Selamat membaca 🤗
🍁🍁 "Anaya! Apa yang kau lakukan!"sentak Mama, dan sentakannya itu sukses membuatku terkejut sampai aku menjatuhkan pisau yang tengah aku gunakan untuk mengiris tahu. Aku bingung, dan tidak langsung menimpali sentakan Mama. Dengan wajah kesal dan terlihat tidak suka, Mama mendekati ku. "Apa yang kau lakukan dengan tahu ini?"tanyanya sambil menunjukkan satu potong tahu yang baru saja aku iris tadi, tepat di depan wajahku. "Aku, mengirisnya Ma,"jawabku dengan gugup karena melihat wajah Mama yang begitu sangar tidak seperti beberapa menit lalu, di saat dia sedang menceritakan Mas Fandi. Membuatku takut dengan perubahan sekejap itu. "Mama tau kau mengiris Tahu ini, tapi apa seperti ini cara mengiris tahu yang benar?"Mama kembali menyentakku. "Maksud Mama?"Tanyaku bingung. "Astaga! Anaya, apa kau tidak pernah di ajari cara memasak dengan Ibu mu?" Deg!Dadaku langsung tersentak mendengar kata-kata Mama yang malah melibatkan Ibuku. "Bukan seperti ini cara memotong Tahu yang benar, Mama tidak habis pikir. Bagaimana bisa kau memotong Tahu sekecil ini! sedangkan Tahu ini untuk di goreng."Ucapnya lagi dengan suara yang menggema. "Ada apa Ma, Anaya? Kenapa ribut sekali?"Mas Fandi datang. Mungkin dia mendengar kegaduhan di dapur yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari ruang keluarga. Mama mertua segera mendekati Mas Fandi. Dengan wajah yang memerah beliau berkata pada Mas Fandi. "Lihat ini Fan, lihat apa yang istrimu kerjakan, memotong Tahu saja tidak bisa. Kamu taukan jika Mama tidak bisa, kalau ada kesalahan dalam setiap masakan yang Mama sajikan." "Ma, maafkan Anaya, mungkin Anaya tidak tau harus memotongnya seperti apa."Bela Mas Fandi. "Tidak tau! Jika tidak tau, seharusnya dia bertanya pada Mama. Bukan asal-asalan mengerjakan hingga membuat kesalahan seperti ini."Marah Mama yang tidak terima. Astaghfirullah! Aku sampai tidak bisa bicara apapun karena terkejut dengan apa yang terjadi di hadapanku ini. Sungguh aku melihat sosok lain pada Mama mertuaku, dia terlihat begitu galak dengan kata-kata makian yang membuatku tersinggung. Padahal aku hanya salah memotong Tahu yang tidak sesuai keinginannya, tapi apa harus dia marah sampai seperti ini? "Sudah Ma, Mama jangan marah-marah seperti ini, nanti tensi darah Mama naik. Biar aku yang bicara pada Anaya, ini juga salah Fandi Ma, karena Fandi tidak mengatakan apa yang harus Naya lakukan ketika sedang memasak bersama Mama."Ujar Mas Fandi, menenangkan ibunya. Meskipun aku sedikit senang dengan Mas Fandi yang membelaku, tapi aku masih di buat bingung dengan semua ini. PLUK! Mama melemparkan Tahu yang tadi ada di tangannya, tepat di hadapanku sembilan berucap."Mama sudah tidak berselera untuk masak, istrimu itu merusak semuanya." Mas Fandi diam sesaat begitu juga denganku. "Naya, tolong bereskan semuanya, aku ingin mengantar Mama ke kamar dulu."Ujar Mas Fandi, dan setelah mengatakan itu dia pergi dari Dapur dengan menuntun Mama yang masih memasang wajah kesal dan terlihat sedikit menyeramkan di mataku. *** Aku mengambil Tahu yang tadi di lemparkan Mama, aku menatap Tahu itu dengan Iba, tapi rasa ibu itu tentu untuk diriku sendiri yang entah kenapa aku bisa melakukan kesalahan yang bisa membuat Mama begitu marah padaku. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika Mama membenciku karena ini. Tidak! Tentu tidak mungkin jika Mama membenciku hanya karena masalah seperti ini kan. Aku terus saja meyakinkan diriku, dan aku berjanji akan memperbaiki semua kesalahanku ini, ya aku harus kembali membuat Mama senang. Dengan penuh semangat, aku kembali melanjutkan apa yang sudah aku kerjakan tadi, dengan mengira-ngira ukuran yang ideal sebuah Tahu Goreng. Aku kembali memotong Tahu-tahu yang masih tersisa. Semoga ini sesuai keinginan Mama, harapku sambil menatap sepiring Tahu goreng yang sudah aku masak dengan sangat teliti dan hati-hati. *** Tiba di waktunya makan malam. Aku menyusun semua menu makan malam yang aku masak tadi di meja makan, di bantu dengan Fatia, anak pertama Mbak Wina. Sedangkan Mas Fandi dan Mama sejak tadi masih berada di dalam kamar begitu juga dengan Mbak Wina dan suaminya. "Fatia, tolong panggilkan Ibu dan Ayahmu, katakan pada mereka jika makan malam sudah siap, biar Tante Naya yang akan memanggil Nenek dan Om Fandi."Ucapku pada gadis kecil yang masih berumur 8 Tahun itu. "Jangan! Tante,"cegah Fatia yang langsung menghentikan langkah kakiku yang sudah akan beranjak menuju kamar Mama. "Kenapa, apa Fatia yang ingin memanggil Nenek dan Om Fandi?"tanyaku. Fatia menggeleng. "Lalu?"tanyaku kembali. "Nenek pasti akan marah jika di ganggu saat sedang bersama Om Fandi." Alasan yang di ucapkan Fatia tentu membuat aku bingung. "Kenapa harus marah? Tante tidak menggangu nenek dan Om Fandi, Tante hanya ingin mereka makan malam karena ini memang sudah waktunya makan malam kan?" "Tetep saja, apapun alasannya itu Nenek pasti akan marah, Tante Naya tunggu saja di sini Nenek sudah tau ko ini waktunya makan malam pasti sebentar lagi akan keluar dari kamar, dan aku akan panggil Ibu serta Ayah." Setelah memintaku untuk menunggu, Fatia melenggang pergi menuju kamar Orang tuanya. Dan aku sendiri jadi kepikiran dengan kata-kata Fatia tadi. Apa yang sedang di lakukan Mama dan Mas Fandi, sehingga dia akan marah jika ada seseorang yang mengganggunya? Pertanyaan ini hadir begitu saja di kepalaku, dan dengan cepat aku menepis dan membuang jauh-jauh pertanyaan yang tentu aku sendiri tidak tau jawabannya. Yang aku tau saat ini Mas Fandi tengah menenangkan Mama yang tadi kesal karena kesalahan yang aku buat di dapur. ** Mbak Wina dan suaminya yang bernama Hanan muncul bersama Anak kedua mereka yang masih berumur 2 Tahun. "Di mana Nenek mu?"tanya Mbak Wina pada Fatia yang sudah lebih dulu duduk di kursi makan. "Di Kamar, bu."Sahut Fatia. "Apa bersama Om Fandi?"tanya Mbak Wina kembali. "Iya." Setelah mendapat jawaban dari Fatia, Mbak Wina mengangguk lalu ia mengambil piring yang sudah aku sediakan di sana lalu menyendok nasi beserta lauk pauk. "Maaf Mbak Wina, apa tidak sebaiknya kita menunggu Mama dan Mas Fandi terlebih dahulu,"ucapku. Dan ucapanku ini tentu beralasan, karena selama beberapa hari aku tinggal di sini aku mendapati ketaatan di meja makan bahwa tidak ada yang boleh makan terlebih dahulu sebelum Mama berada di kursinya. "Tidak perlu, kita makan saja duluan. Jika kita menunggu Mama dan Fandi keluar tentu saja anak-anakku akan kelaparan,"sahut Mbak Wina yang masih terus menggerakkan tangannya, mengisi piring makan Mas Hanan dan anaknya yang paling kecil. Aku terdiam dalam kebingungan. Tentu saja ini yang pertama karena sebelumnya aku tidak tahu akan hal ini. Jika Mas Fandi dan Mama berada di dalam kamar akan membutuhkan waktu yang lama, bukankah tadi Fatia bilang, jika Neneknya pasti akan keluar kamar, jika waktu makan malam tiba. Ingin rasanya aku bertanya kepada mereka, apakah Mas Fandi harus selalu menemani Mama di dalam kamar jika Mama sedang dalam suasana hati kesal atau marah? rasanya aku juga ingin mengetuk pintu kamar Mama Mertuaku dan bertanya langsung kepada Mas Fandi, yang masih berada di sana sudah lebih dari dua jam. Tapi tentu aku tidak berani untuk melakukan semua itu karena aku masih merasa bersalah kepada Mama. "Sudah Naya, kau makan saja, tidak usah memikirkan apapun,"ucap Mas Hanan yang sepertinya menyadari jika aku tengah memikirkan sesuatu. "Terima kasih Mas, kalian makan duluan saja, biar aku menunggu Mas Fandi."Ucapku, yang memang tidak ingin melewati makan malam bersama suamiku itu. BERSAMBUNG..Selamat! Membaca 🤗🍁🍁🍁Dua jam berlalu, tapi Mas Fandi dan Mama masih belum keluar dari kamar. Membuat hatiku semakin gelisah, apakah Mas Fandi ketiduran di sana?"Naya! Apa yang kamu lakukan di sini?"tanya Mbak Wina yang melihatku tengah mondar-mandir di depan kamar Mama."Mbak, bisa tolong aku untuk memanggil Mas Fandi? Jika Mbak Wina yang mengetuk pintu kamar Mama, beliau pasti tidak akan marah,"pinta ku."Aku tidak berani, sudah kamu tidak usah memperdulikannya. Lebih baik kau tidur saja di kamarmu."Apa! Bisa-bisanya Mbak Wina memintaku untuk tidak memperdulikan ini, bagaimana bisa aku abay pada suamiku yang sudah lebih dari 4 jam berada di kamar mertuaku. Aku mengkhawatirkan mereka berdua."Mbak, apa Mbak Wina tidak merasa khawatir? aku takut terjadi sesuatu pada Mama, tadi sore Mama marah padaku, aku takut jika karena ini tensi darah Mama jadi naik.""Tidak Naya, mereka berdua sudah biasa seperti ini. Sudah, lebih baik kamu tidur saja ini sudah malam,"sahut Mbak Wina dan la
Selamat! Membaca 🤗Dengan hati yang berbunga-bunga aku kembali masuk kedalam Rumah, dan aku terlonjak melihat Mama yang berdiri di ambang pintu, apa sejak tadi beliau memperhatikan aku dan Mas Fandi?"Ma, apa ada sesuatu yang Mama butuhkan?"tanyaku kaku."Tidak, kau bersiap-siaplah. Bukankah kamu ingin ke rumah ibumu."Ujar Mama.Aku mengangguk dan lagi-lagi aku di buat bingun dengan ekspresi dan sikap Mama yang kali ini kembali berubah. Mungkin apa yang di katakan Mas Fandi benar, jika Mama sedang dalam suasana hati yang tidak baik karena banyak pikiran, aku harus mengerti dan memahami ini. **Tidak membutuhkan waktu lama, setelah siap, aku menenteng Tas dan keluar kamar. Aku langsung berpamitan pada Mama dan dengan sangat ramah beliau berkata."Hati-hati di jalan Anaya, Mama titip salam untuk ibumu."Aku tersenyum."Iya Ma."Ojek Online yang aku pesan sudah tiba, aku mencium punggung tangan Mama dan segera pergi dari sana. Aku sudah sangat tidak sabar ingin bertemu dengan Ibu. Baru
Selamat! Membaca 🤗Kemana Mas Fandi?Tiba-tiba hatiku cemas, entah apa yang membuatku cemas yang jelas saat ini aku ingin tau dimana Mas Fandi. Aku turun dari ranjang menuju kamar mandi, aku berdiri lama di sana menajamkan pendengarannya ku untuk memastikan adakah Mas Fandi di dalam. Namun setelah aku benar-benar memastikan, aku tidak mendengar suara apapun, jika Mas Fandi di kamar mandi paling tidak aku mendengar suara gemericik air kan.Tok!Tok!"Mas, Mas Fandi!"panggilku, guna memastikan kalau-kalau Mas Fandi memang ada di dalam.Bukan aku tidak bisa langsung masuk kedalam, tapi Mas Fandi tidak suka jika ada orang lain ikut masuk saat ia berada di tempat seperti itu. Termasuk diriku, Istrinya sendiri.Tidak ada sahut apapun didalam, membuat hatiku berani untuk membuka pintu.Ploong!Kosong!Tidak ada siapapun di bilik mandi itu, lalu kemana Mas Fandi?Tidak ingin mati karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar kamar. Lampu ruang keluarga sudah padam tidak mungkin Mas Fandi ada
Selamat Membaca🤗 Aku yakin dengan apa yang aku lihat tadi, jika Mama sedang memandangi Mas Fandi, sambil tersenyum malu. Ya, senyum malu-malu, bukan senyum senang karena anaknya tengah sarapan dengan lahap, layak Orang Tua pada umumnya ketika melihat sang anak tengah bernafsu makan. Aku melihat senyum berbeda di kedua sudut bibir Mama, begitu juga dengan matanya yang memancarkan kekaguman. Dengan jari-jemari yang mencengkram kuat sendok yang ada di tanganku, aku kembali memberanikan diri untuk melihat Mama. Benar saja, Mama masih memandangi Mas Fandi dengan mimik wajah seperti sebelumnya. Astagfirullah, ada apa ini? kenapa tiba-tiba hatiku merasa cemas dan ketakutan seperti ini, pikiran buruk tiba-tiba mengganggu kepalaku, tidak! aku tidak boleh berpikir macam-macam, aku yakin dan sangat yakin jika semuanya akan baik-baik saja. Ya, semua akan baik-baik saja, tidak perlu ada yang di khawatirkan. ''Tante Naya, kenapa tidak di makan sarapannya?''tanya Fatia, yang langsung membuat
Selamat membaca 🤗 🍁🍁 Dadaku semakin berdebar tak karuan, aku benar-benar takut . ** "Haha...Mama bisa saja.'' ''Kenapa? apa kamu tidak percaya pada, mama?'' ''Aku tidak bilang seperti itukan.'' ''Iya, kamu memang tidak bilang seperti itu, tapi raut wajahmu menunjukan jika kamu tidak percaya dengan apa yang mama ceritakan tadi.'' ''Haha.. cukup Ma, sudah cukup. Geli, jangan menggelitik ku terus-terusan seperti ini, haha." DEG! Langkahku yang gemetar tiba-tiba terhenti saat telinga ini menangkap dengan sangat jelas suara-suara yang berasal dari ruang keluarga, suara Mas Fandi dan Mama. Mereka sedang bercanda! Tapi, sejak kapan Mas Fandi dan Mama bercanda seperti ini? selama hampir dua bulan aku tinggal di sini, tidak pernah melihat atau mendengar mereka bercanda. Lebih-lebih lagi Mama, beliau tipe Orang Tua yang sangat serius, bahkan dengan Fatia dan adiknya saja Mama tidak pernah mau bercanda! Ini Mas Fandi. Belum hilang rasa heran yang meliputi hati, aku kembal
Bab 8 Selamat membaca 🤗 🔥🔥🔥 ''Naya!'' Astaga, aku sampai terlonjak saat Mama tiba-tiba ada di belakangku dan memanggilku dengan sedikit menyentak. "Mama,"sahutku, kaku. ''Kenapa kamu malah bengong di sini, apa pekerjaanmu sudah selesai?''tanya Mama dengan mimik wajah masam, sepertinya beliau masih marah padaku. ''Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku Ma, Mama mau apa? apa ada sesuatu yang Mama butuhkan biar aku saja yang mengambilnya,''ucap ku masih dengan lembut, berusaha untuk tenang. ''Mama, ingin membuat kopi untuk Fandi,''sahutnya masih dengan ketus, Aku hanya mengangguk dan tidak lagi berani bertanya karena takut jika Mama marah karena sepertinya beliau enggan bicara lebih banyak denganku. ''Anaya,''panggil Mama setelah beberapa menit kami saling diam. ''Iya, ma,''sahutku dengan cepat. ''Jika mama, sedang menonton Tv bersama Fandi, sebaiknya kamu jangan ikut nimbrung terkecuali ada Wina dan suaminya.'' Aku sangat terkejut plus heran mendengar ini. ''Kamu janga
Selamat membaca 🤗 💥💥💥 Senyum mama semakin memancar saat Mas Fandi, keluar dan kini berdiri di sebelahnya. ''Fandi, kamu harus jadi karyawan teladan dan rajin. Jadi jangan sampai terlambat datang di tempat kerjamu,''ucap mama sambil bergelayut di lengan Mas Fandi. ''Iya ma, aku minta maaf, tadi Naya sudah mengingatkan aku,”sahut Mas Fandi. Saat Mas Fandi menyebut namaku, raut wajah mama langsung berubah masam. ''Yasudah, ayo kita sarapan. Mama sudah membuat nasi goreng kesukaanmu,''kata mama yang terlihat berusaha mengembalikan keceriaan di wajahnya. ''Maaf ma, pagi ini aku tidak bisa sarapan di rumah dulu, aku takut terlambat,''lagi-lagi ucapan Mas Fandi membuat mama terlihat kecut, terus terang ini kali pertama aku mendengar Mas Fandi menolak ajakan mama biasa ia langsung gercep. ''Baiklah, tidak apa-apa, ayo mama antar ke depan.''Ujar mama mengalah, namun terlihat tidak suka. Mas Fandi mengangguk lalu ia berjalan mengikuti mama yang menuntunnya, tanpa memperduli
Selamat membaca 🔥🔥🔥 Aku membulatkan mata, menatap sesuatu yang terpampang dengan jelas di dinding persis di atas ranjang Mama. Foto Mas Fandi dan Mama. Ya, itu foto mereka berdua tapi kenapa aku bisa terkejut padahal hanya melihat foto? Yang membuatku terkejut sekaligus terperangah. Karena foto yang di balut dengan bingkai berukuran besar itu, persis seperti foto pernikahanku dan Mas Fandi. Kenapa ada foto seperti ini? dan kenapa dipajang di kamar Mama? Aku terdiam sejenak, berharap ada yang bisa menjawab pertanyaanku ini, namun aku sadar yang bisa menjawab hanyalah Mas Fandi dan Mama. Aku mendekat untuk meneliti Foto tersebut, kalau-kalau mataku tiba-tiba rabun dan salah melihat. "Tidak, aku tidak salah lihat. Ini benar-benar foto Mas Fandi dan Mama,"gumam ku dengan sangat yakin dengan apa yang aku lihat ini. Ah sudahlah, lupakan dulu soal foto karena saat ini aku harus membereskan kamar Mama, jangan sampai Mama sudah pulang aku belum selesai mengerjakan ini. Usai
Maida mengangkat wajahnya, menatap Naya dengan sangat serius. Garis wajah wanita ini memegang, sangat menyeramkan. Siapapun yang menatap pasti akan ketakutan.“Kamu, melarikan diri, dari sana?” Melarikan diri! Tentu Anaya paham arah pembicaraan ini.“Tidak, mereka tau kalau aku pergi dari sana,” sahut Anaya dengan tenang. “Lalu, apa kamu berniat melaporkan ini pada, Fandi?” Naya langsung menggeleng, “Tidak,” jawabnya, yakin.Maida tertawa, “Tidak! Sungguh saya tidak percaya.”Masih dengan ekspresi tenang, Anaya menimpali Maida, “Terserah jika Mama tidak percaya, tidak masalah untukku. Lagi pula, bukankah percuma aku mengadu pada Mas Fandi, dia tidak akan bertindak apa-apa.” Prok! Prok! Prok….!Maida bertepuk tangan, “Semakin hari kamu semakin pandai, Naya! Saya suka itu. Setidaknya saya punya lawan yang seimbang.” Lawan! Ternyata benar, selama ini wanita itu menganggap Menantunya, lawan. “Apa masih ada yang ingin Mama bicarakan?”Jika mertuanya menganggap Lawan, untuk ap
Maida yang terlanjur kesal, langsung mematikan panggilan, "Putar balik, pak!" pintanya pada sopir taksi. Kening wanita ini berkerut, saat ponselnya kembali berdenging dan itu panggilan dari orang yang sebelumnya ia telpon, Maida kesal ia meremas kuat-kuat gadget yang ada di tangannya, "Kamu pikir aku bisa di permainankan, tidak semudah itu, sayang!" Sopir taksi yang tidak sengaja melihat Maida dari kaca spion bergidik ngeri, melihat wajah dan tatapan mata penumpangnya penuh dengan amarah menggelegar. Sadar di perhatikan, Maida menatap semakin tajam pada sopir taksi, "Fokus saja ke depan, jangan kepo pada urusan orang jika ingin selamat!" Sopir langsung mengalihkan pandanganya, ia pura-pura tidak mendengar ucapan Maida. ** "Aku pulang dulu, ya!" kata Fandi dengan tergesa-gesa, sambil meraih jaketnya yang tergantung. "Mau kemana?" tanya temanya heran. "Pulang." "Apa! pulang, tumben, ada apa?" "Sudah jangan banyak tanya, hari ini aku kerja setengah hari ya, aku sudah
“Katakan padaku, di mana Mama membawamu? Apa benar kamu bertemu teman arisan Mama? Lalu apa yang mereka lakukan padamu?” “Wina, pelan-pelan. Sebaiknya kita biarkan Naya tenang dulu, jangan di teror dengan pertanyaan yang banyak,” tegur Hanan, dan ia langsung menyodorkan segelas air putih pada Adik Iparnya. “Terima kasih, Mas,” Naya menerima air itu, dan karena ia memang sedang kehausan Naya menghabiskan air itu dalam satu kali tegukan. Wina dan Hanan saling pandang, dalam benak mereka hanya ada satu pertanyaan! Apa yang terjadi pada Anaya? “Apa kamu mau minum lagi?” Tanya Hanan. “Tidak Mas, sudah cukup.” Naya langsung meletakkan gelas di atas meja. “Naya, apa yang terjadi?” Wina yang tidak sabar langsung bertanya intinya. Naya terdiam sejenak, ia tidak mau gegabah dengan menceritakan semuanya pada Wina dan Hanan, mengingat dua orang ini sangat teramat patuh pada Maida, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengadu. Naya memutuskan untuk merahasiakan ini dari Hanan dan Win
Mama pergi dengan Naya? kenapa ga bilang. Fandi mematung, ia sama sekali tidak memperdulikan Gading yang masih menunggu jawaban. Pikiran Fandi tiba-tiba kalut, biar bagaimanapun juga Anaya adalah istrinya, wanita yang ia cintai. "Fandi!" panggil Gading, dengan membentak. Lelaki itu tersadar, namun masih tidak bicara apapun lagi. Dengan wajah yang linglung Fandi pergi ke sebuah ruangan sambil merogoh saku celananya. "Hei! mau kemana Lo? gue belum selesai bicara!" Gading kembali membentak saat ia di acuhkan begitu saja, "Sial! berani sekali dia bertindak tidak sopan, apa dia lupa kalau aku ini Kakak Iparnya," kesal Gading. Kakinya sudah melangkah, ingin menyusul adik Ipar yang ia anggap tidak sopan itu. Tapi.... "Maaf Pak, Anda tidak diizinkan masuk, itu ruangan khusus karyawan pabrik," cegah seorang lelaki tua yang bertugas sebagai keamanan. "Saya belum selesai bicara dengannya," kata Gading yang tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya. "Pak! mohon kerjasamanya
37 Saat menantu lelakinya menanyakan keberadaan menantu perempuannya, Maida memicingkan mata. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikiran wanita itu hanya dia dan tuhan yang tahu. "Ma, dimana Anaya?" kini Wina yang berani bertanya, ia sudah tidak peduli lagi jika Ibunya itu akan marah, karena Wina tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Kejadian 4 tahun silam sudah membuatnya merasa bersalah sampai saat ini, bahkan mungkin, sampai ia matipun akan tetap merasa bersalah. "Wina, apa kamu sudah benar-benar sehat?!" tanya Maida, namun pertanyaan ini tidak terdengar seperti pertanyaan. Wina yang mengerti, langsung menunduk takut, melihat mata Maida yang menatapnya tajam Wina seperti tersihir hingga membuatnya membeku. "Hanan!" panggilannya pada lelaki yang masih berdiri di sana, Hanan juga seperti orang yang linglung, dengan menatap Maida lekat namun kosong, Hanan menyahut, "Iya, Ma!" "Kamu seorang ayah, sudah seharusnya kamu menjaga anak dan istrimu denga
Pada detik itu juga Naya merasakan hawa yang berbeda, dari wajah-wajah para orang tua di sana semakin membuat Naya, waspada. "Rileks cantik, jika kamu tegangan seperti ini, pasti akan terasa kaku." Naya tersentak, saat suara itu terdengar di telinganya, bukan cuma suaranya saja yang membuat Anaya kaget, tapi gerakan lembut dari jari tangan mengelus pipi kirinya. Naya menepis tangan-tangan yang mengerubungi nya, ia bangkit dari duduk, semua menatap Anaya tidak percaya, mata Naya kini fokus pada Ibu Mertuanya, "Ma, apa kita masih lama disini? tidak tidak aku ingin segera pulang." Hahaha.. Hahaha... Ucapan Naya yang ingin pulang, sekita di sambut tawa menggema dari para wanita sepuh di sana, entah apa yang mereka tertawakan, tapi melihat dari wajahnya mereka mengejek Naya. Satu orang berjalan mendekat Maida, "Jeng, apa sebelum datang kesini kamu tidak memberi tahu Menantumu ini?" tanya Wanita itu. Maida hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun. "Oh, pantas saja. Tapi tidak
"Fandi," kata Hanan dengan tiba-tiba setelah ia terdiam beberapa saat, Nama Fandi di sebut tentang mengejutkan Wina, "Apa katamu, Mas? Fandi?" "Iya Fandi, tidak ada pilihan lain kita harus melibatkan Fandi, adikmu itu pasti tau lokasi tempat Mama dan teman-temannya berkumpul." "Tapi Mas!" sahut Wina, dari nada dan mimik wajahnya, wanita dua anak ini ragu jika harus melibatkan Fandi. "Tapi kenapa? Apa kamu tidak mau melibatkannya?" tanya Hanan yang sudah bisa menebak kekhawatiran istrinya. "Ya, bukankah masalahnya akan menjadi panjang kalau Fandi tahu, kita ikut campur dalam masalah ini." "Tapi Fandi tidak tahu jika mama membawa Naya pergi." Wina menatap Hanan, benar, Fandy tidaklah tahu jika saat ini Naya sedang bersama mama. Itu artinya, Fandi tidak sadar jika terjadi masalah di sini. Melihat istrinya yang terdiam, Hanan kembali meyakinkan Wina, "Win, tidak ada pilihan lain. Jika kita ingin mengeluarkan Anaya dari bahaya, kita harus melibatkan Fandi." "Tapi....apa me
"Siapa ini?" gumam Karina, tapi karena penasaran menyelimuti ia tetap membuka pesan itu. (Assalamualaikum, apa benar ini Karina? teman Anya?) Bunyi pesan, itu. Karina menjerit, "Anaya! jika ia membawa nama Anaya sudah pasti orang ini kenal Naya," pikirnya. Tanpa mengulur waktu, Karina langsung membalas pesan, membenarkan bahwa dirinya Karina. (Saya Wina, Kakak Ipar Anaya) Karina semakin bersemangat, kali ini dia tidak mengirim pesan melainkan langsung menelpon. "Kak, tolong katakan di mana Anaya?" tanya Karina yang panik, sampai lupa mengucap salam. ("Apa! justru aku ingin bertanya tentang Naya, padamu!") Karina semakin panik, "Jadi Kakak tidak tau Anaya pergi kemana? tapi Kak Wina tau kan jika Naya pergi dengan Mertuanya?" ("Iya aku tau, tapi aku tidak tau tempat itu dimana, dan ini tujuanku menghubungimu, apa Naya ada mengirim pesan padamu? seperti memberitahu lokasi dia saat ini.") "Seharusnya ada, tapi ponsel Naya tidak aktif, aku takut terjadi sesuatu padany
"Iya, sama-sama." Naya yang merasa canggung dan tidak nyaman, langsung melepaskan diri dari pelukan wanita yang berpakaian seksi itu. "Ah, maaf ya," ucap wanita itu yang langsung mundur menjauhi Anaya, lalu beralih pada Maida, "Beb, sepertinya Menantumu ini tidak biasa di peluk, apa dia jarang mendapat pelukan dari anakmu!" Haha... haha.. haha.... Cetusan wanita tadi langsung disambut gelak tawa, teman-teman yang lainnya. Mungkin itu terdengar lucu bagi mereka, tapi tidak dengan Anaya dan Maida. Jika Anaya merasa risi, Maida terlihat tidak suka dengan candaan temanya. "Sudah cukup! apa kalian tidak takut akan sesak nafas jika terus tertawa," kata Maida, dan langsung menutup mulut orang-orang di sana. Maida amat berpengaruh, hampir sebagian dari mereka sangat menghormati dan patuh pada wanita ini, begitu Maida bersuara semua langsung diam tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Anya mengamati situasi di sana ia juga mengamati setiap wajah. "Apa kali