Share

Part. 5

Setelah kejadian memalukan tadi, aku memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Berkutat di pantry dengan wajan dan panci. Menghindarinya macam buronan yang menunggu vonis mati.

Bagaimana tidak demikian. Dua kali tamparan kulayangkan tanpa perasaan bersama dengan dendam yang sudah dipupuk setahunan. Walhasil, bekas tapak tangan itu menghiasi pipi mulusnya dengan warna kemerahan.

Kalau kalian tanya apa aku menyesal? Jawabannya jelas tidak. Malah puas banget rasanya tabokin muka laki sok kecakepan, walaupun sayangnya dia emang cakep beneran. Setidaknya dendamku sedikit terpuaskan meski konsekuensinya jelas terpampang di hadapan.

"Intan ...!"

Kan, belum ada lima menit, suaranya sudah menggelegar.

Padahal sejak tadi aku sudah mencoba menghindar, bahkan bertingkah tak kasat mata sampai ngesot-ngesot di bawah meja.

"Di mana kamu, Intan?"

Sial ... bagaimana ini?

Mana belum sempet pacaran, ngerasain gandengan, dinikahi Salman Khan, masa harus mati di tangan lelaki setengah siluman?

"Berhenti menghindar, tunjukkan wujudmu!"

Setan kali, ah. Ngadi-ngadi aja si Tuan.

Oke, tarik napas pelan-pelan, terus embuskan perlahan. Lu bisa, Mil. Ditantang preman aja lu ngelawan, masa cuma Tuan Stevan aja sampai keteteran.

"Iya, bentar, Bang!"

Seperti yang dia katakan, pada akhirnya aku menampakkan wujud. Berlari kecil dari dapur, melewati ruang makan, menyusuri lorong, hingga sampai di hadapannya.

Busyet ....

Seketika aku menelan ludah, menyeka liur yang hampir menetes, lalu menutup mulut yang setengah terbuka saat melihat roti sobek yang terpampang nyata.

Nyut-nyutan, deg-degan, ser-seran. Begitulah yang dirasakan saat aku melihat ciptaan Tuhan yang tak boleh dilewatkan.

Ini namanya rezeki anak saliha.

Nikmat mana lagi yang harus kudustakan?

"Apa yang kamu lihat?!"

"Badanmu, Bang!"

"Hah, apa?"

Bergegas aku menggeleng panik saat tanpa sadar keceplosan. Lagian tumben dia keluyuran tanpa pakaian. Apa karena dia pikir aku--atau tepatnya tubuhku tak ada di sini jadi berani umbar perut yang udah macam petakan?

"Nggak. Nggak liat apa-apa. Serius."

Dia hanya mengedikan bahu dengan bibir mencebik. Dimasukannya kedua tangan dalam saku celana training joger ukuran 3/4, sembari menatapku tajam.

"Apa yang kamu lakukan sekarang?"

"Masak," jawabku enteng.

Kali ini sebelas alisnya terangkat.

"Masak?" Dia membeo.

"Lah iya, masa atraksi deb--"

"Kamu, kan nggak bisa masak!"

" ... bus."

Oh, shit. Sadar, Milah! Sekarang lu tuh Nyonya Intan. Berlakulah selayaknya. Selayaknya!

"Ng, itu, anu ... Milah, kan masih belum sadar. Aku cuma mau masak mie instan."

"Kamu tahu, kan aku nggak suka mie instan.."

"Eh, oh ... siapa bilang buat kamu, orang aku masak buat sendiri, kok."

Entah kenapa tatapannya berubah semakin dingin.

"Istri macam apa kamu ini?"

Kupejamkan mata sejenak, lalu mengembuskan napas panjang.

Heran salah melulu. Aturannya pan cewek selalu benar, ini malah sebaliknya.

Lama-lama nih laki bukannya jadi bucin, tapi malah makin benci sama Nyonya Intan.

Mau lu apa, sih, Bang?

"Ngomong-ngomong tentang istri. Aku jadi inget lagi dangdut yang judulnya 'Istri Setia'." Kutarik napas dalam untuk mengambil ancang-ancang sebelum mulai melanjutkan. "Kasihku paling cakep paling ganteng, apa yang kau cari lagi? Sumpah setia dariku belum cukupkah bagimu? Setia ku menanti Abang pulang, tapi bukannya disayang, malah dibikin peyang. Asolele."

Mampus dia nggak ketawa.

Ya Gusti malah melotot.

Astagfirullah dia maju.

C'tak!

"Aw!"

Kuusap kening yang terkena jentikan jarinya.

"Kau sudah tak waras, Intan."

Situ yang nggak waras, Tuan!

***

"Mau ke mana kita?" Kutatap Tuan Stevan, sesaat setelah dia mengajakku jalan. Hacie udah macam suami-istri beneran.

"Cari makan," jawabnya datar.

"Emang kamu nggak kerja? Kok, hampir tiga harian ini di rumah aja?" tanyaku kepo.

Karena seingatku ini bukan weekend atau hari libur nasional, tapi kenapa dia di rumah aja. Udah kayak slogan iklan di TV-TV.

Dia menoleh setelah memasang seatbelt. Dengan tatapan biasa, Tuan Stevan berujar datar. "Kenapa? Kamu nggak suka saya ada di rumah?"

"Nggak, kok. Cuma heran aja."

"Lagi pula kalau bukan karena permintaan Papamu, setelah kecelakaan itu aku malas menjagamu."

Masih aje, ye. Ntu mulut lebih pedes daripada bon cabe level setan.

"Oh." Karena tak tahu harus menjawab apa aku hanya bisa membulatkan bibir, lalu mengalihkan pandangan menatap keluar kala mobil mewah ini mulai berjalan.

Hening beberapa saat.

Dari sudut mata bisa kulihat sesekali dia memperhatikan, dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Apa ini strategimu yang lain?"

Seketika aku menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut.

"Maksudnya?"

"Kau tahu aku tak pernah suka dengan wanita lemah, Intan. Perubahan sikapmu yang signifikan ini seolah membuktikan kalau kamu juga butuh perhatian."

Sejenak aku tertegun.

"Percuma, Intan. Seberapa keras pun kau berusaha. Sosoknya tetap tak bisa tergantikan."

Lagi, aku dibuat termenung memikirkan maksud dari ucapan Tuan Stevan. Sebenarnya siapa sosok yang dia maksud itu?

Bagaimana mereka bisa menikah? Juga alasannya kenapa Tuan Stevan begitu membenci istrinya?

Demi Tuhan aku semakin penasaran.

"Aku tahu." Meskipun tak yakin tapi entah mengapa aku harus mengatakan ini untuk mewakili Nyonya Intan. "Perasaan itu memang nggak bisa dipaksakan, Stev, tapi bisa diluluhkan. Perlahan kamu akan mengerti bagaimana pentingnya menerima juga merelakan. Percayalah ... aku nggak pernah minta untuk dicintai, apalagi dibenci. Aku cuma minta kamu buka hati. Tapi bukan cuma buat sosok baru, melainkan salah satu cara agar kamu bisa berdamai dengan masa lalu."

Ckitt!

Mobil menepi. Bisa kulihat kuat dia mencengkeram setir. Tatapan kami bersirobok. Detik berikutnya aku sudah berada dalam rengkuhannya.

Please, bawa kembali otak kalian yang sudah traveling membayangkan adegan-adegan uwu skidipapap cihui yang bikin dugun-dugun (deg-degan)

Karena faktanya bukan pelukan mesra yang kudapatkan melainkan cengkeraman tubuh yang bisa saja meremukkan.

"Tidak minta untuk dicintai? Berdamai dengan masa lalu? Are kidding me? Kau lupa justru karena cara mencintaimu itulah yang menghancurkan rencana masa depanku, Intan. Dengan dia ... dia ...."

Tuan Stevan tak melanjutkan, suaranya terdengar bergetar.

Entah kenapa aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengorek tentang hubungan mereka. Bukan bermaksud ikut campur, tapi keadaan yang memaksaku untuk melakukannya.

Aku yakin ada alasan di balik pertukaran jiwa ini.

Aku berharap mereka menemukan jalan keluarnya. Meskipun harus ada yang berkorban di sini pun tak apa.

Pada akhirnya aku memilih untuk terbungkam. Mengusap pundaknya itung-itung sambil cari kesempatan dalam kenganuan. Kapan lagi bisa ngekep orang cakep, yakan?

***

"Udah baikan? Kalau masih ngambek lebih baik aku pulang."

Kami berhenti di depan sebuah hotel bintang lima lebih dua. Bangunan setinggi dua puluhan tingkat yang terletak di pusat kota. Setelah kejadian tadi, sepanjang perjalanan kami lalui dengan kebungkaman.

"Nggak usah. Maaf. Padahal aku sudah berjanji padamu untuk tak mengungkit hal itu." Tuan Stevan tampak mengusap wajahnya kasar, lalu melepas seatbelt-nya.

Kalau dipikir-pikir dia ini kejam, tapi tak tak benar-benar jahanam. Ada beberapa waktu di mana dia tiba-tiba memperhatikanku, eh maksudnya Nyonya Intan dengan tatapan sayang.

Jadi, intinya ....

Au ah, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

"Its oke, no what-what. Nggak ada manusia yang luput dari kekhilafan. Abang udah aku maafin, kok asal kita makan sekarang. Laper cuy, dah dua ari kagak makan."

"Cih, terus berbungkus-bungkus mie instan itu siapa yang makan? Setan? Lagipula sejak kapan selera makanmu jadi macam orang kesurupan, hah? Ngabisin stok aja."

"Lah, tinggal beli lagi repot amat."

"Nggak. Segitu udah jatah bulanan."

Idihhh ... masih aja kikir, lu, Bang. Padahal sama bini sendiri, bukan bini tetangga.

"Sudahlah, Intan. Aku malas berdebat. Kita makan sekarang."

"Hokey."

Pada akhirnya Tuan Stevan membawaku ke tempat makan yang terletak di lantai delapan hotel. Katanya resto ini adalah tempat langganannya dan Nyonya Intan kalau makan di luar.

Nah, saat mereka makan di luar itulah definisi surga dunia bagiku. Bisa karaokean, nonton sambil rebahan, sampe berendam dalam bath tub ditemani camilan.

Semoga aku nggak akan pernah ketahuan.

"Duduk!"

Tiba-tiba Tuan Stevan mendorong kursi di belakang, saat mendapati aku berdiri celingukan macam anak ilang saat liat sultan-sultan bertebaran di resto ini.

Ternyata walaupun kikir bin pelit masalah duit, untuk urusan perut dia royal juga. Dilihat dari tempatnya yang begitu mevvah dengan interior yang didesain elegan, classic, juga berkelas. Makanan di resto ini sudah dipastikan bikin kantong kaum misqueen sepertiku menjerit, merintih, dan kosong melompong.

"Silakan, Tuan!"

Seorang waitress dengan pakaian resmi dan rambut dicepol rapi datang menghampiri. Menyodorkan daftar menu yang tebelnya udah macam bon utang.

"Kamu dulu!" Tuan Stevan menyodorkan daftar menu yang tersisa ke hadapanku yang hanya bisa menatap dengan heran.

Bagaimana tidak demikian, karena selain harganya yang bikin geleng-geleng, nama-namanya pun bikin spaneng.

Daripada pusing berkelanjutan, akhirnya kupilih untuk menutup menu, dan menghadap waitress tersebut.

"Mbak, saya pesen Pepes Peda, Oseng Kangkung, Jengkol goreng, Karedok leunca, sama ikan asin aja. Kalau ada nasinya merah, ya. Lagi diet soalnya."

"Intan!"

"Eh, iya?"

Kupegangi dada karena kaget dengan panggilannya yang tiba-tiba.

"Ini bukan rumah makan khas Sunda, tapi restoran western!" hardiknya.

Sempat kulihat waitress tersebut tampak menahan senyum.

Ya, mana aku tahu kalau ini restoran western. Bukannya sekarang di restoran mevvah sekali pun sudah banyak menyediakan menu khas lokal.

Kurang jauh nih maennya, Tuan Stevan.

"Lagipula kamu nggak suka jengkol!" tambahnya.

"Suka, ah."

"Nggak."

"Suka."

"Enggak."

"Suka."

"Pokoknya nggak!"

"Aarrghh ...."

Brak!

Karena kesal tanpa sadar aku menggebrak meja.

Lagian aku yang mau makan napa situ yang repot, sih, Tuan!

Heran.

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status