Selamat membaca 🤗
🍁🍁 Dadaku semakin berdebar tak karuan, aku benar-benar takut . ** "Haha...Mama bisa saja.'' ''Kenapa? apa kamu tidak percaya pada, mama?'' ''Aku tidak bilang seperti itukan.'' ''Iya, kamu memang tidak bilang seperti itu, tapi raut wajahmu menunjukan jika kamu tidak percaya dengan apa yang mama ceritakan tadi.'' ''Haha.. cukup Ma, sudah cukup. Geli, jangan menggelitik ku terus-terusan seperti ini, haha." DEG! Langkahku yang gemetar tiba-tiba terhenti saat telinga ini menangkap dengan sangat jelas suara-suara yang berasal dari ruang keluarga, suara Mas Fandi dan Mama. Mereka sedang bercanda! Tapi, sejak kapan Mas Fandi dan Mama bercanda seperti ini? selama hampir dua bulan aku tinggal di sini, tidak pernah melihat atau mendengar mereka bercanda. Lebih-lebih lagi Mama, beliau tipe Orang Tua yang sangat serius, bahkan dengan Fatia dan adiknya saja Mama tidak pernah mau bercanda! Ini Mas Fandi. Belum hilang rasa heran yang meliputi hati, aku kembali dibuat terkejut. Kali ini aku dikejutkan dengan indra penglihatan ku yang menangkap dua sosok yang sedang duduk di sofa dengan posisi membelakangi ku. "Mas Fandi,''panggilku tapi sayang panggilan itu hanya terucap dalam hati saja, karena bibir dan lidahku tiba-tiba kaku tidak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun. Lama aku terdiam dengan posisi berdiri di belakang mereka yang hanya berjarak kurang dari dua meter saja. Memperhatikan Mama yang sedang membelai lembut rambut Mas Fandi, setelah ia puas menggelitik tubuh Mas Fandi, aku melihat Mama mengulas senyum saat ia memandangi wajah Mas Fandi dari samping, dan tiba-tiba tangan Ibu mertuaku terulur menyentuh pipi Mas Fandi dengan sangat lembut, tidak! bukan menyentuh lebih tepatnya membelai. Tidak hanya sampai di situ, Mama juga menyandarkan kepalanya di pundak Mas Fandi. ''Naya!''keget, Mama saat ia menyadari kehadiranku dan ia juga langsung menjauhkan posisi duduknya dari Mas Fandi. Mas Fandi langsung menoleh kebelakang mengikuti arah mata Mama. ''Naya, ada apa? kenapa kamu berdiri di sana? ayo ke marilah, ini sinetron kesukaanmu sudah tayang,''ucap Mas Fandi, senang. Suamiku bersikap dan terlihat biasa-biasa saja sangat berbeda dengan Mama yang terkejut saat melihatku. ''Ti...tidak ada apa-apa Mas, aku hanya...ingin….,”ucapanku terhenti saat Mama melihatku dengan tatapan mata yang tajam, entah kenapa beliau melihatku seperti itu. Saat ini aku merasa seperti musuh di depan Mama. ''Ingin apa, Nay? apa ada sesuatu yang kamu butuhkan?''Mas Fandi kembali bertanya. ''Tidak Mas,”sahutku cepat, “Apa kamu ingin aku buatkan, kopi?''tanyaku asal, karena aku tidak tahu harus bicara apa. ''Kopi, jadi kamu kesini ingin menawari aku kopi?''Mas Fandi memastikan dan aku menimpalinya dengan anggukan pelan. ''Boleh, kebetulan aku belum ngopi.'' ''Anaya, bukankah kamu sedang mencuci piring? tidak mungkin jika sudah selesaikan karena durasi mencuci piring dan membersihkan meja makan harus 30 menit, sedangkan ini baru 20 menit.''Ucap Mama tiba-tiba dengan suara tinggi, yang langsung saja membuatku tersadar akan peraturan itu. ''Ma, mungkin Naya mengerjakannya lebih cepat,''Mas Fandi bersuara guna membantuku. ''Tidak bisa seperti ini, peraturan yang sudah dibuat dan diterapkan di rumah ini tidak boleh dilanggar, sekalipun Naya hanya mencuci piring satu biji ia harus tetep menyelesaikannya dalam waktu 30 menit tidak boleh kurang dari itu,''sahut Mama berapi-api menandakan jika ia sedang marah. ''Maafkan aku, Ma,''ucapku mengalah karena aku tidak mau berdebat dengan Mama apalagi di hadapan, Mas Fandi. ''Ya sudah, tunggu apa lagi, cepat lanjutkan pekerjaanmu, kopi Fandi biar mama yang membuatnya." Aku yang awalnya ingin melayangkan bertanya atas apa yang aku lihat tadi, jadi tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menuruti perintah Mama. Aku akan bertanya pada mas Fandi saja dan itu akan aku lakukan saat kita sedang berdua saja, jika aku bertanya sekarang aku takut Mama akan tersinggung.. ** ''Tante Naya, ko kesini lagi?''tanya Fatia dengan ekspresi wajah kecewa, saat melihatku memasuki dapur. ''Biar tante yang melanjutkannya, Nenekmu akan marah jika tau kamu membantu tante, di sini,''sahutku dan ingin kembali mengambil alih pekerjaanku, namun sayang, semua sudah dikerjakan Fatia. ''Nenek tidak akan marah jika tidak tau,"elak Fatia. Aku yang sedang tidak bisa fokus karena pikiranku terganggu, tidak menggubris omongan Fatia,''Sudah cepat ke depan atau ke kamarmu sana, jangan sampai Nenek melihatmu disini.''Pintaku, mengusir Fatia, karena akan sangat berabe jika Mama sampai tau ada anak ini membantuku. Fatia yang merasa diusir langsung melipir dan pergi dari sana, tanpa bicara dan bertanya apapun lagi. “Astagfirullah, tidak seharusnya aku bicara seperti itu pada Fatia,”sesalku, merasa bersalah melihat anak baik itu pergi dengan raut wajah yang kecewa. Pikiranku benar-benar kacau, setelah melihat Mama dan Mas Fandi, bercengkrama tadi. Kenapa seperti ini, seharusnya aku senang melihat kehangatan mereka. Tapi kenapa malah jadi beban pikiran. Bersambung. TERIMA KASIH 🙏 ❤️❤️❤️❤️Bab 8 Selamat membaca 🤗 🔥🔥🔥 ''Naya!'' Astaga, aku sampai terlonjak saat Mama tiba-tiba ada di belakangku dan memanggilku dengan sedikit menyentak. "Mama,"sahutku, kaku. ''Kenapa kamu malah bengong di sini, apa pekerjaanmu sudah selesai?''tanya Mama dengan mimik wajah masam, sepertinya beliau masih marah padaku. ''Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku Ma, Mama mau apa? apa ada sesuatu yang Mama butuhkan biar aku saja yang mengambilnya,''ucap ku masih dengan lembut, berusaha untuk tenang. ''Mama, ingin membuat kopi untuk Fandi,''sahutnya masih dengan ketus, Aku hanya mengangguk dan tidak lagi berani bertanya karena takut jika Mama marah karena sepertinya beliau enggan bicara lebih banyak denganku. ''Anaya,''panggil Mama setelah beberapa menit kami saling diam. ''Iya, ma,''sahutku dengan cepat. ''Jika mama, sedang menonton Tv bersama Fandi, sebaiknya kamu jangan ikut nimbrung terkecuali ada Wina dan suaminya.'' Aku sangat terkejut plus heran mendengar ini. ''Kamu janga
Selamat membaca 🤗 💥💥💥 Senyum mama semakin memancar saat Mas Fandi, keluar dan kini berdiri di sebelahnya. ''Fandi, kamu harus jadi karyawan teladan dan rajin. Jadi jangan sampai terlambat datang di tempat kerjamu,''ucap mama sambil bergelayut di lengan Mas Fandi. ''Iya ma, aku minta maaf, tadi Naya sudah mengingatkan aku,”sahut Mas Fandi. Saat Mas Fandi menyebut namaku, raut wajah mama langsung berubah masam. ''Yasudah, ayo kita sarapan. Mama sudah membuat nasi goreng kesukaanmu,''kata mama yang terlihat berusaha mengembalikan keceriaan di wajahnya. ''Maaf ma, pagi ini aku tidak bisa sarapan di rumah dulu, aku takut terlambat,''lagi-lagi ucapan Mas Fandi membuat mama terlihat kecut, terus terang ini kali pertama aku mendengar Mas Fandi menolak ajakan mama biasa ia langsung gercep. ''Baiklah, tidak apa-apa, ayo mama antar ke depan.''Ujar mama mengalah, namun terlihat tidak suka. Mas Fandi mengangguk lalu ia berjalan mengikuti mama yang menuntunnya, tanpa memperduli
Selamat membaca 🔥🔥🔥 Aku membulatkan mata, menatap sesuatu yang terpampang dengan jelas di dinding persis di atas ranjang Mama. Foto Mas Fandi dan Mama. Ya, itu foto mereka berdua tapi kenapa aku bisa terkejut padahal hanya melihat foto? Yang membuatku terkejut sekaligus terperangah. Karena foto yang di balut dengan bingkai berukuran besar itu, persis seperti foto pernikahanku dan Mas Fandi. Kenapa ada foto seperti ini? dan kenapa dipajang di kamar Mama? Aku terdiam sejenak, berharap ada yang bisa menjawab pertanyaanku ini, namun aku sadar yang bisa menjawab hanyalah Mas Fandi dan Mama. Aku mendekat untuk meneliti Foto tersebut, kalau-kalau mataku tiba-tiba rabun dan salah melihat. "Tidak, aku tidak salah lihat. Ini benar-benar foto Mas Fandi dan Mama,"gumam ku dengan sangat yakin dengan apa yang aku lihat ini. Ah sudahlah, lupakan dulu soal foto karena saat ini aku harus membereskan kamar Mama, jangan sampai Mama sudah pulang aku belum selesai mengerjakan ini. Usai
Selamat membaca. ** ''Maksud Tante Naya, Foto Nenek dan Om Fandi yang besar itu?''tanya Fatia memastikan. ''Iya benar, foto itu,''sahutku dengan mengangguk cepat. Aku melihat Fatia sedang berpikir sejenak. Mungkin ia sedang mengingat-ingat sesuatu tentang foto itu. ''Om Fandi dan Nenek, berfoto di rumah ini, di sana, di ruangan depan,''ujar Fatia yang sudah mengingat kejadian tentang foto sambil menunjuk tempat yang ia maksud. Aku semakin bersemangat, tapi karena saat ini aku sedang mengorek informasi dari anak kecil, tentu aku harus berhati-hati dalam berbicara,''Oooh... lalu, kenapa Om Fandi dan Nenek memakai baju pengantin? dan apa Fatia tau, foto Om Fandi dan Nenek sama persis seperti foto pernikahan tante Naya dan Om Fandi?''tanyaku dengan tutur kata yang lembut dan tidak terlalu serius. ''Iya, itu memang sangat mirip, dan baju yang di pakai Om Fandi, baju yang sama saat dipakai menikah dengan tante Naya.''Yakin Fatia. Sontak saja membuatku langsung terkejut, aku b
Selamat membaca *** “Kamu, yakin?”tanyaku sedikit tidak percaya, karena untuk apa Mama jauh-jauh datang ke tempat kerja, Mas Fandi. “Yakin, Tan. Ini Wa nya.”Fatia menyodorkan ponselnya di wajahku, dan benar. Mama mengirim pesan seperti itu pada, Fatia. “Oh, iya,”sahutku mengangguk. “Tante Naya, tidak suka ya, jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi?” Pertanyaan anak ini sungguh membuatku kaget! Bisa-bisanya dia ada pertanyaan seperti ini, dengan cepat aku menjawab,”Tidak! Mana mungkin, tante Naya, tidak suka jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi.” “Oohh..,”sahut Fatia, mengangguk-anggukkan,”Padahal, aku pikir kita sama. Sama-sama tidak suka jika Nenek sedang bersama, Om Fandi,”sambung anak ini dengan nada yang bergumam namun terdengar jelas di telingaku. “Maksud Fatia, apa?”tanyaku. Fatia mendongak, menatap mataku yang juga sedang menatapnya, dari sorot mata gadis kecil ini menunjukkan kesungguhan,”Aku, tidak suka jika melihat Om Fandi dan Nenek, bernama,”Fatia memperjela
“Sudah Naya, tidak perlu dipikirkan masakanmu tidak akan mubazir, aku dan Fatia akan menghabiskannya,”kata Mas Hanan, yang sepertinya mencoba menenangkanku.Tapi bukan soal masakan yang sedang aku pikirkan saat ini, Mas Fandi! Dialah yang ada di pikiranku saat ini. Apa benar Mas Fandi sedang lembur? “Naya!”panggil, Mas Hanan.“Iya, Mas.”“Kenapa?”“Tidak ada, kalau begitu aku masuk dulu, ya Mas,”pamit ku. “Ya, masuklah! Naya!”panggil Mas Hanan sebelum aku masuk ke kamar.“Iya, Mas?”“Aku harap, kamu tidak terpengaruh dengan apapun yang kamu dengar di luar sana.”Ucapan Mas Hanan, yang terdengar ambigu membuatku bingung. Apa maksudnya bicara seperti itu? Saat aku ingin memperjelas maksud dari ucapan kakak iparku ini, ponselku keburu berdering dan ternyata suamiku yang menelpon. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengabaikan perkataan Mas Hanan, tadi. (“Naya, maafkan aku yang tidak bisa pulang tepat waktu, karena aku harus lembur. Banyak pekerjaan yang tidak bisa d
Saat aku keluar kamar, aku berpapasan dengan Mama, wajah beliau terlihat sangat sumringah dengan mata yang berbinar dan senyum indah, beliau menatapku.“Mama, sudah bangun,”sapa, ku.“Iya, mama, harus buat sarapan untuk Fandi,”sahutnya dan berlalu begitu saja, sepertinya suasana hati Mama sedang baik hingga ia terlihat begitu bahagia.Aku mengikuti Mama yang menuju dapur.“Ma, Mama tidak perlu repot-repot, biar aku saja yang buat sarapan untuk, Mas Fandi.”Ekspresi wajah Mama langsung dengan mata yang melotot padaku,”Kenapa! Kenapa harus kamu yang bikin sarapan? Apa kamu tidak suka jika mama yang membuatnya?”“Tidak, bukan seperti itu, Ma,”ya Tuhan, Mama salah paham sungguh bukan ini maksudku. “Tidak-tidak! Sudah jelas kamu melarang mama, bukan cuma hari ini, kamu juga pernah melarang mama bikin kopi untuk, Fandi. Apa masih berkilah?”Aku yang tersentak, terdiam sejenak. Mama jadi sensitif seperti ini, kenapa dia bisa berpikir jauh, aku menarik nafas dalam-dalam menyiapkan kata-kata
Bukan hanya aku yang terkejut, begitu juga Fatia, anak ini ketakutan dan langsung meninggalkan meja makan. Aku tidak melarang Fatia, karena aku pikir itu lebih baik.Wajah Mama mulai memerah, ia mendorong piring berisi nasi yang baru beberapa suap di makan, dengan dinginnya Mama berkata,"Jadi, Fandi tidak ada niat untuk menunda punya anak?""Iya, Ma. Kami sudah sepakat untuk itu,"kenapa ini! kenapa Mama terlihat tidak suka? "Kami! kamu melakukan kesepakatan hanya berdua?"tanyanya dengan membentak."Iya, Ma,"jawaban ragu.Mama menarik rambutnya sendiri dengan kasar,"Naya, sepertinya kamu benar-benar ingin menguasai Fandi, sepenuhnya.""Maksud, Mama?""Kamu masih bertanya? seharusnya, sebelum kalian memutuskan untuk tidak menunda punya anak, kalian diskusikan dengan dengan saya?"Kenapa begitu? bukankah seorang Ibu harusnya senang dengan keputusan seperti ini?Kali ini aku tidak bisa diam, karena Mama sudah keterlaluan,"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa? kenapa harus izin pada Mama