“Sudah Naya, tidak perlu dipikirkan masakanmu tidak akan mubazir, aku dan Fatia akan menghabiskannya,”kata Mas Hanan, yang sepertinya mencoba menenangkanku.Tapi bukan soal masakan yang sedang aku pikirkan saat ini, Mas Fandi! Dialah yang ada di pikiranku saat ini. Apa benar Mas Fandi sedang lembur? “Naya!”panggil, Mas Hanan.“Iya, Mas.”“Kenapa?”“Tidak ada, kalau begitu aku masuk dulu, ya Mas,”pamit ku. “Ya, masuklah! Naya!”panggil Mas Hanan sebelum aku masuk ke kamar.“Iya, Mas?”“Aku harap, kamu tidak terpengaruh dengan apapun yang kamu dengar di luar sana.”Ucapan Mas Hanan, yang terdengar ambigu membuatku bingung. Apa maksudnya bicara seperti itu? Saat aku ingin memperjelas maksud dari ucapan kakak iparku ini, ponselku keburu berdering dan ternyata suamiku yang menelpon. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengabaikan perkataan Mas Hanan, tadi. (“Naya, maafkan aku yang tidak bisa pulang tepat waktu, karena aku harus lembur. Banyak pekerjaan yang tidak bisa d
Saat aku keluar kamar, aku berpapasan dengan Mama, wajah beliau terlihat sangat sumringah dengan mata yang berbinar dan senyum indah, beliau menatapku.“Mama, sudah bangun,”sapa, ku.“Iya, mama, harus buat sarapan untuk Fandi,”sahutnya dan berlalu begitu saja, sepertinya suasana hati Mama sedang baik hingga ia terlihat begitu bahagia.Aku mengikuti Mama yang menuju dapur.“Ma, Mama tidak perlu repot-repot, biar aku saja yang buat sarapan untuk, Mas Fandi.”Ekspresi wajah Mama langsung dengan mata yang melotot padaku,”Kenapa! Kenapa harus kamu yang bikin sarapan? Apa kamu tidak suka jika mama yang membuatnya?”“Tidak, bukan seperti itu, Ma,”ya Tuhan, Mama salah paham sungguh bukan ini maksudku. “Tidak-tidak! Sudah jelas kamu melarang mama, bukan cuma hari ini, kamu juga pernah melarang mama bikin kopi untuk, Fandi. Apa masih berkilah?”Aku yang tersentak, terdiam sejenak. Mama jadi sensitif seperti ini, kenapa dia bisa berpikir jauh, aku menarik nafas dalam-dalam menyiapkan kata-kata
Bukan hanya aku yang terkejut, begitu juga Fatia, anak ini ketakutan dan langsung meninggalkan meja makan. Aku tidak melarang Fatia, karena aku pikir itu lebih baik.Wajah Mama mulai memerah, ia mendorong piring berisi nasi yang baru beberapa suap di makan, dengan dinginnya Mama berkata,"Jadi, Fandi tidak ada niat untuk menunda punya anak?""Iya, Ma. Kami sudah sepakat untuk itu,"kenapa ini! kenapa Mama terlihat tidak suka? "Kami! kamu melakukan kesepakatan hanya berdua?"tanyanya dengan membentak."Iya, Ma,"jawaban ragu.Mama menarik rambutnya sendiri dengan kasar,"Naya, sepertinya kamu benar-benar ingin menguasai Fandi, sepenuhnya.""Maksud, Mama?""Kamu masih bertanya? seharusnya, sebelum kalian memutuskan untuk tidak menunda punya anak, kalian diskusikan dengan dengan saya?"Kenapa begitu? bukankah seorang Ibu harusnya senang dengan keputusan seperti ini?Kali ini aku tidak bisa diam, karena Mama sudah keterlaluan,"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa? kenapa harus izin pada Mama
"Astaghfirullah! Naya, katakan jika yang kamu ceritakan ini tidak benar,"ucap Karina tidak percaya, setelah mendengar semua cerita yang aku katakan, tentu cerita tentang keanehan Mama dan Mas Fandi. Bahkan aku juga menceritakan kejadian sebelum aku datang menemuinya. "Sudah aku duga, kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan ini,"sahutku lemas, karena entah pada siapa lagi aku harus cerita dan meminta pendapat. "Naya, aku bukan tidak percaya denganmu. Hanya saja apa yang kamu katakan barusan terdengar mengerikan di telingaku. Aku akan seratus persen percaya jika kamu cerita kalau Ibu Mertuamu, galak dan judes. Tapi ini, sungguh diluar pikiranku." "Aku tau itu, Karina. Namun inilah kenyataannya, aku berharap apa yang aku takutkan ini tidak benar. Semua baik-baik saja." "Aamiin. Aku juga berharap seperti itu. Tapi , walaupun aku sedikit ragu dan tidak percaya alangkah baiknya jika kamu menyelidiki." "Menyelidiki? apa! apa yang harus aku selidiki?"Sungguh aneh sahabatk
Apa-apaan ini! Mas Fandi, dia bukan anak kecil lagi kenapa harus bertingkat seperti itu. Apa dia tidak risi, pikir Naya. Bukan cuma Naya, Fatia pun memperhatikan tingkah Fandi yang seperti anak kucing pada induknya. Namun Fatia tidak kaget seperti Naya, karena pemandangan seperti ini sudah sangat biasa dimata, anak kecil ini dan sebenarnya itu sangat menggangu. “Sudah, ayo sarapan. Kamu harus berangkat kerja,”ajak Maida, yang langsung menuntun Fandi duduk di kursi makan berhadapan dengannya. "Iya, ma,"sahut Fandi, yang kian manja pada Ibunya. “Naya, kamu masak apa?”tanya Maida, jutek tanpa melihat Menantunya karena kedua mata itu tak teralihkan dari Fandi. “Seperti biasa, Ma. Nasi goreng.” “Huf! Hanya itu saja yang kamu bisa, dan menu nasi goreng juga kamu menyontek nya dari mama. Apa kamu tidak bisa bikin menu sarapan lain untuk Fandi? kamu benar-benar tidak bisa masak,”cemooh, Maida. Naya terlihat menelan ludahnya dengan kasar, ia menghela nafas berat sambil menahan h
"Kalau begitu, mama pergi dulu,"pamitnya, dan memang saat ini penampilan Mama sudah sangat rapih. "Mama, mau kemana?"tanya Mbak Wina. "Ke rumah taman arisan. Wina, mungkin mama akan pulang malam, kamu tidak perlu menunggu tidur saja, mama bawa kunci rumah cadangan." "Iya, ma." Setelah berpamitan pada Mbak Wina dan tidak berkata apapun lagi padaku, Mama pergi begitu saja. Selain berpenampilan rapi, Mama juga terlihat sangat berbeda ia berdandan full makeup dengan pakaian yang sedikit terbuka. "Naya!"panggil Mbak Wina, setelah memastikan Mama keluar rumah. "Iya Mbak." "Ini peringatan, jangan pernah bertanya apapun lagi padaku dan kalau bisa jangan pernah masuk kedalam kamarku jika ada Mama di rumah." "Kenapa?" "Jangan tanya kenapa, karena tidak apa-apa. Kamu cukup mendengar dan mengikuti saja apa yang aku katakan, Naya,"ucap Mbak Wina yang terlihat sangat kesal padaku. "Jika tidak ada apa-apa, tidak mungkin Mbak Wina bersikap seperti ini, tidak mungkin Mbak Wina ketakutan dan
POV Naya. "Aku yang mendapat pesan dari Karina, bergegas meluncur ke kantor sahabatku itu, aku terpaksa berbohong pada Mbak Wina. Kebohongan ini aku lakukan hanya karena naluriku mengatakan, jangan beritahu kemana kamu pergi pada, Mbak Wina. Aku sudah sangat tidak sabar ingin mendengar berita yang katanya penting, dan untung saja kantor Karina tidak terlalu jauh dari rumah Mas Fandi. "Naya!"sapa seorang lelaki, dengan sumringah saat aku baru saja memarkirkan motor. Melihat siapa lelaki yang menyapaku, aku sedikit bingung harus bersikap apa hingga membuatku kikuk, tidak langsung menjawab sapaannya. "Naya, bagaimana dengan kabarmu, semenjak kamu memutuskan untuk menikah, kita tidak pernah bertemu lagi,"ucap lelaki itu, yang kini sudah berdiri di hadapanku. "Aku baik, Ren."Jawabku singkat yang memang tidak mau terlibat perbincangan lebih lama,"Aku ingin bertemu, Karina,"sambungku, mengatakan niat kedatanganku di kantor. "Oh! ingin bertemu dengan Karina, ya. Hampir saja aku m
Aku sudah tidak bisa menolak, dengan tanpa bicara apapun aku membiarkan Rendi mengeluarkan motorku dari parkiran, padahal sejak tadi ia tidak berhenti mengajakku bicara. "Terima kasih, Ren."Ucapku sesingkat mungkin dan ingin bergegas pulang. *** Sesampainya di rumah, aku mendapati Mbak Wina dan Fatia tengah berkemas. "Mbak, mau kemana?"tanyaku kebingungan karena sebelumnya Kakak Iparku ini tidak mengatakan apa-apa. "Ke rumah Ibunya Mas Hanan, beliau sakit tidak ada yang menemani." Melihat dari banyaknya pakainya yang Mbak Wina bawa, aku sudah bisa menduga jika mereka akan lama di sana. "Fatia, ikut?" "Iya, biar bisa nemenin Adiknya. Yasudah kalau begitu aku pergi dulu ya, Nay, sebentar lagi taksi online datang. Berhati-hatilah di rumah, sebelum tidur pastikan semua pintu tertutup rapat,"pesan Mbak Wina. "Iya hati-hati Mbak, tapi apa Mbak Wina tidak menunggu Mama pulang dulu?" "Tidak, Mama pasti pulang tengah malam aku sudah pamit lewat Wa, kamu tidak perlu masak maka