Damar menatap hasil tes yang dipegang Dokter Surya, dan kata-kata di atas kertas itu menancap tajam di hatinya, seperti belati yang merobek-robek kepercayaannya. Perlahan, ia menggumam pelan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”
Laras, yang duduk di sampingnya, merasakan dunia di sekitarnya runtuh. Ia tak percaya. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan… Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya,” ucapnya dengan suara bergetar, penuh dengan keyakinan yang tersisa.
Dokter Surya menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan rasa simpatinya. “Maaf, Bu. Semua prosedur yang kami lakukan sudah sesuai dengan standar yang ada di Rumah sakit ini, dan kami tidak mungkin menukar hasil tes DNA suami ibu. Reputasi rumah sakit ini adalah hal yang sangat kami jaga.”
Ratna, dengan senyum puas, memandang Laras tajam. “Dengar itu, Laras. Jangan seenaknya menuduh! Sudah jelas anakmu itu bukan anaknya Damar. Kamu mau menyangkal apalagi?”
Laras menatap Ratna dengan sorot mata penuh keputusasaan. “Bu… saya bersumpah, Indira adalah anak kami. Saya tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain selain Damar,” ucapnya dengan suara putus asa, matanya mulai berlinang air mata.
“Alah, jangan banyak drama!” seru Ratna dengan nada dingin, matanya berkilat dengan rasa benci. “Buktinya, dua hari lalu kamu ketahuan bersama laki-laki lain! Jangan sok polos, Laras. Semua orang tahu kamu perempuan seperti apa.”
Suasana ruangan itu semakin tegang. Dokter Surya yang menyaksikan pertengkaran mereka tampak tidak nyaman, ia mencoba menghentikan percakapan yang mulai melewati batas. “Mohon maaf, Ibu Ratna,” ucap Dokter Surya dengan nada tegas namun sopan, “jika ingin melanjutkan perdebatan ini, mungkin bisa dilakukan di luar. Tugas saya hanya menyampaikan hasilnya.”
Damar mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya, meski tatapannya tak lagi tertuju pada Laras. “Maafkan kami, Dok. Terima kasih untuk penjelasannya,” katanya sambil berdiri, menyiapkan diri untuk pergi.
Namun, Laras mencengkeram tangan Damar, air matanya mengalir deras. “Mas, jangan pergi dulu… Aku mohon, Mas. Kita tes ulang sekali lagi. Kumohon, aku yakin ini ada yang salah…”
“Sudah cukup, Laras,” potong Damar, suaranya tajam dan dingin. “Semuanya sudah jelas. Tidak perlu tes ulang lagi. Aku tidak mau lagi mempermalukan diri di sini.”
Ratna tersenyum sinis, seakan tak puas menyaksikan kesakitan Laras. “Dengar itu, Laras! Berhenti mempermalukan kami di depan Dokter Surya.”
Tanpa melihat ke belakang, Damar beranjak pergi bersama Ratna, meninggalkan Laras yang masih terisak di kursinya. Ruang dokter itu terasa semakin sunyi, hanya menyisakan deru napas Laras yang putus-putus dan isakan kecil yang tak berdaya. Dokter Surya hanya bisa menatap Laras dengan tatapan simpati, namun Laras merasa tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Rasa kecewa Damar, kepercayaannya yang hilang, kini menggantung seperti beban berat yang tak mungkin ia lepaskan.
Dalam perjalan pulang,Ratna melirik ke arah Damar yang sedang memegang kemudi dengan wajah terluka yang tidak dapat disembunyikan. Setiap detik perjalanan ini, Ratna tahu, adalah kesempatan untuk menanamkan lebih banyak kebencian di hati anaknya.
"Bagus, Damar," ujarnya dengan nada puas yang ia usahakan terdengar seperti dukungan tulus. "Kamu mengambil langkah yang tepat dengan meninggalkan Laras sendirian di rumah sakit. Biar saja dia merasa bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu."
Damar hanya diam, tidak menyahut perkataan ibunya. Pandangannya lurus ke jalan, tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Bu… kenapa Laras tega melakukan ini padaku?” tanyanya, suaranya hampir berbisik, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Apa kurangnya diriku, Bu? Aku sudah memberikan segalanya untuknya... aku mencintainya dengan sepenuh hati... tapi ternyata dia menghianatiku seperti ini."
Ratna menepuk bahunya, bibirnya terangkat dalam senyum yang penuh kepalsuan. “Dengar ya, Nak. Kamu harus sabar. Ini semua mungkin adalah ujian dari Tuhan. Coba saja dulu kamu dengarkan ibu waktu itu, kamu tidak akan hancur seperti sekarang. Ibu sudah bilang, tapi waktu itu kamu dibutakan oleh cinta.”
Damar tersenyum pahit, menyadari betapa dalam luka yang kini ia rasakan. “Maaf, Bu. Mungkin Ibu benar. Aku terlalu bodoh... sampai tidak bisa melihat siapa dia sebenarnya.”
Ratna mengangguk, lebih yakin sekarang bahwa anaknya akan segera melepaskan Laras. “Yang penting sekarang kamu sudah sadar, Damar. Kamu tahu Laras bukan wanita baik-baik. Ceraikan saja dia, usir dia dari hidupmu. Begitu juga anaknya. Kamu tidak berutang apa pun pada mereka.”
Perlahan, Damar menggelengkan kepala. “Tidak, Bu. Aku tidak akan menceraikan Laras, dan aku tidak akan mengusir Indira.”
Ratna mengerutkan alisnya, tak percaya mendengar keputusan itu. “Kenapa, Damar? Apa kamu masih mencintai Laras?”
Damar menghela napas panjang, dan saat ia berbicara, suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Tidak, Bu. Aku tidak mencintainya lagi. Tapi, aku ingin menghukumnya. Dengan dia masih berstatus sebagai istriku dia tidk akan perah bisa menikah lagi atau keluar dari rumahku, dia akan terjebak bersamaku. Aku akan membuatnya merasakan penderitaan yang sama yang dia berikan padaku.”
Ratna mencoba menyembunyikan kekesalannya, meski hatinya bergejolak mendengar rencana itu. “Terus… bagaimana dengan Indira?” tanyanya, suaranya penuh racun yang tersamarkan.
"Indira…" Damar menghela napas, mengangkat pandangannya ke langit senja di luar jendela. "Dia tidak bersalah, Bu. Dia hanya anak kecil. Bagaimana aku tega menyakitinya? Dia tidak minta dilahirkan dalam kekacauan ini. Aku tidak ingin dia menderita… meski dia bukan darah dagingku.”
Ratna menggertakkan gigi, hampir tidak bisa menahan diri. “Kamu jangan bodoh, Damar! Indira itu bukan anakmu. Dia adalah anak dari hubungan kotor ibunya dengan pria lain. Jangan beri dia ruang di hatimu!”
Damar terdiam, tenggelam dalam perasaan yang terjalin rumit. “Aku tahu, Bu. Tapi... aku sudah terlanjur mencintainya. Dia memanggilku Ayah… dan setiap kali aku melihatnya, aku merasa dia bukan orang lain. Aku tidak tahu… kenapa aku sangat menyanginya, aku juga bingung bu…”
Ratna menggenggam tangannya dengan erat, suaranya dingin dan mendesak. “Usir saja dia, Damar. Selesai sudah masalahmu. Kamu tidak perlu menanggung anak dari pria lain. Jika kamu biarkan dia tinggal, kamu akan terus menderita, karena melihat sisa sisa penghianatan Laras di wajahnya.”
Damar memejamkan mata sejenak, seolah ingin menghalau semua pikiran yang menghantui dirinya. “Maaf, Bu. Aku tidak bisa melakukannya.”
Ratna menatapnya dengan pandangan yang tajam dan penuh kebencian. Ia melipat tangannya, memalingkan wajah. “Terserah kamu, Damar. Tapi ingat kata-kata Ibu ini… Suatu hari nanti, kamu akan menyesal karena kelemahanmu ini.”
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini."Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?"Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu."Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera."Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan.Ratna berdiri di sana,
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?”“Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.”“Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita bertanggung jawab.”Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?”Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.”Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tidak akan ad
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di
Laras memarkir motor tua di halaman Panti Asuhan Mutiara Kasih. Langit sore tampak sendu, seolah mengerti beban yang kini dipikulnya. Di depan mata, ia melihat anak-anak berlarian di halaman, tertawa lepas bermain petak umpet dan lompat tali. Pemandangan itu begitu sederhana, namun menusuk hati Laras—karena ia tahu, sebentar lagi, putrinya akan menjadi bagian dari mereka.Indira, yang masih menggenggam erat tangan ibunya, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Ibu, banyak sekali anak-anak di sini. Tempat apa ini?” tanyanya polos.Laras mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seperti terkoyak. “Ini namanya panti asuhan, Sayang,” jawabnya lembut.“Panti asuhan?” Indira memiringkan kepala. “Bu guru pernah bilang, kalau panti asuhan itu katanya tempat buat anak-anak yang nggak punya ayah dan ibu.” Ia terdiam, matanya menatap anak-anak yang bermain di kejauhan. Kemudian ia melanjutkan, “Kasihan mereka ya, Bu. Mereka nggak seberuntung Indira. Indira kan punya ayah dan ibu yang sayang
Indira mengernyit, bingung. "Tapi... ibu juga tinggal di sini, kan? Kita tinggal bersama di sini, ya, Bu?" tanyanya polos.Laras menggeleng perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Nak. Ibu tidak bisa tinggal di sini bersamamu. Ibu harus pulang... Kalau ibu tinggal di sini, siapa yang akan menjaga ayahmu? Kamu tidak mau kan, kalau nenek dan pamanmu menyakiti ayah?"Wajah Indira berubah serius. "Kalau begitu, aku ikut ibu saja. Aku juga mau melindungi ayah!" ucapnya penuh tekad.Laras memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Sayang, nenek dan pamanmu itu berbahaya. Mereka tidak akan segan-segan menyakitimu lagi. Apa kamu lupa kejadian tadi pagi? Kalau nanti nenekmu membuangmu ke sungai atau ke jurang, bagaimana? Ibu tidak akan sanggup kalau sesuatu terjadi padamu sayang.""Tapi aku tidak mau pisah sama ibu! Aku mau ikut ibu! Aku takut nanti ibu lupa sama aku!" tangis Indira pecah. Ia memeluk Laras erat, seolah tak ingi
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Laras akhirnya tiba di kota tempat tinggalnya. Hari sudah gelap, dan udara malam yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Ia menyerahkan motor yang dipinjamnya secara paksa, Walaupun ada drama sedkit namun pemilik motor mengerti setela Laras menceritakan alasannya. Dia lalu berjalan pelan menuju rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menahannya. Begitu tiba di depan pintu rumah, ia menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri. Ia tahu apa yang akan terjadi begitu pintu itu terbuka. Namun, demi keselamatan Indira, semua harus ia hadapi. Dengan tangan gemetar, ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk. , Di ruang tamu, Damar, suaminya, duduk dengan santai. Sebatang rokok tergantung di tangannya, asapnya berputar-putar di udara. Wajahnya terlihat keras, penuh kecurigaan. Begitu melihat Laras, ia menyipitkan mata dan menyandarkan tubuh ke kursi, menatap istrinya dengan dingin. "Darimana saja kamu?" t
Indira mengernyit, bingung. "Tapi... ibu juga tinggal di sini, kan? Kita tinggal bersama di sini, ya, Bu?" tanyanya polos.Laras menggeleng perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Nak. Ibu tidak bisa tinggal di sini bersamamu. Ibu harus pulang... Kalau ibu tinggal di sini, siapa yang akan menjaga ayahmu? Kamu tidak mau kan, kalau nenek dan pamanmu menyakiti ayah?"Wajah Indira berubah serius. "Kalau begitu, aku ikut ibu saja. Aku juga mau melindungi ayah!" ucapnya penuh tekad.Laras memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Sayang, nenek dan pamanmu itu berbahaya. Mereka tidak akan segan-segan menyakitimu lagi. Apa kamu lupa kejadian tadi pagi? Kalau nanti nenekmu membuangmu ke sungai atau ke jurang, bagaimana? Ibu tidak akan sanggup kalau sesuatu terjadi padamu sayang.""Tapi aku tidak mau pisah sama ibu! Aku mau ikut ibu! Aku takut nanti ibu lupa sama aku!" tangis Indira pecah. Ia memeluk Laras erat, seolah tak ingi
Laras memarkir motor tua di halaman Panti Asuhan Mutiara Kasih. Langit sore tampak sendu, seolah mengerti beban yang kini dipikulnya. Di depan mata, ia melihat anak-anak berlarian di halaman, tertawa lepas bermain petak umpet dan lompat tali. Pemandangan itu begitu sederhana, namun menusuk hati Laras—karena ia tahu, sebentar lagi, putrinya akan menjadi bagian dari mereka.Indira, yang masih menggenggam erat tangan ibunya, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Ibu, banyak sekali anak-anak di sini. Tempat apa ini?” tanyanya polos.Laras mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seperti terkoyak. “Ini namanya panti asuhan, Sayang,” jawabnya lembut.“Panti asuhan?” Indira memiringkan kepala. “Bu guru pernah bilang, kalau panti asuhan itu katanya tempat buat anak-anak yang nggak punya ayah dan ibu.” Ia terdiam, matanya menatap anak-anak yang bermain di kejauhan. Kemudian ia melanjutkan, “Kasihan mereka ya, Bu. Mereka nggak seberuntung Indira. Indira kan punya ayah dan ibu yang sayang
Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?”“Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.”“Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita bertanggung jawab.”Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?”Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.”Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tidak akan ad
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini."Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?"Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu."Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera."Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan.Ratna berdiri di sana,