“Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”
Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.
Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan bersikap manis lagi padamu. Selama kau tetap di sini, aku akan memastikan hidupmu penuh dengan rasa sesal.”
Senyum kecil Laras langsung sirna, digantikan oleh getaran ketakutan yang merambat di tulang punggungnya. Ada kilatan dingin di mata Damar yang belum pernah ia lihat sebelumnya—bukan lagi cinta, bukan lagi kelembutan, melainkan dendam yang membara perlahan. “Baik, Mas…” jawabnya dengan suara serak, hampir tenggelam dalam isakan yang ia tahan. “Kalau memang kamu menganggap aku pantas diperlakukan seperti ini, aku akan menerimanya. Aku hanya berharap… suatu saat kamu akan sadar bahwa aku tidak bersalah, bahwa aku telah difitnah…” Matanya melirik tajam ke arah Ratna dan Raka, yang berdiri tak jauh dengan ekspresi penuh kemenangan.
Ratna mendelik, sorot matanya penuh kebencian yang membakar. Dalam sekejap, ia melangkah mendekat, tumit sepatunya mencium lantai dengan bunyi keras yang menggetarkan. Tanpa peringatan, tangannya terangkat, dan tamparan mendarat telak di pipi Laras, memotong kata-katanya seperti pisau memotong tali. “Jangan kurang ajar, Laras!” bentaknya, suaranya menggema penuh amarah yang tak terkendali. “Berani-beraninya kau bicara seolah kami memfitnahmu! Mana buktinya? Jangan asal tuduh kalau tak punya bukti apa-apa di tanganmu!”
Laras memegang pipinya yang memanas, rasa perih menyebar hingga ke tulang. Namun, matanya tak goyah—ia menatap Ratna dengan keteguhan yang lahir dari kepedihan. “Ibu… mungkin sekarang aku belum bisa membuktikan apa pun pada Mas Damar,” ucapnya, suaranya gemetar namun penuh keyakinan, “tapi aku percaya, suatu saat kebenaran akan terungkap. Entah kapan, tapi aku yakin itu akan datang.”
Raka tertawa kecil, suara itu penuh ejekan yang menusuk. “Teruslah bermimpi, Laras—” Ucapannya terpotong oleh teriakan Damar yang tiba-tiba mengguncang ruangan.
“Cukup!” Suara Damar meledak seperti petir, menghentikan segalanya dalam sekejap. Ia memijat keningnya dengan jari-jari yang menegang, wajahnya penuh kelelahan yang teramat dalam. “Aku sudah muak dengan semua perdebatan ini!” Tanpa menunggu respons, ia berbalik menuju pintu, langkahnya cepat dan tegas, seolah ingin melarikan diri dari neraka yang ia ciptakan sendiri.
Laras bergerak cepat, tangannya terulur mencoba menahannya. “Mas Damar, kamu mau ke mana? Ini sudah malam… kamu baru pulang dari luar kota, istirahat saja di rumah…” Suaranya penuh keprihatinan, meski nada dingin Damar masih bergema di telinganya.
Damar berhenti sejenak, hanya meliriknya dengan sorot mata yang kosong. “Tidak usah pedulikan aku, Laras. Urus saja dirimu sendiri.” Tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah keluar, pintu tertutup dengan bunyi pelan yang terasa seperti palu menghantam hati Laras.
Ruang tamu kembali sunyi, hanya suara gemerisik angin malam yang menyelinap melalui celah jendela. Laras terduduk, tubuhnya lemas seolah tulang-tulangnya telah mencair. Ratna dan Raka saling berpandangan, senyum kemenangan mereka bersinar dalam kegelapan, penuh kepuasan yang tak tersembunyi. Ratna melangkah mendekat, menunduk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari Laras yang masih terpuruk di lantai. “Laras, Laras…” ucapnya dengan nada manis yang dipenuhi racun, “akhirnya Damar membencimu juga. Jadi sahaku selama ini tak sia-sia.”
Laras mendongak, matanya membara di balik air mata yang menggenang. “Aku tahu semua ini ulah Ibu,” semburnya, suaranya penuh kemarahan yang bercampur kepedihan. “Tapi kenapa, Bu? Kenapa Ibu tega memfitnahku begitu kejam?”
Ratna tersenyum licik, lalu tiba-tiba tangannya mencengkeram rambut Laras dengan kasar, menjambaknya hingga kepala Laras terangkat. Napasnya terasa panas di wajah Laras saat ia berbisik, “Karena aku sangat membencimu.” Kata-kata itu keluar seperti ular yang menyelinap, penuh dendam yang hidup. “Seharusnya kau tak pernah masuk ke keluarga ini. Kau sudah menghancurkan semua rencanaku.”
Laras mengerang, rasa sakit di kulit kepalanya menyengat, tapi ia tetap bertanya dengan suara lemah namun penuh keberanian, “Rencana? Rencana apa yang Ibu maksud?”
Ratna mengeratkan genggamannya, matanya menyipit penuh kebencian. “Itu bukan urusanmu. Yang jelas, aku tak akan puas sampai kau dan anak harammu itu pergi dari sini.” Suaranya dingin, setiap kata terasa seperti duri yang menusuk jantung.
Laras tersentak, kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada tamparan sebelumnya. “Ibu… bagaimana bisa Ibu bilang begitu? Indira adalah cucu Ibu sendiri. Dia darah daging Damar,” ucapnya terbata, air mata kembali mengalir.
Ratna tersenyum sinis, melepas rambut Laras dengan dorongan kasar hingga tubuhnya tersungkur lagi. “Anak itu bukan cucuku. Damar juga bukan darah dagingku. Anakku hanya satu—Raka. Damar hanyalah anak tiri yang aku benci setiap detik keberadaannya.”
Laras menggeleng, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “A… apa? Damar bukan anak kandung Ibu?” Matanya melebar, potongan-potongan teka-teki mulai bersatu. “Jadi itu alasan Ibu tak pernah menyayangi Indira?”
“Benar sekali,” sambar Ratna, suaranya penuh keangkuhan. “Aku takkan pernah menganggap anak dari perempuan kampungan sepertimu sebagai keluargaku. Kalian tak pantas ada di sini.” Ia mencondongkan tubuh, wajahnya begitu dekat hingga Laras bisa merasakan hawa kebencian yang memancar. “Aku belum puas, Laras. Aku ingin melihatmu merana. Aku ingin kau tahu rasanya hidup di neraka.”
Tiba-tiba, suara lembut memecah kegelapan itu. “Nenek… apa yang Nenek lakukan pada Ibu?” Indira berdiri di tangga, boneka kesayangannya terjepit erat di pelukannya. Matanya yang polos berkaca-kaca, suaranya bergetar antara ketakutan dan keberanian kecil. “Lepaskan Ibu! Jangan sakiti Ibu!”
Ratna mendengus, melepaskan Laras dengan gerakan kasar, lalu meluruskan tubuhnya. “Kau beruntung anak kampunganmu itu datang menyelamatkanmu,” ucapnya dengan nada penuh amarah. “Kalau tidak, sudah kugantung kau di luar!” Ia menoleh ke Raka, yang tersenyum puas di belakangnya. “Ayo, Raka. Biarkan dia meratapi neraka yang akan menantinya.” Mereka berdua melangkah pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah penuh kemenangan.
Indira berlari kecil ke arah Laras, memeluknya erat dengan tangan-tangan mungilnya. “Ibu… Ibu tidak apa-apa, kan? Kenapa Nenek bisa sejahat itu sama Ibu?” tanyanya, suaranya pecah oleh tangis yang ia tahan.
Laras menarik napas dalam, menyembunyikan luka di hatinya dengan senyuman tipis. “Ibu baik-baik saja, sayang,” ucapnya lembut, membelai rambut Indira dengan tangan yang masih gemetar. “Tadi Nenek cuma bercanda. Sudah, lupakan saja, ya? Ayo kita tidur lagi.” Ia menggenggam tangan putrinya, membawanya kembali ke kamar dengan langkah pelan, meski hatinya terasa hancur berkeping-keping.
Keesokan paginya, sinar mentari menyelinap malu-malu melalui jendela, namun tak mampu menghangatkan suasana rumah yang penuh ketegangan. Laras terbangun dengan hati yang berat, bayangan percakapan semalam dengan Damar dan Ratna masih menghantuinya. Damar belum pulang, dan kekosongan itu terasa seperti lubang yang menganga di dadanya. Meski begitu, ia menarik napas dalam, menguatkan diri demi Indira—cahaya kecil yang menjadi alasannya bertahan.
Saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh, Laras turun ke dapur, tangannya sibuk menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, namun tak ada kehangatan yang biasanya menyertai pagi-pagi mereka. Ia berharap Damar akan muncul di pintu, tersenyum seperti dulu, dan mereka bisa duduk bersama menikmati waktu sederhana itu. Setelah meja terisi piring-piring berisi makanan, ia memanggil Indira dengan suara yang ia usahakan ceria. “Indi, sayang, ayo sarapan!”
Indira turun dengan langkah kecil, matanya masih mengantuk namun tersenyum kecil saat melihat ibunya. Mereka duduk bersama, sendok dan garpu mulai bergerak, ketika suara langkah berat mendekat dari arah pintu. Laras menoleh, jantungnya berdegup kencang—apakah itu Damar? Namun, harapannya langsung sirna saat Ratna muncul di ambang pintu dapur, wajahnya masam dan sorot matanya penuh niat buruk.
Ratna berdiri tegak, tangannya terlipat di dada, menatap Laras dengan senyum tipis yang penuh makna. “Pagi yang indah, bukan?” ucapnya, nada suaranya manis namun mengandung ancaman yang terselip rapi. Laras menelan ludah, tangannya mencengkeram tepi meja, tahu bahwa pagi ini tak akan berjalan damai seperti yang ia harapkan. Di sampingnya, Indira menunduk, tangannya berhenti menggenggam sendok, merasakan ketegangan yang kini kembali menyelimuti mereka.
“Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan b
Laras terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak saat pertanyaan polos Indira menggantung di udara. Cahaya lampu dapur yang redup memantulkan bayangan wajahnya di meja kayu tua, dan untuk sesaat, ia merasa dunia di sekitarnya menyusut menjadi ruang kecil yang penuh tekanan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos, tanpa menggores luka di hati kecil itu? Ia menarik napas dalam, mengumpulkan serpihan kekuatannya yang tersisa, lalu menatap Indira dengan senyum lembut yang ia paksa muncul.“Tes DNA itu…” ucapnya pelan, suaranya lembut seperti angin yang menyapu daun kering, “semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.” Ia menjaga nada suaranya tetap tenang, meski di dalam dadanya, badai sedang mengamuk.Indira mengerutkan dahi, matanya yang jernih memandang ibunya dengan kebingungan yang lugu. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”L
Damar menatap hasil tes yang tergeletak di tangan Dokter Surya, deretan huruf dan angka di kertas itu seperti belati yang perlahan merobek-robek jantungnya. Setiap kata yang tercetak terasa hidup, menusuk jauh ke dalam kepercayaan yang selama ini ia junjung. Matanya terpaku, tak berkedip, seolah mencoba menemukan celah—sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanyalah kekeliruan. Perlahan, gumamannya pecah di antara keheningan ruangan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasa lantai di bawahnya runtuh. Dunia yang ia bangun dengan cinta dan air mata kini ambruk, meninggalkan puing-puing harapan yang tercerai-berai. Ia menoleh ke Damar, matanya membelalak penuh ketidakpercayaan. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan,” ucapnya, suaranya bergetar namun dipenuhi keyakinan terakhir yang ia genggam erat. “Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya—ini nggak mungkin benar!”Dokter Surya menggelengkan kepala, kerutan di dahinya memperli
Damar akhirnya sampai di depan rumahnya, namun ia tak kunjung turun dari mobil. Mesin masih menyala pelan, dan tangannya tetap mencengkeram kemudi, seolah ia enggan melepaskan diri dari dunia kecil yang ia ciptakan di dalam kendaraan itu. Ratna, yang berdiri di samping pintu mobil, mengerutkan kening dengan rasa penasaran yang mulai menyelinap. “Loh, kenapa kamu nggak turun bareng Ibu, Damar? Memangnya kamu mau ke mana?” tanyanya, nada suaranya bercampur antara keheranan dan sindiran halus.Damar menoleh perlahan, matanya redup seperti lampu yang kehabisan minyak. “Aku mau menenangkan diri dulu, Bu,” ucapnya lemah, suaranya hampir tenggelam dalam desau angin malam yang dingin. “Aku butuh waktu sendiri.”Ratna mengangguk kecil, meski matanya menyipit penuh perhitungan. “Baik, Ibu mengerti,” katanya, nada suaranya dibuat lembut namun penuh tekanan terselubung. “Tapi Ibu minta, jangan bertindak bodoh, ya. Cepat pulang kalau kamu sudah merasa baikan.”“Baik, Bu. Ibu tenang saja, aku nggak
Ratna mendengus kecil, ekspresinya sedikit kesal. “Bukan kita yang akan menghabisinya, Raka,” balasnya, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas. “Binatang buas di hutan yang akan menyelesaikan tugas kita. Kita cuma menaruhnya di sana—itu beda.”“Tapi itu sama saja, Bu!” Raka memotong, nadanya naik dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. “Kalau kita yang membawanya ke sana, itu artinya kita yang bertanggung jawab!”Mendengar nada Raka yang penuh keraguan, Ratna memandangnya dengan tatapan tajam, alisnya berkerut penuh kejengkelan. “Kenapa? Kamu keberatan, Raka?” tanyanya, suaranya kini mengandung sedikit ancaman. “Atau takut? Ibu lakukan ini semua untukmu, supaya semua kekayaan Damar jadi milikmu. Apa kamu nggak ngerti?”Raka menggeleng cepat, tangannya terangkat seolah menenangkan ibunya. “Bukan begitu, Bu,” ucapnya, suaranya melunak meski masih ada gurat ketakutan di matanya. “Aku cuma takut nanti semua aksi kita ketahuan orang lain. Aku nggak mau masuk penjara, Bu!”Ratna
Raka tersenyum licik, wajahnya mendekat hingga napasnya terasa hangat di kulit Laras. “Tidak , aku tidak akan lepasin kamu,” ucapnya, suaranya rendah dan penuh nafsu. “Dari dulu aku pengin nyicipin bibirmu ini.”Laras panik, ketakutan membuncah di dadanya. Ia menjauhkan wajahnya sejauh mungkin, tangannya mendorong dada Raka dengan keras. “Jangan kurang ajar, Raka! Aku ini kakak iparmu!” teriaknya, suaranya bergetar oleh rasa takut dan marah.“Jangan khawatir, Laras,” balas Raka, senyumnya semakin lebar. “Aku yakin Kak Damar bakal ngijinin aku nyicipin bibirmu. Toh, kamu udah nyakitin dia—dia nggak akan peduli lagi.”“Cepat hentikan, Raka! Lepaskan aku!” Laras meronta lebih keras, kakinya mencoba menendang, tapi cengkeraman Raka terlalu kuat. “Kalau nggak, aku bakal teriak!”“Teriak aja sekencang-kencangnya, Laras,” Raka terkekeh, suaranya penuh keyakinan yang mengerikan. “Aku yakin nggak ada yang bakal dengar. Semua ART udah kusuruh ke belakang dan kularang masuk ke dalam. Rumah ini cu
Damar berdiri di ujung ranjang, matanya memerah bagaikan bara yang menyala di tengah kegelapan. Napasnya berat, tersengal oleh campuran alkohol dan amarah yang membakar setiap inci tubuhnya. Ia menatap Laras dengan pandangan yang asing—bukan lagi pandangan penuh cinta yang pernah menghangatkan hati Laras, melainkan sorot penuh dendam yang dingin dan liar. Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal erat seolah menahan sesuatu yang siap meledak. Tanpa kata, ia melangkah mendekat, langkahnya berat dan penuh ancaman, membuat lantai kayu di bawahnya berderit pelan.Laras tersentak, tubuhnya secara insting mundur ke arah kepala ranjang, punggungnya menempel pada dinding dingin. Selimut yang ia genggam erat tergelincir dari tangannya yang gemetar, jatuh ke kasur dengan bunyi lembut yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. “Mas… kumohon, jangan seperti ini!” suaranya pecah, penuh ketakutan yang mentah. “Ini bukan Mas Damar yang kukenal! Mas Damar yang kutahu tidak akan memaksaku se
Raka mengangguk singkat, lalu bergegas menuju garasi, sementara Ratna berjalan menuju kamar Indira. Ia mendorong pintu kamar itu perlahan, derit kecil engsel pintu memecah keheningan. Di dalam, Indira duduk di lantai, tenggelam dalam dunianya sendiri, bermain dengan boneka kesayangannya. Rambutnya yang terurai sedikit berantakan, dan senyum polos menghias wajahnya. Saat mendengar langkah kaki, ia menoleh, matanya membulat penuh keheranan melihat neneknya berdiri di ambang pintu.“Indira sayang, ayo ikut sama Nenek,” ucap Ratna, suaranya dibuat lembut dan penuh kehangatan yang palsu, kontras dengan sikap ketus yang biasa ia tunjukkan.Indira mengerutkan dahi, kebingungan terpancar dari wajah kecilnya. “Ikut ke mana, Nek?” tanyanya, nadanya penuh rasa ingin tahu. “Tumben Nenek ngajak aku. Memang kita mau ke mana?”Ratna melangkah mendekat, senyumnya melebar dengan penuh perhitungan. “Kita mau menemui ibumu,” jawabnya, suaranya manis seperti madu yang menutupi racun. “Tadi dia telepon Nen
“Laras, aku juga masih sayang sama kamu,” lanjut Damar, suaranya nyaris seperti bisikan yang rapuh, setiap kata terucap dengan beban emosi yang dalam. “Aku salah… aku terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Aku pikir kamu… tapi sekarang aku tahu, aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Matanya berkaca-kaca, dan air mata pertama setelah bertahun-tahun terpendam akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang pucat. Damar menarik napas dalam dengan susah payah, berusaha mengumpulkan kekuatan di tubuhnya yang lemah. “Aku janji, Laras… aku akan perbaiki semuanya. Kita mulai lagi, ya?” pintanya, suaranya penuh harap yang terselip di antara kerapuhan, matanya memohon meski pandangannya mulai buram.Laras tersentak. Hatinya terguncang hebat, seperti ada badai yang mengoyak dadanya. Cinta lama yang tak pernah padam membakar jiwa nya, namun di saat yang sama, luka dan kenyataan menusuknya tajam. Ia tak bisa begitu saja menerima
Damar melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat namun penuh makna. Matanya terkunci pada wajah Laras, wajah yang dulu begitu ia kenal, yang kini tampak lebih tua namun tetap membawa kehangatan yang sama. Ia ingin sekali merengkuh Laras dalam pelukannya, merasakan kembali keintiman yang pernah mereka miliki. Tapi ia menahan diri,rasa sakit dari masa lalu masih membayang, meski rindu itu kini lebih kuat, mengikis dinding penghalang di hatinya. Laras bukan istrinya lagi, hanya kenangan yang hidup di depan matanya.Laras pun merasakan hal yang sama. Ia ingin berlari ke pelukan Damar, menangis di dadanya seperti dulu, tapi kenyataan bahwa mereka kini adalah dua dunia yang berbeda menghentikan langkahnya. Matanya memperhatikan Damar dengan penuh perasaan.
Mata Indra mengikuti arah yang ditunjuk adiknya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa yang ditunjuk adalah bosnya sendiri. Dengan cepat, ia berjalan mendekati Indira. “Bu Indira…” ucapnya gugup, suaranya sedikit bergetar. “Ibu sudah lama di sini?”“Cukup lama untuk dihina oleh adikmu itu,” jawab Indira dengan nada sinis, matanya tajam menatap Indra.Indra menoleh ke arah Ningsih dengan tatapan kesal. “Menghina? Maksud Ibu apa?” tanyanya, ketakutan mulai terasa dalam suaranya.“Tanyakan saja pada adikmu itu apa yang sudah dia katakan kepada saya dan keluarga saya,” ucap Indira, suaranya dingin namun tegas.Indra memanggil adiknya dengan nada keras. “Ningsih, cepat ke sini kamu! Apa yang sudah kamu lakukan pada bu Indira?” teriaknya.Ningsih mendekat dengan langkah ragu. “Ma… maaf, Kak. Aku tidak tahu kalau mereka itu pemilik butik ini,” ucapnya, suaranya pelan dan penuh ketakutan. “Soalnya yang sering datang ke sini kan Ibu Dewi. Dan Aku tidak pernah melihat dia,” tambahnya, m
Dika menoleh, sedikit canggung tapi tetap berusaha sopan. “Maaf, Mbak, saya cuma mau ambil baju ini biar bisa dicoba sama ibu saya,” ucapnya, tangannya menunjuk ke arah pakaian yang ia incar.“Tidak bisa!” potong Ningsih cepat, nadanya tegas dan tak ramah.Dika mengerutkan kening, tak mengerti. “Loh, kenapa tidak bisa, Mbak? Kami ke sini kan mau beli,” protesnya, suaranya mulai naik karena bingung dengan sikap pegawai itu.Ningsih mendengus, memandang mereka dengan ekspresi meremehkan. “Tidak bisa ya tidak bisa! Saya tidak mau baju ini nanti kotor. Ini harganya mahal, saya tidak mau disuruh ganti kalau kalian berdua membuatnya kotor,” ucapnya dengan nada sombong, tangannya terlipat di dada seolah menegaskan otoritasnya.Dika tak terima. “Apa maksud Mbak berkata seperti itu? Baju ini tidak akan kotor kalau cuma saya pegang. Nih, lihat, tangan kami bersih semua!” balasnya, sedikit kesal sambil menunjukkan telapak tangannya yang memang bersih, diikuti Laras yang juga mengangguk membenark
Dika mendekati kakaknya, berdiri di samping Indira dengan sikap mendukung. Ia menatap Indira dengan kekaguman, tangannya menyentuh lengan kakaknya pelan sebagai tanda solidaritas. Sementara itu, Pak Suwandi hanya bisa memandang kejadian tadi dengan kebingungan, menggosok pelipisnya seolah tak percaya situasi bisa menjadi begitu kacau.Indira menoleh ke Pak Suwandi, lalu berkata dengan nada sopan, “Mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Mengenai permasalahan adik saya, saya berjanji dia tidak akan mengulanginya lagi, kecuali ada orang yang terlalu keterlaluan dan memulainya lebih dulu. Saya berani pastikan bahwa Dika tidak akan pernah memulai pertengkaran tanpa sebab.”Pak Suwandi menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Sebenarnya saya tahu, Bu Indira. Banyak saksi yang mengatakan bahwa Doni-lah yang memulai. Tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Keluarga Doni memiliki pengaruh besar di yayasan sekolah Gemilang Nusantara. Yang saya khawatirkan, beasiswa yang diterima Dika
“Jadi kamu anaknya Laras, ya?!” bentak Sofia, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Dika, penuh amarah. “Berani-beraninya kamu nyakitin anakku! Dulu udah bikin malu Doni di ulang tahunnya, sekarang kamu hajar dia sampe gini?!” Suaranya menggema di ruangan, penuh luapan emosi yang tak terkendali.Dika terdiam, tak membalas. Bukan karena takut, tapi karena ia menahan diri. Menurut ajaran ibunya, ia tak boleh melawan orang yang lebih tua, apalagi dengan cara kasar. Ia hanya menunduk sedikit, menjaga sikap sopan meski di dalam hatinya ia merasa tak bersalah atas apa yang terjadi di kantin dan lapangan kemarin.Pak Suwandi mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Ibu Sofia, mohon tenang dulu. Kita tunggu wali Dika datang, lalu kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ucapnya dengan nada yang tetap baku, meski ada sedikit kete
Mendengar kata-kata itu, Sofia langsung bergerak cepat dan menutup mulut Raka dengan tangannya, matanya membelalak penuh kewaspadaan. “Sst, Mas Raka! Jangan bicara seperti itu di ruang tamu! Takutnya ada orang yang dengar. Kalau sampai ada yang tahu, bisa hancur kita semua. Aku gak mau rahasia ini terbongkar,” tegurnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang luas itu.Ratna juga segera menimpali dengan nada serius, “Benar, Raka. Kau tidak boleh bicara soal kamu adalah ayah biologis Doni di depan umum. Jangan sampai ada yang tahu, terutama Damar. Sudah bagus dia menganggap Doni adalah anak kandungnya.”Raka menghela napas, lalu tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Sofia, Ibu, kalian gak perlu khawatir. Toh, Damar gak ada di sini sekarang,” ucapnya santai, tangannya terbuka s
Di kediaman Doni yang mewah, suasana malam itu tiba-tiba berubah mencekam. Teriakan nyaring Sofia menggema di ruang tamu, mengagetkan semua penghuni rumah. “Doni! Apa yang terjadi padamu?!” jeritnya, suaranya penuh kepanikan bercampur amarah, memecah keheningan rumah bergaya modern itu.Ratna dan Raka, yang sedang berada di ruang keluarga, segera berlari mendekati Sofia. Mereka terpaku melihat pemandangan di depan mereka. Sofia berdiri dengan wajah pucat, tangannya menunjuk Doni yang tampak sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Anak kesayangan Sofia itu kini berdiri dengan wajah babak belur—mata kirinya memar keunguan, hidungnya berdarah kering, dan bibirnya pecah. Bajunya yang tadi pagi masih rapi kini penuh kotoran tanah, robek di beberapa bagian, membuatnya tampak seperti habis bertarung di lumpur.“Ada apa
Tiba-tiba, suara keras memecah suasana. “Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” Pak Siswanto, guru olahraga yang kebetulan lelet di dekat lapangan, berlari mendekat dengan wajah marah. Ia mendorong kerumunan murid yang menonton, lalu berdiri di tengah Dika dan Doni. “Kalian gila?! Ini sekolah, bukan tempat tarung jalanan!” bentaknya, suaranya menggema.Wisnu buru-buru maju, menarik Dika yang masih di atas Doni. “Dik, udah! Tenang!” serunya, berusaha menahan sahabatnya. Tenaga Dika begitu besar, Wisnu sempat kewalahan, pertama kali melihat Dika begitu hilang kendali. “Dik, stop! Guru dateng!” tambahnya, akhirnya berhasil menarik Dika mundur.Pak Siswanto menatap Doni yang terkapar, lalu Dika yang napasnya tersengal. “Kalian berdua, ke ruang BK sekarang!” perintahnya tegas, tangannya menunjuk ke gedung sek