Home / Romansa / I'm Sorry Laras / Meragukan Indira

Share

Meragukan Indira

Author: mangpurna
last update Last Updated: 2024-10-28 22:06:11

"Siapa yang mengizinkan kalian makan di meja makan ini?" Ibu Ratna berkata dengan nada penuh penghinaan. "Mulai hari ini, kalian berdua makan di belakang, bersama para pembantu. Dan untuk makanannya, kalian tunggu sisa dari kami."

Laras menatap ibu mertuanya dengan sorot tegas. “Bu, kami juga punya hak untuk makan di meja makan ini. Bagaimanapun juga, kami masih bagian dari keluarga ini.”

“Bagian dari keluarga?” Ratna tertawa sinis. “Setelah pengkhianatanmu terhadap Damar, jangan harap kami menganggap kalian keluarga. Kalian tidak lebih dari parasit di rumah ini!”

Laras berusaha menahan amarah. “Mas Damar saja masih menganggapku istrinya, Bu. Jadi secara tidak langsung, kami masih berhak menikmati fasilitas di rumah ini, terutama Indira. Dia anak kandung mas Damar, Bu. Dia sangat berhak makan di sini!”

Ratna mendengus. "Berani bicara soal hak padaku, Laras? Kamu itu cuma perempuan miskin yang beruntung ditampung Damar. Jadi jangan pernah menuntut hak di sini!" sergah Ratna tajam. “Ayo, cepat ke belakang! Jangan sampai aku menyeret kalian dengan tanganku sendiri.”

Laras menolak bergeming. "Tidak, Bu. Kami tidak akan makan di belakang."

Indira, yang sedari tadi ketakutan mendengar pertengkaran ini, mulai menangis.

Saat ketegangan semakin memuncak, suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Damar muncul dengan wajah kusut, matanya sembab dan aroma alkohol samar-samar tercium dari tubuhnya. Tatapannya muram, terlihat kelelahan dari semalaman tak pulang.

“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut pagi-pagi?” Damar bertanya, suaranya menggelegar.

"Mas, syukurlah kamu datang," ujar Laras, berjalan mendekat untuk menjelaskan situasi.

"Berhenti di situ, Laras, kamu jangan mendekat" ucap Damar dingin. Laras menghentikan langkahnya, terdiam dengan wajah penuh kesedihan.

Laras kemudian menjelaskan, “Mas, ibu melarang kami makan di meja ini dan menyuruh kami makan di belakang bersama para pembantu, setelah kalian semua makan.”

Damar menoleh ke ibunya, seolah meminta penjelasan. Ibu Ratna, yang pandai berpura-pura baik, langsung memasang wajah iba. “Damar sayang, ibu hanya memberi sedikit hukuman untuk Laras. Bukankah itu hukuman yang pantas untuk dia , setelah dia mengkhianatimu?”

Damar menarik napas dalam. “Baiklah, Bu. Kalau hanya Laras yang dihukum, aku tidak keberatan. Tapi kenapa Indira juga harus ikut makan di belakang dan menunggu sisa makanan kita?”

“Damar... Ibu lakukan ini karena Ibu yakin kalau Indira itu bukan anakmu,” ujar Ratna, dengan nada penuh tuduhan. “Dia pasti anak dari laki-laki lain yang pernah berselingkuh dengan Laras.”

“Ibu!” seru Laras, suaranya bergetar penuh kemarahan dan kekecewaan. “Tolong jangan pernah katakan itu. Indira itu anak Mas Damar, bukan anak laki-laki lain.”

Damar mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Benar, Bu. Aku juga yakin kalau Indira itu anak kandungku,” katanya, meskipun ada keraguan yang merayap di sudut hatinya.

Ratna mendengus tajam, lalu tertawa pendek, seolah kata-kata Damar adalah sebuah lelucon. “Damar… Damar, kenapa kamu begitu bodoh?” Ratna menatap anaknya dengan penuh penghinaan. “Kamu itu pengusaha yang pintar, punya otak yang cemerlang. Tapi mengapa mudah sekali kau dibohongi oleh wanita desa seperti dia?”

“Ibu, hentikan,” potong Damar, namun suara Ratna kian meninggi.

“Kemarin saja dia berani membawa laki-laki lain ke rumah ini. Apa kamu kira dia juga tidak pernah melakukan hal yang sama seperti itu dulu, saat belum masuk ke keluarga kita?” Ratna terus menyudutkan Laras dengan tuduhan yang tajam. Tatapan Laras berkaca-kaca, memohon pada Damar untuk percaya padanya.

“Mas, tolong jangan dengarkan Ibu. Itu tidak benar! Indira adalah anak kandungmu, Mas,” pinta Laras dengan suara bergetar, air mata mulai mengalir dari sudut matanya.

Damar terdiam, hatinya bimbang. Di satu sisi, kata-kata ibunya terasa masuk akal, apalagi mengingat kejadiankemarin malam. Tapi di sisi lain, rasa sayangnya pada Indira dan Laras terlalu kuat untuk diabaikan. Dalam keraguannya, Damar menatap Ratna yang tersenyum penuh kemenangan.

“Ibu usul,” suara Ratna tiba-tiba terdengar lembut namun menyesakkan. “Bagaimana kalau kamu tes DNA saja, Damar? Kita buktikan apakah Indira benar anakmu atau bukan.”

“Mas, jangan...” Laras menatap Damar dengan tatapan memohon, rasa takut tergurat di wajahnya. “Bukannya aku takut untuk tes DNA, tapi aku tidak tega... bagaimana perasaan Indira jika tahu orang tuanya sendiri meragukan bahwa dia adalah anak kandungnya? Dia pasti akan sangat sedih, Mas.”

Ratna memutar bola matanya, sinis. “Kalau kamu tidak merasa takut, harusnya kamu setuju saja, Laras. Tes DNA itu kan bukti paling akurat. Kalau memang benar Indira anak Damar, kenapa kamu harus khawatir?” 

Damar menarik napas dalam-dalam, mengalihkan pandangannya ke Laras yang semakin menangis, namun tidak mengatakan sepatah kata pun. Ada keheningan panjang yang diwarnai rasa sakit, pengkhianatan, dan keraguan, sampai akhirnya Damar mengangguk pelan.

“Baik, Bu,” ucap Damar akhirnya, suaranya lemah namun tegas. “Aku setuju. Kita lakukan tes DNA. Aku juga ingin tahu kebenarannya.”

Begitu kata itu terucap, Laras terjatuh ke lantai, menangis terisak. Ratna hanya menatapnya dengan tatapan puas, senyum kecil menghiasi bibirnya.

“Bagus, Damar. Besok pagi kita lakukan tes DNA. Biar Ibu urus semuanya, ibu tahu kamu pasti lelah dengan semua yang terjadi,” ucap Ratna dengan senyum dingin.

“Ya, terserah Ibu saja. Aku percayakan semuanya pada Ibu,” jawab Damar sebelum pergi, meninggalkan ruang makan itu tanpa menoleh pada Laras ataupun Indira. Langkahnya terasa berat, namun dia tak menoleh sedikit pun.

Begitu Damar menghilang di balik pintu, wajah Ratna berubah semakin angkuh. Tatapannya dingin menembus Laras dan Indira. “Cepat kalian pergi ke belakang! Jangan pernah makan di meja ini bersama kami lagi,” ucap Ratna, menekankan setiap katanya.

Laras menunduk, menggigit bibir untuk menahan tangis yang mulai memenuhi dadanya. Perlahan, dia mengambil piring dan membawa Indira ke dapur, jauh dari meja makan tempat mereka biasa menikmati waktu bersama.

‘Mas Damar… kenapa kamu begini? Kenapa kamu begitu mudah percaya pada kata-kata Ibu?’ pikir Laras sambil menahan napas. Rasanya seperti bumi terbelah di bawah kakinya. ‘Ya Tuhan… kumohon, bukakanlah pintu hati Mas Damar. Jangan biarkan dia termakan oleh fitnah ibunya. Aku tak sanggup jika terus begini…’

Di sudut dapur, Indira memandang ibunya dengan wajah polos dan kebingungan. “Bu… kenapa Ibu menangis?” tanya Indira, suaranya kecil. “Kenapa tadi Ayah nggak peluk aku seperti biasanya?”

Laras menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya agar tidak tampak sedih di hadapan anaknya. “Indira sayang, Ibu nggak menangis kok. Mata Ibu cuma kemasukan debu, jadi sedikit perih.” Dia tersenyum kecil, berusaha menutupi kesedihannya. “Ayahmu nggak memelukmu karena dia sedang capek, sayang. Kamu tahu sendiri kan, Ayah baru saja pulang dari perjalanan jauh.”

Indira mengangguk pelan, tapi masih tampak bingung. Laras mengusap kepala putrinya lembut. “Sudah, jangan dipikirin lagi ya. Cepat habiskan makananmu, nanti keburu dimakan lalat.”

Indira mulai mengunyah makanannya lagi, namun tak lama kemudian dia kembali angkat bicara. “Bu, tes DNA itu apa?”

Related chapters

  • I'm Sorry Laras   Tes DNA

    Laras terdiam, mendapati dirinya harus menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos. Bagaimana caranya menjawab tanpa melukai hati Indira? Dia mengambil napas dalam, lalu berkata dengan suara lembut, “Tes DNA itu… semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Indira mengernyitkan dahi. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?” Laras mengangguk kecil, air matanya hampir jatuh lagi. “Iya, sayang… tapi, kamu jangan khawatir, ya. Kamu selalu akan jadi anak Ayah dan Ibu. Kami sayang sama kamu, itu yang paling penting.” Indira hanya tersenyum kecil, tampak tidak terlalu memahami sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat Laras menahan napasnya sekali lagi. Hari ini, untuk pertama kalinya, Laras merasa sangat takut kehilangan keluarga kecil yang sudah ia perjuangkan selama ini. Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya di Rumah Sakit Kasih Bunda. Ruang tunggu rumah s

    Last Updated : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Kekecewaan Damar

    Damar menatap hasil tes yang dipegang Dokter Surya, dan kata-kata di atas kertas itu menancap tajam di hatinya, seperti belati yang merobek-robek kepercayaannya. Perlahan, ia menggumam pelan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?” Laras, yang duduk di sampingnya, merasakan dunia di sekitarnya runtuh. Ia tak percaya. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan… Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya,” ucapnya dengan suara bergetar, penuh dengan keyakinan yang tersisa. Dokter Surya menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan rasa simpatinya. “Maaf, Bu. Semua prosedur yang kami lakukan sudah sesuai dengan standar yang ada di Rumah sakit ini, dan kami tidak mungkin menukar hasil tes DNA suami ibu. Reputasi rumah sakit ini adalah hal yang sangat kami jaga.” Ratna, dengan senyum puas, memandang Laras tajam. “Dengar itu, Laras. Jangan seenaknya menuduh! Sudah jelas jelas anakmu itu bukan anaknya Damar. Kamu mau menyangkal apalagi?” Laras menatap Ratna dengan sorot mata penuh

    Last Updated : 2024-10-30
  • I'm Sorry Laras   Rencana Baru

    Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini. "Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?" Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu." Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera." Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan. Ratna berdiri di s

    Last Updated : 2024-12-13
  • I'm Sorry Laras   Rencana kejam

    Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?” “Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.” “Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita yang bertanggung jawab.” Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?” Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.” Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tida

    Last Updated : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Laras

    “APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!” Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan. Ketika melihat pemandangan di depannya. Dimana posisi Laras sesang menindih Raka, seolah olah Laras lah yang memulai dulu. Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Mas Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar. Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian. “Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?” Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua salah paham. ini adalah jebakan Raka!” Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…” “BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!” “Cukup!” bentak Damar, suaranya m

    Last Updated : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Menjalankan Rencana

    Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku

    Last Updated : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Penyelamatan Indira

    Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s

    Last Updated : 2024-12-15
  • I'm Sorry Laras   Jalan Terakhir

    Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di

    Last Updated : 2024-12-15

Latest chapter

  • I'm Sorry Laras   Pertemuan dengan Dika

    Indira tersentak. Matanya melebar, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Adik? Ibu... aku punya adik?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.Laras mengangguk pelan, matanya mulai basah. "Iya, Nak. Kau punya adik laki-laki. Namanya Dika. Saat kau... hilang dulu, Ibu sedang mengandungnya."Indira masih sulit memproses kenyataan bahwa ia memiliki seorang adik. Pikirannya berputar-putar, mencoba menghubungkan semua yang baru saja ia dengar. Ia mengusap matanya yang masih basah dan bertanya lirih, "Ibu, kalau begitu... Dika di mana sekarang? Aku ingin bertemu dengannya."Laras tersenyum lembut, mengusap rambut Indira penuh kasih. "Sekarang Dika sedang sekolah, Nak. Jam segini dia pasti ada di kelas."Indira mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Kalau begitu, aku akan menunggu sampai dia pulang. Aku tidak sabar bertemu dengannya, Bu. Aku ingin melihat wajah adikku sendiri."Laras tersenyum lebih lebar, meski matanya tetap basah. "Dia pasti sangat senang kalau ta

  • I'm Sorry Laras   Pertemuan yang mengharukan

    Laras melepaskan pelukan dari Indira, lalu berbalik menghadapi Surti dengan tatapan penuh kemarahan. "Surti, aku tidak akan membiarkanmu memaksa anakku membayar hutang yang sudah kulunasi. Kalau kau masih menginginkan TV itu, silakan...ambillah! Aku sudah tidak peduli lagi!"Surti hanya tertawa kecil, lalu melipat tangannya di dada dengan penuh kesombongan. "Tidak bisa, Laras. Tadinya aku memang hanya mengincar TV bobrokmu itu, tapi setelah melihat anakmu yang seperti 'dompet berjalan', aku berubah pikiran. Lebih baik kau suruh saja dia melunasi hutangmu sekarang juga."Yuni, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya maju dengan nada penuh kemarahan. "Surti! Jangan bicara seperti itu! Kau tidak tahu apa-apa soal keluarga ini, jadi jangan coba-coba memanfaatkan situasi demi keuntunganmu sendiri. Kau benar-benar keterlaluan!"Surti tersenyum sinis, tatapannya tak gentar sedikit pun. "Tentu saja aku memanfaatkan situasi ini. Aku ini adalah seorang pebisnis, Nek Yuni. Aku harus pintar meliha

  • I'm Sorry Laras   Rindu yang terbalas

    Dunia seolah berhenti berputar untuk Laras. Napasnya tertahan, tubuhnya gemetar hebat. "Indira...?" bisiknya, seolah nama itu membawa gelombang kenangan dan rasa sakit yang tak terkatakan. Air matanya mulai berjatuhan, deras, membasahi pipinya.Tanpa pikir panjang, Laras bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Ia berlari, nyaris tersandung, dan langsung merengkuh Indira dalam pelukan yang erat. "Anakku..." suaranya pecah oleh tangis yang membanjiri perasaannya. "Indira... ini benar kamu kan,

  • I'm Sorry Laras   Pertemuan kembali

    "Tidak bisa! Aku akan tetap mengambil TV ini sebelum kau melunasi semua hutang hutangmu itu," ujar Surti geram, suaranya menggema dengan nada penuh intimidasi.Laras berdiri di depan TV tua itu, berusaha melindunginya dengan tubuhnya yang mulai lemah. "Tapi... bukankah hutang-hutang saya sudah lunas minggu lalu saat saya membayarnya?" tanyanya tak percaya, matanya mulai berkaca-kaca.Surti mendengus sinis, melipat tangannya dengan angkuh. "Enak saja kau bilang lunas. Yang kau bayar kemarin itu hanya bunganya saja. Sedangkan pokoknya belum kau lunasi sama sekali!"Kata-kata Surti membuat Laras tertegun, seluruh tubuhnya terasa lemas. "Itu tidak mungkin... saya yakin kalau saya sudah membayar semuanya. Bahkan dengan bunga bunganya sekalian," jawabnya hampir berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Surti tertawa kecil, lalu mendekat dengan ekspresi penuh kemenangan. "Yang kau bayar itu hanya bunganya 3%, sedangkan bunga di tempatku itu adalah 15%! Jadi kau masih berhutang ban

  • I'm Sorry Laras   Awal pertemuan

    Yuni menghela napas panjang, wajahnya penuh dengan rasa sedih. "Maryam mengusir ibumu, Nak. Dia mengatakan bahwa rumah itu sekarang adalah miliknya. Dia bahkan mencaci ibumu, menyebut Laras sebagai wanita yang tidak tahu diri, meski ibumu yang sudah menyelamatkannya dari kehancuran dulu."Indira tidak bisa menahan air matanya lagi. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan dan kesedihan yang bercampur aduk. "Bagaimana mungkin... bagaimana mungkin ada orang sekejam itu? Ibu saya sudah melakukan banyak hal untuknya. Kenapa dia membalasnya dengan cara seperti itu?"Yuni mengusap bahu Indira dengan lembut. " itu karena Maryam sudah dibutakan oleh rasa iri dan dendam, Nak. Dia merasa kalau ibumu terlalu sempurna, bisa mendapatkan segalanya yang tidak pernah bisa dia miliki. Ketika ibumu jatuh, Maryam lah yang paling merasa puas. Dia ingin memastikan Laras selalu menderita."Indira menggenggam tangan Yuni erat, air matanya terus mengalir. "Lalu, bagaimana ibu saya bisa bertahan selama ini, Nek? A

  • I'm Sorry Laras   Secercah Harapan

    Indira duduk di dalam mobil, wajahnya masih menampilkan ekspresi penuh tekad meski hatinya diliputi kegalauan. Lamunannya buyar saat mendengar ketukan lembut di jendela mobil. Dengan alis yang berkerut, ia menoleh ke arah suara dan melihat seorang wanita tua berdiri di luar, wajahnya tampak penuh kerutan namun memancarkan kehangatan."Dewi, bukakan pintunya," ucap Indira singkat. Dewi segera keluar dan membuka pintu bagi wanita tua itu."Maaf, Nak, kalau nenek mengganggu," kata wanita itu dengan suara lirih. "Tadi nenek tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian dengan Maryam. Apakah benar kamu anaknya Laras yang selama ini hilang?"Indira terperangah mendengar nama ibunya disebut. Matanya melebar, sementara hatinya melonjak dengan harapan. "Iya, Nek, saya Indira. Apakah nenek kenal dengan ibu saya?"Wanita itu tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Nama nenek Yuni. Tentu saja nenek kenal ibumu. Bahkan, nenek sangat mengenalnya."Indira dan Dewi saling berpandangan, tatapan mereka dipenuh

  • I'm Sorry Laras   Sandiwara Maryam dan Desi

    Maryam meneguk ludah, tahu ini saatnya memberikan pukulan terakhir. “Dia sudah mati,” ucapnya cepat, suaranya datar, seperti menusukkan belati dingin ke hati Indira.Indira tertegun. Ia mundur selangkah, tubuhnya kehilangan keseimbangan, hampir terjatuh. Syukurlah asistennya dengan sigap menangkap tubuhnya, memegangi bahunya agar ia tidak terjatuh ke tanah.“Apa... apa yang Ibu katakan?” bisik Indira dengan suara parau, hampir tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. “Ibu saya... sudah meninggal?”"Iya, dia sudah meninggal 10 tahun lalu," ucap Maryam, suaranya dingin dan penuh keyakinan, meski ada gemetar halus yang berusaha disembunyikannya. Senyum licik terselip di sudut bibirnya, namun dengan cepat ia berusaha menyamarkannya.Indira membeku. Kata-kata Maryam seperti petir yang menyambar di siang bolong. "Tidak... ini tidak mungkin... Ibu saya tidak mungkin meninggal!" suaranya pecah, tubuhnya limbung seperti kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tangannya gemetar, mencengkeram e

  • I'm Sorry Laras   Mencari keberadaan Laras

    Indira, di usianya yang masih muda, adalah pendiri dan CEO dari brand skincare terkenal bernama "Lumea Glow", yang telah merevolusi dunia kecantikan. Lumea Glow bukan hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di pasar internasional, dengan produk-produk unggulannya yang fokus pada bahan alami dan ramah lingkungan. Mulai dari serum wajah, pelembap, hingga masker premium, semua produk buatannya menjadi incaran banyak selebriti dan influencer terkenal.Kesuksesan Indira bukan datang secara instan. Di balik kemewahan dan prestasinya, tersimpan kisah perjuangan dan kerja keras. Setelah meninggalkan masa kecilnya yang penuh luka, ia tumbuh menjadi gadis yang gigih. Ia memulai Lumea Glow ketika masih berusia 18 tahun, hanya bermodalkan pengetahuan skincare yang ia pelajari secara otodidak, tekad yang besar, dan sedikit modal hasil beasiswa kuliahnya di bidang bisnis.Kini, Lumea Glow memiliki lebih dari 30 cabang offline di seluruh Indonesia, serta ribuan mitra reseller yang tersebar hingga ke

  • I'm Sorry Laras   15 tahun kemudian

    Ratna mendesah, matanya melirik Damar dengan kesal. "Itu tidak penting! Seharusnya kamu fokus pada siapa yang ada di foto itu bersama Laras," ucapnya, nadanya tajam.Damar mengalihkan pandangannya ke foto itu lagi. Matanya membelalak lebih lebar ketika menyadari siapa pria yang berdiri di samping Laras. "Ini... Faris? Apa yang dia lakukan bersama Laras?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.Ratna langsung memukul lengan anaknya dengan geram. "Damar! Jangan pura-pura pikun! Faris itu kan selingkuhannya Laras. Apa kamu lupa?" teriak Ratna.Damar mengerutkan kening, mencoba mencerna ucapan ibunya. "Iya, Bu... Tapi kenapa dia ada bersama Laras di sana? Apa yang mereka lakukan?"Ratna mendengus kesal. "Tentu saja sekarang mereka bebas bisa bersama setelah kamu menceraikan Laras. Kamu itu terlalu bodoh, Damar. Semenjak Laras mengkhianatimu, kamu jadi kehilangan akal!" ucap Ratna dengan nada tinggi.Ucapan itu seperti menusuk Damar. Ia merasakan amarahnya kembali membara. Perasaan cemburu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status