Beranda / Romansa / I'm Sorry Laras / Hukuman untuk Ningsih

Share

Hukuman untuk Ningsih

Penulis: mangpurna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-20 06:53:49

Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”

“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.

Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.

“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.

Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.

Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • I'm Sorry Laras   dhgdvdgv

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • I'm Sorry Laras   Terjebak

    Cahaya lampu tua di ruang tamu berkedip pelan, memantulkan bayangan samar di dinding kayu yang sudah mulai mengelupas. Bau kopi dingin dari cangkir yang ditinggalkan di meja kecil masih tercium samar, bercampur dengan aroma tanah basah yang menyelinap dari jendela terbuka. Di sudut ruangan, Ratna Kartika berdiri dengan tangan gemetar, jari-jarinya mencengkeram lengan Damar erat-erat seolah takut kehilangan pegangan. “Damar, syukurlah kamu sudah datang,” suaranya mendesak, penuh getaran yang sulit disembunyikan, matanya berkilat tajam di bawah alis yang mengerut. “Kamu harus lihat bagaimana kelakuan istrimu saat kamu tidak ada di rumah.” Damar mengerutkan kening, napasnya masih tersengal setelah perjalanan panjang dari luar kota. Ia menarik lengannya perlahan dari genggaman ibunya, gerakannya kaku namun tegas. Jaket lusuhnya masih menempel di pundak, membawa aroma debu jalanan yang melekat. “Ada apa sih, Bu? Aku ini baru saja pulang, dan masih capek…” Ia menghela napas panjang, suaran

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Fitnah Raka

    Laras hanya bisa menangis, terisak-isak di hadapan suaminya, mencoba memeluk erat hatinya sendiri agar tak pecah berkeping-keping. Dalam kepalanya, ia berulang kali berkata bahwa ini hanyalah mimpi buruk—bayangan kelam yang akan sirna begitu mentari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela. Tapi pandangan Damar, yang kini membeku seperti es di musim dingin, menamparnya dengan kenyataan pahit. Kepercayaan yang dulu hangat dan penuh cinta itu kini terguncang hebat, bahkan mungkin telah runtuh menjadi puing-puing yang tak lagi bisa disatukan.Cahaya lampu gantung di ruang tamu memantulkan kilau redup di wajah Laras, menyoroti air mata yang mengalir tanpa henti, membentuk aliran kecil di pipinya yang pucat. Ia jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai kayu dengan bunyi pelan yang memilukan, seolah tubuhnya tak lagi mampu menahan beban jiwa yang remuk. Tangan-tangannya yang gemetar meraih jemari Damar, mencengkeramnya erat seakan itu adalah tali terakhir yang bisa menyelamatkannya dari

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Hukuman Laras

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Meragukan Indira

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Tes DNA

    Laras terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak saat pertanyaan polos Indira menggantung di udara. Cahaya lampu dapur yang redup memantulkan bayangan wajahnya di meja kayu tua, dan untuk sesaat, ia merasa dunia di sekitarnya menyusut menjadi ruang kecil yang penuh tekanan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos, tanpa menggores luka di hati kecil itu? Ia menarik napas dalam, mengumpulkan serpihan kekuatannya yang tersisa, lalu menatap Indira dengan senyum lembut yang ia paksa muncul.“Tes DNA itu…” ucapnya pelan, suaranya lembut seperti angin yang menyapu daun kering, “semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Ia menjaga nada suaranya tetap tenang, meski di dalam dadanya, badai sedang mengamuk.Indira mengerutkan dahi, matanya yang jernih memandang ibunya dengan kebingungan yang lugu. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”L

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Kekecewaan Damar

    Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperli

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30

Bab terbaru

  • I'm Sorry Laras   dhgdvdgv

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Ningsih

    Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m

  • I'm Sorry Laras   Penghinaan Ningsih

    Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark

  • I'm Sorry Laras   Mall

    Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika

  • I'm Sorry Laras   Rasa penasaran Doni

    “Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete

  • I'm Sorry Laras   Sebuah Rahasia

    Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s

  • I'm Sorry Laras   Ruang keluarga yang memanas

    Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa

  • I'm Sorry Laras   Ruang BK yang memanas

    Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status