Selamat! Membaca 🤗
Kemana Mas Fandi? Tiba-tiba hatiku cemas, entah apa yang membuatku cemas yang jelas saat ini aku ingin tau dimana Mas Fandi. Aku turun dari ranjang menuju kamar mandi, aku berdiri lama di sana menajamkan pendengarannya ku untuk memastikan adakah Mas Fandi di dalam. Namun setelah aku benar-benar memastikan, aku tidak mendengar suara apapun, jika Mas Fandi di kamar mandi paling tidak aku mendengar suara gemericik air kan. Tok! Tok! "Mas, Mas Fandi!"panggilku, guna memastikan kalau-kalau Mas Fandi memang ada di dalam. Bukan aku tidak bisa langsung masuk kedalam, tapi Mas Fandi tidak suka jika ada orang lain ikut masuk saat ia berada di tempat seperti itu. Termasuk diriku, Istrinya sendiri. Tidak ada sahut apapun didalam, membuat hatiku berani untuk membuka pintu. Ploong! Kosong! Tidak ada siapapun di bilik mandi itu, lalu kemana Mas Fandi? Tidak ingin mati karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar kamar. Lampu ruang keluarga sudah padam tidak mungkin Mas Fandi ada di sana. Aku berjalan menuju dapur, yang lampunya tidak pernah padam namun Mas Fandi pun tidak ada di tempat itu. Di saat yang bersamaan, aku mendengar suara langkah kaki, dan itu dari arah ruang tamu, karena suasana malam yang sunyi, telingaku mampu mendengar suara kecil sekalipun, langkah kaki yang terdengar mengendap-endap semakin terdengar jelas di telingaku. "Mas!"Panggilku, saat mendapati Mas Fandi sedang berjalan dengan hati-hati. Mas Fandi terlonjak kaget."Astaga! Anaya, apa yang kamu lakukan disini? Mengejutkanku saja." Aku berjalan mendekati Mas Fandi, aku tidak perduli dengan ia yang mempertanyakan keberadaan ku di sana, karena sekarang otakku di penuhi rasa ingin tahu. "Kamu dari mana, Mas?" "Aku tidak bisa tidur, aku tidak tau harus melakukan apa, hingga aku memutuskan untuk bermain Game, aku tidak mau mengganggumu yang sedang tertidur. Jadi aku memutuskan untuk bermain Game di ruang tamu."Ucap Mas Fandi sambil senyum, tapi senyum yang kaku. Aku melirik ke arah ruang tamu yang nampak gelap, dan di sana kamar Mama berada. "Kamu tidak menyalakan lampunya? Jadi kamu duduk di sana dengan keadaan ruangan yang gelap?"tanyaku, dan sontak membuat Mas Fandi terlihat gugup. "Eeem, aku kan sedang bermain Game, jadi tidak perlu untuk menyalakan lampu." Meskipun terdengar tidak masuk akal, karena yang aku tau, Mas Fandi, sangat tidak suka tempat gelap namun aku masih berfikir positif. Tapi lagi-lagi aku dibuat heran. "Mas, di mana bajumu?"tanyaku yang baru menyadari jika Mas Fandi hanya mengenakan kaos singlet putih. Padahal aku yakin sebelum tidur Mas Fandi mengunakan kaos polos berwarna abu-abu. "Bajuku tersiram air saat minum, jadi aku membukanya, sudahlah. Ini sudah malam jika kita bicara di sini akan menggangu yang lain sedang tidur."Ucap Mas Fandi yang langsung mengalihkan pikiran dan fokus ku, hingga aku mengiyakan apa yang ia katakan. Seperti biasa, Mas Fandi menggandeng tanganku untuk masuk kedalam kamar kami. *** Ya, itulah kejadian semalam. Mas Fandi tidak mengatakan bahwa ia memperbaiki sepeda Fatia. Lalu siapa yang berbohong di sini, Mas Fandi, atau Mama? Dan kenapa kaos Mas Fandi ada pada Mama? Tiba-tiba isi kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal, yang entah pada siapa aku mendapatkan jawabannya. "Anaya sayang!"tiba-tiba Mas Fandi memanggilku dari belakang. Aku yang sedang melamun tentu saja terkejut, tapi dengan cepat aku menyahuti panggilannya,"Iya Mas." Mas Fandi berjalan ke arahku, dan ia menangkup kedua pipiku dengan tangannya. "Ada apa ini? Kenapa wajahmu terlihat pucat seperti ini, apa kamu sakit?"tanya Mas Fandi dengan khawatir sambil meneliti wajahku. "Pucat! Tidak, aku tidak apa-apa, Mas. Aku baik-baik saja,"jawabku bingung, pikiran dan otakku masih belum stabil setelah mengingat kejadian semalam dan mendapati fakta pagi ini. "Benarkah?"Mas Fandi, memastikan. "Iya, Mas. Aku baik-baik saja kamu tidak perlu khawatir." "Yasudah, kalau begitu ayo kita sarapan, aku sudah sangat lapar."Ajak Mas Fandi, dan dia menuntunku menuju meja makan. Hari ini, hari Minggu dan Mas Fandi libur, jadi ia bisa santai dan sarapan dengan nyaman tanpa dikejar-kejar waktu. Seperti biasa, formasi sarapan harus seperti yang sudah Mama terapkan sebelumnya, aku duduk disebelah Mas Fandi dan Mama duduk berhadapan dengan Mas Fandi, dan kursi lainnya di isi keluarga Mbak Wina, dengan Fatia yang duduk di sebelah kiriku. Suasana hening pasti tercipta saat kami sedang berada di meja ini. Kami akan fokus dengan makanan yang ada di piring masing-masing, namun entah kenapa tiba-tiba wajahku ingin di angkat dan melihat Mama. Aku langsung tertunduk kembali menatap piringku, saat aku melihat Mama tidak fokus dengan makanannya, ia malah sedang senyum-senyum sambil menatap Mas Fandi yang sedang makan. Bersambung.. Terima kasih 🙏Selamat Membaca🤗 Aku yakin dengan apa yang aku lihat tadi, jika Mama sedang memandangi Mas Fandi, sambil tersenyum malu. Ya, senyum malu-malu, bukan senyum senang karena anaknya tengah sarapan dengan lahap, layak Orang Tua pada umumnya ketika melihat sang anak tengah bernafsu makan. Aku melihat senyum berbeda di kedua sudut bibir Mama, begitu juga dengan matanya yang memancarkan kekaguman. Dengan jari-jemari yang mencengkram kuat sendok yang ada di tanganku, aku kembali memberanikan diri untuk melihat Mama. Benar saja, Mama masih memandangi Mas Fandi dengan mimik wajah seperti sebelumnya. Astagfirullah, ada apa ini? kenapa tiba-tiba hatiku merasa cemas dan ketakutan seperti ini, pikiran buruk tiba-tiba mengganggu kepalaku, tidak! aku tidak boleh berpikir macam-macam, aku yakin dan sangat yakin jika semuanya akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja, tidak perlu ada yang di khawatirkan. ''Tante Naya, kenapa tidak di makan sarapannya?''tanya Fatia, yang langsung membuat
Selamat membaca 🤗 🍁🍁 Dadaku semakin berdebar tak karuan, aku benar-benar takut . ** "Haha...Mama bisa saja.'' ''Kenapa? apa kamu tidak percaya pada, mama?'' ''Aku tidak bilang seperti itukan.'' ''Iya, kamu memang tidak bilang seperti itu, tapi raut wajahmu menunjukan jika kamu tidak percaya dengan apa yang mama ceritakan tadi.'' ''Haha.. cukup Ma, sudah cukup. Geli, jangan menggelitik ku terus-terusan seperti ini, haha." DEG! Langkahku yang gemetar tiba-tiba terhenti saat telinga ini menangkap dengan sangat jelas suara-suara yang berasal dari ruang keluarga, suara Mas Fandi dan Mama. Mereka sedang bercanda! Tapi, sejak kapan Mas Fandi dan Mama bercanda seperti ini? selama hampir dua bulan aku tinggal di sini, tidak pernah melihat atau mendengar mereka bercanda. Lebih-lebih lagi Mama, beliau tipe Orang Tua yang sangat serius, bahkan dengan Fatia dan adiknya saja Mama tidak pernah mau bercanda! Ini Mas Fandi. Belum hilang rasa heran yang meliputi hati, aku kembal
Bab 8 Selamat membaca 🤗 🔥🔥🔥 ''Naya!'' Astaga, aku sampai terlonjak saat Mama tiba-tiba ada di belakangku dan memanggilku dengan sedikit menyentak. "Mama,"sahutku, kaku. ''Kenapa kamu malah bengong di sini, apa pekerjaanmu sudah selesai?''tanya Mama dengan mimik wajah masam, sepertinya beliau masih marah padaku. ''Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku Ma, Mama mau apa? apa ada sesuatu yang Mama butuhkan biar aku saja yang mengambilnya,''ucap ku masih dengan lembut, berusaha untuk tenang. ''Mama, ingin membuat kopi untuk Fandi,''sahutnya masih dengan ketus, Aku hanya mengangguk dan tidak lagi berani bertanya karena takut jika Mama marah karena sepertinya beliau enggan bicara lebih banyak denganku. ''Anaya,''panggil Mama setelah beberapa menit kami saling diam. ''Iya, ma,''sahutku dengan cepat. ''Jika mama, sedang menonton Tv bersama Fandi, sebaiknya kamu jangan ikut nimbrung terkecuali ada Wina dan suaminya.'' Aku sangat terkejut plus heran mendengar ini. ''Kamu janga
Selamat membaca 🤗 💥💥💥 Senyum mama semakin memancar saat Mas Fandi, keluar dan kini berdiri di sebelahnya. ''Fandi, kamu harus jadi karyawan teladan dan rajin. Jadi jangan sampai terlambat datang di tempat kerjamu,''ucap mama sambil bergelayut di lengan Mas Fandi. ''Iya ma, aku minta maaf, tadi Naya sudah mengingatkan aku,”sahut Mas Fandi. Saat Mas Fandi menyebut namaku, raut wajah mama langsung berubah masam. ''Yasudah, ayo kita sarapan. Mama sudah membuat nasi goreng kesukaanmu,''kata mama yang terlihat berusaha mengembalikan keceriaan di wajahnya. ''Maaf ma, pagi ini aku tidak bisa sarapan di rumah dulu, aku takut terlambat,''lagi-lagi ucapan Mas Fandi membuat mama terlihat kecut, terus terang ini kali pertama aku mendengar Mas Fandi menolak ajakan mama biasa ia langsung gercep. ''Baiklah, tidak apa-apa, ayo mama antar ke depan.''Ujar mama mengalah, namun terlihat tidak suka. Mas Fandi mengangguk lalu ia berjalan mengikuti mama yang menuntunnya, tanpa memperduli
Selamat membaca 🔥🔥🔥 Aku membulatkan mata, menatap sesuatu yang terpampang dengan jelas di dinding persis di atas ranjang Mama. Foto Mas Fandi dan Mama. Ya, itu foto mereka berdua tapi kenapa aku bisa terkejut padahal hanya melihat foto? Yang membuatku terkejut sekaligus terperangah. Karena foto yang di balut dengan bingkai berukuran besar itu, persis seperti foto pernikahanku dan Mas Fandi. Kenapa ada foto seperti ini? dan kenapa dipajang di kamar Mama? Aku terdiam sejenak, berharap ada yang bisa menjawab pertanyaanku ini, namun aku sadar yang bisa menjawab hanyalah Mas Fandi dan Mama. Aku mendekat untuk meneliti Foto tersebut, kalau-kalau mataku tiba-tiba rabun dan salah melihat. "Tidak, aku tidak salah lihat. Ini benar-benar foto Mas Fandi dan Mama,"gumam ku dengan sangat yakin dengan apa yang aku lihat ini. Ah sudahlah, lupakan dulu soal foto karena saat ini aku harus membereskan kamar Mama, jangan sampai Mama sudah pulang aku belum selesai mengerjakan ini. Usai
Selamat membaca. ** ''Maksud Tante Naya, Foto Nenek dan Om Fandi yang besar itu?''tanya Fatia memastikan. ''Iya benar, foto itu,''sahutku dengan mengangguk cepat. Aku melihat Fatia sedang berpikir sejenak. Mungkin ia sedang mengingat-ingat sesuatu tentang foto itu. ''Om Fandi dan Nenek, berfoto di rumah ini, di sana, di ruangan depan,''ujar Fatia yang sudah mengingat kejadian tentang foto sambil menunjuk tempat yang ia maksud. Aku semakin bersemangat, tapi karena saat ini aku sedang mengorek informasi dari anak kecil, tentu aku harus berhati-hati dalam berbicara,''Oooh... lalu, kenapa Om Fandi dan Nenek memakai baju pengantin? dan apa Fatia tau, foto Om Fandi dan Nenek sama persis seperti foto pernikahan tante Naya dan Om Fandi?''tanyaku dengan tutur kata yang lembut dan tidak terlalu serius. ''Iya, itu memang sangat mirip, dan baju yang di pakai Om Fandi, baju yang sama saat dipakai menikah dengan tante Naya.''Yakin Fatia. Sontak saja membuatku langsung terkejut, aku b
Selamat membaca *** “Kamu, yakin?”tanyaku sedikit tidak percaya, karena untuk apa Mama jauh-jauh datang ke tempat kerja, Mas Fandi. “Yakin, Tan. Ini Wa nya.”Fatia menyodorkan ponselnya di wajahku, dan benar. Mama mengirim pesan seperti itu pada, Fatia. “Oh, iya,”sahutku mengangguk. “Tante Naya, tidak suka ya, jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi?” Pertanyaan anak ini sungguh membuatku kaget! Bisa-bisanya dia ada pertanyaan seperti ini, dengan cepat aku menjawab,”Tidak! Mana mungkin, tante Naya, tidak suka jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi.” “Oohh..,”sahut Fatia, mengangguk-anggukkan,”Padahal, aku pikir kita sama. Sama-sama tidak suka jika Nenek sedang bersama, Om Fandi,”sambung anak ini dengan nada yang bergumam namun terdengar jelas di telingaku. “Maksud Fatia, apa?”tanyaku. Fatia mendongak, menatap mataku yang juga sedang menatapnya, dari sorot mata gadis kecil ini menunjukkan kesungguhan,”Aku, tidak suka jika melihat Om Fandi dan Nenek, bernama,”Fatia memperjela
“Sudah Naya, tidak perlu dipikirkan masakanmu tidak akan mubazir, aku dan Fatia akan menghabiskannya,”kata Mas Hanan, yang sepertinya mencoba menenangkanku.Tapi bukan soal masakan yang sedang aku pikirkan saat ini, Mas Fandi! Dialah yang ada di pikiranku saat ini. Apa benar Mas Fandi sedang lembur? “Naya!”panggil, Mas Hanan.“Iya, Mas.”“Kenapa?”“Tidak ada, kalau begitu aku masuk dulu, ya Mas,”pamit ku. “Ya, masuklah! Naya!”panggil Mas Hanan sebelum aku masuk ke kamar.“Iya, Mas?”“Aku harap, kamu tidak terpengaruh dengan apapun yang kamu dengar di luar sana.”Ucapan Mas Hanan, yang terdengar ambigu membuatku bingung. Apa maksudnya bicara seperti itu? Saat aku ingin memperjelas maksud dari ucapan kakak iparku ini, ponselku keburu berdering dan ternyata suamiku yang menelpon. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengabaikan perkataan Mas Hanan, tadi. (“Naya, maafkan aku yang tidak bisa pulang tepat waktu, karena aku harus lembur. Banyak pekerjaan yang tidak bisa d