"Sejak kapan kamu begitu peduli pada Milah sampai menangis tersedu-sedu seperti itu?"
Kutolehkan kepala menatap Tuan Stevan yang munculnya udah macam tukang kreditan yang nagih akhir bulan. Bikin sawan. Sembari menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi, aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri di sisinya. "Sejak awal aku memang sudah peduli padanya, Bang. Nyo-- eh Milah bisa dibilang satu-satunya temanku saat ini. Sikapnya yang seolah tanpa beban meski sering kau jadikan pelampiasan entah kenapa membuatku seolah mendapat penghiburan dari tekanan." Entah setan apa yang merasukiku saat dengan lantangnya melontarkan kalimat itu. Mungkin karena terperangkap di tubuh Ibu Peri gaya bicara pun sesekali berubah macam baca puisi dengan penuh improvisasi. Tapi, jujur. Untuk beberapa point, ucapanku mungkin bisa dibenarkan atau dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena sama seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil megah oleh sang penyihir jaha nam, Nyonya Intan pun bisa dibilang demikian. Yang kutahu wanita malang itu hanya diizinkan keluar rumah paling sering dua kali dalam seminggu, itu pun Tuan Stevan yang ajak keluar atau diminta Tuan dan Nyonya besar yang tak lain orangtuanya untuk datang berkunjung ke rumah mereka. Entah karena dia takut kehilangan, atau hal itu salah satu bentuk dari pengekangan. Percayalah, untuk beberapa situasi aku tak mengerti dengan pola pikir lelaki ini. Bagaimana bisa dia tega menempatkan seorang istri dalam keadaan yang benar-benar tak berdaya. Kalau saja aku yang ada di posisi Nyonya Intan, jangankan jatah harian, jatah mingguan saja tak negosiasikan. "Apa saja yang kamu kamu katakan pada si Milah tentang kita, hah?" Seketika bulu romaku berdiri saat ia mulai melontarkan pertanyaan itu dengan nada dingin cenderung sinis. "Nggak ada. Aku nggak pernah bilang apa-apa tentang urusan ranjang, eh maksudnya rumah tangga kita. Selama ini cuma Milah yang selalu ngoceh tentang beban hidupnya. Termasuk rasa kesel dia mempunyai majikan yang sempurna kelucnutannya kayak kamu, Bang! Saat itu aku cuma bisa ngakak sambil ngangguk-angguk setuju." Aku hanya bisa terkekeh geli melihat air mukanya yang semula tegas dan dingin, berubah jengkel. "Si Milah ... gadis kampung itu. Awas saja kalau dia sudah sadar." Gemeretak gigi Tuan Stevan kala menggerutu mengancamku. Kagak mempan Tuan, ane udah kebal sama segala macam omelan dan sifat mengintimidasi situ. "Kenapa kamu tertawa?" Dia menatapku sinis. "Emangnya nggak boleh? Ketawa, kan nggak dilarang dan bukan termasuk pelanggaran." "Oh, jadi selain membantah kamu juga udah pinter ngeles sekarang?" Dia berpangku tangan. "Ya, begitulah." Kukedikkan bahu, tak acuh. "Eh, btw Kalau diliat-liat Milah manis juga, ya, Bang?" Lelaki itu tampak memicingkan mata sambil memperhatikan tubuhku yang terbaring di brankar. "Nggak." "Sedikit pun?" "Nggak." "Secuil?" "Nggak." "Setitik?" "Kamu ini kenapa, sih? Apa pandanganku tentang si Milah benar-benar penting bagimu?" Woiya penting, dong. Setidaknya aku tahu kalau situ bencinya bagian mana, Tuan. Lagian demen banget panggil orang pake embel-embel 'Si' berasa lagi ngusir dogi. "Iya, iya, nggak akan nanya lagi aku. Gitu aja ngambek kamu." Kuulurkan tangan, lalu menjawil dagunya. Nyengir lebar. Namun, bukan tatapan sayang yang didapatkan, roman-romannya aku bakal ditendang. "Cukup! Ini sama sekali nggak lucu." Deg! Seketika aku tersentak saat ia tiba-tiba meraih tanganku dan mencengkeramnya kuat. Nahkan. "Kamu tahu, kan tak ada yang boleh menyentuh wajahku, selain dia!" Idih, dipikir muka situ fosil, Tuan? Sekalian aja ntu muka plastikin kalau nggak mau kegores. Eh, bentar. Dia ... dia maksudnya sapa? "Ya maaf." Seketika aku menarik diri, lalu menepis tangannya. "Gitu aja marah." Hanya sepersekian detik sampai kulihat sorot matanya kembali berubah dingin. "Aku tunggu di mobil. Kita pulang sekarang!" Dia kenapa? *** Sepanjang perjalanan pulang kami lewati dengan kebungkaman. Perkara colek dagu dikit saja berbuntut panjang. Padahal baru dagu, loh. Belum yang lain. Ketek misalnya. Ya Allah, ini bahkan belum 1 x 24 jam tapi kenapa aku sudah tak tahan. Kembalikan jiwa kami, Tuhan ... sungguh aku tak sanggup menghadapi lelaki dengan sifat labil dan baperan. Mon maaf Nyonya Intan, kayak sebelum dia bucin beneran aku udah nyerah duluan. "Ngapain kamu berdiri di situ, pintunya mau dikunci. Awas!" Seketika aku terlonjak mendengar ucapan datarnya. Baru tersadar ternyata sejak tadi aku berdiri di ambang pintu. "Eh." "Ck." Sejenak dia berdecak, lalu menarik pergelangan tanganku untuk masuk ke dalam. Dengan keadaan setengah linglung, aku menggaruk tengkuk dan berjalan ke kamar. "Mau apa kamu ke sana?" Lagi-lagi ucapan Tuan Stevan menghentikan pergerakan langkahku. "Ya tidurlah, masa ngepet!" sungutku sebal. "KAMAR KITA DI ATAS, INTAN! NGAPAIN KAMU KE KAMAR SI MILAH?" Lagi-lagi aku terlonjak dibuatnya. Astagfirullah, Gusti .... Sungguh aku benar-benar belum terbiasa dengan tubuh ini. Karena bukan hanya fisik yang berubah di sini, tapi juga keadaan, kepribadian, juga latar belakang. Terlepas dari semua ini menguntungkan karena jiwaku terperangkap dalam tubuh dengan berjuta kelebihan. Sebuah tamparan menyadarkan bahwa selain kelebihan juga terdapat kekurangan. Satu di antaranya yaitu suami sekaligus majikan tak punya perasaan. Akhirnya tanpa berniat membantah aku berlari kecil mengekorinya yang berjalan cepat menuju kamar di lantai atas. Lelah hayati, Bang. *** "Kamu duluan, aku duluan, atau mau barengan?" Pertanyaan itu terlontar sesaat setelah kudaratkan bokong di atas sofa dan melepas mantel. Seketika aku mendelik sembari mencebik. "Ogah, duluan aja sana! Lagian aku udah mandi ngapain mandi lagi, buang-buang aer." Lagian kalau kita mandi barengan, bukannya cepet tapi malah nggak kelar-kelar entar. Tuan Stevan tampak mengedikkan bahunya, lalu berlalu ke kamar mandi. Lagian, kok bisa itu mood naik turun terus udah kayak harga emas? Sebentar-sebentar ngambekan, sebentar-sebentar ngajak baikan. Apa jangan-jangan dia punya kelainan kepribadian? Au, ah. Mengabaikan Tuan Stevan. Aku memilih untuk membunuh bosan sembari menunggu rasa kantuk menyerang. Kuputuskan untuk menyalakan TV dan mencari chanel luar negeri. Meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Setidaknya setelah bertemu dengan Emak dan Bapak juga memastikan kondisi keduanya dalam keadaan baik sejak terakhir kali kami bertemu empat bulan lalu-- sejenak aku bisa benapas lega dan menikmati hari ini. Merasa tak sia-sia walaupun harus menangguhkan masa depan dengan tinggal di rantau orang, dari hasil jerih payah dan keringat yang bercucuran ini penghasilanku bisa digunakan untuk meringankan beban perekonomian yang sempat menekan keluarga kami. Setelah menit demi menit berlalu dengan memikirkan beban hidup, tanpa sadar mataku meredup, dan terasa kantuk. Kuubah posisi dari bersandar, jadi meringkuk di atas sofa panjang berwarna hitam. Sebelum kesadaran benar-benar terenggut, kusempatkan berdoa ... agar saat membuka mata esok hari, aku terbangun sebagai sosok Milah kembali. Setidaknya ... walaupun terlahir sebagai orang susah, aku bahagia dengan hidup ini. *** Secercah cahaya tampak mengintip dari lubang ventilasi di bagian depan ruang kamar. Seketika aku terbangun saat tiba-tiba dada terasa sesak seperti tertindih sesuatu. Dengan mata yang masih memburam dan belum fokus, akhirnya kuedarkan pandangan dan tersadar bahwa sudah terbaring di atas ranjang. Tepat ketika tubuh merasakan sebuah pergerakan yang tak seharusnya dari sosok di seberang ... kutolehkan pandangan, lalu terlonjak hingga refleks melayangkan tamparan. Plak! "Argh!" Bisa kulihat Tuan Stevan mengusap wajah, lalu menatapku nyalang yang duduk bersandar di kepala ranjang. Kaget bukan main rasanya. "Suruh siapa pegang-pegang! Saya memang pembantu, tapi masih punya harga diri, ya, Tuan." Dia tampak menatapku tak percaya antara shock dan murka. "KAU INI KENAPA? Cicak-cicak di kamar ini bahkan sudah tahu aku biasa melakukan--" Plak! Belum sempat Tuan Stevan menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu melayangkan tamparan kedua. Kali ini lebih keras dari yang sebelumnya. "Tolong jaga sikap Anda kalau nggak mau saya laporkan ke komnas Ham!" ancamku berapi-api. Bisa kulihat wajahnya benar-benar berang sekarang. "Lelucon macam apa ini, Intan! Apa yang akan mereka katakan kalau kau melaporkan suamimu sendiri? Kau ini kenapa, sih? Kurasa kecelakaan itu bukan hanya membuat otakmu terbentur, tapi juga merenggut kewarasanmu!" Kukerjapkan mata, pikiran kosomg seketika. Jadi, aku masih terbangun dalam tubuh Nyonya Intan? Argghh ... demi cintaku pada Babang Salman Khan, situasi menyebalkan apa lagi ini?! Tolong kembalikan tubuh eksotisku! Ternyata menjadi good looking tak selalu something apalagi semeriwing. Lama-lama mungkin aku bisa jadi orang sinting! . . . Bersambung.Setelah kejadian memalukan tadi, aku memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Berkutat di pantry dengan wajan dan panci. Menghindarinya macam buronan yang menunggu vonis mati.Bagaimana tidak demikian. Dua kali tamparan kulayangkan tanpa perasaan bersama dengan dendam yang sudah dipupuk setahunan. Walhasil, bekas tapak tangan itu menghiasi pipi mulusnya dengan warna kemerahan.Kalau kalian tanya apa aku menyesal? Jawabannya jelas tidak. Malah puas banget rasanya tabokin muka laki sok kecakepan, walaupun sayangnya dia emang cakep beneran. Setidaknya dendamku sedikit terpuaskan meski konsekuensinya jelas terpampang di hadapan."Intan ...!"Kan, belum ada lima menit, suaranya sudah menggelegar.Padahal sejak tadi aku sudah mencoba menghindar, bahkan bertingkah tak kasat mata sampai ngesot-ngesot di bawah meja."Di mana kamu, Intan?"Sial ... bagaimana ini?Mana belum sempet pacaran, ngerasain gandengan, dinikahi Salman Khan, masa harus mati di tangan lelaki setengah siluman?"Berhenti
"Kamu marah?"Pertanyaan itu meluncur mulus tanpa dosa dari mulut Tuan Stevan, sesaat setelah kami menjejakan kaki keluar resto tanpa makan. Aku mendelik sinis. "Menurut ngana?"Kalau saja ada penghargaan untuk lelaki paling menyebalkan di dunia, mungkin Tuan Stevan bisa menjadi salah satu kandidat kuat untuk membawa pulang piala beserta sound sistemnya. Masa cuma gara-gara debat perkara jengkol. Aku harus pulang dengan keadaan dongkol?"Jadi, sekarang bagaimana?"Dih, pake nanya lagi. Situ yang buat, ya situ yang harus bertanggung jawablah setelah bikin baper, eh laper anak orang. "Au, ah."Kulihat Tuan Stevan hanya terdiam saat dia berjalan di depan menuju parkiran, sementara aku mengekor di belakang sembari menendang-nendang udara berharap walaupun tak sengaja aku bisa menendang pantatnya. Entah apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu, aku pun tak tahu dan tak mau tahu sebenarnya. Karena sungguh, rasa lapar ini lebih menyiksa daripada sikap acuh tak acuhnya. Percayalah, lima
"Ada uang koin?" tanya Tuan Stevan, sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil dan bersiap pulang."Buat apa?""Parkir.""Lah, itu kan ada dua rebu di dasboard!" Kutunjuk tumpukan uang pecahan dua ribuan yang sepertinya dipersiapkan untuk parkir."Kebanyakan."Allahu akbar! Meditnya emang nggak ketulungan, nih orang."Lagian waktu dateng tadi kita parkirin sendiri, setelah siap-siap pulang, tiba-tiba orangnya udah nongkrong di depan. Udah jelas juga ada tulisan parkir gratis, ngapain ngeluarin uang banyak-banyak kalau tukang parkirnya nggak ada kerjaan? Lagian kita juga nggak perlu nyebrang."Iya, juga, sih.Tapi, tibang ngeluarin duit dua rebu nggak bakal bikin lu miskin, Stevaaan!"Udahlah, mana sini uangnya?!"Kuelus dada mencoba meredam kekesalan. Lalu, merogoh tas yang bisa kutaksir seharga ginjal, hingga akhirnya menemukan satu koin pecahan seribuan."Noh!""Oke. Terima kasih.""Masama," sahutku ketus.Mobil pun berjalan perlahan melewati tukang parkir di depan. Kusembunyikan wajah
"Lagi apa, Bang?" "Punya mata, kan?" "Iya, tahu lagi masak telor buat sarapan." "Kalau tahu kenapa nanya?" Kupejamkan mata sesaat. Sejak kutinggal tidur semalam Tuan Stevan menjadi semakin uring-uringan, entah setan apa yang merasukinya? "Kok, cuma satu?" Dia menoleh, lalu mengerutkan kening. "Kamu mau?" "Enggak. Kalau dua, kan punya kamu." Aku nyengir, tapi dia sama sekali tak bergeming. Bibirnya hanya membentuk satu garis vertikal. "Nggak lucu!" "Ya, maaf. Nggak ngelawak juga." "Kalau nggak ada urusan mending buruan ganti baju! Aku nggak suka nunggu." "Lah, emangnya kita mau ke mana?" "Ke rumah orang tuamu!" Deg! Oh, tidak. Ini tak boleh terjadi. Apa yang harus kukatakan pada Nyonya Intan bila tubuh kita kembali nanti? "Jangan begitulah, Bang. Kita bisa bicarain semua ini baik-baik. Masa perkara nolak dipijitin aja mau dipulangkan?" Terdengar suara napas berat yang diembuskan. Tuan Stevan mematikan kompor, lalu memutar tubuh ke arahku. "Emangnya kamu nggak denger
Jdug! Jdug! Jdug! Kubenturkan kepala ke dinding berharap bisa jatuh pingsan dan terbangun dalam keadaan masuk akal. Tak ada Tuan Stevan, Nyonya Intan atau situasi sialan ini. Aku hanya Milah anak Emak dan Bapak. Gadis kelahiran Cikarang yang hobi makan Kerang sambil ngehalu jadi bini Salman Khan. Sudah satu jam berlalu sejak Tuan Stevan meninggalkanku di ruangan ini sendirian, tanpa kepastian, dan butuh perhatian. Semua orang rumah sedang ziarah ke kuburan Berlian sekarang, sementara Tuan Stevan entah di mana sekarang. Untuk pertama kalinya aku tak nafsu makan. Padahal pelayan sudah menyiapkan makanan enak di nakas dengan buah-buahan segar di sana. Demi Tuhan Aku kangen Emak, Bapak, Adek, dan tubuh lamaku. Sadarlah Nyonya Intan! Aku tak sanggup menghadapi situasi ini sendirian. Merasa usaha yang kulakukan hanya percuma. Akhirnya kupilih untuk beranjak dari pojok ruangan. Menyusuri sekeliling kamar luas ini. Menatap foto-foto Nyonya Intan yang terpajang hingga berhenti di m
"Tan." "Intan." "Intan Pertiwi!" "Ape, sih?" Akhirnya kubanting tas ke atas kasur, kala mendengar Tuan Stevan tak berhenti memanggil. Sejak perdebatan di kolam tadi aku memutuskan untuk bergegas mandi, lalu bersiap pulang. Namun, sampai selesai berpakaian dan bersolek tadi, bule sompret ini masih terjaga mengamati di sisi ranjang. Menyilangkan kaki dengan tatapan yang sulit diartikan. Sampai saat ia mulai memanggil-manggil tanpa alasan, di situlah titik kesabaranku dipertaruhkan. "Kenapa kamu marah?" Astajklmnx*#$ Tampol, tidak, ya? Tampol tidak, ya? Sabar, Mil! Nyonya Intan udah sadar, kita cuma perlu tukeran dan masalah Stevan pun kelar. Oke, tarik napas. Embuskan. Hu ... Haaa .... Setelah menyangklokan tas selempang, aku memilih untuk beranjak dari kamar dan berjalan ke luar. Mengabaikannya. "Berhenti, Intan!" Tiba-tiba Tuan Stevan mengejar, lalu menarik pergelangan tanganku. Please, deh drama banget ini Tuhan .... "Nggak usah pegang-pengang!" Kutepis tangannya kasa
Ya, begitulah bunda-bunda ... bila si kecil tak diberi ASI melainkan susu kuda liar. Akhlaknya tak tertanam, melainkan berceceran sampai-sampai mulut pun tak ikut disekolahkan. Bagaimana bisa orang yang baru siuman dengan seedak jidat dia hadapkan dengan cucian? Kesabaranku akhirnya benar-benar terkikis habis. Kulepas sebelah sepatu pantofel yang melekat di kaki, lalu mengarahkannya pada lelaki yang masih berdiri santai di ambang pintu. "Keluar sekarang nggak!" ancamku sembari mengambil ancang-ancang untuk melempar sepatu yang digenggam. "Iya, iya. Galak amat jadi istri." "Daripada situ, perhitungan banget jadi suami." Tak lama suara pintu yang ditutup keras pun terdengar. Aku beralih pada Nyonya Intan yang sejak tadi diam memperhatikan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Kumohon ... jangan bilang dia tersinggung dengan tingkah lakuku yang kadang nggak tahu aturan? *** "Hahaha ...." Masih di tempat yang sama aku dibuat diam kebingungan saat melihat Nyonya Intan tertawa terb
"Lepas!" Bergegas kutepis tangan Tuan Stevan, lalu berniat mengejar Nyonya Intan yang langsung pergi tanpa pamit. Sebelum tubuhnya menghilang aku sempat melihat matanya melebar, tapi masih bisa menutupinya dengan senyuman. Asem. Mungkin dalam pikirannya Nyonya Intan ngebatin, ternyata begini rasanya diselingkuhi diri sendiri. Jujur, dari sekian banyak kemungkinan situasi seperti inilah yang paling kutakutkan. Lagian kalau bisa nawar kenapa coba aku harus tukeran jiwa sama ciwi yang udah punya laki? Kenapa nggak sama Prilly atau Rani Mukherji, setidaknya, kan aku bisa ketemu Babang Salman Khan. "Tunggu!" Namun, sebelum sempat langkahku mencapai pintu, Tuan Stevan sudah lebih dulu menghadang jalanku. Tubuhnya yang menjulang bak tiang jemuran berdiri di ambang pintu sembari berkacak pinggang. Ketahuilah kawan, untuk situasi ini jelas tak ada kekuatan yang lebih besar selain kekuatan laki yang kebelet anu. Dua minggu dia sabar menunggu tanpa jajan keluar, sudah bisa dipastikan
Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan
"Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha
Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka
"Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si
"Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber
Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur
"Aamiin!" Genggaman Tuan Stevan di pergelangan tanganku, melerai pelukan kami. Kutatap lelaki yang tampak begitu tampan dengan turtleneck berwarna cerah yang dipadupadankan dengan jas gelap tersebut dengan pandangan yang sudah memburam. "Sebentar, ya, Ma!" Tuan Stevan tiba-tiba menarik tanganku mendekati tiang pembatas bertilas kaca, sebelum sempat aku menampar pipi sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi atau halusinasi. Oh, ayolah. Ini bukan negeri dongeng. Atau sekadar mimpi seorang jomblo. Kenapa aku harus merasa sebaper ini? Tanpa sadar aku juga sudah mengabaikan Brian yang duduk di samping Betrand dengan tangan melambai-lambai. Kami berhenti di dekat pohon cemara buatan. Cahaya temaram dari lampu tumblr yang sengaja dipasang mengelilingi spot restoran membuat suasana semakin terasa intens. Apalagi saat Tuan Stevan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. "Mulanya mungkin kamu dan aku memang saling membenci, kita juga dipersatukan dengan cara yang berbeda
Bicara tentang cinta, kasih, dan rindu. Jujur aku tak bisa menjelaskanya dengan menggebu-gebu, karena pada kenyataannya ketiga hal itu tabu bagiku. Mungkin terkesan aneh, langka, dan ambigu. Intinya aku memang tak pernah peduli atau lebih tepatnya memilih mengabaikan ketiga perasaan itu. Kenapa? Ya, nggak apa-apa. Hidup, kan nggak melulu tentang cinta, perasaan, dan cowok idaman. Wabil khusus untuk anak gadis sepertiku yang tumbuh dalam keluarga yang perekonomiannya pas-pasan. Jangankan buat beli kuota biar bisa pedekatean sama lawan jenis di sosmed. Buat ongkos berangkat sekolah aja aku masih kudu bantu angkutin Buah Tin ke dalam truk. Sembilan belas tahun aku hidup, dengan seluruh waktu yang habis terkuras hanya untuk melakukan siklus berulang dari mulai bangun nimba sumur, berangkat sekolah, jadi kurir makanan biar bisa jajan, sampai pulang bantu Emak di perkebunan. Jadi, mana ada waktu buat mikirin cecintaan! Nahkan ngegas. Maaf. Terbawa perasaan. Karena ngomongin cinta
"Sudah selesai?" "Aarrghh ... Sett--" Aku terlonjak dan nyaris mengumpat saat melihat Tuan Stevan sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Jantung terasa akan melompat dari rongganya, ketika menyadari tatapannya sudah beralih menuju ponsel di genggaman tanganku. Bergegas aku memasukan benda pipih itu ke kantong celana. Berusaha memasang ekspresi tenang padahal aslinya tegang kebangetan. "Maaf kelamaan. Habis pup aku sekalian bersihin WC tadi," kilahku, berharap Tuan Stevan percaya setelah melihat jejak-jejak air yang sengaja kusemprotkan dari shower tadi. Tuan Stevan sempat memicingkan mata curiga, setelahnya dia kembali melunak. Aku cukup lega melihat ekspresi yang semula dingin itu kembali bersahabat. "Ah, iya. Aku mau minta maaf. Tadi pihak bank sudah konfirmasi kalau ternyata mereka salah alamat. Laporan kartu kredit itu seharusnya untuk Intan Perdana, bukan Intan Pertiwi," tuturnya dengan raut penuh sesal. Abcdfhjk. Ingin rasanya kuberkata kasar, mengobrak-abrik da