Selamat membaca *** “Kamu, yakin?”tanyaku sedikit tidak percaya, karena untuk apa Mama jauh-jauh datang ke tempat kerja, Mas Fandi. “Yakin, Tan. Ini Wa nya.”Fatia menyodorkan ponselnya di wajahku, dan benar. Mama mengirim pesan seperti itu pada, Fatia. “Oh, iya,”sahutku mengangguk. “Tante Naya, tidak suka ya, jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi?” Pertanyaan anak ini sungguh membuatku kaget! Bisa-bisanya dia ada pertanyaan seperti ini, dengan cepat aku menjawab,”Tidak! Mana mungkin, tante Naya, tidak suka jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi.” “Oohh..,”sahut Fatia, mengangguk-anggukkan,”Padahal, aku pikir kita sama. Sama-sama tidak suka jika Nenek sedang bersama, Om Fandi,”sambung anak ini dengan nada yang bergumam namun terdengar jelas di telingaku. “Maksud Fatia, apa?”tanyaku. Fatia mendongak, menatap mataku yang juga sedang menatapnya, dari sorot mata gadis kecil ini menunjukkan kesungguhan,”Aku, tidak suka jika melihat Om Fandi dan Nenek, bernama,”Fatia memperjela
“Sudah Naya, tidak perlu dipikirkan masakanmu tidak akan mubazir, aku dan Fatia akan menghabiskannya,”kata Mas Hanan, yang sepertinya mencoba menenangkanku.Tapi bukan soal masakan yang sedang aku pikirkan saat ini, Mas Fandi! Dialah yang ada di pikiranku saat ini. Apa benar Mas Fandi sedang lembur? “Naya!”panggil, Mas Hanan.“Iya, Mas.”“Kenapa?”“Tidak ada, kalau begitu aku masuk dulu, ya Mas,”pamit ku. “Ya, masuklah! Naya!”panggil Mas Hanan sebelum aku masuk ke kamar.“Iya, Mas?”“Aku harap, kamu tidak terpengaruh dengan apapun yang kamu dengar di luar sana.”Ucapan Mas Hanan, yang terdengar ambigu membuatku bingung. Apa maksudnya bicara seperti itu? Saat aku ingin memperjelas maksud dari ucapan kakak iparku ini, ponselku keburu berdering dan ternyata suamiku yang menelpon. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengabaikan perkataan Mas Hanan, tadi. (“Naya, maafkan aku yang tidak bisa pulang tepat waktu, karena aku harus lembur. Banyak pekerjaan yang tidak bisa d
Saat aku keluar kamar, aku berpapasan dengan Mama, wajah beliau terlihat sangat sumringah dengan mata yang berbinar dan senyum indah, beliau menatapku.“Mama, sudah bangun,”sapa, ku.“Iya, mama, harus buat sarapan untuk Fandi,”sahutnya dan berlalu begitu saja, sepertinya suasana hati Mama sedang baik hingga ia terlihat begitu bahagia.Aku mengikuti Mama yang menuju dapur.“Ma, Mama tidak perlu repot-repot, biar aku saja yang buat sarapan untuk, Mas Fandi.”Ekspresi wajah Mama langsung dengan mata yang melotot padaku,”Kenapa! Kenapa harus kamu yang bikin sarapan? Apa kamu tidak suka jika mama yang membuatnya?”“Tidak, bukan seperti itu, Ma,”ya Tuhan, Mama salah paham sungguh bukan ini maksudku. “Tidak-tidak! Sudah jelas kamu melarang mama, bukan cuma hari ini, kamu juga pernah melarang mama bikin kopi untuk, Fandi. Apa masih berkilah?”Aku yang tersentak, terdiam sejenak. Mama jadi sensitif seperti ini, kenapa dia bisa berpikir jauh, aku menarik nafas dalam-dalam menyiapkan kata-kata
Bukan hanya aku yang terkejut, begitu juga Fatia, anak ini ketakutan dan langsung meninggalkan meja makan. Aku tidak melarang Fatia, karena aku pikir itu lebih baik.Wajah Mama mulai memerah, ia mendorong piring berisi nasi yang baru beberapa suap di makan, dengan dinginnya Mama berkata,"Jadi, Fandi tidak ada niat untuk menunda punya anak?""Iya, Ma. Kami sudah sepakat untuk itu,"kenapa ini! kenapa Mama terlihat tidak suka? "Kami! kamu melakukan kesepakatan hanya berdua?"tanyanya dengan membentak."Iya, Ma,"jawaban ragu.Mama menarik rambutnya sendiri dengan kasar,"Naya, sepertinya kamu benar-benar ingin menguasai Fandi, sepenuhnya.""Maksud, Mama?""Kamu masih bertanya? seharusnya, sebelum kalian memutuskan untuk tidak menunda punya anak, kalian diskusikan dengan dengan saya?"Kenapa begitu? bukankah seorang Ibu harusnya senang dengan keputusan seperti ini?Kali ini aku tidak bisa diam, karena Mama sudah keterlaluan,"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa? kenapa harus izin pada Mama
"Astaghfirullah! Naya, katakan jika yang kamu ceritakan ini tidak benar,"ucap Karina tidak percaya, setelah mendengar semua cerita yang aku katakan, tentu cerita tentang keanehan Mama dan Mas Fandi. Bahkan aku juga menceritakan kejadian sebelum aku datang menemuinya. "Sudah aku duga, kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan ini,"sahutku lemas, karena entah pada siapa lagi aku harus cerita dan meminta pendapat. "Naya, aku bukan tidak percaya denganmu. Hanya saja apa yang kamu katakan barusan terdengar mengerikan di telingaku. Aku akan seratus persen percaya jika kamu cerita kalau Ibu Mertuamu, galak dan judes. Tapi ini, sungguh diluar pikiranku." "Aku tau itu, Karina. Namun inilah kenyataannya, aku berharap apa yang aku takutkan ini tidak benar. Semua baik-baik saja." "Aamiin. Aku juga berharap seperti itu. Tapi , walaupun aku sedikit ragu dan tidak percaya alangkah baiknya jika kamu menyelidiki." "Menyelidiki? apa! apa yang harus aku selidiki?"Sungguh aneh sahabatk
Apa-apaan ini! Mas Fandi, dia bukan anak kecil lagi kenapa harus bertingkat seperti itu. Apa dia tidak risi, pikir Naya. Bukan cuma Naya, Fatia pun memperhatikan tingkah Fandi yang seperti anak kucing pada induknya. Namun Fatia tidak kaget seperti Naya, karena pemandangan seperti ini sudah sangat biasa dimata, anak kecil ini dan sebenarnya itu sangat menggangu. “Sudah, ayo sarapan. Kamu harus berangkat kerja,”ajak Maida, yang langsung menuntun Fandi duduk di kursi makan berhadapan dengannya. "Iya, ma,"sahut Fandi, yang kian manja pada Ibunya. “Naya, kamu masak apa?”tanya Maida, jutek tanpa melihat Menantunya karena kedua mata itu tak teralihkan dari Fandi. “Seperti biasa, Ma. Nasi goreng.” “Huf! Hanya itu saja yang kamu bisa, dan menu nasi goreng juga kamu menyontek nya dari mama. Apa kamu tidak bisa bikin menu sarapan lain untuk Fandi? kamu benar-benar tidak bisa masak,”cemooh, Maida. Naya terlihat menelan ludahnya dengan kasar, ia menghela nafas berat sambil menahan h
"Kalau begitu, mama pergi dulu,"pamitnya, dan memang saat ini penampilan Mama sudah sangat rapih. "Mama, mau kemana?"tanya Mbak Wina. "Ke rumah taman arisan. Wina, mungkin mama akan pulang malam, kamu tidak perlu menunggu tidur saja, mama bawa kunci rumah cadangan." "Iya, ma." Setelah berpamitan pada Mbak Wina dan tidak berkata apapun lagi padaku, Mama pergi begitu saja. Selain berpenampilan rapi, Mama juga terlihat sangat berbeda ia berdandan full makeup dengan pakaian yang sedikit terbuka. "Naya!"panggil Mbak Wina, setelah memastikan Mama keluar rumah. "Iya Mbak." "Ini peringatan, jangan pernah bertanya apapun lagi padaku dan kalau bisa jangan pernah masuk kedalam kamarku jika ada Mama di rumah." "Kenapa?" "Jangan tanya kenapa, karena tidak apa-apa. Kamu cukup mendengar dan mengikuti saja apa yang aku katakan, Naya,"ucap Mbak Wina yang terlihat sangat kesal padaku. "Jika tidak ada apa-apa, tidak mungkin Mbak Wina bersikap seperti ini, tidak mungkin Mbak Wina ketakutan dan
POV Naya. "Aku yang mendapat pesan dari Karina, bergegas meluncur ke kantor sahabatku itu, aku terpaksa berbohong pada Mbak Wina. Kebohongan ini aku lakukan hanya karena naluriku mengatakan, jangan beritahu kemana kamu pergi pada, Mbak Wina. Aku sudah sangat tidak sabar ingin mendengar berita yang katanya penting, dan untung saja kantor Karina tidak terlalu jauh dari rumah Mas Fandi. "Naya!"sapa seorang lelaki, dengan sumringah saat aku baru saja memarkirkan motor. Melihat siapa lelaki yang menyapaku, aku sedikit bingung harus bersikap apa hingga membuatku kikuk, tidak langsung menjawab sapaannya. "Naya, bagaimana dengan kabarmu, semenjak kamu memutuskan untuk menikah, kita tidak pernah bertemu lagi,"ucap lelaki itu, yang kini sudah berdiri di hadapanku. "Aku baik, Ren."Jawabku singkat yang memang tidak mau terlibat perbincangan lebih lama,"Aku ingin bertemu, Karina,"sambungku, mengatakan niat kedatanganku di kantor. "Oh! ingin bertemu dengan Karina, ya. Hampir saja aku m
Maida mengangkat wajahnya, menatap Naya dengan sangat serius. Garis wajah wanita ini memegang, sangat menyeramkan. Siapapun yang menatap pasti akan ketakutan.“Kamu, melarikan diri, dari sana?” Melarikan diri! Tentu Anaya paham arah pembicaraan ini.“Tidak, mereka tau kalau aku pergi dari sana,” sahut Anaya dengan tenang. “Lalu, apa kamu berniat melaporkan ini pada, Fandi?” Naya langsung menggeleng, “Tidak,” jawabnya, yakin.Maida tertawa, “Tidak! Sungguh saya tidak percaya.”Masih dengan ekspresi tenang, Anaya menimpali Maida, “Terserah jika Mama tidak percaya, tidak masalah untukku. Lagi pula, bukankah percuma aku mengadu pada Mas Fandi, dia tidak akan bertindak apa-apa.” Prok! Prok! Prok….!Maida bertepuk tangan, “Semakin hari kamu semakin pandai, Naya! Saya suka itu. Setidaknya saya punya lawan yang seimbang.” Lawan! Ternyata benar, selama ini wanita itu menganggap Menantunya, lawan. “Apa masih ada yang ingin Mama bicarakan?”Jika mertuanya menganggap Lawan, untuk ap
Maida yang terlanjur kesal, langsung mematikan panggilan, "Putar balik, pak!" pintanya pada sopir taksi. Kening wanita ini berkerut, saat ponselnya kembali berdenging dan itu panggilan dari orang yang sebelumnya ia telpon, Maida kesal ia meremas kuat-kuat gadget yang ada di tangannya, "Kamu pikir aku bisa di permainankan, tidak semudah itu, sayang!" Sopir taksi yang tidak sengaja melihat Maida dari kaca spion bergidik ngeri, melihat wajah dan tatapan mata penumpangnya penuh dengan amarah menggelegar. Sadar di perhatikan, Maida menatap semakin tajam pada sopir taksi, "Fokus saja ke depan, jangan kepo pada urusan orang jika ingin selamat!" Sopir langsung mengalihkan pandanganya, ia pura-pura tidak mendengar ucapan Maida. ** "Aku pulang dulu, ya!" kata Fandi dengan tergesa-gesa, sambil meraih jaketnya yang tergantung. "Mau kemana?" tanya temanya heran. "Pulang." "Apa! pulang, tumben, ada apa?" "Sudah jangan banyak tanya, hari ini aku kerja setengah hari ya, aku sudah
“Katakan padaku, di mana Mama membawamu? Apa benar kamu bertemu teman arisan Mama? Lalu apa yang mereka lakukan padamu?” “Wina, pelan-pelan. Sebaiknya kita biarkan Naya tenang dulu, jangan di teror dengan pertanyaan yang banyak,” tegur Hanan, dan ia langsung menyodorkan segelas air putih pada Adik Iparnya. “Terima kasih, Mas,” Naya menerima air itu, dan karena ia memang sedang kehausan Naya menghabiskan air itu dalam satu kali tegukan. Wina dan Hanan saling pandang, dalam benak mereka hanya ada satu pertanyaan! Apa yang terjadi pada Anaya? “Apa kamu mau minum lagi?” Tanya Hanan. “Tidak Mas, sudah cukup.” Naya langsung meletakkan gelas di atas meja. “Naya, apa yang terjadi?” Wina yang tidak sabar langsung bertanya intinya. Naya terdiam sejenak, ia tidak mau gegabah dengan menceritakan semuanya pada Wina dan Hanan, mengingat dua orang ini sangat teramat patuh pada Maida, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengadu. Naya memutuskan untuk merahasiakan ini dari Hanan dan Win
Mama pergi dengan Naya? kenapa ga bilang. Fandi mematung, ia sama sekali tidak memperdulikan Gading yang masih menunggu jawaban. Pikiran Fandi tiba-tiba kalut, biar bagaimanapun juga Anaya adalah istrinya, wanita yang ia cintai. "Fandi!" panggil Gading, dengan membentak. Lelaki itu tersadar, namun masih tidak bicara apapun lagi. Dengan wajah yang linglung Fandi pergi ke sebuah ruangan sambil merogoh saku celananya. "Hei! mau kemana Lo? gue belum selesai bicara!" Gading kembali membentak saat ia di acuhkan begitu saja, "Sial! berani sekali dia bertindak tidak sopan, apa dia lupa kalau aku ini Kakak Iparnya," kesal Gading. Kakinya sudah melangkah, ingin menyusul adik Ipar yang ia anggap tidak sopan itu. Tapi.... "Maaf Pak, Anda tidak diizinkan masuk, itu ruangan khusus karyawan pabrik," cegah seorang lelaki tua yang bertugas sebagai keamanan. "Saya belum selesai bicara dengannya," kata Gading yang tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya. "Pak! mohon kerjasamanya
37 Saat menantu lelakinya menanyakan keberadaan menantu perempuannya, Maida memicingkan mata. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikiran wanita itu hanya dia dan tuhan yang tahu. "Ma, dimana Anaya?" kini Wina yang berani bertanya, ia sudah tidak peduli lagi jika Ibunya itu akan marah, karena Wina tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Kejadian 4 tahun silam sudah membuatnya merasa bersalah sampai saat ini, bahkan mungkin, sampai ia matipun akan tetap merasa bersalah. "Wina, apa kamu sudah benar-benar sehat?!" tanya Maida, namun pertanyaan ini tidak terdengar seperti pertanyaan. Wina yang mengerti, langsung menunduk takut, melihat mata Maida yang menatapnya tajam Wina seperti tersihir hingga membuatnya membeku. "Hanan!" panggilannya pada lelaki yang masih berdiri di sana, Hanan juga seperti orang yang linglung, dengan menatap Maida lekat namun kosong, Hanan menyahut, "Iya, Ma!" "Kamu seorang ayah, sudah seharusnya kamu menjaga anak dan istrimu denga
Pada detik itu juga Naya merasakan hawa yang berbeda, dari wajah-wajah para orang tua di sana semakin membuat Naya, waspada. "Rileks cantik, jika kamu tegangan seperti ini, pasti akan terasa kaku." Naya tersentak, saat suara itu terdengar di telinganya, bukan cuma suaranya saja yang membuat Anaya kaget, tapi gerakan lembut dari jari tangan mengelus pipi kirinya. Naya menepis tangan-tangan yang mengerubungi nya, ia bangkit dari duduk, semua menatap Anaya tidak percaya, mata Naya kini fokus pada Ibu Mertuanya, "Ma, apa kita masih lama disini? tidak tidak aku ingin segera pulang." Hahaha.. Hahaha... Ucapan Naya yang ingin pulang, sekita di sambut tawa menggema dari para wanita sepuh di sana, entah apa yang mereka tertawakan, tapi melihat dari wajahnya mereka mengejek Naya. Satu orang berjalan mendekat Maida, "Jeng, apa sebelum datang kesini kamu tidak memberi tahu Menantumu ini?" tanya Wanita itu. Maida hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun. "Oh, pantas saja. Tapi tidak
"Fandi," kata Hanan dengan tiba-tiba setelah ia terdiam beberapa saat, Nama Fandi di sebut tentang mengejutkan Wina, "Apa katamu, Mas? Fandi?" "Iya Fandi, tidak ada pilihan lain kita harus melibatkan Fandi, adikmu itu pasti tau lokasi tempat Mama dan teman-temannya berkumpul." "Tapi Mas!" sahut Wina, dari nada dan mimik wajahnya, wanita dua anak ini ragu jika harus melibatkan Fandi. "Tapi kenapa? Apa kamu tidak mau melibatkannya?" tanya Hanan yang sudah bisa menebak kekhawatiran istrinya. "Ya, bukankah masalahnya akan menjadi panjang kalau Fandi tahu, kita ikut campur dalam masalah ini." "Tapi Fandi tidak tahu jika mama membawa Naya pergi." Wina menatap Hanan, benar, Fandy tidaklah tahu jika saat ini Naya sedang bersama mama. Itu artinya, Fandi tidak sadar jika terjadi masalah di sini. Melihat istrinya yang terdiam, Hanan kembali meyakinkan Wina, "Win, tidak ada pilihan lain. Jika kita ingin mengeluarkan Anaya dari bahaya, kita harus melibatkan Fandi." "Tapi....apa me
"Siapa ini?" gumam Karina, tapi karena penasaran menyelimuti ia tetap membuka pesan itu. (Assalamualaikum, apa benar ini Karina? teman Anya?) Bunyi pesan, itu. Karina menjerit, "Anaya! jika ia membawa nama Anaya sudah pasti orang ini kenal Naya," pikirnya. Tanpa mengulur waktu, Karina langsung membalas pesan, membenarkan bahwa dirinya Karina. (Saya Wina, Kakak Ipar Anaya) Karina semakin bersemangat, kali ini dia tidak mengirim pesan melainkan langsung menelpon. "Kak, tolong katakan di mana Anaya?" tanya Karina yang panik, sampai lupa mengucap salam. ("Apa! justru aku ingin bertanya tentang Naya, padamu!") Karina semakin panik, "Jadi Kakak tidak tau Anaya pergi kemana? tapi Kak Wina tau kan jika Naya pergi dengan Mertuanya?" ("Iya aku tau, tapi aku tidak tau tempat itu dimana, dan ini tujuanku menghubungimu, apa Naya ada mengirim pesan padamu? seperti memberitahu lokasi dia saat ini.") "Seharusnya ada, tapi ponsel Naya tidak aktif, aku takut terjadi sesuatu padany
"Iya, sama-sama." Naya yang merasa canggung dan tidak nyaman, langsung melepaskan diri dari pelukan wanita yang berpakaian seksi itu. "Ah, maaf ya," ucap wanita itu yang langsung mundur menjauhi Anaya, lalu beralih pada Maida, "Beb, sepertinya Menantumu ini tidak biasa di peluk, apa dia jarang mendapat pelukan dari anakmu!" Haha... haha.. haha.... Cetusan wanita tadi langsung disambut gelak tawa, teman-teman yang lainnya. Mungkin itu terdengar lucu bagi mereka, tapi tidak dengan Anaya dan Maida. Jika Anaya merasa risi, Maida terlihat tidak suka dengan candaan temanya. "Sudah cukup! apa kalian tidak takut akan sesak nafas jika terus tertawa," kata Maida, dan langsung menutup mulut orang-orang di sana. Maida amat berpengaruh, hampir sebagian dari mereka sangat menghormati dan patuh pada wanita ini, begitu Maida bersuara semua langsung diam tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Anya mengamati situasi di sana ia juga mengamati setiap wajah. "Apa kali