แชร์

Fitnah Raka

ผู้เขียน: mangpurna
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-28 21:58:43

Laras hanya bisa menangis, terisak-isak di hadapan suaminya, mencoba memeluk erat hatinya sendiri agar tak pecah berkeping-keping. Dalam kepalanya, ia berulang kali berkata bahwa ini hanyalah mimpi buruk—bayangan kelam yang akan sirna begitu mentari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela. Tapi pandangan Damar, yang kini membeku seperti es di musim dingin, menamparnya dengan kenyataan pahit. Kepercayaan yang dulu hangat dan penuh cinta itu kini terguncang hebat, bahkan mungkin telah runtuh menjadi puing-puing yang tak lagi bisa disatukan.

Cahaya lampu gantung di ruang tamu memantulkan kilau redup di wajah Laras, menyoroti air mata yang mengalir tanpa henti, membentuk aliran kecil di pipinya yang pucat. Ia jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai kayu dengan bunyi pelan yang memilukan, seolah tubuhnya tak lagi mampu menahan beban jiwa yang remuk. Tangan-tangannya yang gemetar meraih jemari Damar, mencengkeramnya erat seakan itu adalah tali terakhir yang bisa menyelamatkannya dari jurang keputusasaan. “Mas Damar… aku mohon, percaya padaku,” suaranya pecah, tersendat oleh isakan yang mengguncang pundaknya. “Kamu tahu aku tidak akan pernah menghianatimu… aku terlalu mencintaimu untuk melakukan apa yang mereka tuduhkan.”

Damar menatapnya dari atas, matanya yang dulu penuh kelembutan kini seperti dua bilah pedang yang dingin dan tajam. Perlahan, ia menarik tangannya dari genggaman Laras, gerakan itu begitu halus namun penuh penolakan yang mencabik hati. “Laras,” ucapnya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang tercekat di tenggorokan, “maafkan aku. Tapi aku tidak bisa mempercayaimu lagi. Luka ini… terlalu dalam.” Kata-kata itu terlepas dari bibirnya seperti angin yang membawa hawa dingin, meninggalkan Laras dalam kehampaan yang mencekam.

Air mata Laras jatuh lebih deras, membasahi lantai di bawahnya hingga membentuk genangan kecil yang mencerminkan wajahnya yang hancur. “Mas… jangan katakan itu,” ratapnya, suaranya bercampur antara kepedihan dan keputusasaan. Ia merangkak mendekat, tangannya menyentuh ujung sepatu Damar, seolah ingin memohon dengan seluruh raga yang tersisa. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, pintu ruangan terbuka dengan derit pelan—langkah Raka, adik Damar, memecah keheningan yang mencekik.

Raka berdiri di ambang pintu, matanya melebar sesaat saat melihat Laras yang tersungkur di lantai. Rambutnya yang acak-acakan dan sorot matanya yang penuh keheranan seolah bertanya tanpa suara. “Ada apa ini? Kenapa Laras menangis begitu?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara rasa ingin tahu dan sindiran halus. Ia melirik ke arah ibunya, Ratna, yang berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi penuh kemenangan yang tak bisa disembunyikan.

Ratna melangkah maju, tumit sepatunya berderit di lantai kayu, setiap langkahnya penuh otoritas. Bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang penuh racun. “Ini, Raka,” ucapnya dengan suara yang sengaja diperkeras, “kakakmu baru saja memergoki istrinya sendiri tidur dengan pria lain di kamar mereka!” Kata-kata itu meluncur seperti anak panah beracun, menusuk tepat ke hati Laras yang sudah berdarah-darah.

Raka menoleh ke Laras, matanya menyipit penuh kebencian yang membara. Ia melangkah mendekat, menunduk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Laras yang basah air mata. “Oh, jadi ini kelakuanmu, Laras?” hardiknya, suaranya menggema seperti petir di ruangan yang sunyi. “Tak cukup merayuku, sekarang kau berani tidur dengan sahabat kakakku? Dasar wanita tak tahu malu!” Ia meludah ke samping, seolah jijik hanya dengan berada di dekatnya.

Damar tersentak, tubuhnya menegang mendengar tuduhan itu. Ia menoleh tajam ke arah Raka, alisnya berkerut dalam kebingungan yang dalam. “Apa maksudmu, Raka? Apa yang kau bicarakan?” Suaranya penuh ketegangan, seperti tali yang hampir putus.

Raka menghela napas panjang, seolah menikmati momen itu. Ia meluruskan punggungnya, lalu menatap Damar dengan sorot mata yang penuh keyakinan. “Kak, sudah lama aku ingin bilang ini. Laras… dia selalu merayuku tiap kali kau tak ada di rumah. Datang ke kamarku dengan pakaian minim, memohon aku untuk… kau tahu lah.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara seperti kabut beracun. “Untung aku masih punya hati nurani. Aku tak mau khianati kakakku sendiri.”

“Itu bohong!” Laras bangkit dengan susah payah, tubuhnya gemetar hebat hingga ia hampir jatuh lagi. Matanya membelalak, penuh amarah dan kepedihan yang bercampur jadi satu. “Mas Damar, dia berbohong! Justru Rakalah yang selalu menggodaku, masuk ke kamarku saat kau pergi, memaksaku untuk—” Suaranya tercekat, air mata kembali mengalir membasahi wajahnya yang memerah. “Aku tak pernah mengatkan ini karena aku tahu kamu sangat menyayangi adikmu ini.!”

Damar mengangkat tangan, menghentikan Laras dengan gerakan yang tegas namun penuh kelelahan. “Cukup, Laras. Diam dulu.” Matanya beralih ke Raka, mencari kebenaran di balik sorot mata adiknya yang tampak begitu yakin. “Lanjutkan, Raka. Apa lagi yang kau tahu?”

Raka tersenyum kecil, senyum yang penuh kemenangan licik. “Kemarin, saat kau di luar kota, dia datang lagi ke kamarku. Pakaiannya… kau tak akan percaya, Kak. Dia bilang dia kesepian, bahwa kau tak cukup untuknya. Teentu saja aku tolak mentah-mentah. Aku tak akan jatuh ke dalam perangkapnya.” Ia melirik Laras dengan jijik, seolah ia adalah kotoran yang tak layak disentuh.

Laras menjerit, suaranya melengking penuh keputusasaan. “Kau pembohong, Raka! Kaulah yang datang ke kamarku, kaulah yang terus memaksaku!” Ia menatap Damar, memohon dengan seluruh jiwa yang tersisa. “Mas, percaya padaku… aku bersumpah demi anak kita, aku tak pernah—”

“Anak kita?” Damar memotong, suaranya dingin seperti es yang retak. “Jangan bawa dia ke dalam urusanini, Laras. Kau seharusnya memikirkan anak kita sebelum kau—” Ia tak melanjutkan, tapi sorot matanya penuh dengan luka yang tak terucapkan.

Ratna melangkah maju, suaranya menggelegar penuh otoritas. “Sudah cukup kau dengar alasan murahannya, Damar! Perempuan ini tak lebih dari sampah. Raka tak mungkin tertarik pada wanita miskin dan kampungan seperti dia!” Ia menatap Laras dari atas hingga bawah, senyuman menghina terukir di wajahnya. “Ceraikan saja dia sekarang. Usir dari rumah ini!”

Raka mengangguk setuju, menambahkan dengan nada mencemooh, “Iya, Kak. Biar dia tahu rasa. Sudah miskin, berani pula mengkhianatimu. Memalukan!”

Laras terduduk lagi, napasnya tersengal di antara isakan. Ia menatap Damar dengan mata penuh harapan yang mulai pudar. “Mas… jangan usir aku. Anak kita… siapa yang akan merawatnya jika aku pergi?” Suaranya melemah, hampir hilang ditelan keputusasaan.

Damar menatapnya lama, matanya penuh pergolakan batin. Lalu, ia menghela napas panjang dan berkata dengan nada yang terdengar akhir, “Kau seharusnya memikirkan itu sebelum semuanya terjadi, Laras.

Di sisi lain, Faris yang sedari tadi diam, merasa bersalah dan tak berani menatap langsung ke mata Damar. Sekilas, ia memandang Laras yang tampak begitu hancur. Hatinya terasa berat, tetapi kata-kata tak mampu ia keluarkan. Damar tiba-tiba menoleh ke arah Faris dengan sorot mata dingin dan penuh kecewa.

"Dan kau, Faris," suara Damar pecah di udara yang tegang. "Aku tidak pernah menyangka kamu bisa menghianatiku seperti ini. Selama ini aku menganggapmu sebagai keluarga, tapi ternyata kau menusukku dari belakang. Kenapa, Ris? Kenapa kamu tega?"

Faris terdiam sejenak, kemudian menunduk penuh penyesalan. "Maaf, Damar. Aku… khilaf. Aku benar-benar menyesal, dan aku janji akan meninggalkan Laras. Semua ini salahku, Damar"

Damar menggeleng pelan, menahan rasa sakit dan kecewa yang begitu dalam. "Sudah terlambat, Faris. Itu tidak ada gunanya lagi. Sekarang, tidak ada satu pun yang bisa mengubah keadaan." Damar menatap Faris penuh kecewa. "Aku benar-benar tidak menyangka… dua orang yang paling kupercayai, paling kusayangi, justru menikamku dari belakang seperti ini."

Laras hanya bisa menangis, air matanya terus mengalir tak terbendung. Ingin sekali ia berteriak, membela diri, dan menyatakan bahwa semua ini adalah kebohongan belaka, tapi ia tahu kata-katanya akan sia-sia. Tidak ada satu pun yang akan mempercayainya.

Damar menghela napas panjang, lalu berkata kepada Faris dengan nada tegas, "Sudah, Faris. Pergi saja kau dari sini. Pergi sebelum aku berubah pikiran."

Faris mengangguk pasrah, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa ia perbuat untuk memperbaiki keadaannya. Saat ia berbalik untuk pergi, ia menoleh sekilas ke arah Laras dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maafkan aku, Laras," ucapnya lirih, lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • I'm Sorry Laras   Hukuman Laras

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Meragukan Indira

    “Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Tes DNA

    Laras terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak saat pertanyaan polos Indira menggantung di udara. Cahaya lampu dapur yang redup memantulkan bayangan wajahnya di meja kayu tua, dan untuk sesaat, ia merasa dunia di sekitarnya menyusut menjadi ruang kecil yang penuh tekanan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos, tanpa menggores luka di hati kecil itu? Ia menarik napas dalam, mengumpulkan serpihan kekuatannya yang tersisa, lalu menatap Indira dengan senyum lembut yang ia paksa muncul.“Tes DNA itu…” ucapnya pelan, suaranya lembut seperti angin yang menyapu daun kering, “semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Ia menjaga nada suaranya tetap tenang, meski di dalam dadanya, badai sedang mengamuk.Indira mengerutkan dahi, matanya yang jernih memandang ibunya dengan kebingungan yang lugu. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”L

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-10-28
  • I'm Sorry Laras   Kekecewaan Damar

    Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperli

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-10-30
  • I'm Sorry Laras   Rencana Baru

    Damar akhirnya sampai di depan rumahnya, namun ia tak kunjung turun dari mobil. Mesin masih menyala pelan, dan tangannya tetap mencengkeram kemudi, seolah ia enggan melepaskan diri dari dunia kecil yang ia ciptakan di dalam kendaraan itu. Ratna, yang berdiri di samping pintu mobil, mengerutkan kening dengan rasa penasaran yang mulai menyelinap. “Loh, kenapa kamu nggak turun bareng Ibu, Damar? Memangnya kamu mau ke mana?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara keheranan dan sindiran halus.Damar menoleh perlahan, matanya redup seperti lampu yang kehabisan minyak. “Aku mau menenangkan diri dulu, Bu,” ucapnya lemah, suaranya hampir tenggelam dalam desau angin malam yang dingin. “Aku butuh waktu sendiri.”Ratna mengangguk kecil, meski matanya menyipit penuh perhitungan. “Baik, Ibu mengerti,” katanya, nada suaranya dibuat lembut namun penuh tekanan terselubung. “Tapi Ibu minta, jangan bertindak bodoh, ya. Cepat pulang kalau kamu sudah merasa baikan.”“Baik, Bu. Ibu tenang saja, aku nggak

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-13
  • I'm Sorry Laras   Rencana kejam

    Ratna mendengus kecil, ekspresinya sedikit kesal. “Bukan kita yang akan menghabisinya, Raka,” balasnya, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas. “Binatang buas di hutan yang akan menyelesaikan tugas kita. Kita cuma menaruhnya di sana—itu beda.”“Tapi itu sama saja, Bu!” Raka memotong, nadanya naik dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kalau kita yang membawanya ke sana, itu artinya kita yang bertanggung jawab!”Mendengar nada Raka yang penuh keraguan, Ratna memandangnya dengan tatapan tajam, alisnya berkerut penuh kejengkelan. “Kenapa? Kamu keberatan, Raka?” tanyanya, suaranya kini mengandung sedikit ancaman. “Atau takut? Ibu lakukan ini semua untukmu, supaya semua kekayaan Damar jadi milikmu. Apa kamu nggak ngerti?”Raka menggeleng cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan ibunya. “Bukan begitu, Bu,” ucapnya, suaranya melunak meski masih ada gurat ketakutan di matanya. “Aku cuma takut nanti semua aksi kita ketahuan orang lain. Aku nggak mau masuk penjara, Bu!”Ratna

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Laras

    Raka tersenyum licik, wajahnya mendekat hingga napasnya terasa hangat di kulit Laras. “Tidak , aku tidak akan lepasin kamu,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh nafsu. “Dari dulu aku pengin nyicipin bibirmu ini.”Laras panik, ketakutan membuncah di dadanya. Ia menjauhkan wajahnya sejauh mungkin, tangannya mendorong dada Raka dengan keras. “Jangan kurang ajar, Raka! Aku ini kakak iparmu!” teriaknya, suaranya bergetar oleh rasa takut dan marah.“Jangan khawatir, Laras,” balas Raka, senyumnya semakin lebar. “Aku yakin Kak Damar bakal ngijinin aku nyicipin bibirmu. Toh, kamu udah nyakitin dia—dia nggak akan peduli lagi.”“Cepat hentikan, Raka! Lepaskan aku!” Laras meronta lebih keras, kakinya mencoba menendang, tapi cengkeraman Raka terlalu kuat. “Kalau nggak, aku bakal teriak!”“Teriak aja sekencang-kencangnya, Laras,” Raka terkekeh, suaranya penuh keyakinan yang mengerikan. “Aku yakin nggak ada yang bakal dengar. Semua ART udah kusuruh ke belakang dan kularang masuk ke dalam. Rumah ini cu

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Menjalankan Rencana

    Damar berdiri di ujung ranjang, matanya memerah bagaikan bara yang menyala di tengah kegelapan. Napasnya berat, tersengal oleh campuran alkohol dan amarah yang membakar setiap inci tubuhnya. Ia menatap Laras dengan pandangan yang asing—bukan lagi pandangan penuh cinta yang pernah menghangatkan hati Laras, melainkan sorot penuh dendam yang dingin dan liar. Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal erat seolah menahan sesuatu yang siap meledak. Tanpa kata, ia melangkah mendekat, langkahnya berat dan penuh ancaman, membuat lantai kayu di bawahnya berderit pelan.Laras tersentak, tubuhnya secara insting mundur ke arah kepala ranjang, punggungnya menempel pada dinding dingin. Selimut yang ia genggam erat tergelincir dari tangannya yang gemetar, jatuh ke kasur dengan bunyi lembut yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. “Mas… kumohon, jangan seperti ini!” suaranya pecah, penuh ketakutan yang mentah. “Ini bukan Mas Damar yang kukenal! Mas Damar yang kutahu tidak akan memaksaku se

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-12-14

บทล่าสุด

  • I'm Sorry Laras   dhgdvdgv

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Ningsih

    Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m

  • I'm Sorry Laras   Penghinaan Ningsih

    Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark

  • I'm Sorry Laras   Mall

    Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika

  • I'm Sorry Laras   Rasa penasaran Doni

    “Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete

  • I'm Sorry Laras   Sebuah Rahasia

    Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s

  • I'm Sorry Laras   Ruang keluarga yang memanas

    Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa

  • I'm Sorry Laras   Ruang BK yang memanas

    Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status