Apa-apaan ini! Mas Fandi, dia bukan anak kecil lagi kenapa harus bertingkat seperti itu. Apa dia tidak risi, pikir Naya. Bukan cuma Naya, Fatia pun memperhatikan tingkah Fandi yang seperti anak kucing pada induknya. Namun Fatia tidak kaget seperti Naya, karena pemandangan seperti ini sudah sangat biasa dimata, anak kecil ini dan sebenarnya itu sangat menggangu. “Sudah, ayo sarapan. Kamu harus berangkat kerja,”ajak Maida, yang langsung menuntun Fandi duduk di kursi makan berhadapan dengannya. "Iya, ma,"sahut Fandi, yang kian manja pada Ibunya. “Naya, kamu masak apa?”tanya Maida, jutek tanpa melihat Menantunya karena kedua mata itu tak teralihkan dari Fandi. “Seperti biasa, Ma. Nasi goreng.” “Huf! Hanya itu saja yang kamu bisa, dan menu nasi goreng juga kamu menyontek nya dari mama. Apa kamu tidak bisa bikin menu sarapan lain untuk Fandi? kamu benar-benar tidak bisa masak,”cemooh, Maida. Naya terlihat menelan ludahnya dengan kasar, ia menghela nafas berat sambil menahan h
"Kalau begitu, mama pergi dulu,"pamitnya, dan memang saat ini penampilan Mama sudah sangat rapih. "Mama, mau kemana?"tanya Mbak Wina. "Ke rumah taman arisan. Wina, mungkin mama akan pulang malam, kamu tidak perlu menunggu tidur saja, mama bawa kunci rumah cadangan." "Iya, ma." Setelah berpamitan pada Mbak Wina dan tidak berkata apapun lagi padaku, Mama pergi begitu saja. Selain berpenampilan rapi, Mama juga terlihat sangat berbeda ia berdandan full makeup dengan pakaian yang sedikit terbuka. "Naya!"panggil Mbak Wina, setelah memastikan Mama keluar rumah. "Iya Mbak." "Ini peringatan, jangan pernah bertanya apapun lagi padaku dan kalau bisa jangan pernah masuk kedalam kamarku jika ada Mama di rumah." "Kenapa?" "Jangan tanya kenapa, karena tidak apa-apa. Kamu cukup mendengar dan mengikuti saja apa yang aku katakan, Naya,"ucap Mbak Wina yang terlihat sangat kesal padaku. "Jika tidak ada apa-apa, tidak mungkin Mbak Wina bersikap seperti ini, tidak mungkin Mbak Wina ketakutan dan
POV Naya. "Aku yang mendapat pesan dari Karina, bergegas meluncur ke kantor sahabatku itu, aku terpaksa berbohong pada Mbak Wina. Kebohongan ini aku lakukan hanya karena naluriku mengatakan, jangan beritahu kemana kamu pergi pada, Mbak Wina. Aku sudah sangat tidak sabar ingin mendengar berita yang katanya penting, dan untung saja kantor Karina tidak terlalu jauh dari rumah Mas Fandi. "Naya!"sapa seorang lelaki, dengan sumringah saat aku baru saja memarkirkan motor. Melihat siapa lelaki yang menyapaku, aku sedikit bingung harus bersikap apa hingga membuatku kikuk, tidak langsung menjawab sapaannya. "Naya, bagaimana dengan kabarmu, semenjak kamu memutuskan untuk menikah, kita tidak pernah bertemu lagi,"ucap lelaki itu, yang kini sudah berdiri di hadapanku. "Aku baik, Ren."Jawabku singkat yang memang tidak mau terlibat perbincangan lebih lama,"Aku ingin bertemu, Karina,"sambungku, mengatakan niat kedatanganku di kantor. "Oh! ingin bertemu dengan Karina, ya. Hampir saja aku m
Aku sudah tidak bisa menolak, dengan tanpa bicara apapun aku membiarkan Rendi mengeluarkan motorku dari parkiran, padahal sejak tadi ia tidak berhenti mengajakku bicara. "Terima kasih, Ren."Ucapku sesingkat mungkin dan ingin bergegas pulang. *** Sesampainya di rumah, aku mendapati Mbak Wina dan Fatia tengah berkemas. "Mbak, mau kemana?"tanyaku kebingungan karena sebelumnya Kakak Iparku ini tidak mengatakan apa-apa. "Ke rumah Ibunya Mas Hanan, beliau sakit tidak ada yang menemani." Melihat dari banyaknya pakainya yang Mbak Wina bawa, aku sudah bisa menduga jika mereka akan lama di sana. "Fatia, ikut?" "Iya, biar bisa nemenin Adiknya. Yasudah kalau begitu aku pergi dulu ya, Nay, sebentar lagi taksi online datang. Berhati-hatilah di rumah, sebelum tidur pastikan semua pintu tertutup rapat,"pesan Mbak Wina. "Iya hati-hati Mbak, tapi apa Mbak Wina tidak menunggu Mama pulang dulu?" "Tidak, Mama pasti pulang tengah malam aku sudah pamit lewat Wa, kamu tidak perlu masak m
Saking asiknya mengobrol, Maida tidak menyadari jika Menantunya tengah memperhatikan ia dari balik pintu kamar. "Aku benar-benar senang malam ini, siapa bilang jika hubunganku terbatas. Justru kami semakin mesra saat bertemu,"gumam Maida, yang sedang bicara dengan pantulan dirinya di cermin. Masih dengan bersenandung kecil, wanita ini bergegas masuk ke bilik mandi. Hawa panas membuat ia ingin segera nyebur di bak mandi. POV Naya Aku langsung menghentikan obrolan dengan Karina, saat mendengar suara pintu terbuka. Berpikir jika itu Mas Fandi, ternyata aku salah besar. Itu Mama, melihat Mama yang masuk sambil mengobrol aku mengurungkan niat untuk menyambut dan memilih kembali ke kamar. Mama bicara dengan seorang lewat telpon, entah dengan siapa ia bercakap namun kata-katanya membuatku merinding. Karena aku mempunyai misi menyelidiki, Mama aku memutuskan untuk menguping dari balik pintu kamar, beruntung sekali posisi kamarku tidak terlalu jauh dari dapur dan Mama menuju ke sana. Da
"Aku tidur dulu ya, Nay." Pamit Mas Fandi, dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Aku mengangguk, membiarkan suamiku itu terlelap,"Mas!"panggilku, memastikan jika ia benar-benar sudah tidur. Aku mendekat ke sisi ranjang memperhatikan lekat sosok yang tengah terbaring, melihat dari dadanya yang naik turun, sepertinya Mas Fandi benar-benar sudah tertidur. Cepat-cepat aku masuk kedalam kamar mandi, aku periksa ulang kemeja yang tadi aku amankan, otakku mengingat-ingat wangi Parfum yang masih sangat melekat. Siapa pemilik aroma ini? aku belum pernah menciumnya, yang jelas ini wangi Parfum wanita. Apa Mas Fandi berselingkuh! Astagfirullah, dasar bodoh! kenapa kamu bisa menilai seperti itu, Nay! rutukku pada diri sendiri. Karena pikiranku yang sedang kalut, di meliputi curiga. Aku memutuskan untuk berdiam diri di tempat ini sampai beberapa menit. Mas Fandi lembur dan sangat kebetulan Mama juga pergi dengan temannya, mereka pulang diwaktu yang hampir bersamaan. Ke
Sudah kedua kalinya, Mama menggantikan posisi aku, mengantar Mas Fandi sampai pintu. "Aku berangkat ya, Ma,"pamit Mas Fandi seraya meraih tangan Mama dan menciumnya. "Iya Fan, hati-hati ya. Kabari mama jika sesuatu terjadi padamu,"sahut Mama. Meskipun mereka sudah saling berpamitan tidak satupun dari mereka melepaskan telapak tangan yang masih saling bertautan itu. Mata Mama, begitu berbinar menatap wajah Mas Fandi begitu juga sebaliknya. Aku sengaja membiarkan pemandangan ini karena aku ingin tau sampai sejauh mana. Benar saja, semakin dibiarkan mereka semakin menganggap tidak ada aku di sana. Tangan Mama merembet ke lengan Mas Fandi, dengan gerakan lembut dan pipi merona, Mertuaku itu merapihkan kemeja Mas Fandi, yang sebenarnya tidaklah berantakan. "Terima kasih, Ma,"kata Mas Fandi. "Ini sudah tugas mama. Fan, malam nanti mau masakin apa?" "Eeemmm...." "Maida!" Teriak seseorang menghancurkan percakapan gemulai antara Mama dan Mas Fandi. Aku sedikit mengeluark
“Jadi, apa maksud dan tujuan Mama membuat foto itu?”tanyaku, aku sudah tidak perduli lagi jika Mertuaku ini akan murka karena akhir-akhir ini aku mulai berani padanya. “Naya! Kamu sebaik stop, mencari tau. Ada pepatah yang mengatakan, semakin banyak kamu tau semakin mendekatkan dirimu dengan maut.” Hah! Pepatah macam apa itu! Sungguh aku baru mendengarnya, aku hanya menggelengkan kepala tapi aku tetap menginginkan jawaban dari Mama. “Jadi, Mama mau memberitahu aku, atau tidak?” Mama tersenyum sinis,”Kamu terlihat seperti menantang, Naya! Apa kamu menganggap peringatan tadi adalah omong kosong?” “Tidak, aku hanya meminta jawaban atas pertanyaanku tadi.” “Keras kepala!”umpat Mama. Kali ini kami berdua benar-benar seperti musuh. Mama menatapku semakin tajam, ia mengerahkan semua indra penglihatannya demi membuatku terintimidasi. “Ma…” “Cukup Naya! Jangan pernah ikut campur urusan saya, sekalipun itu menyangkut Fandi. Saya ini Ibunya Fandi, saya yang membesarkan dia. Jadi
Maida mengangkat wajahnya, menatap Naya dengan sangat serius. Garis wajah wanita ini memegang, sangat menyeramkan. Siapapun yang menatap pasti akan ketakutan.“Kamu, melarikan diri, dari sana?” Melarikan diri! Tentu Anaya paham arah pembicaraan ini.“Tidak, mereka tau kalau aku pergi dari sana,” sahut Anaya dengan tenang. “Lalu, apa kamu berniat melaporkan ini pada, Fandi?” Naya langsung menggeleng, “Tidak,” jawabnya, yakin.Maida tertawa, “Tidak! Sungguh saya tidak percaya.”Masih dengan ekspresi tenang, Anaya menimpali Maida, “Terserah jika Mama tidak percaya, tidak masalah untukku. Lagi pula, bukankah percuma aku mengadu pada Mas Fandi, dia tidak akan bertindak apa-apa.” Prok! Prok! Prok….!Maida bertepuk tangan, “Semakin hari kamu semakin pandai, Naya! Saya suka itu. Setidaknya saya punya lawan yang seimbang.” Lawan! Ternyata benar, selama ini wanita itu menganggap Menantunya, lawan. “Apa masih ada yang ingin Mama bicarakan?”Jika mertuanya menganggap Lawan, untuk ap
Maida yang terlanjur kesal, langsung mematikan panggilan, "Putar balik, pak!" pintanya pada sopir taksi. Kening wanita ini berkerut, saat ponselnya kembali berdenging dan itu panggilan dari orang yang sebelumnya ia telpon, Maida kesal ia meremas kuat-kuat gadget yang ada di tangannya, "Kamu pikir aku bisa di permainankan, tidak semudah itu, sayang!" Sopir taksi yang tidak sengaja melihat Maida dari kaca spion bergidik ngeri, melihat wajah dan tatapan mata penumpangnya penuh dengan amarah menggelegar. Sadar di perhatikan, Maida menatap semakin tajam pada sopir taksi, "Fokus saja ke depan, jangan kepo pada urusan orang jika ingin selamat!" Sopir langsung mengalihkan pandanganya, ia pura-pura tidak mendengar ucapan Maida. ** "Aku pulang dulu, ya!" kata Fandi dengan tergesa-gesa, sambil meraih jaketnya yang tergantung. "Mau kemana?" tanya temanya heran. "Pulang." "Apa! pulang, tumben, ada apa?" "Sudah jangan banyak tanya, hari ini aku kerja setengah hari ya, aku sudah
“Katakan padaku, di mana Mama membawamu? Apa benar kamu bertemu teman arisan Mama? Lalu apa yang mereka lakukan padamu?” “Wina, pelan-pelan. Sebaiknya kita biarkan Naya tenang dulu, jangan di teror dengan pertanyaan yang banyak,” tegur Hanan, dan ia langsung menyodorkan segelas air putih pada Adik Iparnya. “Terima kasih, Mas,” Naya menerima air itu, dan karena ia memang sedang kehausan Naya menghabiskan air itu dalam satu kali tegukan. Wina dan Hanan saling pandang, dalam benak mereka hanya ada satu pertanyaan! Apa yang terjadi pada Anaya? “Apa kamu mau minum lagi?” Tanya Hanan. “Tidak Mas, sudah cukup.” Naya langsung meletakkan gelas di atas meja. “Naya, apa yang terjadi?” Wina yang tidak sabar langsung bertanya intinya. Naya terdiam sejenak, ia tidak mau gegabah dengan menceritakan semuanya pada Wina dan Hanan, mengingat dua orang ini sangat teramat patuh pada Maida, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengadu. Naya memutuskan untuk merahasiakan ini dari Hanan dan Win
Mama pergi dengan Naya? kenapa ga bilang. Fandi mematung, ia sama sekali tidak memperdulikan Gading yang masih menunggu jawaban. Pikiran Fandi tiba-tiba kalut, biar bagaimanapun juga Anaya adalah istrinya, wanita yang ia cintai. "Fandi!" panggil Gading, dengan membentak. Lelaki itu tersadar, namun masih tidak bicara apapun lagi. Dengan wajah yang linglung Fandi pergi ke sebuah ruangan sambil merogoh saku celananya. "Hei! mau kemana Lo? gue belum selesai bicara!" Gading kembali membentak saat ia di acuhkan begitu saja, "Sial! berani sekali dia bertindak tidak sopan, apa dia lupa kalau aku ini Kakak Iparnya," kesal Gading. Kakinya sudah melangkah, ingin menyusul adik Ipar yang ia anggap tidak sopan itu. Tapi.... "Maaf Pak, Anda tidak diizinkan masuk, itu ruangan khusus karyawan pabrik," cegah seorang lelaki tua yang bertugas sebagai keamanan. "Saya belum selesai bicara dengannya," kata Gading yang tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya. "Pak! mohon kerjasamanya
37 Saat menantu lelakinya menanyakan keberadaan menantu perempuannya, Maida memicingkan mata. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikiran wanita itu hanya dia dan tuhan yang tahu. "Ma, dimana Anaya?" kini Wina yang berani bertanya, ia sudah tidak peduli lagi jika Ibunya itu akan marah, karena Wina tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Kejadian 4 tahun silam sudah membuatnya merasa bersalah sampai saat ini, bahkan mungkin, sampai ia matipun akan tetap merasa bersalah. "Wina, apa kamu sudah benar-benar sehat?!" tanya Maida, namun pertanyaan ini tidak terdengar seperti pertanyaan. Wina yang mengerti, langsung menunduk takut, melihat mata Maida yang menatapnya tajam Wina seperti tersihir hingga membuatnya membeku. "Hanan!" panggilannya pada lelaki yang masih berdiri di sana, Hanan juga seperti orang yang linglung, dengan menatap Maida lekat namun kosong, Hanan menyahut, "Iya, Ma!" "Kamu seorang ayah, sudah seharusnya kamu menjaga anak dan istrimu denga
Pada detik itu juga Naya merasakan hawa yang berbeda, dari wajah-wajah para orang tua di sana semakin membuat Naya, waspada. "Rileks cantik, jika kamu tegangan seperti ini, pasti akan terasa kaku." Naya tersentak, saat suara itu terdengar di telinganya, bukan cuma suaranya saja yang membuat Anaya kaget, tapi gerakan lembut dari jari tangan mengelus pipi kirinya. Naya menepis tangan-tangan yang mengerubungi nya, ia bangkit dari duduk, semua menatap Anaya tidak percaya, mata Naya kini fokus pada Ibu Mertuanya, "Ma, apa kita masih lama disini? tidak tidak aku ingin segera pulang." Hahaha.. Hahaha... Ucapan Naya yang ingin pulang, sekita di sambut tawa menggema dari para wanita sepuh di sana, entah apa yang mereka tertawakan, tapi melihat dari wajahnya mereka mengejek Naya. Satu orang berjalan mendekat Maida, "Jeng, apa sebelum datang kesini kamu tidak memberi tahu Menantumu ini?" tanya Wanita itu. Maida hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun. "Oh, pantas saja. Tapi tidak
"Fandi," kata Hanan dengan tiba-tiba setelah ia terdiam beberapa saat, Nama Fandi di sebut tentang mengejutkan Wina, "Apa katamu, Mas? Fandi?" "Iya Fandi, tidak ada pilihan lain kita harus melibatkan Fandi, adikmu itu pasti tau lokasi tempat Mama dan teman-temannya berkumpul." "Tapi Mas!" sahut Wina, dari nada dan mimik wajahnya, wanita dua anak ini ragu jika harus melibatkan Fandi. "Tapi kenapa? Apa kamu tidak mau melibatkannya?" tanya Hanan yang sudah bisa menebak kekhawatiran istrinya. "Ya, bukankah masalahnya akan menjadi panjang kalau Fandi tahu, kita ikut campur dalam masalah ini." "Tapi Fandi tidak tahu jika mama membawa Naya pergi." Wina menatap Hanan, benar, Fandy tidaklah tahu jika saat ini Naya sedang bersama mama. Itu artinya, Fandi tidak sadar jika terjadi masalah di sini. Melihat istrinya yang terdiam, Hanan kembali meyakinkan Wina, "Win, tidak ada pilihan lain. Jika kita ingin mengeluarkan Anaya dari bahaya, kita harus melibatkan Fandi." "Tapi....apa me
"Siapa ini?" gumam Karina, tapi karena penasaran menyelimuti ia tetap membuka pesan itu. (Assalamualaikum, apa benar ini Karina? teman Anya?) Bunyi pesan, itu. Karina menjerit, "Anaya! jika ia membawa nama Anaya sudah pasti orang ini kenal Naya," pikirnya. Tanpa mengulur waktu, Karina langsung membalas pesan, membenarkan bahwa dirinya Karina. (Saya Wina, Kakak Ipar Anaya) Karina semakin bersemangat, kali ini dia tidak mengirim pesan melainkan langsung menelpon. "Kak, tolong katakan di mana Anaya?" tanya Karina yang panik, sampai lupa mengucap salam. ("Apa! justru aku ingin bertanya tentang Naya, padamu!") Karina semakin panik, "Jadi Kakak tidak tau Anaya pergi kemana? tapi Kak Wina tau kan jika Naya pergi dengan Mertuanya?" ("Iya aku tau, tapi aku tidak tau tempat itu dimana, dan ini tujuanku menghubungimu, apa Naya ada mengirim pesan padamu? seperti memberitahu lokasi dia saat ini.") "Seharusnya ada, tapi ponsel Naya tidak aktif, aku takut terjadi sesuatu padany
"Iya, sama-sama." Naya yang merasa canggung dan tidak nyaman, langsung melepaskan diri dari pelukan wanita yang berpakaian seksi itu. "Ah, maaf ya," ucap wanita itu yang langsung mundur menjauhi Anaya, lalu beralih pada Maida, "Beb, sepertinya Menantumu ini tidak biasa di peluk, apa dia jarang mendapat pelukan dari anakmu!" Haha... haha.. haha.... Cetusan wanita tadi langsung disambut gelak tawa, teman-teman yang lainnya. Mungkin itu terdengar lucu bagi mereka, tapi tidak dengan Anaya dan Maida. Jika Anaya merasa risi, Maida terlihat tidak suka dengan candaan temanya. "Sudah cukup! apa kalian tidak takut akan sesak nafas jika terus tertawa," kata Maida, dan langsung menutup mulut orang-orang di sana. Maida amat berpengaruh, hampir sebagian dari mereka sangat menghormati dan patuh pada wanita ini, begitu Maida bersuara semua langsung diam tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Anya mengamati situasi di sana ia juga mengamati setiap wajah. "Apa kali