Damar menatap Laras dengan tatapan datar dan dingin, seolah-olah hatinya sudah tak lagi bergetar oleh isak tangisnya. "Dan untukmu, Laras… Aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu," katanya, suaranya bergetar halus namun tajam.
Laras merasa hatinya remuk tapi sekaligus lega. Setidaknya ia tidak akan kehilangan suami dan rumah tangganya secepat ini. "Terima kasih, Mas… Terima kasih," ujarnya pelan, suaranya penuh harap.
Damar tertawa kecil, sinis. "Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku. Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu itu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan bersikap manis lagi padamu. Selama kau tetap berada di sini, aku akan memastikan hidupmu penuh rasa sesal."
Laras terkejut mendengar kata-katanya. Ada getaran takut yang muncul di hatinya, namun ia berusaha menepisnya. “Baik, Mas… Kalau memang kamu menganggap aku pantas diperlakukan seperti ini, aku akan menerimanya,” jawabnya pelan. “Aku hanya berharap, dengan ketulusanku ini, suatu saat kamu akan sadar bahwa aku tidak bersalah, bahwa aku telah difitnah…” ucapnya sambil melirik ke arah Ratna dan Raka yang berdiri tak jauh darinya.
Melihat Laras berani menatap tajam ke arahnya, Ratna mendelik tajam dan tanpa ragu melangkah mendekat. Dalam sekejap, tamparan keras mendarat di pipi Laras, membungkamnya. "Jangan kurang ajar kamu, Laras! Berani-beraninya bicara seolah kami memfitnahmu! Kalau kau punya bukti, mana buktinya? Jangan asal bicara!" seru Ratna penuh amarah.
Laras memegangi pipinya yang panas, namun ia tetap menatap Ratna dengan tatapan penuh keteguhan. “Ibu… Mungkin sekarang aku belum bisa membuktikan apa pun pada Mas Damar, tapi aku yakin suatu saat nanti kebenaran akan terungkap. Entah kapan, tapi aku percaya itu.”
Raka tertawa kecil mendengar perkataannya. "Teruslah bermimpi, Laras…" Namun ucapannya terpotong oleh teriakan Damar yang tiba-tiba.
“Sudah cukup! Aku sudah muak dengan semua perdebatan ini!” Suara Damar menggema di ruang tamu, membuat semuanya terdiam. Dengan wajah penuh kelelahan, ia memijat keningnya, lalu berbalik menuju pintu. "Lebih baik aku pergi saja."
Laras berusaha menahannya, “Mas Damar, kamu mau ke mana? Ini sudah malam… kamu baru pulang dari luar kota, lebih baik kamu istirahat di rumah saja…”
Damar hanya meliriknya dingin. “Tidak usah pedulikan aku, Laras. Urus saja dirimu sendiri.” Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Laras dalam kebingungan dan kesedihan yang dalam.
Laras hanya bisa menatap kepergian Damar dengan hati yang makin remuk, sementara Ratna dan Raka saling berpandangan, senyum kemenangan masih tergurat di wajah mereka. Di ruang tamu yang sunyi, Laras terduduk, tubuhnya lemas, namun hatinya meneguhkan satu harapan kecil, bahwa suatu saat, kebenaran akan berpihak padanya.
Ratna tersenyum licik, mendekati Laras yang masih terjatuh di lantai. "Laras, Laras… Akhirnya Damar membencimu juga. Usahaku selama ini tidak sia-sia," ujarnya puas.
Laras mendongak, menatap ibu mertuanya dengan sorot mata penuh kemarahan yang bercampur rasa sakit. "Aku tahu semua ini ulah Ibu. Tapi kenapa, Bu? Kenapa Ibu tega melakukan semua ini, memfitnahku begitu kejam?"
Tanpa peringatan, Ratna menjambak rambut Laras dengan kasar, wajahnya mendekat, napasnya terasa hangat di wajah Laras. "Karena aku sangat membencimu," bisiknya penuh kebencian. "Seharusnya kau tak pernah masuk ke keluarga ini! Kau sudah menghancurkan semua rencanaku."
Laras berusaha mengatasi rasa sakit di kulit kepalanya, menahan tangis. "Rencana? Rencana apa yang Ibu maksud?" tanyanya lemah namun berani.
Ratna mendengus dan mengeratkan cengkeramannya. "Itu bukan urusanmu. Yang jelas aku tidak akan puas sampai kau dan anak harammu itu pergi dari sini," bisiknya dengan dingin.
Laras terkejut, kata-kata Ratna menusuk hatinya. "Ibu… bagaimana bisa Ibu mengatakan hal sekejam itu? Indira adalah cucu Ibu sendiri. Dia darah daging Damar," ucap Laras terbata.
Ratna tersenyum sinis. "Anak itu bukan cucuku. Damar juga bukan darah dagingku. Anakku hanya satu, Raka. Damar hanyalah anak tiri yang aku benci setiap detik keberadaannya," jawab Ratna dengan tajam.
"A… Apa? Damar bukan anak kandung Ibu?” Laras menggeleng tak percaya, akhirnya memahami mengapa Ratna begitu dingin pada Indira. "Jadi itu alasan Ibu tak pernah menganggap Indira sebagai cucu?"
"Benar sekali. Aku takkan pernah menganggap anak dari seorang perempuan kampungan seperti dirimu sebagai keluargaku. Kalian tidak pantas berada di sini," kata Ratna, masih mencengkeram rambut Laras kuat-kuat.
"Aduh… sakit, Bu… tolong lepaskan…" Laras mengerang lirih, mencoba melonggarkan genggaman Ratna.
"Tidak. Aku belum puas, Laras. Aku ingin melihatmu merana. Aku ingin kau tahu rasanya hidup di neraka," bisik Ratna penuh kebencian.
Namun tiba-tiba suara lembut memecah kebisuan malam. “Nenek… apa yang nenek lakukan pada ibu?” Indira, putri Laras yang berusia tujuh tahun, turun dari lantai atas sambil memeluk boneka kesayangannya, matanya berkaca-kaca. "Lepaskan ibu! Jangan sakiti ibu!" pintanya, suaranya bergetar antara tangis dan keberanian.
Ratna mendengus, melepas rambut Laras dengan kasar hingga tubuh Laras tersungkur ke lantai. “Kau beruntung, anak kampunganmu itu datang menyelamatkanmu. Kalau tidak, sudah kugantung kau di luar!” ucapnya penuh amarah.
Ratna menoleh ke Raka yang tersenyum puas di belakangnya. “Ayo, Raka. Biarkan dia meratapi neraka yang menantinya.” Mereka berdua berjalan meninggalkan ruang tamu, tak sedikit pun menoleh ke belakang.
Indira segera berlari mendekati ibunya, memeluknya erat. “Ibu… Ibu tidak apa-apa, kan? Kenapa Nenek bisa sejahat itu sama Ibu?” tanyanya polos, suaranya pecah karena tangis.
Laras tersenyum lemah, menyembunyikan luka di hatinya agar putrinya tak merasakan beban yang sama. "Ibu tidak apa-apa, sayang. Tadi nenek hanya bercanda. Sudah, lupakan saja, ya? Ayo kita kembali tidur," ucapnya, membelai kepala Indira dengan lembut.
Indira mengangguk, masih mengusap matanya. Ia menggenggam tangan ibunya, dan mereka berdua berjalan perlahan menuju kamar. Laras tahu dirinya berada di ambang kehancuran, tapi untuk Indira, ia bertekad bertahan, bahkan di dalam bayang-bayang kebencian yang menyelimutinya.
Keesokan harinya, pagi yang penuh ketegangan menyelimuti rumah itu. Laras bangun dengan hati yang berat, teringat percakapan semalam dengan Damar dan ibu Ratna. Damar masih belum pulang, Meskipun hatinya sakit, Laras tahu bahwa ia harus menghadapi hari ini demi Indira, anak yang begitu ia cintai.
Saat jam menunjukkan pukul tujuh, Laras turun ke dapur, bersiap menyiapkan sarapan seperti biasa. Dia berharap Damar segera pulang agar bisa sarapan bersama seperti dulu, sebelum semua masalah ini muncul. Setelah semua makanan tersaji di meja, Laras memanggil Indira untuk makan bersama.
Namun saat mereka akan memulai sarapan, suara langkah ibu Ratna terdengar mendekat. Wajah masam ibu Ratna tampak menyiratkan niat yang tidak baik.
"Siapa yang mengizinkan kalian makan di meja makan ini?" Ibu Ratna berkata dengan nada penuh penghinaan. "Mulai hari ini, kalian berdua makan di belakang, bersama para pembantu. Dan untuk makanannya, kalian tunggu sisa dari kami."Laras menatap ibu mertuanya dengan sorot tegas. “Bu, kami juga punya hak untuk makan di meja makan ini. Bagaimanapun juga, kami masih bagian dari keluarga ini.”“Bagian dari keluarga?” Ratna tertawa sinis. “Setelah pengkhianatanmu terhadap Damar, jangan harap kami menganggap kalian keluarga. Kalian tidak lebih dari parasit di rumah ini!”Laras berusaha menahan amarah. “Mas Damar saja masih menganggapku istrinya, Bu. Jadi secara tidak langsung, kami masih berhak menikmati fasilitas di rumah ini, terutama Indira. Dia anak kandung mas Damar, Bu. Dia sangat berhak makan di sini!”Ratna mendengus. "Berani bicara soal hak padaku, Laras? Kamu itu cuma perempuan miskin yang beruntung ditampung Damar. Jadi jangan pernah menuntut hak di sini!" sergah Ratna tajam. “Ayo
Laras terdiam, mendapati dirinya harus menjelaskan sesuatu yang begitu rumit pada anaknya yang masih polos. Bagaimana caranya menjawab tanpa melukai hati Indira? Dia mengambil napas dalam, lalu berkata dengan suara lembut, “Tes DNA itu… semacam cara untuk memastikan hubungan antara satu orang dengan orang lainnya, sayang. Untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar keluarga.”Indira mengernyitkan dahi. “Berarti… buat bukti kalau aku benar anak Ayah, ya?”Laras mengangguk kecil, air matanya hampir jatuh lagi. “Iya, sayang… tapi, kamu jangan khawatir, ya. Kamu selalu akan jadi anak Ayah dan Ibu. Kami sayang sama kamu, itu yang paling penting.”Indira hanya tersenyum kecil, tampak tidak terlalu memahami sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat Laras menahan napasnya sekali lagi. Hari ini, untuk pertama kalinya, Laras merasa sangat takut kehilangan keluarga kecil yang sudah ia perjuangkan selama ini.Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya di Rumah Sakit Kasih Bunda. Ruang tunggu rumah saki
Damar menatap hasil tes yang dipegang Dokter Surya, dan kata-kata di atas kertas itu menancap tajam di hatinya, seperti belati yang merobek-robek kepercayaannya. Perlahan, ia menggumam pelan, hampir tak terdengar, “Jadi… benar? Indira… bukan anakku?”Laras, yang duduk di sampingnya, merasakan dunia di sekitarnya runtuh. Ia tak percaya. “Tidak, Mas… ini pasti ada kesalahan… Aku yakin ada yang menukar hasil tesnya,” ucapnya dengan suara bergetar, penuh dengan keyakinan yang tersisa.Dokter Surya menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan rasa simpatinya. “Maaf, Bu. Semua prosedur yang kami lakukan sudah sesuai dengan standar yang ada di Rumah sakit ini, dan kami tidak mungkin menukar hasil tes DNA suami ibu. Reputasi rumah sakit ini adalah hal yang sangat kami jaga.”Ratna, dengan senyum puas, memandang Laras tajam. “Dengar itu, Laras. Jangan seenaknya menuduh! Sudah jelas anakmu itu bukan anaknya Damar. Kamu mau menyangkal apalagi?”Laras menatap Ratna dengan sorot mata penuh keputusas
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini."Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?"Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu."Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera."Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan.Ratna berdiri di sana,
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?”“Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.”“Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita bertanggung jawab.”Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?”Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.”Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tidak akan ad
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Laras akhirnya tiba di kota tempat tinggalnya. Hari sudah gelap, dan udara malam yang dingin membuat tubuhnya menggigil. Ia menyerahkan motor yang dipinjamnya secara paksa, Walaupun ada drama sedkit namun pemilik motor mengerti setela Laras menceritakan alasannya. Dia lalu berjalan pelan menuju rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menahannya. Begitu tiba di depan pintu rumah, ia menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri. Ia tahu apa yang akan terjadi begitu pintu itu terbuka. Namun, demi keselamatan Indira, semua harus ia hadapi. Dengan tangan gemetar, ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk. , Di ruang tamu, Damar, suaminya, duduk dengan santai. Sebatang rokok tergantung di tangannya, asapnya berputar-putar di udara. Wajahnya terlihat keras, penuh kecurigaan. Begitu melihat Laras, ia menyipitkan mata dan menyandarkan tubuh ke kursi, menatap istrinya dengan dingin. "Darimana saja kamu?" t
Indira mengernyit, bingung. "Tapi... ibu juga tinggal di sini, kan? Kita tinggal bersama di sini, ya, Bu?" tanyanya polos.Laras menggeleng perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Nak. Ibu tidak bisa tinggal di sini bersamamu. Ibu harus pulang... Kalau ibu tinggal di sini, siapa yang akan menjaga ayahmu? Kamu tidak mau kan, kalau nenek dan pamanmu menyakiti ayah?"Wajah Indira berubah serius. "Kalau begitu, aku ikut ibu saja. Aku juga mau melindungi ayah!" ucapnya penuh tekad.Laras memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Sayang, nenek dan pamanmu itu berbahaya. Mereka tidak akan segan-segan menyakitimu lagi. Apa kamu lupa kejadian tadi pagi? Kalau nanti nenekmu membuangmu ke sungai atau ke jurang, bagaimana? Ibu tidak akan sanggup kalau sesuatu terjadi padamu sayang.""Tapi aku tidak mau pisah sama ibu! Aku mau ikut ibu! Aku takut nanti ibu lupa sama aku!" tangis Indira pecah. Ia memeluk Laras erat, seolah tak ingi
Laras memarkir motor tua di halaman Panti Asuhan Mutiara Kasih. Langit sore tampak sendu, seolah mengerti beban yang kini dipikulnya. Di depan mata, ia melihat anak-anak berlarian di halaman, tertawa lepas bermain petak umpet dan lompat tali. Pemandangan itu begitu sederhana, namun menusuk hati Laras—karena ia tahu, sebentar lagi, putrinya akan menjadi bagian dari mereka.Indira, yang masih menggenggam erat tangan ibunya, memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu. “Ibu, banyak sekali anak-anak di sini. Tempat apa ini?” tanyanya polos.Laras mencoba tersenyum, meski hatinya terasa seperti terkoyak. “Ini namanya panti asuhan, Sayang,” jawabnya lembut.“Panti asuhan?” Indira memiringkan kepala. “Bu guru pernah bilang, kalau panti asuhan itu katanya tempat buat anak-anak yang nggak punya ayah dan ibu.” Ia terdiam, matanya menatap anak-anak yang bermain di kejauhan. Kemudian ia melanjutkan, “Kasihan mereka ya, Bu. Mereka nggak seberuntung Indira. Indira kan punya ayah dan ibu yang sayang
Raka langsung menoleh panik ke Ratna. "Bu, bagaimana ini? Indira bangun!" bisiknya cemas.Ratna mendengus frustrasi. "Biar saja. Kita tetap tinggalkan dia di sini. Tidak usah pedulikan dia."Mereka mulai berbalik hendak pergi, tapi Indira yang mulai sadar sepenuhnya melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia terbelalak, mendapati dirinya berada di tengah hutan. Kepanikan mulai muncul di wajah kecilnya."Nek? Om Raka? Kalian mau ke mana? Kenapa kalian meninggalkan Indira sendirian di sini? Di mana Ibu?" tanyanya dengan suara bergetar.Ratna berhenti sejenak, berbalik, dan menatap Indira dengan dingin. "Ibumu sudah mati," ujarnya tajam. "Kalau kamu ingin bertemu dia, cari saja sendiri. Mungkin nanti tubuhmu akan ditemukan setelah dimakan harimau di sini."Mata kecil Indira melebar. Air mata langsung membanjiri wajahnya. "Kenapa Nenek bilang begitu? Aku mau pulang! Aku mau ketemu Ayah dan Ibu!" rengeknya, mulai melangkah mendekati Ratna."Berhenti di
Laras terus berlari, napasnya memburu seperti tergilas oleh rasa panik yang mencekik. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada jejak ban mobil yang membawa putri kecilnya, Indira. Namun, tubuhnya yang lemah mulai memprotes. Lututnya terasa bergetar, dan langkahnya melambat hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah warung kecil di tepi jalan.Matanya menyapu sekitar, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantunya mengejar mobil itu. Saat itulah ia melihatnya: sebuah motor tua yang terparkir tak jauh dari warung, dengan kunci yang masih menggantung di kontak dan helm lusuh tergantung di spion.Tanpa berpikir panjang, Laras langsung menghampiri motor itu. Ini satu-satunya caraku, demi Indira, pikirnya, hatinya berdebar antara ketakutan dan tekad.Ia naik ke motor itu, mengenakan helm seadanya, dan langsung menyalakan mesin. Saat motor mulai bergerak, seorang lelaki muda keluar dari warung, membawa s
Damar mulai kesetanan. Tangannya yang besar dan kuat merobek kancing-kancing pakaian Laras satu per satu tanpa ampun. Laras meronta, tangannya gemetar mencoba menghentikan Damar, tetapi sia-sia.“Mas, kumohon! Jangan seperti ini,” suara Laras pecah oleh isakan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang pucat ketakutan. “Ini bukan Mas Damar yang aku kenal! Mas Damar yang aku tahu tidak akan memaksaku seperti ini...”Namun, tatapan Damar yang gelap dan penuh dendam tidak melunak sedikit pun. Dia tertawa dingin, sebuah tawa yang tidak pernah Laras dengar sebelumnya. “Kau yang mengubahku jadi seperti ini, Laras,” katanya, suaranya berat dan menusuk. “Kau yang sudah menghancurkan semua kepercayaanku. Sekarang, rasakan saja akibatnya!”“Mas, aku tidak bersalah!” Laras berteriak, hampir kehilangan suara karena tangis. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia tetap mencoba bertahan. Dia menggenggam sisa-sisa pakaiannya yang sudah setengah terbuka, berusaha menutupi dirinya. “Kumohon, Mas... Aku
“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!”Damar berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Laras terkejut, matanya melebar melihat trik kotor Raka. “Damar, ini tidak seperti yang kau pikirkan!” serunya, suaranya bergetar.Namun, Damar sudah terlanjur marah. Matanya menatap Laras dengan pandangan penuh kebencian.“Laras…” ucap Damar dingin. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di belakangku?”Laras menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. “Mas Damar, dengarkan aku! Aku tidak melakukan apa-apa! Ini semua adalah jebakan Raka!”Sebelum Laras bisa melanjutkan, Raka berpura-pura bangkit dengan wajah penuh kepura-puraan. “Mas… aku tidak tahu kenapa Mbak Laras seperti ini. Dia tiba-tiba saja memelukku…”“BOHONG!” Laras berteriak, suaranya pecah. “Kau yang menyerangku, Raka!”“Cukup!” bentak Damar, suaranya membuat Laras terdiam. “Aku tidak butuh penjelasan mu lagi. Kau sudah membuatku muak, Laras.”Air mata Laras jatuh semakin deras. Ia melihat Damar yang
Raka menatap ibunya, syok. “Jadi maksud ibu… kita akan membunuhnya?”“Bukan kita yang membunuhnya,” jawab Ratna dingin, bibirnya melengkung tipis. “Binatang di hutan itu yang akan melakukannya. Tugas kita hanya memastikan dia sampai di sana.”“Ibu, itu sama saja!” balas Raka, suaranya meninggi meski dia berusaha menahannya. “Kalau kita yang menaruhnya di sana, berarti kita bertanggung jawab.”Ratna mendengus, jelas kesal dengan reaksi anaknya. Ia mendekatkan wajahnya ke Raka, sorot matanya tajam dan menusuk. “Kenapa? Apa kamu takut, Raka? Atau keberatan? Ingat, ibu melakukan ini semua untukmu! Semua kekayaan Damar itu harus jadi milikmu. Atau kamu ingin terus jadi bayang-bayang kakakmu itu?”Raka menunduk, suaranya melemah. “Bukan itu, Bu… Hanya saja aku takut aksi kita diketahui orang lain. Karena aku tidak mau berakhir di penjara.”Ratna menghela napas panjang, berusaha menahan amarah. Suaranya melunak, namun tetap tegas. “Kita lakukan semuanya dengan cara halus, Raka. Tidak akan ad
Damar akhirnya sampai di rumahnya. Mesin mobil masih menyala, tapi tangannya tak bergerak membuka pintu. Pandangannya kosong, tertuju pada lingkaran kemudi yang terasa seperti beban di tangannya. Di luar, bayangan rumah tampak megah, namun dingin—seperti hatinya saat ini."Lo, kenapa kamu tidak turun, Damar?" Suara lembut ibunya, Ratna, memecah keheningan dari kursi penumpang. Tatapannya penuh perhatian, tapi ada sesuatu yang dingin di balik sorot matanya. "Memangnya kamu mau ke mana?"Damar mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru mesin. "Aku mau menenangkan diriku, Bu."Ratna mengangguk, lalu menatapnya dengan senyum tipis. "Baiklah. Ibu mengerti. Tapi, jangan bertindak bodoh, Damar. Kalau kamu sudah merasa baikan, pulanglah segera."Damar mencoba tersenyum, meski lesu. "Baik, Bu. Ibu tenang saja. Aku tidak akan lama." Dengan satu sentakan pada pedal gas, ia pergi meninggalkan halaman rumah, menyisakan debu dan bunyi mesin yang memudar di kejauhan.Ratna berdiri di sana,