Laras terdiam, mendapati dirinya harus menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos. Bagaimana caranya menjawab tanpa melukai hati Indira? Dia mengambil napas dalam, lalu berkata dengan suara lembut, “Tes DNA itu… semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.”
Indira mengernyitkan dahi. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”
Laras mengangguk kecil, air matanya hampir jatuh lagi. “Iya, sayang… tapi, kamu jangan khawatir, ya. Kamu selalu akan jadi anak Ayah dan Ibu. Kami sayang sama kamu, itu yang paling penting.”
Indira hanya tersenyum kecil, tampak tidak terlalu memahami sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat Laras menahan napasnya sekali lagi. Hari ini, untuk pertama kalinya, Laras merasa sangat takut kehilangan keluarga kecil yang sudah ia perjuangkan selama ini.
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya di Rumah Sakit Kasih Bunda. Ruang tunggu rumah sakit sunyi, dengan Damar duduk di salah satu sisi, menjaga jarak dari Laras dan Indira yang duduk bersebelahan. Tatapan Damar terfokus pada lantai, menghindari tatapan Laras yang penuh permohonan.
Indira, dengan wajah polosnya yang kebingungan, menatap Laras. “Bu, kalau tes DNA itu aku disuntik ya? Sakit nggak, Bu?” tanyanya dengan nada takut.
Laras tersenyum lembut, menggenggam tangan kecil Indira untuk menenangkannya. “Indira sayang, kamu nggak perlu takut, ya. Cuma sedikit disuntik, seperti digigit semut, jadi nggak sakit kok,” ujarnya dengan suara lembut, penuh kasih.
“Bener ya, Bu? Nggak sakit? Soalnya Indira takut sama jarum suntik,” kata Indira pelan, memeluk lengan Laras erat-erat.
“Ibu nggak bohong, sayang. Ibu akan selalu di sini, di samping Indira,” janji Laras, mengelus punggung kecil Indira. “Begini, kalau Indira berani, nanti Ibu belikan es krim kesukaan Indira ya?”
Mata Indira berbinar seketika, senyumnya merekah. “Bener ya, Bu? Janji?”
“Iya, sayang, Ibu janji,” ucap Laras lembut, meski hatinya terasa berat. Di depan mereka, Ratna hanya mendengus pelan, memperlihatkan ketidaksabarannya dengan ekspresi sinis.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya giliran Indira tiba. Tes DNA dilakukan dengan lancar, meski perasaan gugup tak juga hilang dari wajah Laras. Mereka kembali duduk di ruang tunggu, dan Damar tetap menjaga jarak, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ratna berdiri di dekat pintu, kedua tangannya terlipat, pandangan tajam dan puas.
“Mas,” suara Laras penuh harap, memecah kesunyian, “aku harap setelah ini kamu jangan pernah lagi meragukan kalau Indira itu anakmu.”
Damar terdiam, namun Ratna segera menyela, wajahnya dingin dan kata-katanya tajam. “Tidak bisa semudah itu, Laras. Semua tergantung hasilnya. Kalau memang Indira benar anak Damar, tentu saja dia akan kembali menyayanginya seperti dulu. Tapi kalau tidak,” Ratna menatap Laras dengan penuh ancaman, “siap-siap saja kalian mendapatkan ganjarannya.”
“Aku yakin, Bu,” balas Laras, suaranya gemetar tapi penuh keyakinan. “Indira adalah anak kandung kami.”
“Ya, kita lihat saja besok hasilnya,” ujar Ratna sambil tersenyum sinis, menyudahi percakapan dengan nada penuh kemenangan.
Laras hanya bisa terdiam, tatapan penuh doa tertuju pada Indira yang mulai terlihat lelah. Bayangan hasil tes esok hari menggelayut di benaknya, menciptakan rasa cemas yang tak terlukiskan. Damar, meski terpisah, melirik Indira sekilas, hati kecilnya seakan memberontak melawan semua prasangka yang tumbuh di benaknya.
*
Di ruang kantor dokter yang sunyi, Laras duduk dengan tangan yang mengepal erat di pangkuannya. Damar duduk di sebelahnya, wajahnya tegang, sementara Ratna menatap lurus ke depan dengan ekspresi puas yang sulit disembunyikan. Dokter Surya, pria paruh baya dengan rambut yang sebagian sudah memutih, duduk di depan mereka sambil memeriksa berkas hasil tes DNA yang baru saja diterima.
Dokter Surya menghela napas sejenak sebelum mulai berbicara. “Baik, Pak Damar, Bu Laras, dan Bu Ratna,” katanya, suaranya tenang namun sarat dengan kehati-hatian. “Saya akan menjelaskan hasil tes DNA yang telah kita lakukan kemarin.”
Laras menahan napas, berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mendengar hasilnya. Ratna, di sisi lain, memandang dokter dengan antusias, seolah-olah dia sudah tahu jawaban yang akan ia terima.
“Sesuai permintaan anda, kami telah melakukan serangkaian tes dengan prosedur yang sangat teliti,” lanjut Dokter Surya. “Hasil ini adalah analisis dari sampel DNA yang diambil dari Tuan Damar dan putri kecil anda, Indira. Kami membandingkan data genetik di antara keduanya untuk menentukan hubungan biologis antara kalian berdua…”
Laras meremas jemarinya hingga pucat, kepalanya menunduk sementara hatinya terasa bergetar hebat. Damar menatap ke depan dengan tatapan kosong, jantungnya berdebar kencang. Di sampingnya, Ratna hampir tersenyum, seolah menanti sebuah konfirmasi atas kecurigaannya selama ini.
Dokter Surya menghela napas sekali lagi, lalu menatap Damar dengan serius. “Berdasarkan hasil tes yang kami lakukan, saya harus memberitahukan bahwa... hasil DNA menunjukkan bahwa tidak ada kecocokan antara sampel DNA dari Bapak Damar dan putri kecil anda, Indira.”
Laras merasa tubuhnya membeku, matanya membesar saat mendengar kata-kata itu. Napasnya tersengal, dan untuk sesaat, ruangan terasa berputar di sekelilingnya.
“Dengan kata lain,” lanjut Dokter Surya pelan, “secara ilmiah, hasil ini menyatakan bahwa Indira bukanlah anak kandung dari Bapak Damar.”
Suara dokter yang tenang itu seperti petir yang menghantam Laras. Mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dia ingin berteriak, memprotes, atau sekadar meminta penjelasan, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
Ratna menatap Laras dengan penuh kemenangan, tatapannya dingin dan tajam. “Laras,” katanya sinis, “akhirnya kebenaran terungkap juga. Ibu sudah bilang kan dari awal, kalau dia ini wanita pembohong.”
Damar menatap hasil tes yang dipegang Dokter Surya, dan kata-kata di atas kertas itu menancap tajam di hatinya, seperti belati yang merobek-robek kepercayaannya. Perlahan, ia menggumam pelan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasakan dunia di sekitarnya runtuh. Ia tak percaya. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan… Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya,” ucapnya dengan suara bergetar, penuh dengan keyakinan yang tersisa.Dokter Surya menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan rasa simpatinya. “Maaf, Bu. Semua prosedur yang kami lakukan sudah sesuai dengan standar yang ada di Rumah sakit ini, dan kami tidak mungkin menukar hasil tes DNA suami ibu. Reputasi rumah sakit ini adalah hal yang sangat kami jaga.”Ratna, dengan senyum puas, memandang Laras tajam. “Dengar itu, Laras. Jangan seenaknya menuduh! Sudah jelas anakmu itu bukan anaknya Damar. Kamu mau menyangkal apalagi?”Laras menatap Ratna dengan sorot mata penuh keputusas
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini."Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?"Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu."Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera."Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan.Ratna berdiri di sana,
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?”“Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.”“Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita bertanggung jawab.”Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?”Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.”Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tidak akan ad
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di
Laras memarkir motor tua di halaman Panti Asuhan Mutiara Kasih. Langit sore tampak sendu, seolah mengerti beban yang kini dipikulnya. Di depan mata, ia melihat anak-anak berlarian di halaman, tertawa lepas bermain petak umpet dan lompat tali. Pemandangan itu begitu sederhana, namun menusuk hati Laras—karena ia tahu, sebentar lagi, putrinya akan menjadi bagian dari mereka.Indira, yang masih menggenggam erat tangan ibunya, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Ibu, banyak sekali anak-anak di sini. Tempat apa ini?” tanyanya polos.Laras mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seperti terkoyak. “Ini namanya panti asuhan, Sayang,” jawabnya lembut.“Panti asuhan?” Indira memiringkan kepala. “Bu guru pernah bilang, kalau panti asuhan itu katanya tempat buat anak-anak yang nggak punya ayah dan ibu.” Ia terdiam, matanya menatap anak-anak yang bermain di kejauhan. Kemudian ia melanjutkan, “Kasihan mereka ya, Bu. Mereka nggak seberuntung Indira. Indira kan punya ayah dan ibu yang sayang
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Laras akhirnya tiba di kota tempat tinggalnya. Hari sudah gelap, dan udara malam yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Ia menyerahkan motor yang dipinjamnya secara paksa, Walaupun ada drama sedkit namun pemilik motor mengerti setela Laras menceritakan alasannya. Dia lalu berjalan pelan menuju rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menahannya. Begitu tiba di depan pintu rumah, ia menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri. Ia tahu apa yang akan terjadi begitu pintu itu terbuka. Namun, demi keselamatan Indira, semua harus ia hadapi. Dengan tangan gemetar, ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk. , Di ruang tamu, Damar, suaminya, duduk dengan santai. Sebatang rokok tergantung di tangannya, asapnya berputar-putar di udara. Wajahnya terlihat keras, penuh kecurigaan. Begitu melihat Laras, ia menyipitkan mata dan menyandarkan tubuh ke kursi, menatap istrinya dengan dingin. "Darimana saja kamu?" t
Indira mengernyit, bingung. "Tapi... ibu juga tinggal di sini, kan? Kita tinggal bersama di sini, ya, Bu?" tanyanya polos.Laras menggeleng perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Nak. Ibu tidak bisa tinggal di sini bersamamu. Ibu harus pulang... Kalau ibu tinggal di sini, siapa yang akan menjaga ayahmu? Kamu tidak mau kan, kalau nenek dan pamanmu menyakiti ayah?"Wajah Indira berubah serius. "Kalau begitu, aku ikut ibu saja. Aku juga mau melindungi ayah!" ucapnya penuh tekad.Laras memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Sayang, nenek dan pamanmu itu berbahaya. Mereka tidak akan segan-segan menyakitimu lagi. Apa kamu lupa kejadian tadi pagi? Kalau nanti nenekmu membuangmu ke sungai atau ke jurang, bagaimana? Ibu tidak akan sanggup kalau sesuatu terjadi padamu sayang.""Tapi aku tidak mau pisah sama ibu! Aku mau ikut ibu! Aku takut nanti ibu lupa sama aku!" tangis Indira pecah. Ia memeluk Laras erat, seolah tak ingi
Laras memarkir motor tua di halaman Panti Asuhan Mutiara Kasih. Langit sore tampak sendu, seolah mengerti beban yang kini dipikulnya. Di depan mata, ia melihat anak-anak berlarian di halaman, tertawa lepas bermain petak umpet dan lompat tali. Pemandangan itu begitu sederhana, namun menusuk hati Laras—karena ia tahu, sebentar lagi, putrinya akan menjadi bagian dari mereka.Indira, yang masih menggenggam erat tangan ibunya, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Ibu, banyak sekali anak-anak di sini. Tempat apa ini?” tanyanya polos.Laras mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seperti terkoyak. “Ini namanya panti asuhan, Sayang,” jawabnya lembut.“Panti asuhan?” Indira memiringkan kepala. “Bu guru pernah bilang, kalau panti asuhan itu katanya tempat buat anak-anak yang nggak punya ayah dan ibu.” Ia terdiam, matanya menatap anak-anak yang bermain di kejauhan. Kemudian ia melanjutkan, “Kasihan mereka ya, Bu. Mereka nggak seberuntung Indira. Indira kan punya ayah dan ibu yang sayang
Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?”“Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.”“Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita bertanggung jawab.”Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?”Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.”Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tidak akan ad
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini."Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?"Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu."Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera."Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan.Ratna berdiri di sana,