Ratna mendengus kecil, ekspresinya sedikit kesal. “Bukan kita yang akan menghabisinya, Raka,” balasnya, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas. “Binatang buas di hutan yang akan menyelesaikan tugas kita. Kita cuma menaruhnya di sana—itu beda.”“Tapi itu sama saja, Bu!” Raka memotong, nadanya naik dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kalau kita yang membawanya ke sana, itu artinya kita yang bertanggung jawab!”Mendengar nada Raka yang penuh keraguan, Ratna memandangnya dengan tatapan tajam, alisnya berkerut penuh kejengkelan. “Kenapa? Kamu keberatan, Raka?” tanyanya, suaranya kini mengandung sedikit ancaman. “Atau takut? Ibu lakukan ini semua untukmu, supaya semua kekayaan Damar jadi milikmu. Apa kamu nggak ngerti?”Raka menggeleng cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan ibunya. “Bukan begitu, Bu,” ucapnya, suaranya melunak meski masih ada gurat ketakutan di matanya. “Aku cuma takut nanti semua aksi kita ketahuan orang lain. Aku nggak mau masuk penjara, Bu!”Ratna
Raka tersenyum licik, wajahnya mendekat hingga napasnya terasa hangat di kulit Laras. “Tidak , aku tidak akan lepasin kamu,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh nafsu. “Dari dulu aku pengin nyicipin bibirmu ini.”Laras panik, ketakutan membuncah di dadanya. Ia menjauhkan wajahnya sejauh mungkin, tangannya mendorong dada Raka dengan keras. “Jangan kurang ajar, Raka! Aku ini kakak iparmu!” teriaknya, suaranya bergetar oleh rasa takut dan marah.“Jangan khawatir, Laras,” balas Raka, senyumnya semakin lebar. “Aku yakin Kak Damar bakal ngijinin aku nyicipin bibirmu. Toh, kamu udah nyakitin dia—dia nggak akan peduli lagi.”“Cepat hentikan, Raka! Lepaskan aku!” Laras meronta lebih keras, kakinya mencoba menendang, tapi cengkeraman Raka terlalu kuat. “Kalau nggak, aku bakal teriak!”“Teriak aja sekencang-kencangnya, Laras,” Raka terkekeh, suaranya penuh keyakinan yang mengerikan. “Aku yakin nggak ada yang bakal dengar. Semua ART udah kusuruh ke belakang dan kularang masuk ke dalam. Rumah ini cu
Damar berdiri di ujung ranjang, matanya memerah bagaikan bara yang menyala di tengah kegelapan. Napasnya berat, tersengal oleh campuran alkohol dan amarah yang membakar setiap inci tubuhnya. Ia menatap Laras dengan pandangan yang asing—bukan lagi pandangan penuh cinta yang pernah menghangatkan hati Laras, melainkan sorot penuh dendam yang dingin dan liar. Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal erat seolah menahan sesuatu yang siap meledak. Tanpa kata, ia melangkah mendekat, langkahnya berat dan penuh ancaman, membuat lantai kayu di bawahnya berderit pelan.Laras tersentak, tubuhnya secara insting mundur ke arah kepala ranjang, punggungnya menempel pada dinding dingin. Selimut yang ia genggam erat tergelincir dari tangannya yang gemetar, jatuh ke kasur dengan bunyi lembut yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. “Mas… kumohon, jangan seperti ini!” suaranya pecah, penuh ketakutan yang mentah. “Ini bukan Mas Damar yang kukenal! Mas Damar yang kutahu tidak akan memaksaku se
Raka mengangguk singkat, lalu bergegas menuju garasi, sementara Ratna berjalan menuju kamar Indira. Ia mendorong pintu kamar itu perlahan, derit kecil engsel pintu memecah keheningan. Di dalam, Indira duduk di lantai, tenggelam dalam dunianya sendiri, bermain dengan boneka kesayangannya. Rambutnya yang terurai sedikit berantakan, dan senyum polos menghias wajahnya. Saat mendengar langkah kaki, ia menoleh, matanya membulat penuh keheranan melihat neneknya berdiri di ambang pintu.“Indira sayang, ayo ikut sama Nenek,” ucap Ratna, suaranya dibuat lembut dan penuh kehangatan yang palsu, kontras dengan sikap ketus yang biasa ia tunjukkan.Indira mengerutkan dahi, kebingungan terpancar dari wajah kecilnya. “Ikut ke mana, Nek?” tanyanya, nadanya penuh rasa ingin tahu. “Tumben Nenek ngajak aku. Memang kita mau ke mana?”Ratna melangkah mendekat, senyumnya melebar dengan penuh perhitungan. “Kita mau menemui ibumu,” jawabnya, suaranya manis seperti madu yang menutupi racun. “Tadi dia telepon Nen
Setelah perjalanan selama satu jam, mobil yang dikendarai Raka akhirnya berhenti di pinggiran sebuah hutan di luar kota. Hutan itu tampak kelam dan lebat, pepohonan menjulang tinggi dengan ranting-ranting yang saling bertautan, membentuk kanopi yang menghalangi cahaya matahari menembus ke dalam. Udara terasa lembap dan berat, penuh aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Suasana sunyi hanya dipecah oleh suara angin yang bersiul pelan di antara pohon-pohon tua.Raka mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke arah Ratna yang duduk di sampingnya. “Kebetulan Indira masih tidur,” bisik Ratna, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Cepat, angkat dia sebelum dia bangun. Kita harus bawa dia ke tengah hutan agar lebih mudah.”Raka mengangguk, ekspresinya dingin dan fokus. Ia segera keluar dari mobil dan membuka pintu belakang dengan hati-hati. Tubuh kecil Indira terbaring di kursi, napasnya teratur dalam tidur lelap, bonekanya terleletak di sampingnya. Dengan gerakan perlahan, Raka mengangkat
Setelah memastikan Ratna dan Raka benar-benar menjauh dari tempat itu, Laras tak membuang waktu. Dengan langkah cepat namun hati-hati, ia berlari mendekati putrinya yang terikat di pohon. Indira, yang melihat sosok ibunya muncul dari balik semak, membelalakkan mata penuh kebahagiaan. Walaupun mulutnya tersumbat kain, sorot matanya berbinar lega, dan tubuh kecilnya yang gemetar mulai rileks seolah mengetahui keselamatan telah datang.Laras berlutut di samping Indira, tangannya gemetar saat ia buru-buru melepaskan kain yang menyumpal mulut anaknya. “Sabar, sayang,” bisiknya, suaranya penuh getaran emosi. Setelah kain itu terlepas, ia segera membuka ikatan tali kasar yang melilit tangan dan kaki Indira, jari-jarinya bekerja cepat meski penuh ketegangan. Begitu semua tali terlepas, Laras tak bisa menahan diri lagi—ia langsung memeluk Indira erat-erat, menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya seolah tak ingin melepaskannya selamanya.“Ibu… akhirnya Ibu datang,” isak Indira, suaranya ters
Widuri terkejut, alisnya terangkat penuh keheranan. “Menitipkan Indira? Kenapa, Bu? Apa Ibu sedang ada masalah?” tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu yang tulus.Laras menatap Widuri sejenak, lalu menarik napas dalam untuk menguatkan hatinya. Akhirnya, ia menceritakan semuanya—dari awal mula ia difitnah sebagai pengkhianat oleh mertuanya, tes DNA yang memalsukan status Indira sebagai anak Damar, hingga kejadian mengerikan tadi pagi di mana Indira dibuang ke hutan. Tak ada yang ia tutupi, meski setiap kata terasa seperti membuka luka lama yang masih berdarah. Ia tak peduli jika itu aib keluarganya—yang ia inginkan hanyalah keselamatan Indira.“Ya Tuhan… kasihan sekali Indira,” gumam Widuri, matanya berkaca-kaca penuh simpati. “Jahat sekali orang-orang itu.”“Maka dari itu, Bu, saya ingin menitipkan Indira di sini sampai keadaan di rumah saya aman,” lanjut Laras, suaranya mulai pecah. “Kalau saya bersikeras bawa anak saya kembali ke rumah, saya yakin mertua saya akan melakukan h
Setelah perjalanan yang cukup panjang, hari semakin gelap, menyelimuti langit dengan kegelapan yang pekat. Laras akhirnya sampai di kota tempat tinggalnya, tubuhnya terasa lelah namun pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Indira yang ia tinggalkan di panti asuhan. Ia berhenti sejenak di depan warung tempat ia meminjam motor tua itu secara paksa. Dengan hati-hati, ia memarkir motor di tempat semula, helm masih tergantung di stang seperti saat ia mengambilnya. “Maaf, Pak, terima kasih sudah meminjamkan motornya,” gumamnya dalam hati, meski tak ada waktu untuk mencari pemiliknya dan meminta maaf secara langsung.Laras melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, langkahnya terasa berat seolah membawa beban dunia di pundaknya. Ketika akhirnya sampai di depan rumahnya, ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi apa yang menantinya di dalam. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu depan yang sedikit berderit. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram menyelinap ke lua
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika
“Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete
Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s
Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa
Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek