Laras hanya bisa menangis, terisak-isak di hadapan suaminya, mencoba untuk meyakinkan hatinya sendiri bahwa semua ini adalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi pandangan Damar yang berubah dingin menunjukkan bahwa kepercayaan itu telah terguncang, mungkin bahkan sudah hancur.
Melihat ekspresi dingin dan kekecewaan di wajah suaminya, Laras jatuh berlutut, matanya basah oleh air mata yang tak tertahankan. Dia menggenggam tangan Damar, mencoba meyakinkan pria yang ia cintai itu untuk mempercayainya sekali lagi.
“Mas Damar… aku mohon, percaya padaku,” suaranya bergetar, penuh kepedihan. “Kamu tahu akutidak akan pernah melakukan hal seperti ini. Kamu tahu betapa aku sangat mencintaimu…”
Namun, Damar menarik tangannya perlahan, pandangannya penuh dengan luka yang dalam. "Laras, maafkan aku… tapi aku tidak bisa mempercayaimu sekarang. Kamu sudah terlalu menyakitiku," jawabnya dengan suara rendah.
Air mata Laras jatuh makin deras. “Mas… aku mohon, jangan berkata seperti itu,” ratapnya dengan isakan yang makin memilukan.
Saat ketegangan masih menggantung di udara, Raka, adik laki-laki Damar, tiba-tiba masuk ke ruangan. Ia memandang Laras yang masih terisak-isak di lantai dengan heran. “Ada apa ini? Kenapa Laras menangis seperti itu?” tanyanya, mengalihkan pandangan ke ibunya.
Ibu Ratna langsung menyambut pertanyaan Raka dengan ekspresi penuh kemenangan. "Ini, kakakmu… dia memergoki istrinya sendiri sedang tidur dengan pria lain di kamarnya!” suaranya sinis dan menusuk.
Raka mendekat ke arah Laras dan meliriknya dengan tatapan penuh kebencian. “Oh, jadi begini kelakuanmu, Laras? Kamu memang perempuan tidak tahu diri. Tidak berhasil merayu aku, kamu malah merayu sahabat kakakku sendiri? Dasar wanita murahan!” hardiknya dengan suara keras.
Damar yang mendengar tuduhan itu langsung terkejut dan menoleh pada adiknya. “Apa maksudmu, Raka? Kenapa kamu berkata seperti itu?”
Raka mendesah seolah-olah akhirnya menemukan kesempatan untuk mengungkapkan semuanya. “Kak, asal kakak tahu saja, Laras ini selalu merayuku setiap kali kita cuma berdua di rumah ini. Dia terus mencoba merayuku, bahkan minta aku melayaninya di atas ranjang!" Raka berbicara dengan nada penuh keyakinan.
“Itu bohong! Bohong, Mas! Dia memfitnahku!” teriak Laras, tubuhnya menggigil di lantai.
Damar menatap Laras sejenak, lalu dengan tenang meminta, “Laras, tolong diam dulu. Aku butuh mendengar penjelasan dari Raka.”
Raka melanjutkan, semakin berani. "Bahkan, kemarin saat kakak masih di luar kota, tiap malam dia datang ke kamarku menggunakan pakaian seksi. Untung saja aku masih punya iman. Jadi aku tidak tergoda sama sekali padanya. Karena aku juga sadar kalau dia itu adalah istrimu, kak. Tidak mungkin kan aku menghianatimu." ucapnya sambil memasang ekspresi jijik.
Kata-kata Raka membuat darah Laras mendidih. Ia bangkit dengan gemetar, lalu menatap Raka penuh ketegasan dan kepedihan. “Kamu pembohong besar, Raka!” suaranya bergetar. “Kamu tahu persis siapa yang selalu mencoba merayuku setiap kali Mas Damar tidak ada di rumah! Kamulah yang sering datang ke kamarku, dan sekarang kamu malah memfitnahku seperti ini?”
Damar tercengang mendengar tuduhan saling balas antara Laras dan Raka. Namun, kata-kata Raka yang penuh keyakinan dan sorot matanya yang tampak bersih, menambah keraguan dalam benaknya.
Ratna menatap Laras dengan sorot menghina yang tidak tersamarkan, lalu berkata, "Laras, jangan sembarangan bicara! Anak ku itu, tidak mungkin tertarik dengan wanita sepertimu, sudah miskin, dan kampungan pula." Ucapannya diiringi senyuman tipis yang mengandung ejekan.
Laras menghela napas panjang, berusaha mempertahankan ketenangannya. "Tapi, Bu... ini semuanya benar. Selama ini, Raka yang terus mendekatiku ketika Mas Damar tidak ada di rumah. Aku tidak pernah mengatakan ini sebelumnya, karena aku tahu Damar sangat menyayangi Raka. Aku tidak mau memicu perselisihan di antara mereka berdua."
"Alasan! Itu hanya akal-akalannya saja. Damar!," potong Ratna tanpa ragu. "Ini semua hanya permainan dia saja untuk menyelamatkan diri nya sendiri. Sekarang, malah anakku yang dia fitnah!"
Laras terdiam, merasa makin terpojok. Setiap kata yang ia lontarkan semakin diputar balikkan. Pikirannya berputar mencari jalan keluar, tetapi tak ada seorang pun yang percaya padanya.
Ratna melipat tangannya di dada dan berkata dengan nada tegas, "Damar, lebih baik ceraikan saja perempuan ini! Usir dia dari rumah ini. Biar dia tahu rasa dan hidup di jalanan, Ibu rasa itu lebih pantas untukinya."
"Iya, Kak! Biar dia kapok!" sambung Raka dengan nada mencemooh. "Sudah miskin tapi berani berselingkuh di belakang kakak. Memalukan!"
Laras menatap Damar dengan putus asa. Ia jatuh berlutut, air mata mengalir deras di wajahnya. "Mas Damar, kumohon... jangan usir aku. Kalau aku pergi dari sini, bagaimana dengan anak kita? Siapa yang akan merawatnya kalau aku harus pergi?"
Damar menatapnya dengan pandangan yang dingin dan terluka. "Sebelum melakukan hal ini, kau seharusnya memikirkan itu lebih dulu, Laras."
Di sisi lain, Faris yang sedari tadi diam, merasa bersalah dan tak berani menatap langsung ke mata Damar. Sekilas, ia memandang Laras yang tampak begitu hancur. Hatinya terasa berat, tetapi kata-kata tak mampu ia keluarkan. Damar tiba-tiba menoleh ke arah Faris dengan sorot mata dingin dan penuh kecewa.
"Dan kau, Faris," suara Damar pecah di udara yang tegang. "Aku tidak pernah menyangka kamu bisa menghianatiku seperti ini. Selama ini aku menganggapmu sebagai keluarga, tapi ternyata kau menusukku dari belakang. Kenapa, Ris? Kenapa kamu tega?"
Faris terdiam sejenak, kemudian menunduk penuh penyesalan. "Maaf, Damar. Aku… khilaf. Aku benar-benar menyesal, dan aku janji akan meninggalkan Laras. Semua ini salahku, Damar"
Damar menggeleng pelan, menahan rasa sakit dan kecewa yang begitu dalam. "Sudah terlambat, Faris. Itu tidak ada gunanya lagi. Sekarang, tidak ada satu pun yang bisa mengubah keadaan." Damar menatap Faris penuh kecewa. "Aku benar-benar tidak menyangka… dua orang yang paling kupercayai, paling kusayangi, justru menikamku dari belakang seperti ini."
Laras hanya bisa menangis, air matanya terus mengalir tak terbendung. Ingin sekali ia berteriak, membela diri, dan menyatakan bahwa semua ini adalah kebohongan belaka, tapi ia tahu kata-katanya akan sia-sia. Tidak ada satu pun yang akan mempercayainya.
Damar menghela napas panjang, lalu berkata kepada Faris dengan nada tegas, "Sudah, Faris. Pergi saja kau dari sini. Pergi sebelum aku berubah pikiran."
Faris mengangguk pasrah, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa ia perbuat untuk memperbaiki keadaannya. Saat ia berbalik untuk pergi, ia menoleh sekilas ke arah Laras dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maafkan aku, Laras," ucapnya lirih, lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Ratna dan Raka bertukar pandang, senyuman mereka penuh arti, seolah kemenangan telah mereka genggam. Pandangan Ratna menyiratkan kepuasan, sementara Raka memandang Laras dengan ejekan dan kesenangan yang tidak terkatakan.
Laras terduduk lemas di lantai, menyadari bahwa ia telah dikhianati dari berbagai sisi. Tanpa ada seorang pun yang mau mempercayainya, ia merasa sendirian, dan semua perjuangannya untuk membela diri tampak sia-sia di mata orang-orang yang seharusnya mencintainya.
Damar menatap Laras dengan tatapan datar dan dingin, seolah-olah hatinya sudah tak lagi bergetar oleh isak tangisnya. "Dan untukmu, Laras… Aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu," katanya, suaranya bergetar halus namun tajam.Laras merasa hatinya remuk tapi sekaligus lega. Setidaknya ia tidak akan kehilangan suami dan rumah tangganya secepat ini. "Terima kasih, Mas… Terima kasih," ujarnya pelan, suaranya penuh harap.Damar tertawa kecil, sinis. "Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku. Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu itu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan bersikap manis lagi padamu. Selama kau tetap berada di sini, aku akan memastikan hidupmu penuh dengan rasa sesal."Laras terkejut mendengar kata-katanya. Ada getaran takut yang muncul di hatinya, namun ia berusaha menepisnya. “Baik, Mas… K
"Siapa yang mengizinkan kalian makan di meja makan ini?" Ibu Ratna berkata dengan nada penuh penghinaan. "Mulai hari ini, kalian berdua makan di belakang, bersama para pembantu. Dan untuk makanannya, kalian tunggu sisa dari kami."Laras menatap ibu mertuanya dengan sorot tegas. “Bu, kami juga punya hak untuk makan di meja makan ini. Bagaimanapun juga, kami masih bagian dari keluarga ini.”“Bagian dari keluarga?” Ratna tertawa sinis. “Setelah pengkhianatanmu terhadap Damar, jangan harap kami menganggap kalian keluarga. Kalian tidak lebih dari parasit di rumah ini!”Laras berusaha menahan amarah. “Mas Damar saja masih menganggapku istrinya, Bu. Jadi secara tidak langsung, kami masih berhak menikmati fasilitas di rumah ini, terutama Indira. Dia anak kandung mas Damar, Bu. Dia sangat berhak makan di sini!”Ratna mendengus. "Berani bicara soal hak padaku, Laras? Kamu itu cuma perempuan miskin yang beruntung ditampung Damar. Jadi jangan pernah menuntut hak di sini!" sergah Ratna tajam. “Ayo,
Laras terdiam, mendapati dirinya harus menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos. Bagaimana caranya menjawab tanpa melukai hati Indira? Dia mengambil napas dalam, lalu berkata dengan suara lembut, “Tes DNA itu… semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Indira mengernyitkan dahi. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?” Laras mengangguk kecil, air matanya hampir jatuh lagi. “Iya, sayang… tapi, kamu jangan khawatir, ya. Kamu selalu akan jadi anak Ayah dan Ibu. Kami sayang sama kamu, itu yang paling penting.” Indira hanya tersenyum kecil, tampak tidak terlalu memahami sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat Laras menahan napasnya sekali lagi. Hari ini, untuk pertama kalinya, Laras merasa sangat takut kehilangan keluarga kecil yang sudah ia perjuangkan selama ini. Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya di Rumah Sakit Kasih Bunda. Ruang tunggu rumah s
Damar menatap hasil tes yang dipegang Dokter Surya, dan kata-kata di atas kertas itu menancap tajam di hatinya, seperti belati yang merobek-robek kepercayaannya. Perlahan, ia menggumam pelan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?” Laras, yang duduk di sampingnya, merasakan dunia di sekitarnya runtuh. Ia tak percaya. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan… Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya,” ucapnya dengan suara bergetar, penuh dengan keyakinan yang tersisa. Dokter Surya menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan rasa simpatinya. “Maaf, Bu. Semua prosedur yang kami lakukan sudah sesuai dengan standar yang ada di Rumah sakit ini, dan kami tidak mungkin menukar hasil tes DNA suami ibu. Reputasi rumah sakit ini adalah hal yang sangat kami jaga.” Ratna, dengan senyum puas, memandang Laras tajam. “Dengar itu, Laras. Jangan seenaknya menuduh! Sudah jelas jelas anakmu itu bukan anaknya Damar. Kamu mau menyangkal apalagi?” Laras menatap Ratna dengan sorot mata penuh
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini. "Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?" Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu." Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera." Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan. Ratna berdiri di s
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?” “Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.” “Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita yang bertanggung jawab.” Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?” Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.” Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tida
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!” Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan. Ketika melihat pemandangan di depannya. Dimana posisi Laras sesang menindih Raka, seolah olah Laras lah yang memulai dulu. Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Mas Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar. Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian. “Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?” Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua salah paham. ini adalah jebakan Raka!” Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…” “BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!” “Cukup!” bentak Damar, suaranya m
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
Dika mengangkat alis, sementara Wisnu menoleh dengan ekspresi geli."Tumben banget," gumam Wisnu dengan nada menggoda. "Biasanya, lo kalo jalan ya jalan aja seolah-olah Dika ini nggak ada. Tapi sekarang kok malah nyamperin?"Nadine melirik Wisnu dengan sinis. "Gue ngomong sama Dika ya, bukan sama lo!"Wisnu terkekeh, menikmati situasi ini. "Dulu mah Dika lu cuekin? Sekarang ketika dia sudah berubah tambah ganteng, baru deh lo lirik."Nadine mendengus kesal, lalu mengabaikan Wisnu. Dia menatap Dika dengan senyum manis—senyum yang sama sekali tidak dipercaya oleh Dika.Wisnu hanya tertawa kecil, menikmati bagaimana Nadine yang biasanya angkuh kini justru berusaha menarik perhatian sahabatnya. Nadine kemudian kembali menoleh ke Dika, menatapnya dengan mata berbinar. "Kamu kok diem aja? Salam ku nggak dijawab?" Dika menatapnya datar, kemudian bersuara dengan nada dingin. "Apa sebenarnya maumu? Mau menghina aku lagi?" Nadine tersenyum manis—senyum yang tampak dibuat-buat di mata Dik
Laras tersentak. Matanya membulat, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Damar.. maksud ibu Ayah kalian… membelamu?” suaranya terdengar ragu.Indira mengangguk. “Ya. Dia berdiri di pihakku, meskipun di depan istri dan anaknya sendiri.”Laras terdiam, jemarinya meremas ujung bajunya. “Bagaimana keadaannya? Apakah dia sehat? Apakah dia… baik-baik saja?”Indira dan Dika saling berpandangan. Mereka bisa merasakan nada rindu yang tersirat dalam pertanyaan-pertanyaan itu.“Ibu…” Indira menatap ibunya tajam. “Apa Ibu masih mencintai Ayah?”Laras menunduk, wajahnya memerah. “Ibu…” suaranya bergetar. “Ibu tidak bisa membohongi perasaan ibu, Nak. Meski bertahun-tahun sudah berlalu, meski ibu berusaha melupakan ayah mu, namun hati ini tetap menyimpan namanya.”Dika mendesah. “Tapi, Bu… Ayah sudah meninggalkan kita. Dia bahkan tidak pernah mencari ibu selama ini.”Indira menyusul, suaranya lebih dingin. “Bahkan ayah memilih menikah dengan wanita lain dan membiarkan Ibu mend
Ratna tertegun. Dada tuanya bergemuruh hebat saat sosok Indira berdiri di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata yang begitu dingin, begitu menusuk. Ternyata, dugaannya memang benar—Indira yang kemarin datang ke pesta Doni adalah Indira, anak Laras yang telah lama hilang.Indira melangkah maju, matanya menyala penuh amarah. "Apa salah ibuku sampai kau tega menamparnya seperti itu?" suaranya menggema, tajam seperti pisau.Ratna mendengus, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Karena ibumu sudah berani kurang ajar padaku," jawabnya, penuh keangkuhan.Maryam mengangguk setuju, seolah ingin memperkuat kata-kata Ratna.Indira mendengus tidak percaya. "Ibuku tidak mungkin bertindak kurang ajar tanpa alasan!" Pandangannya menusuk, seakan mencoba menembus kebohongan yang mereka tutupi. ""Sepertinya aku harusnya bertanya oada kalian... siapa sebenarnya yang kurang ajar di sini? Dan apa sebenarnya tujuan kalian datang ke sini? Bukankah kalian sudah tidak ada hubungan apa pun lagi dengan ibuk
Di antara bayang-bayang meja dan kursi yang tertata rapi, sepasang mata mengawasi dengan napas tertahan. Tangan yang mengepal erat bergetar, bukan karena takut, tetapi karena amarah yang meluap-luap.Sosok itu menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan desakan untuk keluar dari persembunyian dan mengakhiri adegan terlarang yang sedang terjadi di depan matanya. Tidak pernah, sekalipun dalam mimpi terburuknya, ia membayangkan Raka dan Sofia akan berani melakukan hal sehina ini—di rumah ini, di bawah atap yang sama dengan suami Sofia, di tempat yang seharusnya menjadi simbol kehormatan keluarga.Dadanya naik turun, menyesakkan. Pandangannya kabur karena kemarahan yang berkecamuk. Setiap sentuhan, setiap desahan yang samar terdengar membuat hatinya semakin tercabik-cabik."Sebaiknya aku pergi dari sisni."Orang itu menelan kekecewaannya, memilih untuk tidak lagi menyaksikan adegan panas dari 2 orang yang berlainan jenis ini. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mundur, menjauh dari pemandangan
Setelah pesta ulang tahun yang berantakan itu berakhir, keluarga Damar kembali ke rumah mewah mereka. Malam yang seharusnya penuh kemeriahan berubah menjadi malam yang dipenuhi ketegangan.Begitu pintu utama tertutup, Sofia meledak.“Apa yang kau pikirkan, Mas Damar?!” suaranya melengking memenuhi ruangan, penuh kemarahan yang sejak tadi ia pendam. “Pesta Doni hancur gara-gara ulahmu! Seharusnya Mas Damar tidak mengundang Indira! Dan Dika?! Apa mas tidak tahu kalau dia adalah orang yang paling Doni benci di sekolah?!”Damar melepas jasnya dengan santai, seolah tidak terpengaruh. “Memangnya salahku kalau Doni tidak bisa mengendalikan emosinya?” jawabnya datar.Raka yang sejak tadi diam kini ikut maju. “Tapi, Kak, apa yang dikatakan Sofia benar. Kau seharusnya tidak membela orang asing dan malah mempermalukan Doni di depan semua tamunya. Kau pikir harga dirinya tidak hancur setelah itu?”D
Langkahnya tenang namun penuh tekanan saat ia mendekat. “Semua yang dikatakan Nona Indira benar,” ucapnya, suaranya tak terbantahkan. “Akulah yang memberikan undangan itu.”Sofia langsung melangkah maju, sorot matanya penuh kecurigaan. “Jadi benar?! Kau dan perempuan ini ada hubungan?!”Damar mendengus, tatapannya menusuk tajam. “Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan, Sofia? Aku dan Nona Indira hanya rekan bisnis. Tidak lebih.”Nada suaranya begitu tegas hingga tak seorang pun berani menyela.Doni yang sejak tadi menahan diri, akhirnya meledak. “Tapi aku tetap tidak terima, Pa! Kenapa mereka masih ada di sini?! Dia sudah menamparku! Harusnya Papa usir mereka!”Namun, yang terjadi justru kebalikan dari harapannya.Damar berbalik, menatapnya dengan mata yang kini penuh kekecewaan."Kalau kau sampai ditampar, itu artinya kau pantas mendapatkannya."Ruangan itu seketi
Doni melangkah dengan wajah penuh amarah, matanya menyala dengan kebencian saat mendekati Dika dan Indira. Dengan nada mengejek, dia menyapu pandangan dari atas ke bawah, menatap pakaian mahal yang dikenakan Dika.“Dari mana lo dapet baju ini, hah?” Doni mencibir. “Jangan bilang lo nyewa cuma biar keliatan kaya. Biar gue kasih tau, Dika, meskipun lo pakai jas mahal, lo tetap aja keliatan kayak orang miskin yang berusaha keras buat pura-pura jadi orang kaya.”Dika menatapnya tanpa gentar. “Bukan urusan lo gue dapet baju ini dari mana,” katanya tenang, tapi penuh ketegasan. “Dan lo salah, Don. Ini bukan baju sewaan. Gue juga nggak peduli omongan lo. Yang jelas, mulai sekarang, lo nggak akan punya kesempatan lagi buat nginjek-injek harga diri gue.”Doni membelalakkan mata, tidak percaya. Dika yang biasanya diam dan pasrah, kini berani melawan.Amarahnya semakin membara. “Berani banget lo ngo
Suasana kelas mendadak sunyi. Semua siswa menunggu dengan cemas, takut jika mereka melakukan kesalahan sekecil apa pun yang bisa membuat Doni murka. Ia menyeringai puas melihat ketakutan mereka. Kemudian, dengan nada dramatis, ia melanjutkan, “Tiga hari lagi, gue bakal ngadain pesta ulang tahun di hotel paling mewah di kota ini. Dan semua anak kelas 1A... DIUNDANG!”Sejenak ada kelegaan di wajah para siswa. Tapi belum sempat mereka tersenyum, Doni melanjutkan dengan nada lebih tajam, “Semua... kecuali satu orang.”Ia menoleh langsung ke arah Dika, lalu menyeringai sinis. “Lo, Dika. Lo nggak diundang.”Beberapa siswa saling bertukar pandang, sementara sebagian lain langsung menunduk, tak ingin terlibat. Wisnu mengepalkan tangan, wajahnya merah karena marah. Tapi Dika? Ia tetap berdiri tenang, ekspresinya tak berubah sedikit pun. Ia menatap Doni, tapi
Setelah mendengar pemaparan proposal yang dijelaskan panjang lebar oleh Indira, Damar merasa tertarik. Ia mengangguk pelan, jemarinya mengetuk-ngetuk sampul proposal di meja. “Menarik sekali,” gumamnya. “Saya akan mempelajari lebih dalam lagi mengenai proposal yang ibu berikan, sebelum saya memberikan keputusan.”Indira tersenyum percaya diri. “Tentu, Pak Damar. Saya yakin kerja sama ini akan membawa keuntungan besar bagi kedua belah pihak.”Setelah berbincang serius mengenai bisnis, suasana perlahan mencair. Damar, yang masih merasa ada sesuatu dalam diri Indira yang begitu familiar, memutuskan untuk berbincang lebih santai. Ia mulai bertanya tentang kehidupan pribadi Indira, hingga akhirnya, dengan nada penuh pertimbangan, ia mengundang Indira ke acara ulang tahun putranya, Doni, yang akan diadakan tiga hari lagi di sebuah hotel mewah.Indira terdiam sesaat, menyembunyikan keterkejutan di balik ekspresi tenangnya. Kesempatan