Share

Tes DNA

Author: mangpurna
last update Last Updated: 2024-10-28 22:08:35

Laras terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak saat pertanyaan polos Indira menggantung di udara. Cahaya lampu dapur yang redup memantulkan bayangan wajahnya di meja kayu tua, dan untuk sesaat, ia merasa dunia di sekitarnya menyusut menjadi ruang kecil yang penuh tekanan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos, tanpa menggores luka di hati kecil itu? Ia menarik napas dalam, mengumpulkan serpihan kekuatannya yang tersisa, lalu menatap Indira dengan senyum lembut yang ia paksa muncul.

“Tes DNA itu…” ucapnya pelan, suaranya lembut seperti angin yang menyapu daun kering, “semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Ia menjaga nada suaranya tetap tenang, meski di dalam dadanya, badai sedang mengamuk.

Indira mengerutkan dahi, matanya yang jernih memandang ibunya dengan kebingungan yang lugu. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”

Laras mengangguk kecil, tangannya gemetar saat ia mengelus rambut Indira. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahannya dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. “Iya, sayang… tapi kamu jangan khawatir, ya. Kamu selalu akan jadi anak Ayah dan Ibu. Kami sayang sama kamu—itu yang paling penting.” Kata-kata itu terasa berat di lidahnya, namun ia tahu, kebohongan kecil ini adalah pelindung terbaik untuk hati Indira saat ini.

Indira tersenyum kecil, senyum yang sederhana namun cukup untuk membuat Laras menahan napas lega sejenak. Anak itu tampak belum sepenuhnya memahami, tapi kehangatan di wajahnya seperti sinar matahari yang menyelinap di antara awan kelam. Laras memeluknya erat, mencium aroma rambutnya yang harum, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa ketakutan yang begitu nyata—ketakutan kehilangan keluarga kecil yang telah ia perjuangkan dengan darah dan air mata.

---

Pagi itu, udara di Rumah Sakit Kasih Bunda terasa lebih dingin dari biasanya, seolah membawa hawa ketegangan yang tak terucapkan. Ruang tunggu yang sunyi dipenuhi derap langkah pelan dan desah napas yang tertahan. Damar duduk di salah satu sisi, tubuhnya kaku, matanya terpaku pada lantai ubin yang mengkilap, menghindari tatapan Laras yang penuh permohonan dari kejauhan. Di sampingnya, Indira duduk erat memeluk lengan ibunya, wajah polosnya bercampur kebingungan dan sedikit ketakutan.

“Bu, kalau tes DNA itu aku disuntik, ya? Sakit nggak, Bu?” tanya Indira, suaranya kecil dan penuh kekhawatiran, matanya membulat menatap Laras.

Laras menoleh, memaksakan senyum lembut meski hatinya terasa seperti diremas. Ia menggenggam tangan kecil Indira, jari-jarinya yang hangat membungkus jemari anaknya dengan penuh kasih. “Indira sayang, kamu nggak perlu takut, ya,” ucapnya, suaranya lembut seperti bisikan yang menenangkan. “Cuma sedikit disuntik, seperti digigit semut kecil—nggak akan sakit kok.”

“Bener ya, Bu? Nggak sakit?” Indira memeluk lengan Laras lebih erat, nadanya masih ragu. “Soalnya Indira takut sama jarum suntik…”

“Ibu nggak bohong, sayang,” jawab Laras, mengelus punggung Indira dengan gerakan pelan yang penuh kelembutan. “Ibu akan selalu di sini, di samping kamu. Begini, kalau Indira berani, nanti Ibu belikan es krim kesukaanmu, ya?”

Mata Indira berbinar seketika, senyum kecil merekah di wajahnya yang polos. “Bener ya, Bu? Janji?”

“Iya, sayang, Ibu janji,” ucap Laras, meski di dalam hatinya, beban berat terus menggerogoti. Di sudut ruangan, Ratna mendengus pelan, ekspresi sinis melintasi wajahnya seperti bayangan buruk yang tak pernah pergi.

Setelah menanti dalam keheningan yang terasa abadi, giliran Indira akhirnya tiba. Tes DNA berjalan lancar, meski Laras tak bisa mengusir rasa gugup yang mencengkeram dadanya. Jarum kecil menusuk lengan Indira, dan anak itu hanya meringis sebentar sebelum tersenyum lagi saat Laras memeluknya erat. Mereka kembali ke ruang tunggu, Damar tetap diam di sudutnya, tenggelam dalam lautan pikiran yang kelam. Ratna berdiri dekat pintu, tangannya terlipat di dada, matanya tajam dan penuh kepuasan yang dingin.

“Mas,” Laras memecah keheningan, suaranya penuh harap meski rapuh, “aku harap setelah ini kamu nggak akan pernah lagi meragukan bahwa Indira adalah anakmu.”

Damar tak menjawab, matanya tetap tertunduk, namun Ratna segera menyela dengan langkah cepat. “Tidak bisa semudah itu, Laras,” potongnya, suaranya dingin seperti es yang retak. “Semua tergantung hasilnya. Kalau Indira benar anak Damar, tentu dia akan kembali menyayanginya seperti dulu. Tapi kalau tidak…” Ia menatap Laras dengan ancaman yang terpancar jelas, “siap-siap saja kalian kami usir dari rumah.”

Laras menegakkan pundaknya, menatap Ratna dengan keyakinan yang gemetar namun tak padam. “Aku yakin, Bu,” balasnya, suaranya bergetar tapi teguh. “Indira anak kandung kami.”

“Ya, kita lihat saja besok,” sambar Ratna, senyum sinisnya seperti pisau yang siap mengiris. Ia berbalik, meninggalkan percakapan itu dengan nada penuh kemenangan yang menusuk.

Laras terdiam, matanya beralih ke Indira yang kini bersandar lelet di lengannya, kelelahan mulai menguasai tubuh kecil itu. Bayangan hasil tes esok hari membayang di benaknya, menggenggam hatinya dengan cengkeraman cemas yang tak terucapkan. Damar melirik sekilas ke arah Indira, dan untuk sesaat, ada kilatan kerinduan di matanya—namun segera tenggelam di balik tembok keraguan yang telah dibangun Ratna.

---

Keesokan harinya, ruang kantor Dokter Surya terasa lebih sunyi dari biasanya, udaranya tebal dengan ketegangan yang hampir bisa disentuh. Laras duduk dengan tangan mengepal erat di pangkuannya, kuku-kukunya menusuk telapak tangan hingga meninggalkan bekas merah. Damar duduk di sampingnya, wajahnya tegang seperti tali yang siap putus, sementara Ratna menatap lurus ke depan, senyum kecil penuh kemenangan terselip di sudut bibirnya. Dokter Surya, pria paruh baya dengan rambut beruban dan kacamata tebal, duduk di meja depan mereka, memegang berkas hasil tes DNA dengan tangan yang tenang namun penuh kehati-hatian.

Dokter Surya menghela napas pelan, menyesuaikan posisi kacamatanya sebelum berbicara. “Baik, Pak Damar, Bu Laras, dan Bu Ratna,” ucapnya, suaranya datar namun sarat makna. “Saya akan menjelaskan hasil tes DNA yang telah kita lakukan kemarin.”

Laras menahan napas, tubuhnya membeku seolah waktu berhenti berputar. Ia memejamkan mata sejenak, berdoa dalam hati agar kebenaran yang ia pegang teguh selama ini akan bersinar terang. Ratna, di sisi lain, memandang dokter dengan antusiasme yang tak disembunyikan, matanya berkilat penuh harapan akan kehancuran Laras.

“Kami telah melakukan serangkaian tes dengan prosedur yang sangat teliti,” lanjut Dokter Surya, jari-jarinya membuka berkas di depannya. “Hasil ini adalah analisis dari sampel DNA yang diambil dari Tuan Damar dan putri kecil Anda, Indira. Kami membandingkan data genetik di antara keduanya untuk menentukan hubungan biologis…”

Laras meremas tangannya lebih erat, denyut nadinya terasa seperti drum yang berdentang di telinga. Damar menatap lurus ke depan, matanya kosong namun penuh pergolakan yang tersembunyi. Ratna bersandar sedikit ke depan, napasnya hampir terdengar sebagai desis kecil penuh antisipasi.

Dokter Surya menghela napas lagi, tatapannya beralih ke Damar dengan ekspresi serius. “Berdasarkan hasil tes yang kami lakukan, saya harus menyampaikan bahwa… hasil DNA menunjukkan bahwa tidak ada kecocokan antara sampel DNA dari Bapak Damar dan Indira.”

Dunia Laras runtuh dalam sekejap. Ruangan itu terasa berputar, udara seolah menghilang dari paru-parunya. Matanya membelalak, napasnya tersengal, dan untuk sesaat, ia tak bisa mendengar apa-apa selain deru darah di telinganya. “Dengan kata lain,” lanjut Dokter Surya dengan nada hati-hati, “secara ilmiah, hasil ini menyatakan bahwa Indira bukan anak kandung dari Bapak Damar.”

Kata-kata itu jatuh seperti palu godam, menghancurkan benteng terakhir yang selama ini melindungi hati Laras. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar—hanya isakan kecil yang tersangkut di tenggorokan. Air mata yang ia tahan akhirnya pecah, mengalir deras membasahi wajahnya yang pucat. Ia ingin menjerit, ingin memprotes, tapi tubuhnya terasa mati rasa, terpaku pada kursi seperti patung yang retak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • I'm Sorry Laras   Kekecewaan Damar

    Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperli

    Last Updated : 2024-10-30
  • I'm Sorry Laras   Rencana Baru

    Damar akhirnya sampai di depan rumahnya, namun ia tak kunjung turun dari mobil. Mesin masih menyala pelan, dan tangannya tetap mencengkeram kemudi, seolah ia enggan melepaskan diri dari dunia kecil yang ia ciptakan di dalam kendaraan itu. Ratna, yang berdiri di samping pintu mobil, mengerutkan kening dengan rasa penasaran yang mulai menyelinap. “Loh, kenapa kamu nggak turun bareng Ibu, Damar? Memangnya kamu mau ke mana?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara keheranan dan sindiran halus.Damar menoleh perlahan, matanya redup seperti lampu yang kehabisan minyak. “Aku mau menenangkan diri dulu, Bu,” ucapnya lemah, suaranya hampir tenggelam dalam desau angin malam yang dingin. “Aku butuh waktu sendiri.”Ratna mengangguk kecil, meski matanya menyipit penuh perhitungan. “Baik, Ibu mengerti,” katanya, nada suaranya dibuat lembut namun penuh tekanan terselubung. “Tapi Ibu minta, jangan bertindak bodoh, ya. Cepat pulang kalau kamu sudah merasa baikan.”“Baik, Bu. Ibu tenang saja, aku nggak

    Last Updated : 2024-12-13
  • I'm Sorry Laras   Rencana kejam

    Ratna mendengus kecil, ekspresinya sedikit kesal. “Bukan kita yang akan menghabisinya, Raka,” balasnya, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas. “Binatang buas di hutan yang akan menyelesaikan tugas kita. Kita cuma menaruhnya di sana—itu beda.”“Tapi itu sama saja, Bu!” Raka memotong, nadanya naik dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kalau kita yang membawanya ke sana, itu artinya kita yang bertanggung jawab!”Mendengar nada Raka yang penuh keraguan, Ratna memandangnya dengan tatapan tajam, alisnya berkerut penuh kejengkelan. “Kenapa? Kamu keberatan, Raka?” tanyanya, suaranya kini mengandung sedikit ancaman. “Atau takut? Ibu lakukan ini semua untukmu, supaya semua kekayaan Damar jadi milikmu. Apa kamu nggak ngerti?”Raka menggeleng cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan ibunya. “Bukan begitu, Bu,” ucapnya, suaranya melunak meski masih ada gurat ketakutan di matanya. “Aku cuma takut nanti semua aksi kita ketahuan orang lain. Aku nggak mau masuk penjara, Bu!”Ratna

    Last Updated : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Laras

    Raka tersenyum licik, wajahnya mendekat hingga napasnya terasa hangat di kulit Laras. “Tidak , aku tidak akan lepasin kamu,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh nafsu. “Dari dulu aku pengin nyicipin bibirmu ini.”Laras panik, ketakutan membuncah di dadanya. Ia menjauhkan wajahnya sejauh mungkin, tangannya mendorong dada Raka dengan keras. “Jangan kurang ajar, Raka! Aku ini kakak iparmu!” teriaknya, suaranya bergetar oleh rasa takut dan marah.“Jangan khawatir, Laras,” balas Raka, senyumnya semakin lebar. “Aku yakin Kak Damar bakal ngijinin aku nyicipin bibirmu. Toh, kamu udah nyakitin dia—dia nggak akan peduli lagi.”“Cepat hentikan, Raka! Lepaskan aku!” Laras meronta lebih keras, kakinya mencoba menendang, tapi cengkeraman Raka terlalu kuat. “Kalau nggak, aku bakal teriak!”“Teriak aja sekencang-kencangnya, Laras,” Raka terkekeh, suaranya penuh keyakinan yang mengerikan. “Aku yakin nggak ada yang bakal dengar. Semua ART udah kusuruh ke belakang dan kularang masuk ke dalam. Rumah ini cu

    Last Updated : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Menjalankan Rencana

    Damar berdiri di ujung ranjang, matanya memerah bagaikan bara yang menyala di tengah kegelapan. Napasnya berat, tersengal oleh campuran alkohol dan amarah yang membakar setiap inci tubuhnya. Ia menatap Laras dengan pandangan yang asing—bukan lagi pandangan penuh cinta yang pernah menghangatkan hati Laras, melainkan sorot penuh dendam yang dingin dan liar. Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal erat seolah menahan sesuatu yang siap meledak. Tanpa kata, ia melangkah mendekat, langkahnya berat dan penuh ancaman, membuat lantai kayu di bawahnya berderit pelan.Laras tersentak, tubuhnya secara insting mundur ke arah kepala ranjang, punggungnya menempel pada dinding dingin. Selimut yang ia genggam erat tergelincir dari tangannya yang gemetar, jatuh ke kasur dengan bunyi lembut yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. “Mas… kumohon, jangan seperti ini!” suaranya pecah, penuh ketakutan yang mentah. “Ini bukan Mas Damar yang kukenal! Mas Damar yang kutahu tidak akan memaksaku se

    Last Updated : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Penyelamatan Indira

    Raka mengangguk singkat, lalu bergegas menuju garasi, sementara Ratna berjalan menuju kamar Indira. Ia mendorong pintu kamar itu perlahan, derit kecil engsel pintu memecah keheningan. Di dalam, Indira duduk di lantai, tenggelam dalam dunianya sendiri, bermain dengan boneka kesayangannya. Rambutnya yang terurai sedikit berantakan, dan senyum polos menghias wajahnya. Saat mendengar langkah kaki, ia menoleh, matanya membulat penuh keheranan melihat neneknya berdiri di ambang pintu.“Indira sayang, ayo ikut sama Nenek,” ucap Ratna, suaranya dibuat lembut dan penuh kehangatan yang palsu, kontras dengan sikap ketus yang biasa ia tunjukkan.Indira mengerutkan dahi, kebingungan terpancar dari wajah kecilnya. “Ikut ke mana, Nek?” tanyanya, nadanya penuh rasa ingin tahu. “Tumben Nenek ngajak aku. Memang kita mau ke mana?”Ratna melangkah mendekat, senyumnya melebar dengan penuh perhitungan. “Kita mau menemui ibumu,” jawabnya, suaranya manis seperti madu yang menutupi racun. “Tadi dia telepon Nen

    Last Updated : 2024-12-15
  • I'm Sorry Laras   Jalan Terakhir

    Setelah perjalanan selama satu jam, mobil yang dikendarai Raka akhirnya berhenti di pinggiran sebuah hutan di luar kota. Hutan itu tampak kelam dan lebat, pepohonan menjulang tinggi dengan ranting-ranting yang saling bertautan, membentuk kanopi yang menghalangi cahaya matahari menembus ke dalam. Udara terasa lembap dan berat, penuh aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Suasana sunyi hanya dipecah oleh suara angin yang bersiul pelan di antara pohon-pohon tua.Raka mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke arah Ratna yang duduk di sampingnya. “Kebetulan Indira masih tidur,” bisik Ratna, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Cepat, angkat dia sebelum dia bangun. Kita harus bawa dia ke tengah hutan agar lebih mudah.”Raka mengangguk, ekspresinya dingin dan fokus. Ia segera keluar dari mobil dan membuka pintu belakang dengan hati-hati. Tubuh kecil Indira terbaring di kursi, napasnya teratur dalam tidur lelap, bonekanya terleletak di sampingnya. Dengan gerakan perlahan, Raka mengangkat

    Last Updated : 2024-12-15
  • I'm Sorry Laras   Sebuah permintaan

    Setelah memastikan Ratna dan Raka benar-benar menjauh dari tempat itu, Laras tak membuang waktu. Dengan langkah cepat namun hati-hati, ia berlari mendekati putrinya yang terikat di pohon. Indira, yang melihat sosok ibunya muncul dari balik semak, membelalakkan mata penuh kebahagiaan. Walaupun mulutnya tersumbat kain, sorot matanya berbinar lega, dan tubuh kecilnya yang gemetar mulai rileks seolah mengetahui keselamatan telah datang.Laras berlutut di samping Indira, tangannya gemetar saat ia buru-buru melepaskan kain yang menyumpal mulut anaknya. “Sabar, sayang,” bisiknya, suaranya penuh getaran emosi. Setelah kain itu terlepas, ia segera membuka ikatan tali kasar yang melilit tangan dan kaki Indira, jari-jarinya bekerja cepat meski penuh ketegangan. Begitu semua tali terlepas, Laras tak bisa menahan diri lagi—ia langsung memeluk Indira erat-erat, menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya seolah tak ingin melepaskannya selamanya.“Ibu… akhirnya Ibu datang,” isak Indira, suaranya ters

    Last Updated : 2024-12-16

Latest chapter

  • I'm Sorry Laras   dhgdvdgv

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Ningsih

    Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m

  • I'm Sorry Laras   Penghinaan Ningsih

    Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark

  • I'm Sorry Laras   Mall

    Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika

  • I'm Sorry Laras   Rasa penasaran Doni

    “Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete

  • I'm Sorry Laras   Sebuah Rahasia

    Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s

  • I'm Sorry Laras   Ruang keluarga yang memanas

    Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa

  • I'm Sorry Laras   Ruang BK yang memanas

    Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status