarinya dingin dan gemetar. “Mas Damar… aku mohon, jangan percaya omongan Mas Faris. Dia… dia bohong. Dia sengaja mau merusak pernikahan kita!”

 

Damar berdiri membatu, tangannya terasa kaku dalam genggaman Laras. Matanya menatap wajah istrinya yang basah air mata, lalu beralih ke Faris yang kini diam dengan tatapan kosong. Di sudut ruangan, Ratna tersenyum sinis, kepalanya miring menikmati kekacauan yang ia saksikan. “Semuanya udah jelas, kan, Damar?” ucapnya pelan, suaranya seperti bisikan beracun. “Sekarang kamu bisa lihat sendiri sifat asli istrimu. Bagaimana kelakuannya saat kamu nggak ada di rumah. Dia nggak sepolos yang kamu kira.”

 

Udara di kamar terasa semakin pengap, penuh dengan aroma teh samar yang entah dari mana asalnya, bercampur dengan bau keringat dan ketegangan. Damar menarik napas dalam, matanya tertutup sejenak, mencoba meredam badai yang berkecamuk di dadanya. Ketika ia membukanya lagi, sorot matanya dingin, penuh luka yang tak bisa disembunyikan. “Aku nggak tahu harus percaya apa lagi,” katanya akhirnya, suaranya pecah. “Tapi yang pasti… aku nggak akan bisa melihat kamu sama seperti dulu, Laras.”

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • I'm Sorry Laras   Fitnah Raka

    Laras hanya bisa menangis, terisak-isak di hadapan suaminya, mencoba memeluk erat hatinya sendiri agar tak pecah berkeping-keping. Dalam kepalanya, ia berulang kali berkata bahwa ini hanyalah mimpi buruk—bayangan kelam yang akan sirna begitu mentari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela. Tapi pandangan Damar, yang kini membeku seperti es di musim dingin, menamparnya dengan kenyataan pahit. Kepercayaan yang dulu hangat dan penuh cinta itu kini terguncang hebat, bahkan mungkin telah runtuh menjadi puing-puing yang tak lagi bisa disatukan.Cahaya lampu gantung di ruang tamu memantulkan kilau redup di wajah Laras, menyoroti air mata yang mengalir tanpa henti, membentuk aliran kecil di pipinya yang pucat. Ia jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai kayu dengan bunyi pelan yang memilukan, seolah tubuhnya tak lagi mampu menahan beban jiwa yang remuk. Tangan-tangannya yang gemetar meraih jemari Damar, mencengkeramnya erat seakan itu adalah tali terakhir yang bisa menyelamatkannya dari

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Hukuman Laras

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Meragukan Indira

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Tes DNA

    Laras terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak saat pertanyaan polos Indira menggantung di udara. Cahaya lampu dapur yang redup memantulkan bayangan wajahnya di meja kayu tua, dan untuk sesaat, ia merasa dunia di sekitarnya menyusut menjadi ruang kecil yang penuh tekanan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos, tanpa menggores luka di hati kecil itu? Ia menarik napas dalam, mengumpulkan serpihan kekuatannya yang tersisa, lalu menatap Indira dengan senyum lembut yang ia paksa muncul.“Tes DNA itu…” ucapnya pelan, suaranya lembut seperti angin yang menyapu daun kering, “semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Ia menjaga nada suaranya tetap tenang, meski di dalam dadanya, badai sedang mengamuk.Indira mengerutkan dahi, matanya yang jernih memandang ibunya dengan kebingungan yang lugu. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”L

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Kekecewaan Damar

    Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperli

    Last Updated : 2024-10-30
  • I'm Sorry Laras   Rencana Baru

    Damar akhirnya sampai di depan rumahnya, namun ia tak kunjung turun dari mobil. Mesin masih menyala pelan, dan tangannya tetap mencengkeram kemudi, seolah ia enggan melepaskan diri dari dunia kecil yang ia ciptakan di dalam kendaraan itu. Ratna, yang berdiri di samping pintu mobil, mengerutkan kening dengan rasa penasaran yang mulai menyelinap. “Loh, kenapa kamu nggak turun bareng Ibu, Damar? Memangnya kamu mau ke mana?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara keheranan dan sindiran halus.Damar menoleh perlahan, matanya redup seperti lampu yang kehabisan minyak. “Aku mau menenangkan diri dulu, Bu,” ucapnya lemah, suaranya hampir tenggelam dalam desau angin malam yang dingin. “Aku butuh waktu sendiri.”Ratna mengangguk kecil, meski matanya menyipit penuh perhitungan. “Baik, Ibu mengerti,” katanya, nada suaranya dibuat lembut namun penuh tekanan terselubung. “Tapi Ibu minta, jangan bertindak bodoh, ya. Cepat pulang kalau kamu sudah merasa baikan.”“Baik, Bu. Ibu tenang saja, aku nggak

    Last Updated : 2024-12-13
  • I'm Sorry Laras   Rencana kejam

    Ratna mendengus kecil, ekspresinya sedikit kesal. “Bukan kita yang akan menghabisinya, Raka,” balasnya, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas. “Binatang buas di hutan yang akan menyelesaikan tugas kita. Kita cuma menaruhnya di sana—itu beda.”“Tapi itu sama saja, Bu!” Raka memotong, nadanya naik dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kalau kita yang membawanya ke sana, itu artinya kita yang bertanggung jawab!”Mendengar nada Raka yang penuh keraguan, Ratna memandangnya dengan tatapan tajam, alisnya berkerut penuh kejengkelan. “Kenapa? Kamu keberatan, Raka?” tanyanya, suaranya kini mengandung sedikit ancaman. “Atau takut? Ibu lakukan ini semua untukmu, supaya semua kekayaan Damar jadi milikmu. Apa kamu nggak ngerti?”Raka menggeleng cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan ibunya. “Bukan begitu, Bu,” ucapnya, suaranya melunak meski masih ada gurat ketakutan di matanya. “Aku cuma takut nanti semua aksi kita ketahuan orang lain. Aku nggak mau masuk penjara, Bu!”Ratna

    Last Updated : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Laras

    Raka tersenyum licik, wajahnya mendekat hingga napasnya terasa hangat di kulit Laras. “Tidak , aku tidak akan lepasin kamu,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh nafsu. “Dari dulu aku pengin nyicipin bibirmu ini.”Laras panik, ketakutan membuncah di dadanya. Ia menjauhkan wajahnya sejauh mungkin, tangannya mendorong dada Raka dengan keras. “Jangan kurang ajar, Raka! Aku ini kakak iparmu!” teriaknya, suaranya bergetar oleh rasa takut dan marah.“Jangan khawatir, Laras,” balas Raka, senyumnya semakin lebar. “Aku yakin Kak Damar bakal ngijinin aku nyicipin bibirmu. Toh, kamu udah nyakitin dia—dia nggak akan peduli lagi.”“Cepat hentikan, Raka! Lepaskan aku!” Laras meronta lebih keras, kakinya mencoba menendang, tapi cengkeraman Raka terlalu kuat. “Kalau nggak, aku bakal teriak!”“Teriak aja sekencang-kencangnya, Laras,” Raka terkekeh, suaranya penuh keyakinan yang mengerikan. “Aku yakin nggak ada yang bakal dengar. Semua ART udah kusuruh ke belakang dan kularang masuk ke dalam. Rumah ini cu

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • I'm Sorry Laras   dhgdvdgv

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Ningsih

    Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m

  • I'm Sorry Laras   Penghinaan Ningsih

    Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark

  • I'm Sorry Laras   Mall

    Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika

  • I'm Sorry Laras   Rasa penasaran Doni

    “Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete

  • I'm Sorry Laras   Sebuah Rahasia

    Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s

  • I'm Sorry Laras   Ruang keluarga yang memanas

    Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa

  • I'm Sorry Laras   Ruang BK yang memanas

    Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status