“Jadi, apa maksud dan tujuan Mama membuat foto itu?”tanyaku, aku sudah tidak perduli lagi jika Mertuaku ini akan murka karena akhir-akhir ini aku mulai berani padanya. “Naya! Kamu sebaik stop, mencari tau. Ada pepatah yang mengatakan, semakin banyak kamu tau semakin mendekatkan dirimu dengan maut.” Hah! Pepatah macam apa itu! Sungguh aku baru mendengarnya, aku hanya menggelengkan kepala tapi aku tetap menginginkan jawaban dari Mama. “Jadi, Mama mau memberitahu aku, atau tidak?” Mama tersenyum sinis,”Kamu terlihat seperti menantang, Naya! Apa kamu menganggap peringatan tadi adalah omong kosong?” “Tidak, aku hanya meminta jawaban atas pertanyaanku tadi.” “Keras kepala!”umpat Mama. Kali ini kami berdua benar-benar seperti musuh. Mama menatapku semakin tajam, ia mengerahkan semua indra penglihatannya demi membuatku terintimidasi. “Ma…” “Cukup Naya! Jangan pernah ikut campur urusan saya, sekalipun itu menyangkut Fandi. Saya ini Ibunya Fandi, saya yang membesarkan dia. Jadi
"Apa kita pulang ke rumah Nenek, Bu?"tanya Fatia, dari wajah anak ini terlihat jelas jika ia tidak mau kembali ke rumah Neneknya itu. "Iya Fatia, ayo cepat kemasi barang-barang kamu,"sahut Wina, sekaligus menyuruh anaknya agar bergerak cepat. "Tapi...Bu..." "Tidak ada tapi-tapian, Fatia, kita harus cepat pulang ini sudah sore." Dengan pasrah, karena tubuhnya yang kecil tidak bisa berbuat apa-apa Fatia mengikuti perintah Ibunya. *** Naya yang sudah kembali dari rumah Dewi, langsung mengunci diri di kamar. Dia tidak menyangka jika apa yang ia takutkan selama ini dibenarkan oleh wanita yang bernama Dewi itu. Tapi Naya tidak seratus persen percaya, sebelum dia melihat dengan mata kepalanya sendiri secara langsung, jika Suaminya memiliki hubungan dengan Mertuanya. "Jika itu benar, apa yang ada di pikiran mereka! apa mereka tidak takut, malu, jika sampai skandal ini tersebar luas,"gumam Naya, marah. Yang lebih parahnya, Ibu Dewi mengatakan, jika keanehan antara hubungan F
"Mbak Wina, kenapa?!"tanya Naya, melihat Wina yang kelihatan seperti orang yang linglung."Apa?""Mbak Wina, kenapa?""Tidak! tidak apa-apa, anak-anak ayo masuk kamar,"sahut Wina dan langsung membawa anak-anak kedalam kamar. Naya mamatung, tentu wanita ini kebingungan dengan Wina, yang tiba-tiba terlihat aneh. **Momen berkumpul kembali terlihat di meja makan, seperti biasa semua diam dan fokus pada piring masing-masing. Hingga, Fatia yang pertama memutuskan menyudahi makan malam."Kenapa, makanan kamu masih banyak loh, ayo habiskan dulu,"ucap Wina, seraya menyodorkan kembali piring yang di dorong jauh oleh, Fatia."Aku sudah kenyang, Bu.""Kenyang! kamu baru makan beberapa sendok, Fatia. Ayo habiskan jangan buang-buang makan seperti ini!"Wina meninggikan suaranya. Tidak biasanya wanita ini marah-marah pada Fatia."Sudah, tidak apa-apa jika Fatia tidak mau menghabiskan makanannya, biar aku yang habiskan agar tidak mubazir,"timpal Hanan, yang ingin menyudahi omelan Istrinya.
"Ayo duduk, lihatlah acarnya sangat bagus. Kamu pasti suka,"kata, Fandi sambil menepuk-nepuk sofa kosong di sebelahnya. "Iya, Mas." Naya menduakan diri di sebelah kanan Fandi sedangkan Maida ada di sebelah kiri lelaki itu. "Naya, apa kamu tidak merasa bosan setiap hari di rumah?" pertanyaan Fandi membuat Naya tersentak begitu juga dengan Maida. "Bo....bosan! maksudnya?!" "Iya, apa kamu tidak bosan sehari-hari ada di rumah, sudah 2 bulanan ini kamu tidak pernah keluar jalan-jalan kan?" "Memangnya, kalau Naya bosan kenapa? apa yang akan kamu lakukan Fan! apa kamu berniat mengajak istrimu jalan-jalan?"sahut Maida. Fandi langsung menoleh ke arah Ibunya,"Iya Ma, aku berniat mengajak Naya liburan akhir pekan ini." Seketika wajah Maida memegang,"Liburan?" "Iya Ma, sudah sangat lama aku merencanakan ini dan belum ada waktu yang tepat. Aku memutuskan untuk liburan dengan Naya akhir pekan ini, aku akan meminta izin selama beberapa hari di tempat kerjaku." Wajah Maida yang menegang k
“Kamu boleh keluar,” ucap Mama, saat aku dan dirinya sudah ada di dalam kamar. “Tidak Ma, aku akan menemani Mama.” “Tidak perlu, kamu keluar saja,” usir Mama, dia benar-benar sangat tidak suka dengan kehadiranku. Namun aku tidak akan menyerah begitu saja. ”Ma, Mas Fandi bilang, Mama tidak boleh marah-marah nanti darah tingginya kambuh.” “Kamu menyumpahi saya! Apa saat ini otakmu sedang berpikir, jika saya mati kamu bisa memiliki segalanya?!” Astagfirullah! Sungguh jauh pikiran Mama, mana ada aku berpikir sekejam itu. “Ma, kenapa Mama selalu saja berpikir buruk tentangku?” “Jangan memasang wajah polos seperti itu, Naya! Saya tidak suka melihatnya, dan kalau kamu tanya kenapa! Jawabnya, karena aku tidak suka mempunyai menantu pembangkang sepertimu.” Ucapan Mama yang blak-blakan cukup membuatku sedih, ternyata seperti ini rasanya di benci Ibu Mertua, pantas saja Karina sampai stres dan memilih berpisah dengan suaminya. Sabar Naya. Jika di bandingkan dengan Karina, sepe
"I....iya," jawabku ragu, karena aku juga ikut ketakutan. Mbak Wina beralih pada Mas Hanan, "Bagaimana ini Mas?!" tanyanya. Aku melihat Mas Hanan sedang berpikir keras, entah apa yang lelaki itu pikirkan. "Mbak Wina, Mas Hanan, ada apa ini? tolong jangan buatmu bingung," ucapku yang sudah tidak bisa sabar. Mas Hanan langsung mendekatiku, "Naya, aku minta batalkan." "Apa yang di batalkan?" tanganku semakin bingung. "Batalkan, kepergian kamu dan Mama, besok," sahut Mbak Wina. Kali ini aku paham, tapi kenapa! kenapa mereka memintaku membatalkan. Ini semakin membuatku curiga. "Ada apa Mbak?" "Ada apa, apanya Naya! aku memintamu untuk tidak pergi dengan Mama besok, tidak ada apa-apa." Sabut Mbak Wina, ngotot. "Tidak mungkin tanpa alasan, kan?" Mas Hanan dan Mbak Wina, terdiam. "Mbak, tolong jawab ada apa? tidak mungkin tanpa alasan, kenapa kalian tidak mengijinkan aku pergi bersama Mama?" "Tidak ada alasan apa-apa selain demi keamananmu." Kata keamananmu, tentu
"Om, apa Om Fandi bisa mengantarkan aku sekarang?" tanya Fatia, yang sejak tadi sudah siap dengan atribut sekolahnya. "Iya, ayo! kita berangkat sekarang," sahut Mas Fandi dan langsung beralih kepadaku, "Naya, aku pergi dulu ya tolong kabarin aku jika Mbak Wina sudah pulang." "Iya Mas, kamu jangan khawatir aku akan segera mengabari dan aku yakin, Mbak Wina pasti saja." ** Tersisa aku, Mama dan Damar yang masih sangat kecil. Beruntung Damar masih kecil, hingga aku bisa menjadikannya alasan untuk menghindari Mama. "Mau kemana kamu, Naya?!" panggil Mama dengan suara yang membuatku bergidik. "Aku, ingin memandikan Damar, Ma," alasan ini sangat tepat aku ucapkan karena Damar memang belum mandi. "Tidak perlu, itu menjadi urusan Wina, kamu tidak boleh ikut campur." "Tapi Ma, Mbak Wina sedang pergi ke Rumah Sakit dia sedang tidak sehat, jadi tidak apa-apa hari ini aku yang menjaga dan merawat Damar." "Naya, saya tidak suka dibantah dan kenapa akhir-akhir ini kau sering melaku
"Saya pergi dulu, ingat pesan saya. Jaga Damar sebaik mungkin," ucap Mama sebelum kami meninggalkan rumah. "Iya Bu, saya akan melakukan tugas dengan sangat baik, Anda tidak perlu khawatir," sahut pengasuh sementara Damar, dengan sangat yakin. Semoga saya ia benar-benar bisa menjadi Damar, sebenarnya aku sangat khawatir, aku juga tidak tau Mama mendapat pengasuh ini dari mana dalam waktu beberapa menit saja. "Ayo, Nay! jangan kebanyakan melamun," ajak Mama, dan sudah berjalan terlebih dahulu menunju taksi online yang menunggu di depan. "Aku titip Damar, ya Bu," ucapku pada pengasuh. "Iya Mbak, tenang saja saya akan menjaga Damar dengan sepenuh hati saya." "Terima kasih." *** Di dalam mobil, aku melihat Mama sibuk dengan ponselnya, sepertinya beliau sedang berkirim pesan dengan seseorang, entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya cukup seru melihat dari ekspresi wajah Mama yang tiba-tiba merah merona, senyum-senyum sendiri. Mumpung Mama sedang fokus denga
Maida mengangkat wajahnya, menatap Naya dengan sangat serius. Garis wajah wanita ini memegang, sangat menyeramkan. Siapapun yang menatap pasti akan ketakutan.“Kamu, melarikan diri, dari sana?” Melarikan diri! Tentu Anaya paham arah pembicaraan ini.“Tidak, mereka tau kalau aku pergi dari sana,” sahut Anaya dengan tenang. “Lalu, apa kamu berniat melaporkan ini pada, Fandi?” Naya langsung menggeleng, “Tidak,” jawabnya, yakin.Maida tertawa, “Tidak! Sungguh saya tidak percaya.”Masih dengan ekspresi tenang, Anaya menimpali Maida, “Terserah jika Mama tidak percaya, tidak masalah untukku. Lagi pula, bukankah percuma aku mengadu pada Mas Fandi, dia tidak akan bertindak apa-apa.” Prok! Prok! Prok….!Maida bertepuk tangan, “Semakin hari kamu semakin pandai, Naya! Saya suka itu. Setidaknya saya punya lawan yang seimbang.” Lawan! Ternyata benar, selama ini wanita itu menganggap Menantunya, lawan. “Apa masih ada yang ingin Mama bicarakan?”Jika mertuanya menganggap Lawan, untuk ap
Maida yang terlanjur kesal, langsung mematikan panggilan, "Putar balik, pak!" pintanya pada sopir taksi. Kening wanita ini berkerut, saat ponselnya kembali berdenging dan itu panggilan dari orang yang sebelumnya ia telpon, Maida kesal ia meremas kuat-kuat gadget yang ada di tangannya, "Kamu pikir aku bisa di permainankan, tidak semudah itu, sayang!" Sopir taksi yang tidak sengaja melihat Maida dari kaca spion bergidik ngeri, melihat wajah dan tatapan mata penumpangnya penuh dengan amarah menggelegar. Sadar di perhatikan, Maida menatap semakin tajam pada sopir taksi, "Fokus saja ke depan, jangan kepo pada urusan orang jika ingin selamat!" Sopir langsung mengalihkan pandanganya, ia pura-pura tidak mendengar ucapan Maida. ** "Aku pulang dulu, ya!" kata Fandi dengan tergesa-gesa, sambil meraih jaketnya yang tergantung. "Mau kemana?" tanya temanya heran. "Pulang." "Apa! pulang, tumben, ada apa?" "Sudah jangan banyak tanya, hari ini aku kerja setengah hari ya, aku sudah
“Katakan padaku, di mana Mama membawamu? Apa benar kamu bertemu teman arisan Mama? Lalu apa yang mereka lakukan padamu?” “Wina, pelan-pelan. Sebaiknya kita biarkan Naya tenang dulu, jangan di teror dengan pertanyaan yang banyak,” tegur Hanan, dan ia langsung menyodorkan segelas air putih pada Adik Iparnya. “Terima kasih, Mas,” Naya menerima air itu, dan karena ia memang sedang kehausan Naya menghabiskan air itu dalam satu kali tegukan. Wina dan Hanan saling pandang, dalam benak mereka hanya ada satu pertanyaan! Apa yang terjadi pada Anaya? “Apa kamu mau minum lagi?” Tanya Hanan. “Tidak Mas, sudah cukup.” Naya langsung meletakkan gelas di atas meja. “Naya, apa yang terjadi?” Wina yang tidak sabar langsung bertanya intinya. Naya terdiam sejenak, ia tidak mau gegabah dengan menceritakan semuanya pada Wina dan Hanan, mengingat dua orang ini sangat teramat patuh pada Maida, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengadu. Naya memutuskan untuk merahasiakan ini dari Hanan dan Win
Mama pergi dengan Naya? kenapa ga bilang. Fandi mematung, ia sama sekali tidak memperdulikan Gading yang masih menunggu jawaban. Pikiran Fandi tiba-tiba kalut, biar bagaimanapun juga Anaya adalah istrinya, wanita yang ia cintai. "Fandi!" panggil Gading, dengan membentak. Lelaki itu tersadar, namun masih tidak bicara apapun lagi. Dengan wajah yang linglung Fandi pergi ke sebuah ruangan sambil merogoh saku celananya. "Hei! mau kemana Lo? gue belum selesai bicara!" Gading kembali membentak saat ia di acuhkan begitu saja, "Sial! berani sekali dia bertindak tidak sopan, apa dia lupa kalau aku ini Kakak Iparnya," kesal Gading. Kakinya sudah melangkah, ingin menyusul adik Ipar yang ia anggap tidak sopan itu. Tapi.... "Maaf Pak, Anda tidak diizinkan masuk, itu ruangan khusus karyawan pabrik," cegah seorang lelaki tua yang bertugas sebagai keamanan. "Saya belum selesai bicara dengannya," kata Gading yang tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya. "Pak! mohon kerjasamanya
37 Saat menantu lelakinya menanyakan keberadaan menantu perempuannya, Maida memicingkan mata. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikiran wanita itu hanya dia dan tuhan yang tahu. "Ma, dimana Anaya?" kini Wina yang berani bertanya, ia sudah tidak peduli lagi jika Ibunya itu akan marah, karena Wina tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Kejadian 4 tahun silam sudah membuatnya merasa bersalah sampai saat ini, bahkan mungkin, sampai ia matipun akan tetap merasa bersalah. "Wina, apa kamu sudah benar-benar sehat?!" tanya Maida, namun pertanyaan ini tidak terdengar seperti pertanyaan. Wina yang mengerti, langsung menunduk takut, melihat mata Maida yang menatapnya tajam Wina seperti tersihir hingga membuatnya membeku. "Hanan!" panggilannya pada lelaki yang masih berdiri di sana, Hanan juga seperti orang yang linglung, dengan menatap Maida lekat namun kosong, Hanan menyahut, "Iya, Ma!" "Kamu seorang ayah, sudah seharusnya kamu menjaga anak dan istrimu denga
Pada detik itu juga Naya merasakan hawa yang berbeda, dari wajah-wajah para orang tua di sana semakin membuat Naya, waspada. "Rileks cantik, jika kamu tegangan seperti ini, pasti akan terasa kaku." Naya tersentak, saat suara itu terdengar di telinganya, bukan cuma suaranya saja yang membuat Anaya kaget, tapi gerakan lembut dari jari tangan mengelus pipi kirinya. Naya menepis tangan-tangan yang mengerubungi nya, ia bangkit dari duduk, semua menatap Anaya tidak percaya, mata Naya kini fokus pada Ibu Mertuanya, "Ma, apa kita masih lama disini? tidak tidak aku ingin segera pulang." Hahaha.. Hahaha... Ucapan Naya yang ingin pulang, sekita di sambut tawa menggema dari para wanita sepuh di sana, entah apa yang mereka tertawakan, tapi melihat dari wajahnya mereka mengejek Naya. Satu orang berjalan mendekat Maida, "Jeng, apa sebelum datang kesini kamu tidak memberi tahu Menantumu ini?" tanya Wanita itu. Maida hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun. "Oh, pantas saja. Tapi tidak
"Fandi," kata Hanan dengan tiba-tiba setelah ia terdiam beberapa saat, Nama Fandi di sebut tentang mengejutkan Wina, "Apa katamu, Mas? Fandi?" "Iya Fandi, tidak ada pilihan lain kita harus melibatkan Fandi, adikmu itu pasti tau lokasi tempat Mama dan teman-temannya berkumpul." "Tapi Mas!" sahut Wina, dari nada dan mimik wajahnya, wanita dua anak ini ragu jika harus melibatkan Fandi. "Tapi kenapa? Apa kamu tidak mau melibatkannya?" tanya Hanan yang sudah bisa menebak kekhawatiran istrinya. "Ya, bukankah masalahnya akan menjadi panjang kalau Fandi tahu, kita ikut campur dalam masalah ini." "Tapi Fandi tidak tahu jika mama membawa Naya pergi." Wina menatap Hanan, benar, Fandy tidaklah tahu jika saat ini Naya sedang bersama mama. Itu artinya, Fandi tidak sadar jika terjadi masalah di sini. Melihat istrinya yang terdiam, Hanan kembali meyakinkan Wina, "Win, tidak ada pilihan lain. Jika kita ingin mengeluarkan Anaya dari bahaya, kita harus melibatkan Fandi." "Tapi....apa me
"Siapa ini?" gumam Karina, tapi karena penasaran menyelimuti ia tetap membuka pesan itu. (Assalamualaikum, apa benar ini Karina? teman Anya?) Bunyi pesan, itu. Karina menjerit, "Anaya! jika ia membawa nama Anaya sudah pasti orang ini kenal Naya," pikirnya. Tanpa mengulur waktu, Karina langsung membalas pesan, membenarkan bahwa dirinya Karina. (Saya Wina, Kakak Ipar Anaya) Karina semakin bersemangat, kali ini dia tidak mengirim pesan melainkan langsung menelpon. "Kak, tolong katakan di mana Anaya?" tanya Karina yang panik, sampai lupa mengucap salam. ("Apa! justru aku ingin bertanya tentang Naya, padamu!") Karina semakin panik, "Jadi Kakak tidak tau Anaya pergi kemana? tapi Kak Wina tau kan jika Naya pergi dengan Mertuanya?" ("Iya aku tau, tapi aku tidak tau tempat itu dimana, dan ini tujuanku menghubungimu, apa Naya ada mengirim pesan padamu? seperti memberitahu lokasi dia saat ini.") "Seharusnya ada, tapi ponsel Naya tidak aktif, aku takut terjadi sesuatu padany
"Iya, sama-sama." Naya yang merasa canggung dan tidak nyaman, langsung melepaskan diri dari pelukan wanita yang berpakaian seksi itu. "Ah, maaf ya," ucap wanita itu yang langsung mundur menjauhi Anaya, lalu beralih pada Maida, "Beb, sepertinya Menantumu ini tidak biasa di peluk, apa dia jarang mendapat pelukan dari anakmu!" Haha... haha.. haha.... Cetusan wanita tadi langsung disambut gelak tawa, teman-teman yang lainnya. Mungkin itu terdengar lucu bagi mereka, tapi tidak dengan Anaya dan Maida. Jika Anaya merasa risi, Maida terlihat tidak suka dengan candaan temanya. "Sudah cukup! apa kalian tidak takut akan sesak nafas jika terus tertawa," kata Maida, dan langsung menutup mulut orang-orang di sana. Maida amat berpengaruh, hampir sebagian dari mereka sangat menghormati dan patuh pada wanita ini, begitu Maida bersuara semua langsung diam tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Anya mengamati situasi di sana ia juga mengamati setiap wajah. "Apa kali