"Astaghfirullah! Naya, katakan jika yang kamu ceritakan ini tidak benar,"ucap Karina tidak percaya, setelah mendengar semua cerita yang aku katakan, tentu cerita tentang keanehan Mama dan Mas Fandi. Bahkan aku juga menceritakan kejadian sebelum aku datang menemuinya. "Sudah aku duga, kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan ini,"sahutku lemas, karena entah pada siapa lagi aku harus cerita dan meminta pendapat. "Naya, aku bukan tidak percaya denganmu. Hanya saja apa yang kamu katakan barusan terdengar mengerikan di telingaku. Aku akan seratus persen percaya jika kamu cerita kalau Ibu Mertuamu, galak dan judes. Tapi ini, sungguh diluar pikiranku." "Aku tau itu, Karina. Namun inilah kenyataannya, aku berharap apa yang aku takutkan ini tidak benar. Semua baik-baik saja." "Aamiin. Aku juga berharap seperti itu. Tapi , walaupun aku sedikit ragu dan tidak percaya alangkah baiknya jika kamu menyelidiki." "Menyelidiki? apa! apa yang harus aku selidiki?"Sungguh aneh sahabatk
Apa-apaan ini! Mas Fandi, dia bukan anak kecil lagi kenapa harus bertingkat seperti itu. Apa dia tidak risi, pikir Naya. Bukan cuma Naya, Fatia pun memperhatikan tingkah Fandi yang seperti anak kucing pada induknya. Namun Fatia tidak kaget seperti Naya, karena pemandangan seperti ini sudah sangat biasa dimata, anak kecil ini dan sebenarnya itu sangat menggangu. “Sudah, ayo sarapan. Kamu harus berangkat kerja,”ajak Maida, yang langsung menuntun Fandi duduk di kursi makan berhadapan dengannya. "Iya, ma,"sahut Fandi, yang kian manja pada Ibunya. “Naya, kamu masak apa?”tanya Maida, jutek tanpa melihat Menantunya karena kedua mata itu tak teralihkan dari Fandi. “Seperti biasa, Ma. Nasi goreng.” “Huf! Hanya itu saja yang kamu bisa, dan menu nasi goreng juga kamu menyontek nya dari mama. Apa kamu tidak bisa bikin menu sarapan lain untuk Fandi? kamu benar-benar tidak bisa masak,”cemooh, Maida. Naya terlihat menelan ludahnya dengan kasar, ia menghela nafas berat sambil menahan h
"Kalau begitu, mama pergi dulu,"pamitnya, dan memang saat ini penampilan Mama sudah sangat rapih. "Mama, mau kemana?"tanya Mbak Wina. "Ke rumah taman arisan. Wina, mungkin mama akan pulang malam, kamu tidak perlu menunggu tidur saja, mama bawa kunci rumah cadangan." "Iya, ma." Setelah berpamitan pada Mbak Wina dan tidak berkata apapun lagi padaku, Mama pergi begitu saja. Selain berpenampilan rapi, Mama juga terlihat sangat berbeda ia berdandan full makeup dengan pakaian yang sedikit terbuka. "Naya!"panggil Mbak Wina, setelah memastikan Mama keluar rumah. "Iya Mbak." "Ini peringatan, jangan pernah bertanya apapun lagi padaku dan kalau bisa jangan pernah masuk kedalam kamarku jika ada Mama di rumah." "Kenapa?" "Jangan tanya kenapa, karena tidak apa-apa. Kamu cukup mendengar dan mengikuti saja apa yang aku katakan, Naya,"ucap Mbak Wina yang terlihat sangat kesal padaku. "Jika tidak ada apa-apa, tidak mungkin Mbak Wina bersikap seperti ini, tidak mungkin Mbak Wina ketakutan dan
POV Naya. "Aku yang mendapat pesan dari Karina, bergegas meluncur ke kantor sahabatku itu, aku terpaksa berbohong pada Mbak Wina. Kebohongan ini aku lakukan hanya karena naluriku mengatakan, jangan beritahu kemana kamu pergi pada, Mbak Wina. Aku sudah sangat tidak sabar ingin mendengar berita yang katanya penting, dan untung saja kantor Karina tidak terlalu jauh dari rumah Mas Fandi. "Naya!"sapa seorang lelaki, dengan sumringah saat aku baru saja memarkirkan motor. Melihat siapa lelaki yang menyapaku, aku sedikit bingung harus bersikap apa hingga membuatku kikuk, tidak langsung menjawab sapaannya. "Naya, bagaimana dengan kabarmu, semenjak kamu memutuskan untuk menikah, kita tidak pernah bertemu lagi,"ucap lelaki itu, yang kini sudah berdiri di hadapanku. "Aku baik, Ren."Jawabku singkat yang memang tidak mau terlibat perbincangan lebih lama,"Aku ingin bertemu, Karina,"sambungku, mengatakan niat kedatanganku di kantor. "Oh! ingin bertemu dengan Karina, ya. Hampir saja aku m
Aku sudah tidak bisa menolak, dengan tanpa bicara apapun aku membiarkan Rendi mengeluarkan motorku dari parkiran, padahal sejak tadi ia tidak berhenti mengajakku bicara. "Terima kasih, Ren."Ucapku sesingkat mungkin dan ingin bergegas pulang. *** Sesampainya di rumah, aku mendapati Mbak Wina dan Fatia tengah berkemas. "Mbak, mau kemana?"tanyaku kebingungan karena sebelumnya Kakak Iparku ini tidak mengatakan apa-apa. "Ke rumah Ibunya Mas Hanan, beliau sakit tidak ada yang menemani." Melihat dari banyaknya pakainya yang Mbak Wina bawa, aku sudah bisa menduga jika mereka akan lama di sana. "Fatia, ikut?" "Iya, biar bisa nemenin Adiknya. Yasudah kalau begitu aku pergi dulu ya, Nay, sebentar lagi taksi online datang. Berhati-hatilah di rumah, sebelum tidur pastikan semua pintu tertutup rapat,"pesan Mbak Wina. "Iya hati-hati Mbak, tapi apa Mbak Wina tidak menunggu Mama pulang dulu?" "Tidak, Mama pasti pulang tengah malam aku sudah pamit lewat Wa, kamu tidak perlu masak maka
Selamat membaca 🤗"Saya terima nikah dan kawinnya, Anaya Putri Binti Arif Arifin, dengan Mas kawin seperangkat alat sholat dan uangtunai sebesar Lima juta Rupiah."Hanya dengan satu tarikan nafas saja, Mas Fandi mengucapkan ijab kabul dengan begitu lantang dan jelas, tanpa ada celah dan gugup sedikitpun. Membuat hatiku bergetar ketika mendengarkan lantunan yang sangat indah di telingaku itu. Bahkan kedua bola mataku sampai berkaca-kaca dan langsung meneteskan air mata. Mendengar kata-kata Mas Fandi yang sudah sangat lama aku impikan ini."Bagaimana para saksi! Sah!"ucap pria sepuh yang menjadi penghulu kami."SAH!""SAH!""SAH!"Kata-kata Sah, terdengar sangat nyaring dan bersahut membuat aku semakin berada di ambang kebahagiaan tanpa batas karena momen inilah yang sudah sangat lama aku impikan."Alhamdulillah!"Ucap Syukur kembali bergema, ketika pak penghulu dan para saksi meresmikan aku dan Mas Fandi.Dan pada detik itu juga, aku resmi menjadi istri Mas Fandi. Lelaki yang aku cin
Selamat membaca 🤗🍁🍁"Anaya! Apa yang kau lakukan!"sentak Mama, dan sentakannya itu sukses membuatku terkejut sampai aku menjatuhkan pisau yang tengah aku gunakan untuk mengiris tahu.Aku bingung, dan tidak langsung menimpali sentakan Mama. Dengan wajah kesal dan terlihat tidak suka, Mama mendekati ku."Apa yang kau lakukan dengan tahu ini?"tanyanya sambil menunjukkan satu potong tahu yang baru saja aku iris tadi, tepat di depan wajahku."Aku, mengirisnya Ma,"jawabku dengan gugup karena melihat wajah Mama yang begitu sangar tidak seperti beberapa menit lalu, di saat dia sedang menceritakan Mas Fandi. Membuatku takut dengan perubahan sekejap itu."Mama tau kau mengiris Tahu ini, tapi apa seperti ini cara mengiris tahu yang benar?"Mama kembali menyentakku."Maksud Mama?"Tanyaku bingung."Astaga! Anaya, apa kau tidak pernah di ajari cara memasak dengan Ibu mu?"Deg!Dadaku langsung tersentak mendengar kata-kata Mama yang malah melibatkan Ibuku."Bukan seperti ini cara memotong Tahu yan
Selamat! Membaca 🤗🍁🍁🍁Dua jam berlalu, tapi Mas Fandi dan Mama masih belum keluar dari kamar. Membuat hatiku semakin gelisah, apakah Mas Fandi ketiduran di sana?"Naya! Apa yang kamu lakukan di sini?"tanya Mbak Wina yang melihatku tengah mondar-mandir di depan kamar Mama."Mbak, bisa tolong aku untuk memanggil Mas Fandi? Jika Mbak Wina yang mengetuk pintu kamar Mama, beliau pasti tidak akan marah,"pinta ku."Aku tidak berani, sudah kamu tidak usah memperdulikannya. Lebih baik kau tidur saja di kamarmu."Apa! Bisa-bisanya Mbak Wina memintaku untuk tidak memperdulikan ini, bagaimana bisa aku abay pada suamiku yang sudah lebih dari 4 jam berada di kamar mertuaku. Aku mengkhawatirkan mereka berdua."Mbak, apa Mbak Wina tidak merasa khawatir? aku takut terjadi sesuatu pada Mama, tadi sore Mama marah padaku, aku takut jika karena ini tensi darah Mama jadi naik.""Tidak Naya, mereka berdua sudah biasa seperti ini. Sudah, lebih baik kamu tidur saja ini sudah malam,"sahut Mbak Wina dan la