Accueil / Romansa / I'm Sorry Laras / Kekecewaan Damar

Share

Kekecewaan Damar

Auteur: mangpurna
last update Dernière mise à jour: 2024-10-30 17:53:35

Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”

Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”

Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperlihatkan simpati yang tulus. Ia menatap Laras dengan pandangan lembut namun tegas, seperti seseorang yang terpaksa menyampaikan kabar buruk. “Maaf, Bu Laras,” katanya, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Semua prosedur yang kami lakukan sudah sesuai standar tertinggi di rumah sakit ini. Kami tidak mungkin menukar hasil tes DNA. Reputasi Rumah Sakit Kasih Bunda adalah sesuatu yang kami jaga dengan sangat serius.”

Ratna, yang berdiri di sudut ruangan, melangkah maju dengan senyum puas yang tak bisa disembunyikan. Matanya menyala penuh kemenangan, sorotnya tajam menusuk Laras seperti pisau yang diasah dengan dendam. “Dengar itu, Laras,” sambarnya, nada suaranya dingin dan penuh ejekan. “Jangan seenaknya menuduh orang lain! Sudah jelas-jelas anakmu itu bukan anak Damar. Mau menyangkal apa lagi sekarang?”

Laras menoleh ke Ratna, matanya basah oleh air mata yang mulai menggenang, namun ada api kecil yang masih menyala di dalamnya—api keputusasaan yang bercampur keyakinan. “Bu… saya bersumpah demi apa saja,” ucapnya, suaranya pecah namun penuh tekad, “Indira adalah anak kami. Saya tidak pernah—tidak pernah—berhubungan dengan laki-laki lain selain Mas Damar.”

“Alah, jangan banyak drama!” Ratna memotong dengan kasar, suaranya meninggi seperti cambuk yang mencabik udara. Matanya berkilat penuh kebencian yang tak lagi disembunyikan. “Buktinya, dua hari lalu kamu ketahuan bersama laki-laki lain! Jangan sok polos, Laras. Semua orang tahu kamu perempuan seperti apa—murahan dan tak tahu malu!”

Ruangan itu kini terasa seperti medan perang, udaranya tebal oleh ketegangan yang hampir bisa disentuh. Dokter Surya, yang menyaksikan pertukaran kata-kata itu, mengangkat tangan dengan gerakan halus namun tegas, mencoba meredakan situasi yang kian memanas. “Mohon maaf, Ibu Ratna,” ucapnya, nadanya sopan namun penuh wibawa, “jika ingin melanjutkan perdebatan ini, mungkin lebih baik dilakukan di luar. Tugas saya hanya menyampaikan hasil tes, bukan menjadi saksi konflik keluarga.”

Damar mengangguk pelan, wajahnya kaku seolah emosinya telah membeku. Ia menarik napas dalam, mencoba menjaga kendali atas dirinya yang mulai retak. “Maafkan kami, Dok,” ucapnya singkat, suaranya datar. “Terima kasih untuk penjelasannya.” Ia bangkit dari kursi, pundaknya membungkuk sedikit seolah membawa beban tak terlihat, lalu berjalan menuju pintu.

Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, tangan Laras mencengkeram lengannya dengan putus asa. Air matanya kini mengalir deras, membanjiri wajahnya yang pucat. “Mas, jangan pergi dulu…” pintanya, suaranya tersendat oleh isakan yang tak bisa ia tahan lagi. “Aku mohon, Mas… kita tes ulang sekali lagi. Aku yakin ini salah—aku tahu ada yang nggak beres!”

“Sudah cukup, Laras,” potong Damar tajam, suaranya dingin seperti es yang baru pecah dari gunung. Ia menarik tangannya dari genggaman Laras, gerakan itu penuh penolakan yang menusuk hati. “Semuanya sudah jelas. Nggak perlu tes ulang lagi. Aku nggak mau mempermalukan diri lebih jauh di sini.” Matanya tak lagi menatap Laras, melainkan lurus ke depan, penuh kekosongan yang mengerikan.

Ratna tersenyum sinis, langkahnya ringan saat ia mendekati Damar. “Dengar itu, Laras!” serunya, nada suaranya penuh kepuasan yang beracun. “Berhenti mempermalukan kami di depan Dokter Surya. Bukti sudah ada—kau tak bisa kabur dari kebenaran ini!”

Tanpa menoleh lagi, Damar melangkah keluar, diikuti Ratna yang berjalan dengan anggun penuh kemenangan. Pintu ruangan tertutup dengan bunyi pelan, meninggalkan Laras sendirian di kursinya. Isakannya kini pecah tak tertahankan, mengisi ruangan dengan suara kepedihan yang mentah. Ia tersungkur ke lantai, tangannya mencengkeram dada seolah ingin merobek rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Dokter Surya menatapnya dengan simpati yang dalam, namun tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk meringankan beban itu.

---

Di dalam mobil yang melaju perlahan menuju rumah, Damar memegang kemudi dengan tangan yang kaku, wajahnya penuh luka yang tak bisa disembunyikan. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan langit senja yang merona di luar jendela, namun tak ada kehangatan di dalamnya. Ratna duduk di sampingnya, meliriknya dengan tatapan penuh perhitungan. Setiap detik perjalanan ini adalah kesempatan emas baginya untuk menusuk lebih dalam, untuk memastikan Damar tak akan pernah kembali pada Laras.

“Bagus, Damar,” ucap Ratna, nada suaranya dibuat lembut namun penuh kepuasan yang terselubung. “Kamu mengambil langkah yang tepat dengan meninggalkan Laras sendirian di rumah sakit. Biar dia rasakan sendiri akibat perbuatannya.”

Damar tak menjawab, pandangannya lurus ke jalan yang membentang di depannya. Namun, tangannya mencengkeram kemudi lebih erat, dan suara kecil akhirnya pecah dari bibirnya, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. “Bu… kenapa Laras tega melakukan ini padaku?” Matanya berkilat oleh air mata yang ia tahan. “Apa kurangnya aku, Bu? Aku sudah memberikan segalanya untuknya… aku mencintainya dengan sepenuh hati. Tapi ternyata dia menghianatiku seperti ini.”

Ratna menepuk bahunya dengan gerakan pura-pura penuh kasih, bibirnya melengkung dalam senyum yang dibalut kepalsuan. “Dengar ya, Nak,” ucapnya, suaranya manis namun penuh manipulasi. “Kamu harus sabar. Ini semua mungkin ujian dari Tuhan. Coba kamu dengarkan Ibu dari dulu, kamu nggak akan hancur seperti sekarang. Ibu sudah bilang, tapi waktu itu kamu dibutakan oleh cinta.”

Damar tersenyum pahit, ujung bibirnya bergetar seolah menahan seribu penyesalan. “Maaf, Bu. Mungkin Ibu benar,” gumamnya, suaranya rendah dan penuh keputusasaan. “Aku terlalu bodoh… sampai nggak bisa lihat siapa dia sebenarnya.”

Ratna mengangguk, keyakinannya semakin kuat bahwa Damar akhirnya berada di bawah kendalinya. “Yang penting sekarang kamu sudah sadar,” ucapnya, nada suaranya naik sedikit, penuh dorongan. “Kamu tahu Laras bukan wanita baik-baik. Ceraikan saja dia, Damar. Usir dia dari hidupmu—begitu juga anaknya. Kamu nggak berutang apa-apa pada mereka.”

Damar menghela napas panjang, matanya menatap ke kejauhan seolah mencari jawaban di balik cakrawala yang memudar. Perlahan, ia menggelengkan kepala. “Tidak, Bu,” ucapnya, suaranya kini lebih dingin, lebih tegas. “Aku nggak akan menceraikan Laras, dan aku nggak akan mengusir Indira.”

Ratna mengerutkan alis, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kenapa, Damar?” tanyanya, nada suaranya naik, penuh kejutan dan kekesalan. “Apa kamu masih mencintai Laras?”

Damar menatap lurus ke depan, matanya membeku seperti danau di musim dingin. “Tidak, Bu,” jawabnya, suaranya datar meski ada kebohongan kecil yang ia sembunyikan—di sudut hatinya yang paling dalam, bara cinta untuk Laras masih menyala, meski redup. “Aku nggak mencintainya lagi. Tapi aku ingin menghukumnya. Dengan dia masih jadi istriku, dia nggak akan bisa menikah lagi atau keluar dari rumahku. Dia akan terjebak bersamaku. Aku akan buat dia merasakan penderitaan yang sama yang dia berikan padaku.”

Ratna mencoba menyembunyikan kekesalannya, meski bibirnya mengeras dan matanya menyipit. Rencana ini tak sesuai dengan keinginannya—ia ingin Laras lenyap sepenuhnya, bukan sekadar menderita di bawah atap yang sama. “Terus… bagaimana dengan Indira?” tanyanya, suaranya penuh racun yang ia samarkan dengan nada penasaran.

“Indira…” Damar menghela napas lagi, pandangannya melayang ke langit senja yang perlahan gelap. “Dia nggak bersalah, Bu. Dia cuma anak kecil. Bagaimana aku tega menyakitinya? Dia nggak minta dilahirkan dalam kekacauan ini. Aku nggak mau dia menderita… meski dia bukan darah dagingku.”

Ratna menggertakkan gigi, amarahnya hampir tak bisa disembunyikan lagi. “Kamu jangan bodoh, Damar!” sambarnya, suaranya meninggi dengan nada penuh tekanan. “Indira itu bukan anakmu! Dia anak dari hubungan kotor ibunya dengan pria lain. Jangan beri dia ruang di hatimu—itu sama saja membiarkan pengkhianatan Laras hidup di depan matamu!”

Damar terdiam, tenggelam dalam lautan perasaan yang berputar liar di dalam dadanya. “Aku tahu, Bu,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi… aku sudah terlanjur mencintainya.”

Ratna mencengkeram tangannya dengan erat, kuku-kukunya hampir menusuk kulit Damar. “Usir saja dia, Damar!” desisnya, suaranya dingin dan penuh urgensi. “Selesaikan masalahmu sekarang juga. Kamu nggak perlu menanggung anak dari pria lain. Kalau kamu biarkan dia tinggal, kamu akan terus menderita—setiap hari melihat bayangan pengkhianatan Laras di wajahnya!”

Damar memejamkan mata sejenak, seolah ingin menutup dunia dari semua kebisingan yang mengguncangnya. Napasnya bergetar saat ia membukanya lagi, tatapannya kosong namun penuh keteguhan. “Maaf, Bu,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. “Aku nggak bisa melakukannya.”

Ratna menatapnya dengan sorot mata yang tajam, penuh kebencian yang kini tak lagi ia sembunyikan. Ia melipat tangannya di dada, memalingkan wajah ke jendela dengan gerakan penuh kemarahan. “Terserah kamu, Damar,” ucapnya dingin, setiap kata terasa seperti kutukan. “Tapi ingat kata-kata Ibu ini… suatu hari nanti, kamu akan menyesal karena keputusanmu ini.”

Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam, hanya suara mesin dan angin malam yang menyelinap melalui celah jendela. Damar tenggelam dalam pikirannya, terjebak antara luka yang membakar hatinya dan cinta yang masih tersisa untuk Indira—dan, dalam diam, untuk Laras. Di sampingnya, Ratna duduk dengan wajah penuh dendam, merencanakan langkah berikutnya untuk memastikan kehancuran yang ia impikan benar-benar tercapai. Di luar, malam semakin gelap, menyelimuti mereka dalam bayangan yang tak kunjung usai.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Related chapter

  • I'm Sorry Laras   Rencana Baru

    Damar akhirnya sampai di depan rumahnya, namun ia tak kunjung turun dari mobil. Mesin masih menyala pelan, dan tangannya tetap mencengkeram kemudi, seolah ia enggan melepaskan diri dari dunia kecil yang ia ciptakan di dalam kendaraan itu. Ratna, yang berdiri di samping pintu mobil, mengerutkan kening dengan rasa penasaran yang mulai menyelinap. “Loh, kenapa kamu nggak turun bareng Ibu, Damar? Memangnya kamu mau ke mana?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara keheranan dan sindiran halus.Damar menoleh perlahan, matanya redup seperti lampu yang kehabisan minyak. “Aku mau menenangkan diri dulu, Bu,” ucapnya lemah, suaranya hampir tenggelam dalam desau angin malam yang dingin. “Aku butuh waktu sendiri.”Ratna mengangguk kecil, meski matanya menyipit penuh perhitungan. “Baik, Ibu mengerti,” katanya, nada suaranya dibuat lembut namun penuh tekanan terselubung. “Tapi Ibu minta, jangan bertindak bodoh, ya. Cepat pulang kalau kamu sudah merasa baikan.”“Baik, Bu. Ibu tenang saja, aku nggak

    Dernière mise à jour : 2024-12-13
  • I'm Sorry Laras   Rencana kejam

    Ratna mendengus kecil, ekspresinya sedikit kesal. “Bukan kita yang akan menghabisinya, Raka,” balasnya, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas. “Binatang buas di hutan yang akan menyelesaikan tugas kita. Kita cuma menaruhnya di sana—itu beda.”“Tapi itu sama saja, Bu!” Raka memotong, nadanya naik dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kalau kita yang membawanya ke sana, itu artinya kita yang bertanggung jawab!”Mendengar nada Raka yang penuh keraguan, Ratna memandangnya dengan tatapan tajam, alisnya berkerut penuh kejengkelan. “Kenapa? Kamu keberatan, Raka?” tanyanya, suaranya kini mengandung sedikit ancaman. “Atau takut? Ibu lakukan ini semua untukmu, supaya semua kekayaan Damar jadi milikmu. Apa kamu nggak ngerti?”Raka menggeleng cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan ibunya. “Bukan begitu, Bu,” ucapnya, suaranya melunak meski masih ada gurat ketakutan di matanya. “Aku cuma takut nanti semua aksi kita ketahuan orang lain. Aku nggak mau masuk penjara, Bu!”Ratna

    Dernière mise à jour : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Laras

    Raka tersenyum licik, wajahnya mendekat hingga napasnya terasa hangat di kulit Laras. “Tidak , aku tidak akan lepasin kamu,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh nafsu. “Dari dulu aku pengin nyicipin bibirmu ini.”Laras panik, ketakutan membuncah di dadanya. Ia menjauhkan wajahnya sejauh mungkin, tangannya mendorong dada Raka dengan keras. “Jangan kurang ajar, Raka! Aku ini kakak iparmu!” teriaknya, suaranya bergetar oleh rasa takut dan marah.“Jangan khawatir, Laras,” balas Raka, senyumnya semakin lebar. “Aku yakin Kak Damar bakal ngijinin aku nyicipin bibirmu. Toh, kamu udah nyakitin dia—dia nggak akan peduli lagi.”“Cepat hentikan, Raka! Lepaskan aku!” Laras meronta lebih keras, kakinya mencoba menendang, tapi cengkeraman Raka terlalu kuat. “Kalau nggak, aku bakal teriak!”“Teriak aja sekencang-kencangnya, Laras,” Raka terkekeh, suaranya penuh keyakinan yang mengerikan. “Aku yakin nggak ada yang bakal dengar. Semua ART udah kusuruh ke belakang dan kularang masuk ke dalam. Rumah ini cu

    Dernière mise à jour : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Menjalankan Rencana

    Damar berdiri di ujung ranjang, matanya memerah bagaikan bara yang menyala di tengah kegelapan. Napasnya berat, tersengal oleh campuran alkohol dan amarah yang membakar setiap inci tubuhnya. Ia menatap Laras dengan pandangan yang asing—bukan lagi pandangan penuh cinta yang pernah menghangatkan hati Laras, melainkan sorot penuh dendam yang dingin dan liar. Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal erat seolah menahan sesuatu yang siap meledak. Tanpa kata, ia melangkah mendekat, langkahnya berat dan penuh ancaman, membuat lantai kayu di bawahnya berderit pelan.Laras tersentak, tubuhnya secara insting mundur ke arah kepala ranjang, punggungnya menempel pada dinding dingin. Selimut yang ia genggam erat tergelincir dari tangannya yang gemetar, jatuh ke kasur dengan bunyi lembut yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. “Mas… kumohon, jangan seperti ini!” suaranya pecah, penuh ketakutan yang mentah. “Ini bukan Mas Damar yang kukenal! Mas Damar yang kutahu tidak akan memaksaku se

    Dernière mise à jour : 2024-12-14
  • I'm Sorry Laras   Penyelamatan Indira

    Raka mengangguk singkat, lalu bergegas menuju garasi, sementara Ratna berjalan menuju kamar Indira. Ia mendorong pintu kamar itu perlahan, derit kecil engsel pintu memecah keheningan. Di dalam, Indira duduk di lantai, tenggelam dalam dunianya sendiri, bermain dengan boneka kesayangannya. Rambutnya yang terurai sedikit berantakan, dan senyum polos menghias wajahnya. Saat mendengar langkah kaki, ia menoleh, matanya membulat penuh keheranan melihat neneknya berdiri di ambang pintu.“Indira sayang, ayo ikut sama Nenek,” ucap Ratna, suaranya dibuat lembut dan penuh kehangatan yang palsu, kontras dengan sikap ketus yang biasa ia tunjukkan.Indira mengerutkan dahi, kebingungan terpancar dari wajah kecilnya. “Ikut ke mana, Nek?” tanyanya, nadanya penuh rasa ingin tahu. “Tumben Nenek ngajak aku. Memang kita mau ke mana?”Ratna melangkah mendekat, senyumnya melebar dengan penuh perhitungan. “Kita mau menemui ibumu,” jawabnya, suaranya manis seperti madu yang menutupi racun. “Tadi dia telepon Nen

    Dernière mise à jour : 2024-12-15
  • I'm Sorry Laras   Jalan Terakhir

    Setelah perjalanan selama satu jam, mobil yang dikendarai Raka akhirnya berhenti di pinggiran sebuah hutan di luar kota. Hutan itu tampak kelam dan lebat, pepohonan menjulang tinggi dengan ranting-ranting yang saling bertautan, membentuk kanopi yang menghalangi cahaya matahari menembus ke dalam. Udara terasa lembap dan berat, penuh aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Suasana sunyi hanya dipecah oleh suara angin yang bersiul pelan di antara pohon-pohon tua.Raka mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke arah Ratna yang duduk di sampingnya. “Kebetulan Indira masih tidur,” bisik Ratna, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Cepat, angkat dia sebelum dia bangun. Kita harus bawa dia ke tengah hutan agar lebih mudah.”Raka mengangguk, ekspresinya dingin dan fokus. Ia segera keluar dari mobil dan membuka pintu belakang dengan hati-hati. Tubuh kecil Indira terbaring di kursi, napasnya teratur dalam tidur lelap, bonekanya terleletak di sampingnya. Dengan gerakan perlahan, Raka mengangkat

    Dernière mise à jour : 2024-12-15
  • I'm Sorry Laras   Sebuah permintaan

    Setelah memastikan Ratna dan Raka benar-benar menjauh dari tempat itu, Laras tak membuang waktu. Dengan langkah cepat namun hati-hati, ia berlari mendekati putrinya yang terikat di pohon. Indira, yang melihat sosok ibunya muncul dari balik semak, membelalakkan mata penuh kebahagiaan. Walaupun mulutnya tersumbat kain, sorot matanya berbinar lega, dan tubuh kecilnya yang gemetar mulai rileks seolah mengetahui keselamatan telah datang.Laras berlutut di samping Indira, tangannya gemetar saat ia buru-buru melepaskan kain yang menyumpal mulut anaknya. “Sabar, sayang,” bisiknya, suaranya penuh getaran emosi. Setelah kain itu terlepas, ia segera membuka ikatan tali kasar yang melilit tangan dan kaki Indira, jari-jarinya bekerja cepat meski penuh ketegangan. Begitu semua tali terlepas, Laras tak bisa menahan diri lagi—ia langsung memeluk Indira erat-erat, menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya seolah tak ingin melepaskannya selamanya.“Ibu… akhirnya Ibu datang,” isak Indira, suaranya ters

    Dernière mise à jour : 2024-12-16
  • I'm Sorry Laras   Selamat Tinggal

    Widuri terkejut, alisnya terangkat penuh keheranan. “Menitipkan Indira? Kenapa, Bu? Apa Ibu sedang ada masalah?” tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu yang tulus.Laras menatap Widuri sejenak, lalu menarik napas dalam untuk menguatkan hatinya. Akhirnya, ia menceritakan semuanya—dari awal mula ia difitnah sebagai pengkhianat oleh mertuanya, tes DNA yang memalsukan status Indira sebagai anak Damar, hingga kejadian mengerikan tadi pagi di mana Indira dibuang ke hutan. Tak ada yang ia tutupi, meski setiap kata terasa seperti membuka luka lama yang masih berdarah. Ia tak peduli jika itu aib keluarganya—yang ia inginkan hanyalah keselamatan Indira.“Ya Tuhan… kasihan sekali Indira,” gumam Widuri, matanya berkaca-kaca penuh simpati. “Jahat sekali orang-orang itu.”“Maka dari itu, Bu, saya ingin menitipkan Indira di sini sampai keadaan di rumah saya aman,” lanjut Laras, suaranya mulai pecah. “Kalau saya bersikeras bawa anak saya kembali ke rumah, saya yakin mertua saya akan melakukan h

    Dernière mise à jour : 2024-12-16

Latest chapter

  • I'm Sorry Laras   dhgdvdgv

    “Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima

  • I'm Sorry Laras   Pengakuan Laras

    Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.

  • I'm Sorry Laras   Hukuman untuk Ningsih

    Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m

  • I'm Sorry Laras   Penghinaan Ningsih

    Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark

  • I'm Sorry Laras   Mall

    Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika

  • I'm Sorry Laras   Rasa penasaran Doni

    “Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete

  • I'm Sorry Laras   Sebuah Rahasia

    Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s

  • I'm Sorry Laras   Ruang keluarga yang memanas

    Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa

  • I'm Sorry Laras   Ruang BK yang memanas

    Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status