“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di
Laras memarkir motor tua di halaman Panti Asuhan Mutiara Kasih. Langit sore tampak sendu, seolah mengerti beban yang kini dipikulnya. Di depan mata, ia melihat anak-anak berlarian di halaman, tertawa lepas bermain petak umpet dan lompat tali. Pemandangan itu begitu sederhana, namun menusuk hati Laras—karena ia tahu, sebentar lagi, putrinya akan menjadi bagian dari mereka.Indira, yang masih menggenggam erat tangan ibunya, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Ibu, banyak sekali anak-anak di sini. Tempat apa ini?” tanyanya polos.Laras mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seperti terkoyak. “Ini namanya panti asuhan, Sayang,” jawabnya lembut.“Panti asuhan?” Indira memiringkan kepala. “Bu guru pernah bilang, kalau panti asuhan itu katanya tempat buat anak-anak yang nggak punya ayah dan ibu.” Ia terdiam, matanya menatap anak-anak yang bermain di kejauhan. Kemudian ia melanjutkan, “Kasihan mereka ya, Bu. Mereka nggak seberuntung Indira. Indira kan punya ayah dan ibu yang sayang
Indira mengernyit, bingung. "Tapi... ibu juga tinggal di sini, kan? Kita tinggal bersama di sini, ya, Bu?" tanyanya polos.Laras menggeleng perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Nak. Ibu tidak bisa tinggal di sini bersamamu. Ibu harus pulang... Kalau ibu tinggal di sini, siapa yang akan menjaga ayahmu? Kamu tidak mau kan, kalau nenek dan pamanmu menyakiti ayah?"Wajah Indira berubah serius. "Kalau begitu, aku ikut ibu saja. Aku juga mau melindungi ayah!" ucapnya penuh tekad.Laras memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Sayang, nenek dan pamanmu itu berbahaya. Mereka tidak akan segan-segan menyakitimu lagi. Apa kamu lupa kejadian tadi pagi? Kalau nanti nenekmu membuangmu ke sungai atau ke jurang, bagaimana? Ibu tidak akan sanggup kalau sesuatu terjadi padamu sayang.""Tapi aku tidak mau pisah sama ibu! Aku mau ikut ibu! Aku takut nanti ibu lupa sama aku!" tangis Indira pecah. Ia memeluk Laras erat, seolah tak ingi
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Laras akhirnya tiba di kota tempat tinggalnya. Hari sudah gelap, dan udara malam yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Ia menyerahkan motor yang dipinjamnya secara paksa, Walaupun ada drama sedkit namun pemilik motor mengerti setela Laras menceritakan alasannya. Dia lalu berjalan pelan menuju rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menahannya. Begitu tiba di depan pintu rumah, ia menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri. Ia tahu apa yang akan terjadi begitu pintu itu terbuka. Namun, demi keselamatan Indira, semua harus ia hadapi. Dengan tangan gemetar, ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk. , Di ruang tamu, Damar, suaminya, duduk dengan santai. Sebatang rokok tergantung di tangannya, asapnya berputar-putar di udara. Wajahnya terlihat keras, penuh kecurigaan. Begitu melihat Laras, ia menyipitkan mata dan menyandarkan tubuh ke kursi, menatap istrinya dengan dingin. "Darimana saja kamu?" t
"Damar, syukurlah kamu sudah datang," suara ibunya, Ratna Kartika, terdengar mendesak, tangannya mencengkeram lengan Damar erat-erat. "Kamu harus lihat bagaimana kelakuan istrimu saat kamu tidak ada di rumah."Damar mengerutkan kening, lalu perlahan menarik lengannya dari genggaman ibunya. "Ada apa sih, Bu? Aku ini baru saja pulang dari luar kota, dan masih capek, ... tolong, jangan mulai drama yang nggak penting seperti ini," ucapnya, nada suaranya lelah namun tegas. "Aku tahu Ibu belum sepenuhnya menerima Laras, tapi bukan berarti ibu harus terus menyudutkannya."Ratna berhenti, menatap wajah putranya yang kini dipenuhi rasa kesal. “Kenapa kamu ngomong seperti itu, Damar?” ucapnya dengan nada kecewa. “Memang, Ibu tidak pernah merestui Laras sebagai istrimu. Tapi, itu bukan alasan Ibu untuk berbuat jahat kepadanya. Justru, Ibu menarik kamu masuk kesini agar kamu sendiri bisa melihat kebenaran yang selama ini di tutup tutupi oleh istrimu.”"Kebenaran apa lagi, Bu?" gumam Damar seteng
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Laras akhirnya tiba di kota tempat tinggalnya. Hari sudah gelap, dan udara malam yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Ia menyerahkan motor yang dipinjamnya secara paksa, Walaupun ada drama sedkit namun pemilik motor mengerti setela Laras menceritakan alasannya. Dia lalu berjalan pelan menuju rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menahannya. Begitu tiba di depan pintu rumah, ia menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri. Ia tahu apa yang akan terjadi begitu pintu itu terbuka. Namun, demi keselamatan Indira, semua harus ia hadapi. Dengan tangan gemetar, ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk. , Di ruang tamu, Damar, suaminya, duduk dengan santai. Sebatang rokok tergantung di tangannya, asapnya berputar-putar di udara. Wajahnya terlihat keras, penuh kecurigaan. Begitu melihat Laras, ia menyipitkan mata dan menyandarkan tubuh ke kursi, menatap istrinya dengan dingin. "Darimana saja kamu?" t
Indira mengernyit, bingung. "Tapi... ibu juga tinggal di sini, kan? Kita tinggal bersama di sini, ya, Bu?" tanyanya polos.Laras menggeleng perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Nak. Ibu tidak bisa tinggal di sini bersamamu. Ibu harus pulang... Kalau ibu tinggal di sini, siapa yang akan menjaga ayahmu? Kamu tidak mau kan, kalau nenek dan pamanmu menyakiti ayah?"Wajah Indira berubah serius. "Kalau begitu, aku ikut ibu saja. Aku juga mau melindungi ayah!" ucapnya penuh tekad.Laras memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Sayang, nenek dan pamanmu itu berbahaya. Mereka tidak akan segan-segan menyakitimu lagi. Apa kamu lupa kejadian tadi pagi? Kalau nanti nenekmu membuangmu ke sungai atau ke jurang, bagaimana? Ibu tidak akan sanggup kalau sesuatu terjadi padamu sayang.""Tapi aku tidak mau pisah sama ibu! Aku mau ikut ibu! Aku takut nanti ibu lupa sama aku!" tangis Indira pecah. Ia memeluk Laras erat, seolah tak ingi
Laras memarkir motor tua di halaman Panti Asuhan Mutiara Kasih. Langit sore tampak sendu, seolah mengerti beban yang kini dipikulnya. Di depan mata, ia melihat anak-anak berlarian di halaman, tertawa lepas bermain petak umpet dan lompat tali. Pemandangan itu begitu sederhana, namun menusuk hati Laras—karena ia tahu, sebentar lagi, putrinya akan menjadi bagian dari mereka.Indira, yang masih menggenggam erat tangan ibunya, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Ibu, banyak sekali anak-anak di sini. Tempat apa ini?” tanyanya polos.Laras mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seperti terkoyak. “Ini namanya panti asuhan, Sayang,” jawabnya lembut.“Panti asuhan?” Indira memiringkan kepala. “Bu guru pernah bilang, kalau panti asuhan itu katanya tempat buat anak-anak yang nggak punya ayah dan ibu.” Ia terdiam, matanya menatap anak-anak yang bermain di kejauhan. Kemudian ia melanjutkan, “Kasihan mereka ya, Bu. Mereka nggak seberuntung Indira. Indira kan punya ayah dan ibu yang sayang
Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?”“Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.”“Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita bertanggung jawab.”Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?”Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.”Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tidak akan ad
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini."Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?"Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu."Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera."Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan.Ratna berdiri di sana,