Share

Part. 2

Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi, setelah terbangun di kamar majikan, yang kuingat terakhir kali adalah tabrakan yang menyebabkan tubuhku dan Nyonya Intan terkapar tak sadarkan diri.

Bagaimana bisa setelah tersadar jiwa kami tiba-tiba tertukar? Apalagi di hadapan sudah ada lelaki tampan, tapi kelakuan kayak setan yang sudah siap menerkam!

Untuk sekarang tak ada yang bisa kulakukan selain kabur dari Tuan Stevan. Mengurung diri di kamar mandi, antara bingung dan frustrasi.

Bagaimana ini?

Apa yang harus kulakukan?

Lagian Tuan Stevan bener-bener kebangetan. Bini abis kecelakaan dia malah ngajak anuan. Keterlaluan.

Sekarang aku sedikit paham, kenapa Nyonya Intan katakan hidup yang dia jalani tak seenak kelihatannya. Bersuamikan lelaki tampan dengan muka blasteran ditambah harta bergelimangan, ternyata itu bukan ukuran kebahagiaan.

Percuma tampan kalau kelakuan macam siluman, 'kan?

Sekali lagi kutampari pipi berharap ini mimpi, tapi semua tampak terlalu nyata adanya untuk ditampik sebagai sebuah fatamorgana.

Jadi, faktanya ini bukan mimpi, apalagi halusinasi. Aku beneran berubah jadi Ibu Peri!

Tok! Tok! Tok!

Seketika aku terlonjak saat mendapati ketukan pintu yang lebih seperti gedoran itu terdengar, diikuti suara nyalang dari seberang.

"Intan! Apa yang kamu lakukan di dalam? Dua hari aku merawat dan menunggumu sampai tersadar, apa ini yang kudapatkan, hah? Sebuah penolakan!"

"Bentar, Tu-- eh, Sayang. Kalau kebelet banget kamu bisa pake aja sabun di laci!"

Tuhan ... bagaimana lagi aku harus coba menghindar?

Walaupun kenyataan dalamnya Milah Jamilah, tapi fisik yang tampak dari luar ini tetap saja Intan Permata yang cantik, putih, langsing, dan glowing.

Kuempaskan bokong di atas closet yang tertutup. Sesekali memerhatikan tubuh indah yang hanya terbalut sehelai pakaian tipis.

Insekyur sendiri melihat betapa sempurnanya fisik wanita ini.

"Intan ...!"

"Iya, oi sabar napa!" teriakku tak kalah lantang, sembari membuka pintu toilet dengan kasar.

Jdug!

"Aargh ...!"

"Ya, maaf. Siapa suruh berdiri depan pintu?"

Dia hanya meringis sembari melotot ke arahku.

***

"Kamu beneran datang bulan? Jangan bohong, Intan!"

Kuputar bola mata saat mendengar ocehannya sejak keluar dari kamar mandi tadi, sampai saat aku duduk di sofa panjang yang ada di ruang kamar luas ini. Memikirkan apa yang akan terjadi nanti.

"Iya, kenapa? Masih nggak percaya? Mau liat!" tantangku sembari menyibak gaun tidur tipis yang dikenakan. Membuatnya sontak mengernyitkan dahi, masih dengan sesekali menguruti keningnya yang terbentur pintu tadi.

"Nggak usah," sahutnya dingin.

"Ya udah. Nggak usah ngeyel makanya!" Dia hanya terdiam menanggapi dengan tatapan yang sama tajam.

Akhirnya setelah memutar otak memikirkan dan mencoba menyiapkan beberapa planing ke depan, untuk sementara aku punya cukup alasan untuk menghindarinya.

Ya, datang bulan adalah satu dari sekian cara untuk menyakinkan suami bahwa untuk sementara istri tak boleh disentuh.

Suka atau tidak, pertukaran ini tetap harus kuterima. Ketika jiwa perawan segelan yang terperangkap di dalam tubuh perempuan dewasa berumur dua puluh lima, yang bersuamikan bule gagah perkasa yang semena-mena kelakuannya.

Pendek kata aku tak bisa langsung menyimpulkan bahwa akan mendapat banyak keuntungan yang diterima setelah pertukaran jiwa. Karena entah esok atau lusa siapa yang bisa menjamin nasib mujur ini akan bertahan lama. Bisa-bisa keuntungan hilang, nyawa pun melayang. Amit-amit.

"Kuyakin kecelakaan itu menyebabkan otakmu terbentur, Intan!" Sejenak suara bariton itu mengalihkan pandangku dari layar yang tengah menunjukkan tayangan sinetron.

"Cara bicara, gestur, bahkan sikapmu jauh berbeda dengan sosok Intan yang kukenal!"

Deg!

Mampus, dia sadar.

"Ya, terus?" Demi menutupi rasa gugup dan tubuh yang tiba-tiba gemetar karena melihatnya berjalan menghampiri. Kucengkeram remote di tangan dengan kuat, lalu membaca ayat kursi.

"Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta'khudzuhuu sinatuw walaa--"

"Kamu pikir aku setan, hah?" bentaknya yang membuatku terlonjak seketika.

"Ya, sejenislah."

"Intan!"

"Y-ya!" Kupalingkan pandangan sembari melanjutkan ayat kursi dalam hati. Tak sanggup menatapnya matanya yang demikian mengintimidasi.

"Tatap mata saya!"

Nggak mau, Tuan. Takut kehipnotis entar.

"Tatap, Intan!"

Astagfirullah ....

Karena tak ada pilihan, akhirnya kualihkan pandangan pelan-pelan.

Hanya butuh dua detik bersamaan dengan jantung yang sudah kasidahan, aku dibuat jatuh terpesona menatap lekat sosok Tuan Stevan dari dekat.

Satu tahun bekerja dengannya baru sekarang aku bisa memperhatikannya seperti ini. Dulu mah boro-boro, natap dari radius lima meter saja aku sudah dibuat tertunduk mendengar kata-kata tajamnya.

Ternyata Tuan Stevan mempunyai mata biru gelap yang sangat indah, alis tebal dan rapi, hidung tinggi macam prosotan anak TK, juga bibir yang cip*kable.

Fix, semua kesempurnaan fisik seorang lelaki ada padanya. Mereka--Nyonya Intan dan Tuan Stevan benar-benar gambaran pasangan yang serasi yang sebenarnya.

Lalu, aku? Si cewek kentang ini, tiba-tiba saja terperangkap dalam tubuh salah satunya-- why? Why?

"Seberapa keras pun usahamu mengubah sikap untuk mengambil perhatianku. Semua itu tak berguna, Intan. Aku hanya membutuhkan tubuhmu, tapi tidak dengan jiwa sok polos yang kubenci itu!"

***

"Pakai mantelmu, kita ke rumah sakit malam ini!"

Suara bariton itu mengejutkanku yang sejak tadi asik ngemilin kuaci. Sudah beberapa jam berlalu sejak ucapan misteriusnya tadi, aku masih terjaga di sini. Rebahan dan leha-leha sambil nonton TV Rahasia Ilahi, mencoba mengabaikan apa yang coba dia ungkapkan tentang pandangannya terhadap sang istri.

"Mau ngapain?" tanyaku penuh selidik.

Jangan-jangan diamau memastikan kalau aku benar-benar datang bulan.

Eh, tapi mana mungkin, sih sampai sebegitunya?

"Memang kamu nggak penasaran bagaimana kondisi si Milah setelah kecelakaan? Menurut saksi mata dia yang melindungi tubuhmu saat itu."

Ah, iya juga, ya.

Bagaimana bisa aku sampai lupa sama badan sendiri yang entah di mana rimbanya, karena terlalu menikmati nasib mujur terbangun dalam tubuh seorang manusia setengah bidadari.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung beranjak bangkit dari posisi terlentang, meletakkan bungkus kuaci di atas meja depan muka TV, lalu mengangguk pelan.

"Sebentar, aku ganti baju dulu!"

Kuraih sebuah mantel bulu berbahan wol yang tergantung di lemari. Karena terbiasa membereskan dan membersihkan kamar ini, aku jadi tahu pasti letak-letak barang di sini, terutama yang berhubungan dengan Nyonya Intan.

Dari sudut mata, bisa kulihat Tuan Stevan tengah berdiri memperhatikan di ambang pintu kamar. Suara ketukan sepatu yang beradu dengan ubin sudah menjelaskan kalau dia tak suka menunggu.

Tapi ... siapa yang peduli? Sekali-sekali bikin dia kesel nggak apa-apa kali. Jangan aku aja yang sering dibikin jengkel sama kelakuannya yang semena-mena itu.

Lagian kapan lagi bisa nyoba barang-barang orang kaya, yakan? Lipen setipnya, bedak, sepatu, tas--Ya, Gusti ... ini semua nggak akan kebeli walaupun setahun aku kerja rodi.

"Yuk!"

"Kita mau ke rumah sakit bukan kondangan, Intan! Hapus lipstik merahmu!" protes Tuan Stevan sesaat setelah aku berdiri tepat di hadapannya.

"So ... why?" Aku memasang wajah tengil sembari menyengir lebar.

Bisa kulihat tangannya mengepal di sisi tubuh dengan rahang yang mengetat.

"Sejak kapan kamu suka membantah ucapanku, hah? Sepertinya otakmu benar-benar terbentur dan harus diperiksa!"

Mendengar itu aku pura-pura tuli dan memilih mengalihkan pandangan menatap adegan cicak kawin yang berada tepat di atas kepala Tuan Stevan.

"Intaaan!" Dia menyentak tanganku yang asik terulur menghitung jumlah cicak di dinding.

"Apa, sih?" Aku hanya menanggapinya dengan santai.

"Ada apa denganmu?" Geram pertanyaan itu dia lontarkan dengan gemelatuk gigi yang seolah bergesekan.

Merasa pertanyaannya sama dengan lirik lagu Peterpen Band kesukaan, aku pun berinisiatif melanjutkan.

"Ku tanya malam, dapatkah kau lihatnya perbedaan, tapi mengapa kau tak berubah ... tarik, sis, Semong--"

Plak!

Aku melongo, begitu shock sampai mulut ternganga setelah menyaksikan apa yang dilakukan lelaki jaha nam ini pada pipi mulus Nyonya Intan.

"Maaf, Intan. Aku cuma berpikir kamu kerasukan makanya berinisiatif melayangkan tamparan."

Kerasukan gundulmu, Stevan!

"Nggak sakit, 'kan?"

Pake bilang nggak sakit lagi.

Perih, Set--eh nggak boleh ngomong kasar.

Segera kutepis tangannya yang hendak mengelus pipi. "Nggak usah pegang-pegang!"

.

.

.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunu Nugraha nursyamsi
ngajak woii Minah as intan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status