Selamat membaca 🔥🔥🔥 Aku membulatkan mata, menatap sesuatu yang terpampang dengan jelas di dinding persis di atas ranjang Mama. Foto Mas Fandi dan Mama. Ya, itu foto mereka berdua tapi kenapa aku bisa terkejut padahal hanya melihat foto? Yang membuatku terkejut sekaligus terperangah. Karena foto yang di balut dengan bingkai berukuran besar itu, persis seperti foto pernikahanku dan Mas Fandi. Kenapa ada foto seperti ini? dan kenapa dipajang di kamar Mama? Aku terdiam sejenak, berharap ada yang bisa menjawab pertanyaanku ini, namun aku sadar yang bisa menjawab hanyalah Mas Fandi dan Mama. Aku mendekat untuk meneliti Foto tersebut, kalau-kalau mataku tiba-tiba rabun dan salah melihat. "Tidak, aku tidak salah lihat. Ini benar-benar foto Mas Fandi dan Mama,"gumam ku dengan sangat yakin dengan apa yang aku lihat ini. Ah sudahlah, lupakan dulu soal foto karena saat ini aku harus membereskan kamar Mama, jangan sampai Mama sudah pulang aku belum selesai mengerjakan ini. Usai
Selamat membaca. ** ''Maksud Tante Naya, Foto Nenek dan Om Fandi yang besar itu?''tanya Fatia memastikan. ''Iya benar, foto itu,''sahutku dengan mengangguk cepat. Aku melihat Fatia sedang berpikir sejenak. Mungkin ia sedang mengingat-ingat sesuatu tentang foto itu. ''Om Fandi dan Nenek, berfoto di rumah ini, di sana, di ruangan depan,''ujar Fatia yang sudah mengingat kejadian tentang foto sambil menunjuk tempat yang ia maksud. Aku semakin bersemangat, tapi karena saat ini aku sedang mengorek informasi dari anak kecil, tentu aku harus berhati-hati dalam berbicara,''Oooh... lalu, kenapa Om Fandi dan Nenek memakai baju pengantin? dan apa Fatia tau, foto Om Fandi dan Nenek sama persis seperti foto pernikahan tante Naya dan Om Fandi?''tanyaku dengan tutur kata yang lembut dan tidak terlalu serius. ''Iya, itu memang sangat mirip, dan baju yang di pakai Om Fandi, baju yang sama saat dipakai menikah dengan tante Naya.''Yakin Fatia. Sontak saja membuatku langsung terkejut, aku b
Selamat membaca *** “Kamu, yakin?”tanyaku sedikit tidak percaya, karena untuk apa Mama jauh-jauh datang ke tempat kerja, Mas Fandi. “Yakin, Tan. Ini Wa nya.”Fatia menyodorkan ponselnya di wajahku, dan benar. Mama mengirim pesan seperti itu pada, Fatia. “Oh, iya,”sahutku mengangguk. “Tante Naya, tidak suka ya, jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi?” Pertanyaan anak ini sungguh membuatku kaget! Bisa-bisanya dia ada pertanyaan seperti ini, dengan cepat aku menjawab,”Tidak! Mana mungkin, tante Naya, tidak suka jika Nenek bertemu dengan, Om Fandi.” “Oohh..,”sahut Fatia, mengangguk-anggukkan,”Padahal, aku pikir kita sama. Sama-sama tidak suka jika Nenek sedang bersama, Om Fandi,”sambung anak ini dengan nada yang bergumam namun terdengar jelas di telingaku. “Maksud Fatia, apa?”tanyaku. Fatia mendongak, menatap mataku yang juga sedang menatapnya, dari sorot mata gadis kecil ini menunjukkan kesungguhan,”Aku, tidak suka jika melihat Om Fandi dan Nenek, bernama,”Fatia memperjela
“Sudah Naya, tidak perlu dipikirkan masakanmu tidak akan mubazir, aku dan Fatia akan menghabiskannya,”kata Mas Hanan, yang sepertinya mencoba menenangkanku.Tapi bukan soal masakan yang sedang aku pikirkan saat ini, Mas Fandi! Dialah yang ada di pikiranku saat ini. Apa benar Mas Fandi sedang lembur? “Naya!”panggil, Mas Hanan.“Iya, Mas.”“Kenapa?”“Tidak ada, kalau begitu aku masuk dulu, ya Mas,”pamit ku. “Ya, masuklah! Naya!”panggil Mas Hanan sebelum aku masuk ke kamar.“Iya, Mas?”“Aku harap, kamu tidak terpengaruh dengan apapun yang kamu dengar di luar sana.”Ucapan Mas Hanan, yang terdengar ambigu membuatku bingung. Apa maksudnya bicara seperti itu? Saat aku ingin memperjelas maksud dari ucapan kakak iparku ini, ponselku keburu berdering dan ternyata suamiku yang menelpon. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengabaikan perkataan Mas Hanan, tadi. (“Naya, maafkan aku yang tidak bisa pulang tepat waktu, karena aku harus lembur. Banyak pekerjaan yang tidak bisa d
Saat aku keluar kamar, aku berpapasan dengan Mama, wajah beliau terlihat sangat sumringah dengan mata yang berbinar dan senyum indah, beliau menatapku.“Mama, sudah bangun,”sapa, ku.“Iya, mama, harus buat sarapan untuk Fandi,”sahutnya dan berlalu begitu saja, sepertinya suasana hati Mama sedang baik hingga ia terlihat begitu bahagia.Aku mengikuti Mama yang menuju dapur.“Ma, Mama tidak perlu repot-repot, biar aku saja yang buat sarapan untuk, Mas Fandi.”Ekspresi wajah Mama langsung dengan mata yang melotot padaku,”Kenapa! Kenapa harus kamu yang bikin sarapan? Apa kamu tidak suka jika mama yang membuatnya?”“Tidak, bukan seperti itu, Ma,”ya Tuhan, Mama salah paham sungguh bukan ini maksudku. “Tidak-tidak! Sudah jelas kamu melarang mama, bukan cuma hari ini, kamu juga pernah melarang mama bikin kopi untuk, Fandi. Apa masih berkilah?”Aku yang tersentak, terdiam sejenak. Mama jadi sensitif seperti ini, kenapa dia bisa berpikir jauh, aku menarik nafas dalam-dalam menyiapkan kata-kata
Bukan hanya aku yang terkejut, begitu juga Fatia, anak ini ketakutan dan langsung meninggalkan meja makan. Aku tidak melarang Fatia, karena aku pikir itu lebih baik.Wajah Mama mulai memerah, ia mendorong piring berisi nasi yang baru beberapa suap di makan, dengan dinginnya Mama berkata,"Jadi, Fandi tidak ada niat untuk menunda punya anak?""Iya, Ma. Kami sudah sepakat untuk itu,"kenapa ini! kenapa Mama terlihat tidak suka? "Kami! kamu melakukan kesepakatan hanya berdua?"tanyanya dengan membentak."Iya, Ma,"jawaban ragu.Mama menarik rambutnya sendiri dengan kasar,"Naya, sepertinya kamu benar-benar ingin menguasai Fandi, sepenuhnya.""Maksud, Mama?""Kamu masih bertanya? seharusnya, sebelum kalian memutuskan untuk tidak menunda punya anak, kalian diskusikan dengan dengan saya?"Kenapa begitu? bukankah seorang Ibu harusnya senang dengan keputusan seperti ini?Kali ini aku tidak bisa diam, karena Mama sudah keterlaluan,"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa? kenapa harus izin pada Mama
"Astaghfirullah! Naya, katakan jika yang kamu ceritakan ini tidak benar,"ucap Karina tidak percaya, setelah mendengar semua cerita yang aku katakan, tentu cerita tentang keanehan Mama dan Mas Fandi. Bahkan aku juga menceritakan kejadian sebelum aku datang menemuinya. "Sudah aku duga, kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan ini,"sahutku lemas, karena entah pada siapa lagi aku harus cerita dan meminta pendapat. "Naya, aku bukan tidak percaya denganmu. Hanya saja apa yang kamu katakan barusan terdengar mengerikan di telingaku. Aku akan seratus persen percaya jika kamu cerita kalau Ibu Mertuamu, galak dan judes. Tapi ini, sungguh diluar pikiranku." "Aku tau itu, Karina. Namun inilah kenyataannya, aku berharap apa yang aku takutkan ini tidak benar. Semua baik-baik saja." "Aamiin. Aku juga berharap seperti itu. Tapi , walaupun aku sedikit ragu dan tidak percaya alangkah baiknya jika kamu menyelidiki." "Menyelidiki? apa! apa yang harus aku selidiki?"Sungguh aneh sahabatk
Apa-apaan ini! Mas Fandi, dia bukan anak kecil lagi kenapa harus bertingkat seperti itu. Apa dia tidak risi, pikir Naya. Bukan cuma Naya, Fatia pun memperhatikan tingkah Fandi yang seperti anak kucing pada induknya. Namun Fatia tidak kaget seperti Naya, karena pemandangan seperti ini sudah sangat biasa dimata, anak kecil ini dan sebenarnya itu sangat menggangu. “Sudah, ayo sarapan. Kamu harus berangkat kerja,”ajak Maida, yang langsung menuntun Fandi duduk di kursi makan berhadapan dengannya. "Iya, ma,"sahut Fandi, yang kian manja pada Ibunya. “Naya, kamu masak apa?”tanya Maida, jutek tanpa melihat Menantunya karena kedua mata itu tak teralihkan dari Fandi. “Seperti biasa, Ma. Nasi goreng.” “Huf! Hanya itu saja yang kamu bisa, dan menu nasi goreng juga kamu menyontek nya dari mama. Apa kamu tidak bisa bikin menu sarapan lain untuk Fandi? kamu benar-benar tidak bisa masak,”cemooh, Maida. Naya terlihat menelan ludahnya dengan kasar, ia menghela nafas berat sambil menahan h