Selamat membaca 🤗"Saya terima nikah dan kawinnya, Anaya Putri Binti Arif Arifin, dengan Mas kawin seperangkat alat sholat dan uangtunai sebesar Lima juta Rupiah."Hanya dengan satu tarikan nafas saja, Mas Fandi mengucapkan ijab kabul dengan begitu lantang dan jelas, tanpa ada celah dan gugup sedikitpun. Membuat hatiku bergetar ketika mendengarkan lantunan yang sangat indah di telingaku itu. Bahkan kedua bola mataku sampai berkaca-kaca dan langsung meneteskan air mata. Mendengar kata-kata Mas Fandi yang sudah sangat lama aku impikan ini."Bagaimana para saksi! Sah!"ucap pria sepuh yang menjadi penghulu kami."SAH!""SAH!""SAH!"Kata-kata Sah, terdengar sangat nyaring dan bersahut membuat aku semakin berada di ambang kebahagiaan tanpa batas karena momen inilah yang sudah sangat lama aku impikan."Alhamdulillah!"Ucap Syukur kembali bergema, ketika pak penghulu dan para saksi meresmikan aku dan Mas Fandi.Dan pada detik itu juga, aku resmi menjadi istri Mas Fandi. Lelaki yang aku cin
Selamat membaca 🤗🍁🍁"Anaya! Apa yang kau lakukan!"sentak Mama, dan sentakannya itu sukses membuatku terkejut sampai aku menjatuhkan pisau yang tengah aku gunakan untuk mengiris tahu.Aku bingung, dan tidak langsung menimpali sentakan Mama. Dengan wajah kesal dan terlihat tidak suka, Mama mendekati ku."Apa yang kau lakukan dengan tahu ini?"tanyanya sambil menunjukkan satu potong tahu yang baru saja aku iris tadi, tepat di depan wajahku."Aku, mengirisnya Ma,"jawabku dengan gugup karena melihat wajah Mama yang begitu sangar tidak seperti beberapa menit lalu, di saat dia sedang menceritakan Mas Fandi. Membuatku takut dengan perubahan sekejap itu."Mama tau kau mengiris Tahu ini, tapi apa seperti ini cara mengiris tahu yang benar?"Mama kembali menyentakku."Maksud Mama?"Tanyaku bingung."Astaga! Anaya, apa kau tidak pernah di ajari cara memasak dengan Ibu mu?"Deg!Dadaku langsung tersentak mendengar kata-kata Mama yang malah melibatkan Ibuku."Bukan seperti ini cara memotong Tahu yan
Selamat! Membaca 🤗🍁🍁🍁Dua jam berlalu, tapi Mas Fandi dan Mama masih belum keluar dari kamar. Membuat hatiku semakin gelisah, apakah Mas Fandi ketiduran di sana?"Naya! Apa yang kamu lakukan di sini?"tanya Mbak Wina yang melihatku tengah mondar-mandir di depan kamar Mama."Mbak, bisa tolong aku untuk memanggil Mas Fandi? Jika Mbak Wina yang mengetuk pintu kamar Mama, beliau pasti tidak akan marah,"pinta ku."Aku tidak berani, sudah kamu tidak usah memperdulikannya. Lebih baik kau tidur saja di kamarmu."Apa! Bisa-bisanya Mbak Wina memintaku untuk tidak memperdulikan ini, bagaimana bisa aku abay pada suamiku yang sudah lebih dari 4 jam berada di kamar mertuaku. Aku mengkhawatirkan mereka berdua."Mbak, apa Mbak Wina tidak merasa khawatir? aku takut terjadi sesuatu pada Mama, tadi sore Mama marah padaku, aku takut jika karena ini tensi darah Mama jadi naik.""Tidak Naya, mereka berdua sudah biasa seperti ini. Sudah, lebih baik kamu tidur saja ini sudah malam,"sahut Mbak Wina dan la
Selamat! Membaca 🤗Dengan hati yang berbunga-bunga aku kembali masuk kedalam Rumah, dan aku terlonjak melihat Mama yang berdiri di ambang pintu, apa sejak tadi beliau memperhatikan aku dan Mas Fandi?"Ma, apa ada sesuatu yang Mama butuhkan?"tanyaku kaku."Tidak, kau bersiap-siaplah. Bukankah kamu ingin ke rumah ibumu."Ujar Mama.Aku mengangguk dan lagi-lagi aku di buat bingun dengan ekspresi dan sikap Mama yang kali ini kembali berubah. Mungkin apa yang di katakan Mas Fandi benar, jika Mama sedang dalam suasana hati yang tidak baik karena banyak pikiran, aku harus mengerti dan memahami ini. **Tidak membutuhkan waktu lama, setelah siap, aku menenteng Tas dan keluar kamar. Aku langsung berpamitan pada Mama dan dengan sangat ramah beliau berkata."Hati-hati di jalan Anaya, Mama titip salam untuk ibumu."Aku tersenyum."Iya Ma."Ojek Online yang aku pesan sudah tiba, aku mencium punggung tangan Mama dan segera pergi dari sana. Aku sudah sangat tidak sabar ingin bertemu dengan Ibu. Baru
Selamat! Membaca 🤗Kemana Mas Fandi?Tiba-tiba hatiku cemas, entah apa yang membuatku cemas yang jelas saat ini aku ingin tau dimana Mas Fandi. Aku turun dari ranjang menuju kamar mandi, aku berdiri lama di sana menajamkan pendengarannya ku untuk memastikan adakah Mas Fandi di dalam. Namun setelah aku benar-benar memastikan, aku tidak mendengar suara apapun, jika Mas Fandi di kamar mandi paling tidak aku mendengar suara gemericik air kan.Tok!Tok!"Mas, Mas Fandi!"panggilku, guna memastikan kalau-kalau Mas Fandi memang ada di dalam.Bukan aku tidak bisa langsung masuk kedalam, tapi Mas Fandi tidak suka jika ada orang lain ikut masuk saat ia berada di tempat seperti itu. Termasuk diriku, Istrinya sendiri.Tidak ada sahut apapun didalam, membuat hatiku berani untuk membuka pintu.Ploong!Kosong!Tidak ada siapapun di bilik mandi itu, lalu kemana Mas Fandi?Tidak ingin mati karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar kamar. Lampu ruang keluarga sudah padam tidak mungkin Mas Fandi ada
Selamat Membaca🤗 Aku yakin dengan apa yang aku lihat tadi, jika Mama sedang memandangi Mas Fandi, sambil tersenyum malu. Ya, senyum malu-malu, bukan senyum senang karena anaknya tengah sarapan dengan lahap, layak Orang Tua pada umumnya ketika melihat sang anak tengah bernafsu makan. Aku melihat senyum berbeda di kedua sudut bibir Mama, begitu juga dengan matanya yang memancarkan kekaguman. Dengan jari-jemari yang mencengkram kuat sendok yang ada di tanganku, aku kembali memberanikan diri untuk melihat Mama. Benar saja, Mama masih memandangi Mas Fandi dengan mimik wajah seperti sebelumnya. Astagfirullah, ada apa ini? kenapa tiba-tiba hatiku merasa cemas dan ketakutan seperti ini, pikiran buruk tiba-tiba mengganggu kepalaku, tidak! aku tidak boleh berpikir macam-macam, aku yakin dan sangat yakin jika semuanya akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja, tidak perlu ada yang di khawatirkan. ''Tante Naya, kenapa tidak di makan sarapannya?''tanya Fatia, yang langsung membuat
Selamat membaca 🤗 🍁🍁 Dadaku semakin berdebar tak karuan, aku benar-benar takut . ** "Haha...Mama bisa saja.'' ''Kenapa? apa kamu tidak percaya pada, mama?'' ''Aku tidak bilang seperti itukan.'' ''Iya, kamu memang tidak bilang seperti itu, tapi raut wajahmu menunjukan jika kamu tidak percaya dengan apa yang mama ceritakan tadi.'' ''Haha.. cukup Ma, sudah cukup. Geli, jangan menggelitik ku terus-terusan seperti ini, haha." DEG! Langkahku yang gemetar tiba-tiba terhenti saat telinga ini menangkap dengan sangat jelas suara-suara yang berasal dari ruang keluarga, suara Mas Fandi dan Mama. Mereka sedang bercanda! Tapi, sejak kapan Mas Fandi dan Mama bercanda seperti ini? selama hampir dua bulan aku tinggal di sini, tidak pernah melihat atau mendengar mereka bercanda. Lebih-lebih lagi Mama, beliau tipe Orang Tua yang sangat serius, bahkan dengan Fatia dan adiknya saja Mama tidak pernah mau bercanda! Ini Mas Fandi. Belum hilang rasa heran yang meliputi hati, aku kembal
Bab 8 Selamat membaca 🤗 🔥🔥🔥 ''Naya!'' Astaga, aku sampai terlonjak saat Mama tiba-tiba ada di belakangku dan memanggilku dengan sedikit menyentak. "Mama,"sahutku, kaku. ''Kenapa kamu malah bengong di sini, apa pekerjaanmu sudah selesai?''tanya Mama dengan mimik wajah masam, sepertinya beliau masih marah padaku. ''Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku Ma, Mama mau apa? apa ada sesuatu yang Mama butuhkan biar aku saja yang mengambilnya,''ucap ku masih dengan lembut, berusaha untuk tenang. ''Mama, ingin membuat kopi untuk Fandi,''sahutnya masih dengan ketus, Aku hanya mengangguk dan tidak lagi berani bertanya karena takut jika Mama marah karena sepertinya beliau enggan bicara lebih banyak denganku. ''Anaya,''panggil Mama setelah beberapa menit kami saling diam. ''Iya, ma,''sahutku dengan cepat. ''Jika mama, sedang menonton Tv bersama Fandi, sebaiknya kamu jangan ikut nimbrung terkecuali ada Wina dan suaminya.'' Aku sangat terkejut plus heran mendengar ini. ''Kamu janga
Maida mengangkat wajahnya, menatap Naya dengan sangat serius. Garis wajah wanita ini memegang, sangat menyeramkan. Siapapun yang menatap pasti akan ketakutan.“Kamu, melarikan diri, dari sana?” Melarikan diri! Tentu Anaya paham arah pembicaraan ini.“Tidak, mereka tau kalau aku pergi dari sana,” sahut Anaya dengan tenang. “Lalu, apa kamu berniat melaporkan ini pada, Fandi?” Naya langsung menggeleng, “Tidak,” jawabnya, yakin.Maida tertawa, “Tidak! Sungguh saya tidak percaya.”Masih dengan ekspresi tenang, Anaya menimpali Maida, “Terserah jika Mama tidak percaya, tidak masalah untukku. Lagi pula, bukankah percuma aku mengadu pada Mas Fandi, dia tidak akan bertindak apa-apa.” Prok! Prok! Prok….!Maida bertepuk tangan, “Semakin hari kamu semakin pandai, Naya! Saya suka itu. Setidaknya saya punya lawan yang seimbang.” Lawan! Ternyata benar, selama ini wanita itu menganggap Menantunya, lawan. “Apa masih ada yang ingin Mama bicarakan?”Jika mertuanya menganggap Lawan, untuk ap
Maida yang terlanjur kesal, langsung mematikan panggilan, "Putar balik, pak!" pintanya pada sopir taksi. Kening wanita ini berkerut, saat ponselnya kembali berdenging dan itu panggilan dari orang yang sebelumnya ia telpon, Maida kesal ia meremas kuat-kuat gadget yang ada di tangannya, "Kamu pikir aku bisa di permainankan, tidak semudah itu, sayang!" Sopir taksi yang tidak sengaja melihat Maida dari kaca spion bergidik ngeri, melihat wajah dan tatapan mata penumpangnya penuh dengan amarah menggelegar. Sadar di perhatikan, Maida menatap semakin tajam pada sopir taksi, "Fokus saja ke depan, jangan kepo pada urusan orang jika ingin selamat!" Sopir langsung mengalihkan pandanganya, ia pura-pura tidak mendengar ucapan Maida. ** "Aku pulang dulu, ya!" kata Fandi dengan tergesa-gesa, sambil meraih jaketnya yang tergantung. "Mau kemana?" tanya temanya heran. "Pulang." "Apa! pulang, tumben, ada apa?" "Sudah jangan banyak tanya, hari ini aku kerja setengah hari ya, aku sudah
“Katakan padaku, di mana Mama membawamu? Apa benar kamu bertemu teman arisan Mama? Lalu apa yang mereka lakukan padamu?” “Wina, pelan-pelan. Sebaiknya kita biarkan Naya tenang dulu, jangan di teror dengan pertanyaan yang banyak,” tegur Hanan, dan ia langsung menyodorkan segelas air putih pada Adik Iparnya. “Terima kasih, Mas,” Naya menerima air itu, dan karena ia memang sedang kehausan Naya menghabiskan air itu dalam satu kali tegukan. Wina dan Hanan saling pandang, dalam benak mereka hanya ada satu pertanyaan! Apa yang terjadi pada Anaya? “Apa kamu mau minum lagi?” Tanya Hanan. “Tidak Mas, sudah cukup.” Naya langsung meletakkan gelas di atas meja. “Naya, apa yang terjadi?” Wina yang tidak sabar langsung bertanya intinya. Naya terdiam sejenak, ia tidak mau gegabah dengan menceritakan semuanya pada Wina dan Hanan, mengingat dua orang ini sangat teramat patuh pada Maida, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengadu. Naya memutuskan untuk merahasiakan ini dari Hanan dan Win
Mama pergi dengan Naya? kenapa ga bilang. Fandi mematung, ia sama sekali tidak memperdulikan Gading yang masih menunggu jawaban. Pikiran Fandi tiba-tiba kalut, biar bagaimanapun juga Anaya adalah istrinya, wanita yang ia cintai. "Fandi!" panggil Gading, dengan membentak. Lelaki itu tersadar, namun masih tidak bicara apapun lagi. Dengan wajah yang linglung Fandi pergi ke sebuah ruangan sambil merogoh saku celananya. "Hei! mau kemana Lo? gue belum selesai bicara!" Gading kembali membentak saat ia di acuhkan begitu saja, "Sial! berani sekali dia bertindak tidak sopan, apa dia lupa kalau aku ini Kakak Iparnya," kesal Gading. Kakinya sudah melangkah, ingin menyusul adik Ipar yang ia anggap tidak sopan itu. Tapi.... "Maaf Pak, Anda tidak diizinkan masuk, itu ruangan khusus karyawan pabrik," cegah seorang lelaki tua yang bertugas sebagai keamanan. "Saya belum selesai bicara dengannya," kata Gading yang tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya. "Pak! mohon kerjasamanya
37 Saat menantu lelakinya menanyakan keberadaan menantu perempuannya, Maida memicingkan mata. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikiran wanita itu hanya dia dan tuhan yang tahu. "Ma, dimana Anaya?" kini Wina yang berani bertanya, ia sudah tidak peduli lagi jika Ibunya itu akan marah, karena Wina tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Kejadian 4 tahun silam sudah membuatnya merasa bersalah sampai saat ini, bahkan mungkin, sampai ia matipun akan tetap merasa bersalah. "Wina, apa kamu sudah benar-benar sehat?!" tanya Maida, namun pertanyaan ini tidak terdengar seperti pertanyaan. Wina yang mengerti, langsung menunduk takut, melihat mata Maida yang menatapnya tajam Wina seperti tersihir hingga membuatnya membeku. "Hanan!" panggilannya pada lelaki yang masih berdiri di sana, Hanan juga seperti orang yang linglung, dengan menatap Maida lekat namun kosong, Hanan menyahut, "Iya, Ma!" "Kamu seorang ayah, sudah seharusnya kamu menjaga anak dan istrimu denga
Pada detik itu juga Naya merasakan hawa yang berbeda, dari wajah-wajah para orang tua di sana semakin membuat Naya, waspada. "Rileks cantik, jika kamu tegangan seperti ini, pasti akan terasa kaku." Naya tersentak, saat suara itu terdengar di telinganya, bukan cuma suaranya saja yang membuat Anaya kaget, tapi gerakan lembut dari jari tangan mengelus pipi kirinya. Naya menepis tangan-tangan yang mengerubungi nya, ia bangkit dari duduk, semua menatap Anaya tidak percaya, mata Naya kini fokus pada Ibu Mertuanya, "Ma, apa kita masih lama disini? tidak tidak aku ingin segera pulang." Hahaha.. Hahaha... Ucapan Naya yang ingin pulang, sekita di sambut tawa menggema dari para wanita sepuh di sana, entah apa yang mereka tertawakan, tapi melihat dari wajahnya mereka mengejek Naya. Satu orang berjalan mendekat Maida, "Jeng, apa sebelum datang kesini kamu tidak memberi tahu Menantumu ini?" tanya Wanita itu. Maida hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun. "Oh, pantas saja. Tapi tidak
"Fandi," kata Hanan dengan tiba-tiba setelah ia terdiam beberapa saat, Nama Fandi di sebut tentang mengejutkan Wina, "Apa katamu, Mas? Fandi?" "Iya Fandi, tidak ada pilihan lain kita harus melibatkan Fandi, adikmu itu pasti tau lokasi tempat Mama dan teman-temannya berkumpul." "Tapi Mas!" sahut Wina, dari nada dan mimik wajahnya, wanita dua anak ini ragu jika harus melibatkan Fandi. "Tapi kenapa? Apa kamu tidak mau melibatkannya?" tanya Hanan yang sudah bisa menebak kekhawatiran istrinya. "Ya, bukankah masalahnya akan menjadi panjang kalau Fandi tahu, kita ikut campur dalam masalah ini." "Tapi Fandi tidak tahu jika mama membawa Naya pergi." Wina menatap Hanan, benar, Fandy tidaklah tahu jika saat ini Naya sedang bersama mama. Itu artinya, Fandi tidak sadar jika terjadi masalah di sini. Melihat istrinya yang terdiam, Hanan kembali meyakinkan Wina, "Win, tidak ada pilihan lain. Jika kita ingin mengeluarkan Anaya dari bahaya, kita harus melibatkan Fandi." "Tapi....apa me
"Siapa ini?" gumam Karina, tapi karena penasaran menyelimuti ia tetap membuka pesan itu. (Assalamualaikum, apa benar ini Karina? teman Anya?) Bunyi pesan, itu. Karina menjerit, "Anaya! jika ia membawa nama Anaya sudah pasti orang ini kenal Naya," pikirnya. Tanpa mengulur waktu, Karina langsung membalas pesan, membenarkan bahwa dirinya Karina. (Saya Wina, Kakak Ipar Anaya) Karina semakin bersemangat, kali ini dia tidak mengirim pesan melainkan langsung menelpon. "Kak, tolong katakan di mana Anaya?" tanya Karina yang panik, sampai lupa mengucap salam. ("Apa! justru aku ingin bertanya tentang Naya, padamu!") Karina semakin panik, "Jadi Kakak tidak tau Anaya pergi kemana? tapi Kak Wina tau kan jika Naya pergi dengan Mertuanya?" ("Iya aku tau, tapi aku tidak tau tempat itu dimana, dan ini tujuanku menghubungimu, apa Naya ada mengirim pesan padamu? seperti memberitahu lokasi dia saat ini.") "Seharusnya ada, tapi ponsel Naya tidak aktif, aku takut terjadi sesuatu padany
"Iya, sama-sama." Naya yang merasa canggung dan tidak nyaman, langsung melepaskan diri dari pelukan wanita yang berpakaian seksi itu. "Ah, maaf ya," ucap wanita itu yang langsung mundur menjauhi Anaya, lalu beralih pada Maida, "Beb, sepertinya Menantumu ini tidak biasa di peluk, apa dia jarang mendapat pelukan dari anakmu!" Haha... haha.. haha.... Cetusan wanita tadi langsung disambut gelak tawa, teman-teman yang lainnya. Mungkin itu terdengar lucu bagi mereka, tapi tidak dengan Anaya dan Maida. Jika Anaya merasa risi, Maida terlihat tidak suka dengan candaan temanya. "Sudah cukup! apa kalian tidak takut akan sesak nafas jika terus tertawa," kata Maida, dan langsung menutup mulut orang-orang di sana. Maida amat berpengaruh, hampir sebagian dari mereka sangat menghormati dan patuh pada wanita ini, begitu Maida bersuara semua langsung diam tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Anya mengamati situasi di sana ia juga mengamati setiap wajah. "Apa kali